Oleh
AGUS PANDOMAN
Kita mungkin ragu tentang anggapan
dan dugaan bahwa informasi hasil penghitungan cepat Pilpres tahun 2014, yang terkandung didalam tayangan
telivisi begitu saja diterima oleh
masyarakat ,tayangan itu memperlihatkan munculnya bukan lagi kesucian hak milik
secara umum dan satu-satunya hak milik rakyat akan tetapi hak informasi secara individual
dari para pemilik modal. Kesucian hak Milik Informasi secara umum, adalah hak
informasi yang setara dengan bentuk perlindungan atas kebebasan individu dan tekanan
massa. Apa yang semula merupakan masalah News
berubah menjadi masalah kekuasaan dan kepentingan, kemudian didalam isi beritanya (informasi ) menjadi
persoalan moral antara individu dengan kerumunanan massa. Dan tentu saja secara
individu kita bersimpati dengan individu-individu tersebut , lebih-lebih ketika
isu penghitungan cepat telah dibumbui dan dibelokan oleh media telivisi yang
mendominasi tayangan sebagai hak milik kelompoknya.
Kebebasan
kepemilikan didalam bisnis media adalah
kata kata kunci pesetaraan pemberi informasi
yang berasal dari relasi sosial kapitalis dengan audiens (penerima berita ) yang diwujudkan dalam bentuk media cetak
dan telivisi maupun radio adalah bagaimna mengungkapkan , menyalurkan dan
menjaga informasi secara setara.Oleh karena itu sangat wajar jika hal ini
menjadi idiologi informasi universal. Memang demikianlah cara media bekerja .
Informasi memerlukan sarana penyampaian dan terjaga secara setara diantara para
individu yang berada dalam suatu temapat dan waktu tertentu yang akan menerima
informasi, sudah semestinya mengandung
kesucian moralisasi kepentingan diri yang diungkapkan terhadap informasi
tersebut. News harus mengklaim diri
berkomitmen pada soal kesetaraan sebagai
kesucian hak milik informasi dan bukan
kebebasan para pemilik modal untuk mengembangkan kapital mereka melalui kekuasaan
politik yang memiskinkan hak informasi
yang setara
Keunikan diskursus informasi sekarang
ini terhadap hasil penghitungan cepat pilpres tahun 2014 yang berlawanan, yang ditayangkan oleh media telivisi yaitu menentukan relasi kekuasaan dalam sebuah
hasil pilpres dalam sebuah negara berdasarkan idiologi-idiologi politik kapitalisnya.
Bahasa penayangan menunjukan relasi kuasa berdasarkan kelompok idiologi yang terlibat
dalam sebuah proses legalitas pemenangnya. Bahasa berita tidak lagi mengambil
bentuk universal ,berciri moral, kesetaraan dan dilepaskan dari dorongan
politik. Maka dalam masyarakat
jurnalistik modern upaya terakhir untuk menekan kekuasaan para pemilik modal
media, dalam bentuk perlindungan
asosiasi jurnalistik tidak hanya merefleksikan kebebasan jurnalistik dari
penampakan praktek pengendalian
informasi yang membelokan issu menjadi sarana politik kekuasaan . relasi sosial memperlihatkan dominasi ini.
Asosiasi jurnalistik yang terpadu dalam dewan perss sangat bergantung pada
kemampuan menerapkan kode etik pada anggotanya untuk mengembalikan kesucian hak
milik informasi terhadap dominasi superstruktural pemilik modal dari ideology
politik kekuasaan .
Betatapun demikian perlu juga
diperhatikan bahwa penayangan informasi yang tidak menampilkan semua informasi
tersebut secara seimbang akan memunculkan kebebasan perss dari tekanan massa
merefleksikan kebenaran dari relasi sosial yang korup. Kemampuan sistem hukum
informasi untuk bertahan tanpa hegemoni yang berkaitan dengan pemilik modal
adalah tidak mungkin ,akan tetapi hal ini akan dapat diatasai dengan pencapaian
konsensus antara kaum pekerja (para jurnalis ) yang menampung hak-hak,kekuasaan
dan kepentingan sub ordinat diluar hukum
itu sendiri seperti praktek politik . Sebuah sistem informasi
tanpa sebuah basis kesetaraan
hanyalah dominasi telanjang para pemilik media terhadap kaum pekerja ( kaum jurnalis ) . Perss tidak
hanya sebagai pembawa informasi yang
disokong oleh kekuasaan sosial yang terlembagakan , melainkan juga kekuasaan
sosial yang terlembagakan yang disokong oleh ideology kesetaraan. Dalam hukum
,pekerja ( jurnalis ) dilihat sebagai sebuah kontrak diantara pihak-pihak yang
setara ketimbang kepentingan-kepentingan yang bertentangan dari pihak yang memiliki kekuasaan tidak
setara. Jurnalis tidak perlu menjadikanya sebagai sebuah kredo yang berasal dari luar diri mereka .
Jurnalis dianggap berasal dari pikiran
pengalaman mereka sendiri ketika ia meliput
issu . Informasi juga tidak memaksa kepatuhan yang seragam , tidak
menuntut kepatuhan total ; tapi melengserkan
itu semua, jurnalis akan
berhadapan dengan kemurnian hak milik informasi secara umum terhadap persoalan keadilan dan kesetaraan mendapatkan
informasi . Tugas Dewan Perss berkaitan dengan terror
berita, rasa sakit telinga,dan kematian etika /moral jurnalis , dan kontrol
atas kekuasaan yang sewenang-wenang para pemilik media yang terlibat praktek
politik dan belas kasih terhadap
pendengar, pembaca , penglihat
yang lemah karena tiada pilihan lain selain kehilangan kemurnian hak
milik informasinya, sehingga dengan demikian
jangan sampai Dewan Perss hanya bertumpang dada dan hanya mampu untuk menyembunyikan pelbagai
kepentingan politik.
Relasi juridis antara jurnalis, dan pemilik
modal telah menciptakan orang-orang perss sebagai subjek dan kemudian
mengisolasi individu-individu mereka dalam praktek sosio politik dan ekonomi .
Berdasarkan pandangan ini sebuah informasi akan tersalurkan pada masyarakat
telah membuat pertentangan antara kepentingan pemodal sebagai individu politik
dengan masyarakat yang menerima informasi yang terberi ( gegiven ). Berlandaskan pada isolasi ini yakni isolasi yang
diartikulasikan dan dibentuk didalam relasi juridis , kepentingan praktek
politik, maka setiap issu menjadi bagian dari pembelokan informasi yang telah
memisahkan kemurnian hak informasi , disini terdapat sebuah antinomy
dalam hukum, yang pada akhirnya
informasi akan berubah menjadi - hak melawan
hak. Maka jika antara hak-hak yang sama bobotnya saling berhadapan , kekuatan
kekerasanlah yang menentukan. ( A.A . G Peters ,1985 , hl 46 )