Kamis, 12 Juni 2014

JUMLAH KERUGIAN NEGARA ANTARA KORUPSI DAN PIUTANG TAK TERTAGIH


PERBANDINGAN JUMLAH KERUGIAN NEGARA DISEBABKAN KORUPS DAN PIUTANG MACET
 
            Kerugian keuangan negara yang dialami Indonesia akibat korupsi sejak tahun 2004 sampai 2012 sejumlah Rp 34,4 triliun. Sementara itu total aset atau kekayaan negara yang berhasil diselamatkan KPK tahun 2011 sebanyak Rp. 152,9 triliun dan total kerugian uang Negara yang berhasil diselamatkan KPK tahun 2011 sebanyak Rp. 134,7 miliyar. Aset/kekayaan negara yang berhasil diselamatkan KPK tahun 2011 sebanyak Rp. 152,9 triliun itu, 99,65 persen berasal dari sektor hulu migas (aset-aset migas milik negara yang tidak pernah tercatat oleh pemerintah), kemudian 0,35 persen dari pengalihan hak barang milik negara. Sementara kerugian uang negara yang berhasil diselamatkan KPK tahun 2011 Rp. 134,7 miliyar berasal dari penanganan perkara tindak pidana korupsi (TPK), uang pengganti, uang rampasan, uang sitaan, penjualan hasil lelang TPK, penerimaan negara bukan pajak dan disetorkan ke rekening kas negara/daerah. Hal tersebut diungkapkan oleh M. Busyro Muqoddas, wakil ketua KPK dalam acara Silaturahim dan Tabligh Akbar Pimpinan Daerah Muhammadiyah Provinsi Jambi di Auditorium RRI Minggu (16/9) juga mengungkapkan, terdakwa yang telah ditangani KPK sejak tahun 2004 sampai Agustus 2012 sebanyak 339 orang, diantaranya; anggota DPR/DPRD 64 orang, menteri/kepala lembaga 6 orang, duta besar 4 orang, komisioner/dosen 7 orang, gubernur 8 orang, walikota/ bupati/wakil 31 orang, eselon I,II,III 103 orang, hakim 6 orang, jaksa 6 orang, swasta 68 orang, lain-lain 35 orang. Menurut Busyro kekayaan Indonesia sangatlah banyak. Tahun 2005 saja sebanyak Rp. 852 Triliun, kemudian tahun 2012 Rp. 3.023,44 Triliun, meningkat 3,5 kali lipat dengan kekayaan bersih mencapai Rp. 1.076,07 triliun.
            Sementara itu potensi kekayaan Indonesia, seperti Indonesia merupakan lumbung energi panas bumi terbesar dunia, kemudian pengekspor terbesar rotan, penghasil LNG terbesar dunia, produsen timah terbesar dunia, produsen tembaga ketiga dunia, produsen emas kedelapan dunia, produsen kopi terbesar ketiga dunia dan produsen kakao ketiga dunia. Sementara itu kondisi Indonesia berbanding terbalik dengan kekayaan yan dimilikinya. Saat ini sekitar 84 penduduk Indonesia setiap malam masih dirundung kegelapan, kemudian 35,6 persen konsumsi energi dinegeri ini sangat tergantung pada BBM, angka kemiskinan 30,02 juta jiwa. Tidak hanya itu, hutang luar negeri per November 2011 mencapai Rp 1.816,85 triliun dan harus membayar bunga hutang Rp 115,21 triliun dalam APBN 2011 dan 3,8 juta hektar hutan di Indonesia rusak setiap tahunnya.
1.      Jumlah Kerugian Negara dari Piutang Negara Perbankan ( Kredit Macet Bank Milik Negara )
Kredit Macet Bank RI Capai Rp 33 Triliun di 2011 naik 17%. Bank Indonesia (BI) mencatat hingga akhir 2011 jumlah kredit macet perbankan mencapai Rp 33,401 triliun. Jumlah ini naik 17,64% dibandingkan akhir 2010 yang sebesar Rp 28,396 triliun. Demikian terungkap dari data statistik perbankan yang dikutip detikFinance dari Bank Indonesia (BI), Kamis (16/2/2012).
Meskipun begitu, khusus untuk bulan Desember 2011 saja, nilai kredit macet perbankan di Desember 2011 turun Rp. 3,603 triliun dibandingkan November 2011 yang nilainya Rp. 37,004 triliun. Berdasarkan data BI tersebut, total jumlah kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) dari perbankan per akhir 2011 mencapai Rp. 52,527 triliun, naik tipis dari posisi di akhir 2010 yang sebesar Rp. 52,794 triliun. Rasio NPL perbankan di akhir 2011 mencapai 1,53%. Sampai akhir 2011 jumlah kredit yang dikucurkan perbankan Indonesia mencapai Rp. 2.200,094 triliun. Kredit ini naik dibandingkan di 2010 yang nilainya Rp. 1.765,845 triliun.
Dari total kredit tersebut, sebanyak Rp.
2.067,704 triliun  masuk  kategori  lancar.
Sementara Rp. 7,407 triliun masuk kategori kurang lancar, lalu Rp. 6,887 triliun masuk kategori diragukan, dan Rp. 33,401 triliun masuk kategori macet. Bank yang menguasai kredit terbesar hingga November adalah Bank Umum Swasta Nasional Devisa senilai Rp. 922,541 triliun, bank BUMN Rp. 776,833 triliun, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Rp. 175,702 triliun, bank asing Rp. 136,486 triliun, bank campuran Rp. 120,389 triliun, dan Bank Umum Swasta Non Devisa Rp 68,143 triliun.
Berikut posisi jumlah kredit macet perbankan:
- Bank BUMN Rp. 15,4 triliun
- Bank Umum Swasta Nasional Devisa Rp. 11,275 triliun
- Bank Pembangunan Daerah Rp. 2,494 triliun
- Bank Asing Rp. 2,296 triliun
- Bank Campuran Rp. 1,196 triliun
- Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa Rp. 741 miliar.

PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA PERBANKAN



 PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA PERBANKAN

            Penyelesaian piutang negara perbankan adalah kebijakan penegakan hukum penagihan piutang negara tak tertagih yang disebabkan oleh kredit umum dan kredit khusus (likuiditas) bermasalah dari bank-bank milik negara dan Bank Indonesia[1] yang berpotensi merugikan negara[2], untuk itu diperlukan penyelesaian secara efektif dan efisien.
            Piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan peraturan, perjanjian atau sebab apapun.[3] Dengan demikian dari pengertian tersebut piutang negara dapat dikelompokkan menjadi dua jenis piutang negara,  yaitu  piutang negara perbankan dan piutang negara non perbankan.
Piutang negara perbankan, yaitu piutang yang berasal dari Bank Indonesia dan bank-bank yang dimiliki pemerintah pusat seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Negara Indonesia (BNI 46), Bank Mandiri, dan bank-bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah seperti, Bank Pembangunan Daerah (BPD).[4] Hingga saat ini piutang negara perbankan  masih banyak yang belum diselesaikan. Hambatan penyelesaian piutang negara perbankan ini disebabkan lemahnya penegakan hukum, sehingga sangat berpengaruh terhadap faktor efektifitas dan efisiensi.
Penyelesaian piutang negara yang semula dilaksanakan melalui lembaga khusus seperti PUPN dan BPPN, pada saat ini dapat ditempuh melalui beberapa jalur hukum antara lain melalui Panitia Urusan Piutang Negara atau Badan Penyelesaian Utang dan Lelang Negara (PUPN/BPULN), melalui Peradilan Umum, Peradilan Niaga, dan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (mediasi & negosiasi). Jalur-jalur penyelesaian yang dipilih tersebut  menjadi  tidak efektif  karena kemungkinan putusannya sulit dieksekusi, serta tidak efisien karena proses litigasinya berjalan lamban, lama, mahal dan berbelit-belit.[5]
Pada akhir September 2012 Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelesaian piutang kredit macet bank badan usaha milik negara (BUMN) dapat dilakukan secara langsung atau bernegosiasi dengan debitur tidak perlu lagi penyelesaian piutang itu melalui PUPN, Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh tujuh debitur PT BNI (Persero)  uji materi ini terhadap pasal 4, pasal 8 dan Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) menyatakan bahwa piutang Badan Usaha Milik Negara adalah bukan piutang negara. Putusan MK  bukan hanya sebagai titik tolak, tetapi juga sebagai tonggak petunjuk telah melampaui hak konstitusi rakyat, dan juga menimbulkan konsekuensi serius tentang “makna dan hakikat” piutang negara perbankan karena keputusannya tidak konsisten (inkonstensi).[6]
Pada masa sebelum krisis moneter tahun 1997/1998, penyelesaian piutang negara dilaksanakan melalui badan khusus, yaitu PUPN.[7] Pada saat krisis moneter 1997/1998  dibentuk badan khusus baru, yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).[8] Tujuan dibentuknya lembaga superbody ini adalah agar penegakan hukum penyelesaian piutang negara dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.[9]
Lemahnya penegakan hukum penyelesaian piutang negara perbankan setelah reformasi bagi bank-bank BUMN bersumber dari Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara sebagai revisi atas  Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebut bahwa piutang BUMN dan BUMD adalah bukan piutang negara.[10] Hal ini menimbulkan kontradiksi dengan Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 yang menyebut kredit macet bank-bank  BUMN dan BUMD  adalah piutang negara.[11]
Perbedaan penyelesaian piutang negara yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 menyebabkan penyelesaian piutang negara perbankan yang dihadapi Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tabungan Negara tidak bisa dilaksanakan secara efektif.[12]
Penyelesaian piutang negara secara efektif dan efisien adalah menjadi sangat penting. Menurut Philippe Nonet-Philip Selznix, kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum  (penagihan piutang negara) harus sepenuhnya ditegakkan melalui kekuasaan yang diberikan pada suatu lembaga yang memiliki kewenangan tunggal (khusus) untuk mengurus dan menyelesaikan piutang negara. Penegakan hukum penyelesaian piutang negara perbankan selama ini terjadi persinggungan (overlapping) pelaksanaan tugas dan wewenang dalam upaya penagihan piutang negara.
Kewenangan PUPN/BUPLN (sekarang DJPLN) dan Kejaksaan yang juga mempunyai wewenang untuk melakukan penagihan terhadap piutang negara, penegakan hukum yang demikian adalah tidak efektif karena berpotensi menambah beban kerugian negara, sebagaimana kasus gagal bayar kredit likuiditas Bank Indonesia yang diselesaikan oleh Kejaksaan Agung, sampai sekarang belum terselesaikan karena sisa piutang yang belum dibayar oleh obligor harus ditagih dengan upaya hukum lainnya.[13]
Selain penyelesaian piutang negara perbankan terjadi overlapping, muncul pula konsep regulasi yang belum sepenuhnya menggunakan asas sub-ordinat, sebagai prinsip dasar penagihan piutang negara, dan ternyata menyimpan sejumlah masalah besar dalam segi penegakan hukum. Asas yang demikian sangat diperlukan selain dapat dipandang sebagai indentifikasi prompter treatment,[14] juga dapat dipandang sebagai quasi judicial settlement,[15] yang mempunyai ciri-ciri pokok, memberikan kekuasaan dan kewenangan pada pemerintah untuk melakukan penagihan piutang negara  secara efektif dan efisien.     
Apabila penagihan piutang negara perbankan dapat diukur melalui efektifitas penegakan hukum, persoalan ini bisa didekati dengan kajian hukum responsif. Ciri yang bisa dikenali dari teori hukum responsif adalah bahwa penyelesaian secara efektif dan efisien tergantung pada keadaan yang dihadapi, dan pada banyak hal harus dianggap sebagai wilayah terpisah antara dua keadaan, yang dapat diurutkan sebagai berikut :
a.       Apabila tindakan tersebut terjadi dalam keadaan darurat yang dirasakan secara luas, seperti dalam  situasi  krisis moneter atau situasi sejenis, maka tindakan harus dengan model hukum represif, yaitu dibuat suatu peraturan perundang-undangan yang didalamnya mengandung unsur-unsur hukum materiil[16] dan unsur-unsur hukum formil[17], dan dilaksanakan oleh suatu badan khusus yang diberikan kekuasaan dan legitimasi penuh oleh negara (lembaga superbody), kedudukannya  setara  dengan  pengadilan  (quasi judicial treatment).
b.      Apabila yang dihadapi dalam keadaan normal, maka tindakan yang diperlukan dalam penegakan hukum adalah penegakan dengan model hukum otonom (prosedural) dan penegakan dengan model hukum responsif. Penegakan dengan model hukum otonom ialah penagihan piutang negara perbankan diselesaikan dengan mekanisme prosedural melalui pengadilan, sedangkan penegakan hukum responsif adalah penegakan hukum  yang hanya berfungsi untuk mengejar tujuan (porpusing[18]), yaitu dengan mekanisme penyelesaian internal (di luar pengadilan), atau  dinegosiasikan kembali dengan debitur seperti memberikan pengampunan bagi para obligor dengan kebijakan Release and Discharge, dinegosiasikan dengan cara-cara menyusun kembali perjanjian, misalnya dengan restrukturisasi, yaitu perubahan syarat-syarat kredit seperti penjadwalan kembali (resecheduling) dan persyaratan kembali (reconditioning), penghapusan (writeoff)  atau  dengan  pengimpasan  pinjaman (set off ).
Karakteristik teori hukum Philippe Nonet-Philip Selznick adalah sejalan dengan pandangan teori hukum ekonomi (Pareto Efficiency) yang mengindikasikan bahwa sistem hukum pada saatnya akan dihadapkan pada situasi dimana tiada seorangpun dapat membuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk.[19] Pendekatan konsep teori hukum ekonomi ini dapat disinkronisasikan dengan konsep sistem Piramida Keadilan Terpadu/SPKT (Integrated Justice System Pyramid) yang merupakan suatu konsep solusi hukum untuk menemukan keseimbangan antara keadilan bersifat retributive, distributive, dan komulatif.  Konsep SPKT mengusulkan perubahan kebijakan hukum dalam penegakan hukum yang melibatkan sektor swasta yang menekankan kepada pendekatan yang moderat terhadap bank badan usaha milik negara (BUMN) atau Bank Indonesia, untuk mengkaji perundang-undangan administratif  yang memiliki ketentuan pidana seperti Undang-Undang Perbankan. dan Bank Indonesia.[20]
Konsep tersebut di atas dapat digunakan sebagai landasan teori dalam kajian hukum piutang negara mengenai persoalan kebijakan penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia terhadap penyelesaian piutang negara perbankan,  apakah  dapat  diselesaikan  secara  efektif  dan efisien.
Sebelum mengidentifikasi efektifitas pola penyelesaian piutang negara perbankan yang berpotensi merugikan negara, terlebih dahulu harus dapat memahami proses perkembangan penegakan hukum penyelesaian piutang negara yang pernah dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam kurun waktu tahun 1998 sampai dengan tahun 2012 (masa pemerintahan Presiden Habibie sampai dengan pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono).
Pada awal masa reformasi tahun 1998 (masa pemerintahan Presiden Habibie) banyak terjadi kemacetan penyelesaian piutang negara perbankan. Pada masa ini kebijakan penegakan hukum penyelesaian piutang negara diselesaikan sebatas kesulitan likuiditas.  Mekanisme penyelesaian piutang negara perbankan dilaksanakan melalui dua mekanisme  penegakan hukum, yaitu dengan mekanisme PUPN dan mekanisme penyelesaian melalui  BPPN yang mengikuti prosedur dalam masa krisis.[21]
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dikeluarkan Keputusan Presiden atau Keppres Nomor 84 Tahun 2001 yang antara lain mengatur pembentukan Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) sebagai pengganti BPULN dan tidak mengubah secara substansial mekanisme pengurusan piutang negara, tetapi hanya mengganti nama lembaga BUPLN menjadi KP2LN dan hanya menekankan  pentingnya  aspek “pelayanan dalam pengurusan piutang negara.
Oleh karena itu, praktis lembaga ini tidak efektif dalam penyelesaian piutang negara perbankan. Sedangkan mekanisme penegakan hukum yang dilaksanakan melalui BPPN, hanya digunakan dalam mekanisme perlindungan hukum pengusaha besar pengemplang (wanprestasi) BLBI. Hal ini tercermin dari penegakan hukum penyelesaian piutang negara perbankan yang disebabkan oleh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dimana lembaga PUPN yang diberlakukan, tapi tidak difungsikan maksimal. Sedangkan bentukan lembaga khusus yang lainnya, yakni Badan Penyelesaian Perbankan Nasional (BPPN) tidak didukung oleh legislasi yang kuat, sehingga penggunaan lembaga ini kurang efektif dapat menyelesaikan Piutang Negara Perbankan.[22]
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati penyelesaian piutang negara perbankan lebih banyak mengedepankan negosiasi dengan debitur atau obligor melalui  mediasi terutama terhadap penyelesaian piutang negara BLBI, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 2002 dan lebih dikenal dengan istilah Inpres tentang R & D atau Release and Discharge, mekanisme ini menerapkan pengampunan” bagi yang dapat melunasi  dan  penyanderaan”, dengan ancaman penjara terhadap mereka yang tidak dapat  memenuhi  skema  perjanjian  MSAA dan MRNIA.[23]
Inpres ini sangat kontroversial, sehingga menimbulkan gerakan penolakan terhadap Inpres 2 Tahun 2002 oleh Koalisi Tolak Pengampunan Konglomerat Pengemplang Utang[24]. Mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Langkah mereka juga mendapat dukungan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tanggal 26 Februari 2003 yang mengajukan juga judicial review kepada Mahkamah Agung. Permohonan itu akhirnya ditolak oleh Mahkamah Agung pada tanggal 3 Mei 2006. Dengan ditolaknya permohonan uji materi ini menurut YLBHI penyelesaianmelalui R&D sangat merusak rasa keadilan, sebab para konglomerat telah jelas melanggar ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Perbuatan ini merupakan tindak pidana perbankan yang dapat diancam pidana kurungan.[25]
Pada era pemerintahan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono,  penyelesaian piutang negara perbankan (penyelesaian piutang macet di Bank BUMN) tidak lagi diselesaikan melalui “Mekanisme Negara” (melalui PUPN), tetapi harus diselesaikan melalui “Mekanisme Korporasi” (tanpa melalui PUPN) berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU  Nomor 40 Tahun 2003 tentang BUMN, dan Peraturan Perundang-undangan  di  Bidang  Perbankan.
Penyelesaian piutang negara perbankan yang dilakukan pemerintahan presiden SBY pada dasarnya lebih mengedepankan kebijakan “pengampunan sebagai upaya penyelamatan kredit pada bank-bank BUMN, yaitu dengan program restrukturisasi dan penghapusan kredit, dan apabila penyelamatan kredit ini tidak berhasil, maka penyelesaian piutang negara perbankan melalui jalur pengadilan, arbitrasi, penyerahan kredit macet melalui kejaksaan dan penyerahan pengurusan kredit macet melalui BUPLN/PUPN.[26]
Pemberlakuan PP Nomor 14/2005 dan PP Nomor 3/2006 dalam praktiknya mengalami hambatan terutama masih kuatnya pemahaman aparat penegak hukum yang menganggap piutang perusahaan negara atau piutang BUMN adalah bagian tak terpisahkan dari piutang negara. Pemahaman ini masih melekat selama 51 tahun, yaitu sejak pemberlakuan UU 49/Prp/1960.
Pada bulan September tahun 2011 pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)[27] dan sampai saat ini belum disahkan. Akan tetapi, konsep dasar pembuatan RUU tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah ternyata tidak menganut asas kewenangan tunggal, berbeda dengan UU tentang PUPN. Badan ini memiliki kewenangan tunggal untuk menyelesaikan seluruh piutang negara, baik perbankan maupun non perbankan.  Pada RUU tentang  Piutang Negara dan Piutang Daerah, badan khusus yang dibentuknya yang diberi nama Pejabat Pengurus Piutang tidak  berhak  mengurus  piutang  negara lainnya.[28]
 Pada RUU tersebut, piutang negara dibedakan menjadi tiga dan pengurusannya juga berbeda-beda[29]. Di sisi lain,  konsep dasar RUU ini telah terjadi pergeseran terhadap asas sub-ordinat sebagai prinsip hukum piutang negara perbankan,[30] berubah menjadi asas keseimbangan atau kedudukan yang sama antara kreditur dan debitur. Oleh karena itu, penyelesaian piutang negara perbankan di dalam konsep hukum RUU ini, tidak lagi berdimensi hukum publik melainkan  tunduk  pada  hukum  privat.
Konsep Piutang negara pada RUU tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah, hanya ditunjukkan pada tagihan terhadap penghasilan negara bukan pajak (PNBP), sedangkan penyelesaian piutang negara perbankan diselesaikan melalui mekanisme korporasi. Substansi hukum demikian akan menjadi rumit berbelit-belit, tidak efektif dan efisien, bila dihadapkan pada kondisi krisis. Sebagaimana pada kasus gagal bayar BLBI tahun 1997/1998 dan pada kasus Bank Century, meskipun telah banyak dikeluarkan kebijakan pemerintah,  persoalan ini tak kunjung selesai.[31]
Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam dua mekanisme penegakan hukum,  yaitu  mekanisme represif  dan  mekanisme responsif.
a.       Mekanisme penegakan hukum represif,  penyelesaiannya melalui badan khusus atau lembaga superbody  (seperti  PUPN dan BPPN).
b.      Mekanisme penegakan hukum responsif, penyelesaiannya melalui eksternal, yaitu pengadilan atau secara internal, yaitu bernegosiasi dengan debitur untuk  penataan kembali (restrukturisasi), penghapusan piutang (write off), dan pengimpasan  (set off ).
Fakta dan problem hukum inilah yang menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia terhadap penyelesaian piutang negara perbankan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, maka dengan menggunakan sudut pandang mekanisme penyelesaian tersebut di atas, penegakan hukum dapat dinilai dengan menggunakan parameter; tindakan represif atau tindakan responsif,[32]  karena menurut pandangan teori hukum responsif  yang dikemukakan oleh Philippe Nonet-Philip Selznick meskipun kondisi dan situasinya berbeda akan tetapi karena tujuan utama penegakan hukum adalah ketertiban , maka yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar  ketertiban  harus  dimenangkan.


[1]Kredit bermasalah dari Bank Indonesia seperti Pemberian kredit Likuiditas/Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.  
[2]Bandingkan jumlah kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi dengan  kredit bermasalah dari bank BUMN dan Bank Indonesia, Jumlah uang yang di korupsi periode 2004 – 20012 berjumlah Rp 39,3 Triliun (sumber data dari Komis Pemberantasan Korupsi diambil dari harian Kompas tanggal 5 Desember 2012), sedangkan  Kredit Bermasalah Bank  Persero BUMN dari Tahun 2007 – Pebruari 2012 , utang yang hapus buku Rp 90 Triliun, total  kredit  bermasalah  Rp 119.2 triliun dengan perincian sebagai berikut, Tahun 2007 berjumlah Rp 23,1, Tahun 2008 jumlah Rp 17,6 Triliun, Tahun 2009 Rp 18,8 Triliun, Tahun 2010 Rp 18,0 triliun , Tahun 2011 jumlah Rp 19,8 Triliun, Tahun 2012 Rp 21,9 Triliun. Jumlah kredit yang disalurkan Rp 767.5 Triliun. (sumber data dipetik Bank Indonesia yang dimuat di harian kompas tanggal 22 Oktober 2012) kemudian kredit bermasalah yang belum dapat diselesiakan dari Bank Indonesia adalah Dana Talangan Bank century Rp 6,7 triliun dan  Beban biaya penyelesaian BLBI Rp 650 triliun, total dana talangan kasus BLBI berjumlah Rp 80 Triliun Melihat jumlah kerugian negara berdasarkan data-data tersebut ternyata jumlah kerugian negara lebih banyak disebabkan oleh kredit/piutang negara perbankan dibandingkan uang negara yang dikorupsi,

[3]Republik Indonesia,” Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUNP ) Pasal 8 dan penjelasannya. Dengan piutang negara dimaksudkan utang yang :
a.       Langsung terutang kepada Negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah .
b.       terutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagaian atau seluruhnya milik negara, misalnya Bank-Bank Negara, PT-PT Negara, Perusahan-Perusahaan Negara. Yayasan Perbekalan dan Persediaan, Yayasan Urusan Bahan makanan dan sebagainya. Utang pajak tetap merupakan piutang negara, akan tetapi diselesaikan tersendiri dengan Undang-undang Peradilan Panagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa. 
[4]Piutang negara non perbankan berupa tagihan-tagihan dari lembaga atau instansi atau badan pemerintah pusat dan daerah selain bank seperti tagihan macet dari departemen dan lembaga non departemen atau dinas daerah selain bank seperti tagihan PLN, TELKOM, Pegadaian, dan lain sebagainya termasuk tuntutan ganti rugi.  
[5] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Cet. 3, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 430
[6]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  023/PUU-IV/2006, Piutang  Bank BUMN adalah Piutang Negara.
[7]Undang-Undang nomor 49/ Prp /1960 tentang  Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) serta Keppres Nomor 21 Tahun 1991 Tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)
[8]  Sesuai rumusan pasal 37 A Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan .
[9]Pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sebenarnya lebih efektif dan efisien dibandingkan melalui pengadilan.Muhamad Djafar Saidi, Hukum& Keuangan Negara, (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada,2011),h. 136
[10]Fatwa Mahkamah Agung WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006
[11] Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan bisa dilihat dalam putusan mahkamah Agung No 1144 K/Pid /2006, sebagai berikut :
-  Meskipun Bank Mandiri merupakan PT.Terbuka, tetapi secara struktural, Bank Mandiri tetap sebagai sebuah Persero yang menjadi ciri bahwa bank Mandiri adalah milik negara. Perubahan-perubahan kepemilikan saham ,apalagi saham negara menduduki jumlah terbesar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (posisi dominan), sama sekali tidak mengurangi status hukum Bank mandiri sebagai BUMN yang mengelola kekayaan negara. Dalam status yang demikian ,direksi atau setiap orang yang bekerja pada Bank Mandiri demikian pula BUMN lainnya, tidak semata-mata melakukan fungsi keperdataan, tetapi juga fungsi publik yang menjalankan tugas pemerintahan pada Bank Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal itu secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti Bank Mandiri, berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan ,sehingga kepada mereka dapat dilakukan ketentuan-ketentuan mengenai  penyelenggara pemerintahan seperti ketentuan  tentang pemberantasan korupsi.
- Seperti dikemukakan ,sebagai BUMN ,Bank Mandiri mengelola kekayaan negara sebagai pengelola kekayaan negara, maka tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh direksi atau pegawai Bank mandiri, yang merugikan atau dapat merugikan Bank Mandiri ,dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, karena telah menimbulkan kerugian atau dapat merugikan negara yaitu kekayaan negara  yang dikelola Bank Mandiri.
[12]  PP 14/2005 tidak secara jelas mencantumkan pola pelunasan kredit macet apakah dengan cara cash settlement atau asset settlement, akan tetapi pola ini belum bisa dilaksanakan, sehinggga rencana Bank-Bank BUMN & BUMD untuk menghapus tagih (hair cut) kredit macet senilai total Rp 45,5 Triliun belum bisa terlaksana dikarenakan pemerintah sampai saat ini belum juga mengajukan amandemen Undang-Undang Nomor 49/Prp/ Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara  (sumber  tweet share)

[13]Menurut keterangan Wakil  Jaksa Agung  16 obligor  belum dapat menyelesaikan piutangnya kepada pemerintah  dengan alasan  karena Menteri Keuangan tidak memberikan kuasa kepada Kejaksaan Agung untuk menggugat para obligor maka perkara ini tertunda, kejaksaan baru melakukan penyidikan terhadap yang bertanggung jawab. "Bisa jadi direksi (bank) dan group head-group head yang memberikan kredit, melakukan analisa, sampai memberikan putusan pemberian kredit bermasalah itu," katanya. Kasus lainnya adalah kredit macet pada bank mandiri Dia menolak menyebutkan para tersangka. Sebab, kejaksaan masih bekerja di awal tahap penyelidikan. Pengucuran kredit itu tidak saja terjadi di Bank Mandiri pusat. Namun juga di daerah. Sebab itu, kejaksaan akan memeriksa Bank Mandiri di Jakarta, Pekanbaru, dan Medan. Kejaksaan, tengah menuntaskan kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap bank-bank yang tidak kooperatif. Selama ini, kejaksaan sudah menindaklanjuti penyidikan dengan membawa bank itu ke pengadilan. "Namun, ada juga karena kebijakan pemerintah maka dihentikan penyidikannya,. Akibatnya, dari puluhan bank yang dibantu, kini tinggal menyisakan 16 debitur yang akan dilakukan penyelidikan, penyidikan dan dibawa ke pengadilan. Selain Bank Mandiri ada 16 bank yang tengah diteliti kejaksaan. Antara lain ; Bank Central Dagang, Bank Pelita, Bank Deka, Bank Pinaesaan, Bank Centris Internasional, Bank Indonesia Raya, Bank Intan, Bank Pesona Kriya Dana, Bank Tata, Bank Anrico, Bank Dwipa Semesta, Bank Guna Internasional, Bank Industri, Bank Pasific, dan Bank Majapahit
(Koran Sindo terbitan 14 Juni 2012 dan berita  RCTI  jam 17 tanggal 14 juni 2012 )
[14]Pola penanganan piutang negara yang secepat-cepatnya.
[15]Tindakan-tindakan yang dapat dipaksakan melalui penggunaan kekuasaan negara (title eksekutorial)
[16]Unsur hukum materiil atau yang mengatur hubungan antara manusia, yaitu  yang mengatur siapa yang bertanggung jawab, bentuk apa, tugas yang harus dikerjakan dan apa yang menjadi wewenang
[17]Unsur hukum formil atau yang mengatur tata cara penegakan dari hukum materil dari undang-undang ini menyangkut isi dan tugas yang diurus dalam bentuk apa dan bagaimana cara pengurusanya . dipandang dari segi pembentukannya memiliki arti formil yaitu dibentuk oleh ekskutif bersama legislatif , juga harus mempunyai arti materiil, yaitu berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah.
[18]Pengertian purposing adalah orientasi kepentingan atas dasar asas keseimbangan yang cara penyelesaiannya diatur oleh undang-undang tersendiri.
[19]Konsep Pareto effeciensy merupakan gambaran yang paling tepat tentang suatu keadaan dimana kesusksesan atau kegagalan penagakan hukum dapat diukur  lewat  effeciency dampak-dampak yang dihasilkan oleh kebijakan  Dampak-dampak itu tidak diukur semata-mata secara empiris saja, melainkan harus berdasarkan  sebuah kriteria teoritis. Berdasarkan teori hukum responsif,  penegakan hukum  yang efektif, adalah  berdasar kepada optimalisasi otoritas dan legitimas untuk mencapai tujuan , bila penegakan hukum  melalui   prosedural  (model hukum otonom) keadilan bisa menjadi lambat dan tidak efisien. Dengan adanya  aspek paksaan (represif)  dari kekuasaan negara, maka  kegagalan pasar / gagal bayar dalam kredit bermasalah)dapat ditangani secara efisienkarena  negara bisa bertindak untuk menghasilkan keuntungan bagi negara  dengan mengorbankan kepentingan  kelompok lain.
 lihat James Coporaso dan David P Livine dalam Theory of Political Economy,Cambridge 1992 , diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Suraji dengan judul Teori-Teori Ekonomi Politik,(Pustaka Pelajar, 2008), h. 232.
[20]George P Fletcher , Basic Concept of Legal Thought “ Oxford University Press 1966, hal 80-81 dipetik dari Romli Atmasasmita ,Globalisasi Kejahatan Bisnis ,Kencana Jakarta 2003 hlm 150.
Konsep keadilan  retributive menetapkan bahwa semua orang memperoleh keadila yang sama dan tidak ada satupun  yang dibedakan dengan orang lain. Konsep keadilan distributive menetapkan bahwa ,keadilan hanya dapat diwujudkan jika proses perbuatan harus diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan tingkat keseriusan dan akibat dari kejahatan yang bersangkutan. Konsep keadilan komulatif yang berlaku dalam hukum keperdataan yang menitik beratkan kepada itikad baik dari para pihak , bahwa para pihak harus melaksanakan perikat hukum  yang telah disepakatinya secara baik da jujur . Konsep keadilan ini menghendaki adanya pola penyelesaian hukum yang bersifat “pemulihan hubungan hukum “ antara para pihak.  
[21]Pada masa pemerintahan transisi Presiden BJ. Habibie ditandai dengan munculnya lembaga BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 dan keberadaan BPPN juga diperkuat dengan Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998. Mekanisme penyelesaian piutang negara perbankan oleh  BPPN adalah dengan hapus tagih (peraturan khusus yang mengatur hapus tagih pada bank BUMN pada masa ddiskon kepada pihak lain (umumnya kepada perbankan nasional yang telah disehatkan oleh BPPN) BPPN memang diberi kewenangan yang sangat luas untuk melakukan penyehatan pertbankan  nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Keppres 27/1998.

[22]Sesuai dengan Pasal 37 ayat (3) UU 10/1998 badan khusus (BPPN) juga memiliki kewenangan sebagaimnana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1)–(3). Kemudian Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999, tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai aturan pelaksana UU Perbankan 10/1998 ayat (9) memuat ketentuan pokok tentang Tata Cara Penagihan PiutangBankDalam penyehatan, Tata Cara PenyertaanModal untuk Sementara, pendirian dan pembubarannya serta Tata Cara Program Penyehatan Perbnkan Nasional. kemudian pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, penegakan hukum penyelesaian piutang negara juga hanya berlandaskan Keputusan Presiden (Keppres) yaitu Keppres Nomor 84 Tahun 2001.

[23]Kebijakan Penyelesaian Piutang Negara BLBI ini akhirnya bermuara pada penyelesaian keperdataan, dimana pemerintah tidak melakukan tuntutan pidana kepada para banker, yang dapat mengembalikan seluruh hutangnya yang timbul dari penyaluran BLBI, kemudian diadakan kesepakatan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan Debitur dengan membuat Master Setlement Acquisition Agremeent (MSAA) dengan klausula hukumnya yang dinamakan Release and Discharge, yaitu pembebasan dari tuntutan pidana, sedangkan kepada Debitur yang asetnya tidak mampu memnuhi kewajibannya dibuat kesepakatan Master Refinancing and Note Issuances Agreement (MRNA), dimana pihak Debitur harus menyerahkan asetnya jika nantinya aset yang sudahdiserahkan tersebut ternyata tidak mencukupi atau dibawah kewajibannya. Dengan skema pembayaran hutang seperti ini, maka sudah dapat diduga bahwa penggelembungan nilai asset sangat merajalela terjadi sangat mencolok mata.Anehnya, halseperti ini dibiarkan oleh pemerintah meskipun hal tersebut terjadi didepan mata. Lihat Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatami Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya, 2004), h. 113.
[24]Koalisi Tolak Pengampunan Pengemplang Utang ini adalah organisasi non pemerintah yang terdiri atas Teten Masduki (ICW), La Ode Ida (Wakil Ketua Perhimpunan Masyarakat Transparansi Anggaran Indonesia), Vony Reyneta (Direktur Yayasan LBH Apik Jakarta), Longgena Ginting (Direktur Eksekutif Walhi), Asmara Nababan (Direktur Ekskutif Perkumpulan Demos), Kamarudin Hidayat, Faisal H Basri, Hidayat Nurwahid, Imam Sugema, Nursahbani Kantjasungkawa, Meilono Soewondo, Azas Tigor Nainggolan, Monica Tanuhandaru, Nasir Syafrie dan Dadi Krismantoro.
[25] 3 hingga 6 tahun serta denda Rp 5 milyar hingga Rp 8 milyar berdasar Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 (Pasal 11, Pasal 49 ayat 2 huruf b dan Pasal 50).

[26]Dasar hukum penyelesaian piutang negara perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah :
-          fatwa Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 , dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka Undang-Undang Nomor 1 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 49/Prp/Tahun 1960 tentang PUPN tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. ,kemudian  MahkamahAgung  menyatakan PP 14/2005 tentang Tata Cara Pengahapusan Piutang Negara/Daerah dapat dilakukan perubahan sepenuhnya.
-          PP Nomor 33/2006 yang mulai berlaku 6 Oktober 2006. Dengan diterbitkannya peraturan ini, maka penegakan hukum dalam penyelesaian piutang negaraperbankan  dikembalikan kepada hukum privat tidak lagi melalui lembaga khusus akan tetapi dilakukan  secara internal perbankan yaitu dengan cara Restrukturisasi dan PenghapusanKredit Macet.[26]
[27]Amandemen Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang PUPN
[28] RUU tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah mendefinisikan Piutang Negara adalah jumlah uang  yang  wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan /atau  hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian dan akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah. Sedangkan yang dinamakan piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah daerah dan/atau hak pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian ,akibat lainnya berdasarkan  peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah. 
[29] - Pengurusan piutang negara dan piutang daerah tidak termasuk pengurusan piutang negara dan piutang daerah yang cara penyelesaianya diatur dengan undang-undang tersendiri.
    - Pengurusan piutang badan hukum yang cara penyelesaianya diatur dalam undang-undang pembentukanya.
    -  Pengurusan piutang negara dan piutang daerah dilakukan terhadap piutang yang telah macet dan diserahkan pengurusanya kepada Pejabat Pengurusan Piutang.
[30]kedudukan kreditur bank BUMN lebih tinggi daripada debitur 
[31]Menurut Daud Yusuf, kebijkan-kebijakan yang dihasilkan oleh elite politik sekarang  ini adalah kebijakan-kebijakan yang dangkal  karena gagal memahami secara komprehensif akar persoalan , kebijakan yang mereka haslkan tidak lebih dari sekedar “respon terhadap gejala yang ada.  Salah satu candu dari para elite politik kita adalah “ urgensi “semua dianggap kekinian, mereka menderita mipio waktu akibatnya menimbulkan “Tirani Urgensi. Keterbelahan ekstrim anatara paradigma pemerintah dan masyarakat mengenai penyelesian kasus-kasus besar seperti BLBI dan Bailout Bank Century dipicu oleh  kultur elite yang gemar akan tindakan dadakan. Dan dihinggapi politik transaksional demi previlese ekonomi dan politik jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan jika hasilnya “ sakdadine (asal jadi) bukan strategi jangka panjang dengan seluruh kalkulasi resikonya. dipetik dari Sunardi Rinarit , Tahun Perburuan – Analisa Politik ,Kompas 17 Januari 2012
[32]Dalam teori efisiensi pareto, negara sebenarnya tetap bisa bertindak untuk mengahasilkan keuntungan bagi kepentingan kelompok (masyarakat) dengan mengorbankan kelompok lain (para obligor)