PROLIFERASI KEKUASAAN SUBSIDI
BBM
Oleh agus pandoman
Pola konsumsi bikin subsidi
membengkak , meskipun kebijakan
pengendalian sudah dilakukan (kompas 4 agustus 2014 ) kocek pemerintah terkuras
500 triliun hanya untuk membeli BBM. Permasalahan subsidi BBM
membelit negeri ini tiada
berkhir , bagai bom waktu yang selalu
mencuat disetiap saat dan terlalu naïf untuk dipikirkan . Mengamati pengaturan kebijakan
subsidi yang terjebak pada pola satu
arah dan satu kekuasaan selama ini hanyalah berkutat pada pada besaran belanja
subsidi yang dirogoh dari kocek APBN, sedangkan saluran dana BBM dan saluran konsumsi
rakyat sebagai pembeli tidak dipertimbangkan.
Volume konsumsi BBM seharusnya setera
dengan penyebaran jumlah kendaraan di masing-masing pemerintah daerah. Penggunaan BBM adalah harus seimbang dengan jumlah pajak kendaraan
yang diperoleh daerah , dengan demikian nilai harga yang di subsidi disetiap
daerah akan berbeda dengan tingkat atau jumlah pajak kendaraan bermotor yang
diperoleh disetiap daerah lainya. sehingaga rumus penggunaan BBM akan diperoleh
( N = k ). Adapun harga BBM dalam arti luas ( Hb ) bila
permintaan sesuai dengan jumlah pajak kendaraan yang diterima , maka keperluan
BBM disetiap daerah akan diperoleh
dengan Hb = N + k. Dengan menggabungkan rumusan tersebut akan
diketahui ratio kebutuhan dana pemerintah daerah untuk belanja BBM ( Pd). Pd/k
= z
Sebaran kendaraan dimasing-masing daerah berbanding
terbalik dengan dana subsidi atau harga
bahan bakar yang dijual disetiap daerah. Sehingga belanja BBM sesuai keperluan
daerah dengan tingkat perolehan pajak kendaraanya. Dengan demikian komposisi bajet (APBN ) pemerintah pusat untuk keperluan pembelian subsidi BBM ke
daerah , sesuai ratio C = 1 / pd/k + z
. maka belanja BBM dari Pemerintah ke Pertamina , kuwotanya dapat dihitung sesuai dengan besaraan kebutuhan di daerah , prosentase subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah akan
mempengaruhi harga BBM bersubsidi dimasing-masing
daerah. Dengan demikian dapat diharapkan akan membangkitkan kesadaran rakyat
atau wakilnya di DPRD di setiap daerah untuk menghitung sendiri berapa
besaran subsidi BBM nya dan berapa harga jual BBM bersubsidi di daerahnya.
Selama ini kebijakan subsidi BBM selalu mengacu pada disparitas
harga antara harga barang subsidi dengan
barang non subsidi . dengan dua disparitas ini prilaku konsumen
sesuai dengan pola ekonomi pembeli ,
yaitu mengkonsumsi barang murah , pelaku ekonomi adalah para penggemar pencari perbedaan harga , mereka akan mencari
BBM dengan harga yang murah . Karakter pelaku ekonomi sebagai konsumen pencari harga murahsangat
diuntungkan ketika keperluan konsumsi BBM menyediakan dua pilihan harga murah
dan harga mahal, ( harga subsidi dan non subsidi ).
Setiap
barang yang dijual yang menyiratkan dua perbedaan harga yang tidak berpencar
pada sisi murah ,sangat murah dan termurah , maka penjual (pertamina) yang nota
bene adalah juga pembeli dari akan
dihadapkan pada persaingan harga yang tidak imbang, pembeli BBM pada dasarnya adalah
rakyat , penjual BBM juga rakyat . barang yang berkait dengan harga jual antara
penjual dan pembelinya bercorak
simbiosis mutualisis. Apakah mungkin
kita mengharap kesadaran rakyat sebagai penjual dan pembeli terhadap propertinya sendiri yaitu BBM untuk
digunakan dengan tidak memboroskan kantong negaranya , sampai dunia kiamat pun tidak ada jaminan
rakyat akan sadar .
Pemerintah sebagai pendistribusi harga jual BBM , sekalipun memenuhi unsur kerakyatan terdapat dua kepentingan .
a.
Kepentingan kegunaan / pemanfaatan
b.
Kebaikan
Antara
“ kebaikan “ dalam bentuk subsidi dan kegunaan dalam bentuk
penggerak mobilitas sarana transportasi
penduduk , adalah sebagai hak konstitusi
rakyat. Karena pasal 33 UUD 1945 telah mengaturnya . Akan tetapi konflik dua
arah ini , selalu muncul karena ada factor ‘ biaya “ pengelohan dan pengelolaan
. untuk dapat memanfaatan hasil dari
sumber daya alamnya rakyat harus menyadari bahwa perubahan bentuk dari sumber
daya alam menjadi BBM, adalah
beban ekonomi rakyat . tidak bisa dilepaskan dengan dimanfaatan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat . menyajikan BBM
untuk rakyat adalah beban rakyat .
Pola kebijakan
subsidi BBM one way , yang selama
ini diterapkan oleh pemerintah, berdampak pada jurang fiskal, antara belanja barang (BBM) dibandingkan dengan pendapatan pajak
kendaraan bermotor, cenderung lebih banyak subsidi dan bahkan semakin membengkak
dimana perhitungan subsidi sebagai
kontraksi beban negara yang digelontorkan
lebih besar dengan target fiskal . Target pengaturan BBM yang disusun oleh
Kementerian ESDM ( term of reference )
pada tahun 2013 -2014 sebagai gambaran volume
konsumsi BBM khususnya premium akan bertambah ditargetkan sampai dengan
9,3 juta KL . Dengan dasar target beban biaya penghematan anggaran subsidi BBM
tanpa memperhitungkan Jumlah kendaraan
,maka alokasi subsidi tidak pernah
memenuhi target penghematan. Dampaknya adalah Pertamina perusahaan minyak dan
gas nasional kerap menderita kerugian pada tahun 2010 Rp 6,9 triliun.
Konfigurasi antara kepentingan rakyat ( konsumen BBM ) dan kebaikan pemerintah (subsidi ) terkesan bernuansa pada pencitraan ,politisi mencermati kenaikan harga dengan
kalkulasi populis yang justru akhirnya menjadi jebakan bangsa menuju ketidak
puasaan terhadap pemerintah, rumusan proliferasi diatas mengkonfirmasi bahwa perhitungan
subsidi BBM harus sebanding dengan tingkat
kebutuhan konsumen setara dengan jumlah pajak kendaraan yang diterima disetiap daerah.
Dengan demikian “kebaikan “
( subsidi) harus setara dengan
kebahagiaan yang diterima konsumen BBM dimana dia telah membayar pajak
kendaraanya. Kewajiban Pemerintah Daerah
lah yang semestinya berkontraksi dengan konsumen BBM (rakyat ) untuk memsubsidi
bahan bakar kendaraan rakyatnya. Sehingga subsidi akan memenuhi sasaran
bantauan pemerintah kepada rakyatnya
sebagai reward karena pajak
kendaraan bermotor yang ia miliki telah dibayar pajaknya. Asumsi perhitungan
misalnya saya pemilik kendaraan motor
roda dua ,pajak kendaraan setiap tahun sebesar Rp 200.000,- maka saya akan
mendapat reward dari Pemerintah daerah
untuk penggunaan BBM kendaraan saya sebesar Rp 20.000 ,-.Akumulasi reward 10 % yang digunakan untuk keperluan mobilitas
rakyat didaerah tersebut.
Harga BBM bersubsidi hanya digunakan oleh kendaraan
berplat daerah dimana kendaraan
tersebut membayar pajak kendaraanya (
STNK ), sedangkan harga bahan bakar
untuk kebutuhan industry adalah menjadi
kewenangan Pertamina ( Pemerintah ). Harga BBM yang dijual pertamina akan mengikuti hukum pasar, dengan demikian Pertamina akan
menerapkan dapat membuat kebijakan pola harga sesuai dengan kwalitasnya ( KW ) , bisa dipecah menjadi Kelompok harga KW1 harga KW2 kelompok harga KW3 dan kelompok
harga KW4. ( bahs jawa ana rupa ana rega
).
Proliferasi
kebijakan subsidi BBM tidak bertentangan
dengan undang-undang otonomi daerah
( UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah ) , karena pada
hakekatnya otonomi daerah adalah pendelegasian kewenangan yaitu memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah, yang memudahkan hubungan dan
siinerji dalam sistem penyelenggaraan pemerintah negara. Maka dana perimbangan sebagaimana yang
dimaksud pasal 159 konklusinya terletak pada bagaimana DAU dimanfaatkan untuk kepentingan
rakyat.
Proliferasi kebijakan harga BBM
oleh Pertamina melalui rumasan BBM
berkwalitas (KW), harus ditopang dengan dua paket
regulasi yaitu pajak kendaraan bermotor
dan regulasi transportasi publik. Karena urusan yang diserahkan daerah, tidak saja otoritas tapi dana yang
disentralisasikan otonomi daerah harus di geneuin kan untuk kepentingan
penggerak ekonomi. Regulasi tersebut harus mengacu kepada manajemen
modern . Menejemen modern yang pernah
dilakukan oleh Tony Blair di Inggris yang mengintroduksi 7 Prinsip: ABCDEFG
yaitu (Doing it (the justice) All together, Better, Cost effectively,
Demovratically, Efeciently, Faster doing it for Government .
Kita bisa belajar dinegara
lain bagaimana sistem pemakaian bahan
bakar yng secara represif diterapkan terhadap kendaraan yang melaju dijalan
raya , Regulasi manjemen dalam rumusan
Tony Blair , kiranya dapat menjadi
pedoman untuk merumuskan kebijakan
proliferasi subsidi BBM ,
sehingga regulasi harus
dikerjakan oleh pemerintah daerah
, untuk menjadi kasanah kelembagaan dalam pengaturan pajak kendaran bermotor
dan transportasi , sehinga manajemen
regulasi kendaraan harus bisa tegas
menentukan pemakaian BBM bersubsidi bagi
kendaraan sesuai dengan jumlah
kendaraan . Proliferasi kekuasaan
subsidi BBM perlu dipikirkan , apalagi
sebagian besar penggunaan BBM
bersubsidi dikonsumsi oleh kendaraan
pribadi, konsekwensi mayoritas pengguna BBM bersubsidi adalah kendaraan pribadi
, maka dengan menggunakan manajemen regulasi modern ABCDEFG harus disiasati dengan jurang harga, yang kemudian
dikembang biakan melalui disparitas harga dalam prototype BBM , dari
sinilah pintu masuk kebijakan
subsidi BBM untuk menentukan harga BBM yang akan dijual kemasyarakat. BBM yang telah disesuaikan dengan kelompok
harga masing-masing peringkat kwalitas
BBM , disajikan kemasyarakat pengguna, maka dengan adanya varian harga yang tidak memakai dua sistem harga , pada akhirnya
pengguna BBM akan menuju pada satu titik
pilihan
“ ana rupa ana rega “.