Kamis, 17 Juli 2014

KESUCIAN HAK MILIK INFORMASI SECARA UMUM



         Oleh 
         AGUS PANDOMAN

    Kita mungkin ragu tentang anggapan dan dugaan bahwa informasi hasil penghitungan cepat Pilpres tahun 2014,  yang terkandung didalam tayangan telivisi  begitu saja diterima oleh masyarakat ,tayangan itu memperlihatkan munculnya bukan lagi kesucian hak milik secara umum dan satu-satunya hak milik rakyat  akan tetapi hak informasi secara individual dari para pemilik modal. Kesucian hak Milik Informasi secara umum, adalah hak informasi yang setara dengan bentuk perlindungan atas kebebasan individu dan tekanan massa. Apa yang semula merupakan masalah News berubah menjadi masalah kekuasaan dan kepentingan, kemudian didalam  isi beritanya (informasi )  menjadi persoalan moral antara individu dengan kerumunanan massa. Dan tentu saja secara individu kita bersimpati dengan individu-individu tersebut , lebih-lebih ketika isu penghitungan cepat telah dibumbui dan dibelokan oleh media telivisi yang mendominasi tayangan sebagai hak milik kelompoknya.
        Kebebasan kepemilikan  didalam bisnis media adalah kata kata kunci pesetaraan pemberi informasi  yang berasal dari relasi sosial kapitalis dengan audiens (penerima berita ) yang diwujudkan dalam bentuk media cetak dan telivisi maupun radio adalah bagaimna mengungkapkan , menyalurkan dan menjaga informasi secara setara.Oleh karena itu sangat wajar jika hal ini menjadi idiologi informasi universal. Memang demikianlah cara media bekerja . Informasi memerlukan sarana penyampaian dan terjaga secara setara diantara para individu yang berada dalam suatu temapat dan waktu tertentu yang akan menerima informasi,  sudah semestinya mengandung kesucian moralisasi kepentingan diri yang diungkapkan terhadap informasi tersebut.  News harus   mengklaim diri berkomitmen pada soal kesetaraan  sebagai kesucian hak milik informasi  dan bukan kebebasan para pemilik modal untuk mengembangkan kapital mereka melalui kekuasaan politik  yang memiskinkan hak informasi yang setara
          Keunikan diskursus informasi sekarang ini terhadap hasil penghitungan cepat pilpres tahun 2014  yang berlawanan,  yang ditayangkan oleh media telivisi  yaitu menentukan relasi kekuasaan dalam sebuah hasil pilpres dalam sebuah negara berdasarkan idiologi-idiologi politik kapitalisnya. Bahasa penayangan menunjukan relasi kuasa berdasarkan kelompok idiologi yang terlibat dalam sebuah proses legalitas pemenangnya. Bahasa berita tidak lagi mengambil bentuk universal ,berciri moral, kesetaraan dan dilepaskan dari dorongan politik.  Maka dalam masyarakat jurnalistik modern upaya terakhir untuk menekan kekuasaan para pemilik modal media,  dalam bentuk perlindungan asosiasi jurnalistik tidak hanya merefleksikan kebebasan jurnalistik dari penampakan praktek  pengendalian informasi yang membelokan issu menjadi sarana politik kekuasaan .  relasi sosial memperlihatkan dominasi ini. Asosiasi jurnalistik yang terpadu dalam dewan perss sangat bergantung pada kemampuan menerapkan kode etik pada anggotanya untuk mengembalikan kesucian hak milik informasi terhadap dominasi superstruktural pemilik modal dari ideology politik kekuasaan  .
        Betatapun demikian perlu juga diperhatikan bahwa penayangan informasi yang tidak menampilkan semua informasi tersebut secara seimbang akan memunculkan kebebasan perss dari tekanan massa merefleksikan kebenaran dari relasi sosial yang korup. Kemampuan sistem hukum informasi untuk bertahan tanpa hegemoni yang berkaitan dengan pemilik modal adalah tidak mungkin ,akan tetapi hal ini akan dapat diatasai dengan pencapaian konsensus antara kaum pekerja (para jurnalis ) yang menampung hak-hak,kekuasaan dan kepentingan sub ordinat diluar  hukum itu sendiri seperti praktek politik . Sebuah sistem  informasi  tanpa sebuah basis  kesetaraan hanyalah dominasi telanjang para pemilik media terhadap  kaum pekerja ( kaum jurnalis ) . Perss tidak hanya sebagai pembawa informasi  yang disokong oleh kekuasaan sosial yang terlembagakan , melainkan juga kekuasaan sosial yang terlembagakan yang disokong oleh ideology kesetaraan. Dalam hukum ,pekerja ( jurnalis ) dilihat sebagai sebuah kontrak diantara pihak-pihak yang setara ketimbang kepentingan-kepentingan yang bertentangan  dari pihak yang memiliki kekuasaan tidak setara.  Jurnalis  tidak perlu menjadikanya sebagai sebuah  kredo yang berasal dari luar diri mereka . Jurnalis dianggap berasal dari  pikiran pengalaman mereka sendiri ketika ia meliput  issu . Informasi juga tidak memaksa kepatuhan yang seragam , tidak menuntut kepatuhan total ; tapi melengserkan  itu semua, jurnalis akan  berhadapan dengan kemurnian hak milik informasi secara umum terhadap  persoalan keadilan dan kesetaraan mendapatkan informasi  .  Tugas Dewan Perss berkaitan dengan terror berita, rasa sakit telinga,dan kematian etika /moral jurnalis , dan kontrol atas kekuasaan yang sewenang-wenang para pemilik media yang terlibat praktek politik dan belas kasih terhadap  pendengar, pembaca , penglihat  yang lemah karena tiada pilihan lain selain kehilangan kemurnian hak milik informasinya, sehingga dengan demikian  jangan  sampai Dewan  Perss hanya bertumpang dada dan  hanya mampu untuk menyembunyikan pelbagai kepentingan politik.
           Relasi juridis antara jurnalis, dan pemilik modal telah menciptakan orang-orang perss sebagai subjek dan kemudian mengisolasi individu-individu mereka dalam praktek sosio politik dan ekonomi . Berdasarkan pandangan ini sebuah informasi akan tersalurkan pada masyarakat telah membuat pertentangan antara kepentingan pemodal sebagai individu politik dengan masyarakat yang menerima informasi yang terberi ( gegiven ). Berlandaskan pada isolasi ini yakni isolasi yang diartikulasikan dan dibentuk didalam relasi juridis , kepentingan praktek politik, maka setiap issu menjadi bagian dari pembelokan informasi yang telah memisahkan kemurnian hak informasi , disini terdapat sebuah antinomy  dalam hukum,  yang pada akhirnya informasi  akan berubah menjadi  - hak  melawan  hak.  Maka jika antara hak-hak yang sama bobotnya saling berhadapan , kekuatan kekerasanlah yang menentukan.  ( A.A . G Peters ,1985 , hl 46 )