POLITISASI KONSTITUSI PIUTANG NEGARA
Oleh
Agus
Pandoman
ABSTRAK
Eksistensi
kesetaraan piutang negara dengan
piutang swasta , ketika berada pada
ranah politik , berpengaruh terhadap pengembalian utang, karena memori pemberi
utang (kreditur ) lebih baik dari pada memori penghutang (debitur), debitur
pada dasarnya ingin melupakan utang tapi kreditur tidak bisa melupakan utang .
Perlakuan yang sama (kesetaraan ) dimuka
hukum dalam memori yang berbeda , dan dalam status yang berbeda , adalah sebuah realitas berbeda , ketika realita
itu berada didalam eksistensi politik , realita itu bukanlah suatu kasus tapi realita
itu adalah bargaining “kamu mau apa
saya dapat apa “
Piutang negara hakekatnya adalah piutang rakyat , maka rakyat lah yang
berhak menangih , perlakuan setara
dimuka hukum, yang merupakan bagian
dari hak konstitusi warga negara ,
akan menjadi realita yang sama dimata
hakim MK , ketika seorang warga negara berhutang pada Bank
milik Negara (BUMN) /uang milik negara
, sedangkan seorang warga negara
lainnya berhutang pada bank milik
swasta, bila kedua-duanya menimbulkan
kasus gagal bayar atau gagal
mengembalikan pinjamannya . frasa pasal
yang manakah yang hendak MK letakan pada konstitusi terhadap kedudukan warga negara setara
dimuka hukum, ketika peristiwa hukum itu terjadi. Siapa menagih siapa.
Realitas Konstitusi setiap
warga negara mendapat perlakuan yang sama dimuka hukum. Perlakuan yang sama ,
ketika ada hubungan hukum , demikian halnya hubungan hukum antara kreditur dan
debitur yang bersumber dari perjanjian kredit. Manakala debitur wanprestasi,
perlakuan setara dimuka hukum adalah suatu yang mustahil “ utang harus dibayar
“ realitas - paradok “utang tidak dibayar “ paradok
lainnya yaitu utang
uang pada bank milik negara
dengan utang uang bank milik swasta , paradok seterusnya kejahatan
terhadap uang milik negara
dengan kejahatan uang milik swasta.
Penghapusan beberapa pasal Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan
MK, bertendensi prilaku
obligor pengemplang utang negara menyepelekan uang negara , padahal uang
negara hakekatnya adalah uang rakyat.
Rakyat tidak berhak menagih uang yang dipinjamkanya bagai film
transformer “ berubah …… !
Kredit
bermasalah bank milik negara tidak lagi diserahkan pada Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN ), restrukturisasi kredit dan pengahpusan hutang /hair
cut menjadi kewenangan masing –masing bank, banyak pihak
berkepentingan ketika penyelesaian kredit bermasalah, restrukturisasi dan penghapusan
hutang , didesain kembali oleh Mahkamah
Konstitusi[1]
Putusan
ini dalam banyak hal patut direspon positif ,tetapi dalam hal lain mendatangkan
tanda tanya lebih lanjut. Mengapa
peraturan perundang-undangan sebelumnya ( UU PUPN dan Peraturan Pemerintah No 33/2006
tentang Penghapusan Piutang
Negara/Daerah ) yang sudah membicarakan kewajiban-kewajiban pertanggungjawaban kepada rakyat , dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undag Dasar 1945 ? Celah
peraturan yang sepintas kecil itu pada akhirnya memunculkan bukan hanya
konsekkuensi politis konstitusi , yang rumit , melainkan juga sedimentasi konseptual Undang-Undang Dasar 1945 , pasal 28 D ,
terdistrosi oleh gagasan politis dari para debitor Bank Milik Negara (7 pemohon adalah debitor Bank Negara
Indonesia ) , gagasan politis
pemohon sebagai berikut
“ bahwa demi terpenuhinya hak konstitusi
para pemohon dan para debitor lainya agar mendapat perlakuan yang sama ,serta
kepentingan masyarakat dunia yag berhubungan langsung dengan perbankan dalam
hal ini bank BUMN , yang sudah terpuruk karena krisis moneter/ekonomi yang
mungkin jumlahnya mencapai ratusan ribu, dan demi bangkitnya kembali
perekonomian nasional ,demi terciptanya lapangan kerja baru, demi menggeliatnya
dunia usaha serta demi adanya pertumbuhan ekonomi yang dapat
meningkatkan pendapatan nasonal maupun pendapatan negara dari sektor pajak ,
juga agar bank-bank BUMN ( bank Badan Usaha Milik Negara ) dapat
mempunyai kebebasan dalam hal penanganan piutang perseronya guna menyelesiakan piutang bermasalahnya. Menurut para debetor itu bahwa faktor
penghambatnya adalah pasal 4, pasal 8,
pasal 10, pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49/Prp Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara ( PUPN )[2].
Para
debitur BUMN , berkeyakinan kalau frasa
–frasa yang dimaksudkan didalam pasal-pasal
itu dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan tidak mengikat
debitor Bank BUMN , akan dapat memulihkan hutangnya melalui
retrukturisasi atau dengan
penghapusan hutang ( hair cut ).
Dan apakah keniscayaan yang digambarkan oleh para debitor itu bahwa ekonomi Indonesia akan bangkit, dapat membuka lapangan pekerjaan baru,
menggeliatnya dunia usaha dan meningkatkan pendapatan nasional ( Pendapat ini sebgai dalil pemohon yang
diajukan ke MK, dipetik dari Putusan MK .), benar-benar akan terjadi ?adalah sangat paradoksial.
Gagasan
paradok diatas akan berdampak buruk bagi desain piutang negara,
padahal setiap perubahan norma hukum perlu
pemikiran yang kokoh , serta visi yang jelas,
terutama terhadap penegakan hukum penyelesaian atau penyelamatan kredit bermasalah pada
bank milik negara. Konsekuensi dari perbedaan “ differance “ adalah kehadiran
yang kita pikirkan tidak pernah tampil dalam bentuk esensi atau substabsi tetap
. Ia terus bergerak dalam rangkaian atau sistem tanda yang merujuk pada tanda
lain dalam permainan,substitusi ,permiutasi dan seterusnya . Jadi satu teks
selalu berhubungan dengan teks lain, dan teks lain berhubungan dengan teks lain
lagi ,begitu seterusnya .[3]
“ Istilah ini sebenarnya pertama kali diperkenalkan oleh Julia
Kristeva , seorang pemikir poststrukturalis Perancis dalam bukunya Revolution
in Poetic Langguange Dan Desire in Langgunage : A Smeotic Approach to Literatur
and Art . Dalam kedua buku ini Kristeva membawa istilah inter tektualitas sebagai sebuah
konsep kunci dari paham posy-struktualis yang sekaligus menentang model
berfikir struktur ,sinkronkronik dan bersistem dari paham strukturalis .
Istilah ini merupakan perkembangan dari istilah dialogis (dialogsm) dari
Mikahail Bakhtin seorang pemikir kebangsaan Rusia “
Ironisnya
,pragmatisme dan politis inilah yang terjadi, Kenapa urusan NPL bank dijadikan kambing
hitam Restrukturisasi dan hair cut yang dikaitkan dengan pasal
5,6,7, dan pasal 8 Undang-Undang Nomor 49/Prp/Tahun 1960 . Pemikiran yang pragmatis
,hanya memenuhi kebutuhan sesaat, akan
menyandera penegakan hukum penyelesaian piutang negara perbankan. Reformasi hukum dibidang keuangan negara dan badan
usaha milik negara yang tak didasari
pemikiran jagka panjang serta dilandasi pemikiran konseptual –fundamental
tentang eksistensi uang negara macam apa
yang dapat mensejahterakan rakyat indonesia dan masa depan kedudukan hukum uang negara diberbagai perusahaan milik negara
baik di perbankan dan non perbakan, menjerumuskan reformasi penyelesaian hukum
piutang negara tak tertagih pada bank milik negara hanya , sekedar mempolitisasi
piutang negara ,sehingga para penghutang
( debitor-debitor nakal / obligor nakal
), banyak ruang untuk tidak membayar hutangnya.
I.
Makna
Piutang negara pada Badan Usaha Milik Negara.
Politisasi
konstitusi pada piutang negara nampak dari cara pertimbangan hukum putusan Mahkamah
Konstitusi,
1.
Makna
kontradiktif
Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU
1/2004),pengertian piutang negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 6UU 1/2004 yang menyatakan, “Piutang Negara adalah jumlah uang yang
wajibdibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang
dapatdinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya
berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang
sah”.Dengan demikian, piutang negara hanyalah piutang Pemerintah Pusat
dan/atauPemerintah Daerah, sehingga tidak termasuk piutang badan-badan usaha
yangsecara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk dalam hal
inipiutang Bank BUMN. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli Pemerintah yaitu Mariam Darus [4] yang menyatakan bahwa dengan adanya undang-undang no
10 tahun 2000 telah terjadi perubahan pengertian
tentang piutang negara yaitu piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar
kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak PemerintahPusat yang dapat dinilai dengan
uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnyayang sah, sehingga piutang
badan atau BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara. Hal
yang sama dikemukakan oleh ahli Pemerintah yaitu Darminto Hartono yang
pada pokoknya menyatakan bahwa yang disebut piutang BUMNyang dalam hal ini Bank
Negara Indonesia adalah piutang perseroan terbatasBUMN atau piutang swasta yang
dibedakan dengan piutang negara atau piutang publik. Menurut ahli
tersebut, klasifikasi utang atau piutang BUMN adalah piutang dari perseroan,
sehingga mekanisme penyelesaiannya mengikuti mekanismeperseroan dalam hal ini
dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk polahair cut,
konversi, maupun rescheduling
Berdasarkan
uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah berlakunya
UU 1/2004, UU BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang
harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang Bank-Bank BUMN dapat
diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan
prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN. Bank BUMN sebagai
perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang
dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan
pengurusan piutang masing-masing Bank bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank
yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN.
Pemilihan
alasan-alasan pertimbangan diatas menunjukan distorsi pemikiran dan konsep
parsial tentang makna ,peran dan fungsi PUPN
, tidak bertambah baik bahkan bertentangan ( kontradiktif ) denganputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 023/PUU-IV
2006,
“ bahwa sebenarnya ketentuan yang tercantum dalam pasal 12 Ayat (1) UU PUPN
yang berbunyi –Instansi –instansi Pemerintah dan Badan-Badan Negara (adalah
komponen badan-badan negara, yang dapat
melaksanakan kontrol yang sangat minim ( yaitu pengelolaan keuangan negara atas
pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan itu - doktrin Conseil d’Etat- ) yang dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan
piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada Panitia
Urusan Piutang Negara “ sudah cukup
“ , sebab berarti tidak boleh diserahkan kepada pihak ketiga.
2. Makna Tidak Taat Asas
Konsep
pertimbangan hukum MK menafsirkan penyelesian
piutang negara perbankan ( bank BUMN ), terdapat dua aturan yang masih
berlaku yaitu UU Nomor 49 /1960 tentang PUPN
dan, UU Nomor 1 /2004 jucto UU
BUMN dan UU PT,sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip konstitusi . Demikian juga dengan adanya ketentuan
penyerahan piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan diserahkan ke PUPN,
menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitor bank BUMN dan debitor Bank
selain BUMN sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang terkandung
dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Selain itu berdasarkan prinsip bahwa
undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama ( lex
posteriori derogat legi priori ) dan peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan yang lebih rendah ( Lex
superioriderogat legi inferiori ).
Dalam
pertimbangan hukum diatas, patut direspon , karena MK menggunakan dua prinsip undang-undang ,
yang diterapkan akan tapi tidak taat asas
:
a. Lex
posteriori derogat legi priori , diterapkan pada eksistensi Undang-Undang yag
bersifat khusus yaitu UU No 49 /Prp/ 1960 terhadap Undang-Undang Yang berlaku umum seperti UU PT
, UU Keuangan Negara , UU BUMN dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
b. Lex
Superiori derogat legi inferiori , diterapkan pada eksistensi undang-undang
yang berlaku umum yaitu UU nomor 1 /2004 terhadap peraturan dibawah
undang-undang yaitu berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Pengahapusan Piutang Negara /Daerah sebagaimana telah diubah dengan
peraturan pemerintah Nomor 33/Tahun 2006, tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah sepanjang menujuk pelaksanaan UU nomor 49/prp/tahun 1960.
Bahwa Doktrin hukum “Undang-Undang yang bersifat khusus
menghapuskan undang-undang yang bersifat umum
( Lex Specialis derogat legi generali ), ternyata telah dilanggar oleh
Mahkamah Konstitusi :
Undang
– Undang tentang PUPN adalah bersifat khusus,
sedangkan UU Keuangan Negara, UU
perbendaharaan Negara, UU BUMN, UU Perseroan Terbatas adalah bersifat sejajar
dengan prinsip Undang-Undang yang baru menghapuskan undang-Undang yang lama , tafsir semcam ini
bertentangan dengan doktrin hukum, yang berakibat fatal terhadap pertanggung
jawaban atas dasar persamaan hak dari setiap anggota masyarakat dihadapan
hukum. UU Keuangan Negara , UU
Perbendaharaan Negara, UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, memang adalah Undang-Undang yang Baru , akan
tetapi semua undang-undang itu termasuk dalam rumpun undang-undang yang
bersifat umum, sedangkan Undang-Undang
Nomor 49/Prp/1960 tentang PUPN, memang
benar usia undang-undangnya lebih tua atau undang-undang lama, akan tetapi undang-undang ini masuk dalam
rumpun undang-undang bersifat khusus.
Pandangan
seperti ini meremehkan keberadaan UU PUPN
, apabila ingin menggunaka doktrin hukum “ Lex Posteriori Derogat Legi Priori “ maka harus sudah ada Undang-Undang yang
sifatnya sama ( bersifat khusus ) tapi usianya lebih muda dengan UU PUPN ,
Alangkah lebih bijak bila Mahkamah Konstitusi ingin menggunakan doktrin
hukum “ Lex Posteriori derogat legi priori , semestinya Pak Mahfud MD dan
kawan-kawan, mau bersabar menunggu
selesainya pembahasan amandemen UU PUPN di DPR . Anggap saja seperti kita melihat pesawat
tempur Angkatan Udara Indonesia, kata
orang Malaysia “ Biarkan pesawat itu berlalu jangan ditembak nanti juga jatuh
sendiri.[5]
Selain
itu ,salah besar menimpakan segala persoalan kredit macet yang terjadi pada
para debitor diakibatkan oleh adanya UU
PUPN ini. Sehingga hukum yang sudah ada harus mengorbankan dirinya demi
kepentingan politis sesaat yaitu
restrukturisasi dan penghapusan hutang debitor. Tampaknya jalan-jalan inilah
yang saat ini sedang dilakoni oleh para obligor dan penghutang uang negara yaitu meminta
desain penyelesaian kredit bermasalahnya di samakan dengan debitor bank
milik swasta.
Desain
penyelesaian kredit bermasalah yang dibidani
Mahkamah Konstitusi tidak bervisi jauh kedepan tentang bagaimana
ketertiban hukum penyelesaian hutang para obligor dan kredit bermasalah bank
milik negara dimenangkan oleh negara, sehingga uang negara yang sudah
dikuras oleh para debitornya dapat ditarik kembali secara cepat efektif
dan efisien . Grafik dari harian kompas tanggal 22 oktober 2012 menggambarkan jumlah terakhir kredit
bermasalah dari bank BUMN sebesar Rp
767,5 Triliun , Utang Yang hapus buku Rp 90 triliun dan ada yang off balansheet di Bank Mandiri
Rp 24 triliun di PUPN Rp 8 triliun ,jadi totalnya Rp 32 triliun ) . Bandingkan
dengan jumlah uang negara yang dikorupsi ternyata lebih besar dengan jumlah kredit
bermasalah yang dilarikan oleh para debitor-debitor nakal, yang sulit sekali ditagihnya .
Putusan Mahkamah Konstitusi telah
menempatkan “ makna” (signifikansi) Piutang negara perbankan ( bank BUMN ) pada jaringan makna yang ia bentangkan
sendiri.Menurut pendapat Gertz , Jika
kita ingin melakukan apa yang ingin dilakukan oleh subjek hukum (para debitor
bank “pesero “ BUMN ), yaitu ingin menjelaskan keberadaanya /eksistensinya (
sebagai debitor bank BUMN ), seharusnya harus menggambarkan apa yang dimaksud
oleh undang-undang,bukan dengan apa yang sebenarnya terjadi pada subjek hukum (
debitor ).
Apa yang sebenarnya terjadi pada debitor (
Pemohon hak uji materi ) dengan apa yang sebenarnya dimaksud undang-undang
,adalah dua variabel “ keberadaan hukum ( eksistensi ) pemohon dan keberadaan
hukum ( eksistensi ) undang-undang yang
dapat menuntun kearah pemahaman “makna “ prinsip –prinsip umum peraturan per
undang-undangan. Prinsip-prinsip ini menggambarkan sebuah karakter
undang-undang. Misanya Undang-Undang
yang lebih kuat , undang-undang yang lebih lemah, undang-undang yangbersifat
khusus, undang-undang yang bersifat umum, undang-undang yang lama dan undang yang baru. Menurut Vander Viles
L.C bahwa suatu regulasi /putusan uji materi perlu memperhatikan asas-asas
pembentukan peraturan yang baik, yaitu berupa asas penting dalam mewujudkan
kepastian hukum antara laian :
1.
Lex Superiori Derogat
Legi Inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatanya mengalahkan peraturan perundang-undangan lebih rendah.
2.
Lex Posteriori Derogat
Legi Priori, peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan
perundang-undangan yang lama.
3.
Lex Specialis Derogat
Legi generali , peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengalahkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
II.
Eksistensi
Piutang
Negara
Eksistensi sebagai debitor bank milik negara , adalah
keberadaan ( pemohon ) dalam ruang dan waktu norma itu berlaku. Yaitu ketika
dia berstatus sebagai debtor bank BUMN ,
bukan debitor pada umumnya. Persoalan yang diajukan oleh debitor adalahbahwa
pemohon ( debitor Bank BUMN ) mendapat perlakuan yang berbeda ( diskriminatif
), mengenai Restrukturisasi dan Penghapusan hutang, yang ia bandingkan ketika eksistensi
/keberadaannya sebagai debitur bank milik perorangan/swasta. Restrukturisasi
dan Haircut Bank BUMN diatur melalui
Kebijakan Pemerintah sedangkan
Restrukturisasi dan Haircut Bank Non BUMN melalui kebijaksanaan
masing-masing bank. Inilah pemicu adanya pelanggaran hak konstitusi para
debitor bank BUMN sebagaimana hak konstitusinya yang diberikan dalam pasal 28 D
Undang-Undang Dasar 1945 .
Dalam batas
Penalaran yang wajar dua eksistensi (
debitor Bank BUMN dan Non BUMN ) yang berlainan dalam status yang sama (
sama-sama debitor ) mendapat perlakuan berbeda perihal restrukturisasi dan
Haircut, bilapun ada upaya perlakuan hak
konstitusi yang sama, tapi karena
keberadaan yang berbeda , Siapa
yang dapat disalahkan ; norma ataukah
keberadaan orang itu.
a.
Eksistensi sebagai
debitor Bank milik Negara dan eksistensinyasebagai debitor Bank milik
swasta , adalah fakta yang tak
terbantahkan, adagium hukum mengatakan “ Res Ipsa Loquitor “ faktanya telah berbicara sendiri. Contoh lainnya tentang fakta yang tak terbantahkan yaitu : frasa “ Pegawai “ , pegawai negeri dan pegawai
swasta walapun kedua-duanya pegawai , tapi eksistensinya berbeda , keberlakuan
hukumnya berbeda , masing-masing tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang
berlaku khusus, Bila pegawai negara
diberi gaji ke 13 ,selaanjutnya ada tujuh orang
pegawai swasta mengajukan permohonan ke pada Mahkamah Konstitusi dengan dalaih adanya perlakuan yang berbeda /
diskriminasi , apakah dapat dikatakan
bahwa hak konstitusinya dilanggar sebagaimana hak konstitusinya yang
ditetapkan dalam pasal 28 D ayat (1) yang menyebutkan “ setiap orang berhak
atas pengakuan,jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
b.
Hak konstitusi pasal 28
D UUD 1945 , yang disebutkan diatas ,
dimaksudkan oleh konstitusi dalam
kapasitas sebagai orang dan keberadaaanya (eksistensi) didalam hukum
. yang tidak bisa dilepaskan dari asas hukum Res Ipsa Loquitor, Demikian halnya dengan badan usaha milik
negara ( BUMN ) badan ini dilahirkan dan
didirikan oleh Negara, sedangkan badan usaha milik perorangan
dilahirkan dan didirikan oleh
orang-orang , ditinjau dari Hak kepemilikan dan hak waris atas harta kekayaannya satu sama
lainnya berbeda. Hak kepemilikan dan hak waris atas harta kekayaan BUMN adalah
Rakyat Negara Republik Indonesia , berbeda jauh
dengan hak kepemilikan dan hak waris atas harta kekayaan badan usaha
milik swasta yang dimiliki oleh perorangan.Keberadaan (eksistensi ) kedua subjek itu adalah sebuah fakta hukum yang tidak
terbantahkan.
c.
Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusisebagai
berikut :
“ Menimbang bahwa berdasrkan uraian diatas
,dalam penyelesian piutang bank BUMN ,masih terdapat dua aturan yang masih
berlaku yaitu UU Nomor 49 /1960 dan UU
Nomor 1 /2004 jucto UU BUMN dan UU PT,sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi . Demikian juga dengan
adanya ketentuan penyerahan piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan diserahkan
ke PUPN, menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitor bank BUMN dan
debitor Bank selain BUMN sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang
terkandung dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Selain itu berdasarkan prinsip
bahwa undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama ( lex
posteriori derogat legi priori ) dan peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan yang lebih rendah ( Lex
superioriderogat legi inferiori ).
d.
Dalam pertimbangan
hukum diatas, ada dua prinsip undang-undang yang diterapkan akan tapi tidak
taat asas :
c.
Lex posteriori derogat
legi priori , diterapkan pada eksistensi Undang-Undang yag bersifat khusus
yaitu UU No 49 /Prp/ 1960 terhadap Undang-Undang
Yang berlaku umum seperti UU PT , UU Keuangan Negara , UU BUMN dan
Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
d.
Lex Superiori derogat
legi inferiori , diterapkan pada eksistensi undang-undang yang berlaku umum
yaitu UU nomor 1 /2004 terhadap peraturan dibawah undang-undang yaitu
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengahapusan Piutang Negara /Daerah sebagaimana telah diubah dengan peraturan
pemerintah Nomor 33/Tahun 2006, tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah sepanjang menujuk pelaksanaan UU nomor 49/prp/tahun 1960.
Bahwa
Doktrin hukum “Undang-Undang yang bersifat khusus menghapuskan
undang-undang yang bersifat umum ( Lex Specialis
derogat legi generali ), ternyata telah dilanggar oleh Mahkamah Konstitusi :
a. Undang
– Undang tentang PUPN adalah bersifat khusus,
sedangkan UU Keuangan Negara, UU
perbendaharaan Negara, UU BUMN, UU Perseroan Terbatas adalah bersifat umum.
b. Bila Penegakan hukum penyelesian piutang
negara ( UU PUPN bersifat khusus ) disejajarkan dengan prinsip Undang-Undang
yang baru menghapuskan undang-Undang
yang lama , tafsir semcam ini bertentangan dengan doktrin hukum, yang berakibat
fatal terhadap pertanggung jawaban atas dasar persamaan hak dari setiap anggota
masyarakat dihadapan hukum.
Bahwa UU Keuangan Negara , UU Perbendaharaan
Negara, UU BUMN, UU Perseroan Terbatas,
memang adalah Undang-Undang yang Baru , akan tetapi semua undang-undang
itutermasuk dalam rumpun undang-undang yang bersifat umum,sedangkan Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang
PUPN, memang benar usia undang-undangnya
lebih tua atau undang-undang lama, akan tetapi undang-undang ini masuk dalam
rumpun undang-undang bersifat khusus.
Penalaran hukumdalam
kasus ini, apabila ingin menggunakan
doktrin hukum “ Lex Posteriori Derogat Legi Priori “ maka harus sudah ada Undang-Undang yang
sifatnya sama ( bersifat khusus ) tapi usianya lebih muda dengan UU PUPN ,
Jadi kalau Mahkamah Konstitusi ingin menggunakan doktrin hukum “ Lex
Posteriori derogat legi priori , semestinya Pak Mahfud MD dan kawan-kawan, mau bersabar menunggu selesainya pembahasan
amandemen UU PUPN di DPR. Anggap saja seperti kita melihat pesawat tempur
Angkatan Udara Indonesia, kata orang
Malaysia “ Biarkan pesawat itu berlalu jangan ditembak nanti juga jatuh
sendiri.
III.
Kontradiksi Tafsir Makna
“frasa “ Undang-Undang.
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
adalah sebagai berikut :
1. Frasa
“atau Badan-badan
Negara”
yang dimaksud dalam Pasal 8 peraturan ini “dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 1960, tentang Panitia Urusan Piutang Negara (
Lembaran Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2124 ) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Frasa “atau
Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 ) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
3. Frasa “atau
Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 )
adalah bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
4. Frasa “atau
Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 )
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5. Frasa “atau
Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara”
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 ) adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
6. Frasa “atau
Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara”
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor terhadap
7. Frasa “dan
Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 )
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
8. Frasa “dan
Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 )
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa konteks “ makna “ pada frasa-frasa yang disebutkan diatas , secara tegas oleh
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX /2011 dinyatakan : “ bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 “. Putusanini
sangat kontradiktif dengan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 023//PUU-IV /2006 tanggal 20 Desember
tahun 2006 , dalam pertimbangan hukumnya menyatakan :
“ bahwa sebenarnya ketentuan yang
tercantum dalam pasal 12 Ayat (1) UU PUPN yang berbunyi – Instansi –instansi Pemerintah dan Badan-Badan Negara[6]
yang dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan
piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada Panitia
Urusan Piutang Negara “ sudah cukup
“ , sebab berarti tidak boleh diserahkan kepada pihak ketiga.
Putusan mahkamah Konstitusi Nomor
023/PUU-IV/2006 , secara tegas menyatakan
bahwa frasa-frasa yang disebutkan diatas “ sudah cukup “ makna ini dapat
disimpulkan bahwa frasa-frasa itu tidak bertentangan dengn Undang-Undang Dasar
1945.
Aspek hukum lainya yang perlu
mendapat pehatian dari pembuat undang-undang ( Pemerintah dan DPR ) sehubungan
dengan putusan yang kontradiktif ini
adalah mengenai hal-hal sebagai berikut :
1. Terlepas
dari kaitan logika hukum Mahkamah
Konstitusi , bahwa frasa-frasa ini bertentangan Undang-Undang Dasar 1945, namun realita
empirisnya keberadaan frasa-frasa
ini adalah sejalan dengan doktrin hukum yang benar, yaitu doktrin Conseil d’Etat ( kekuasaan khusus yang diberikan oleh undang-undang ), yaitu
kekuasaan di bidang program perluasan ekonomi, pengelolaan keuangan negara,
yang penggunaan dan pemanfaatanya demi kesejahteraan rakyat, kekuasaanya dengan
batas-batas yang pasti. Doktrin hukum ini adalah bagian dari konsep hukum
tentang penegakan hukum yang efektif dan efisien terhadap perbuatan-perbuatan hukum berpotensi
merugikan keuangan negara. Persoalan Restrukturisai dan Penghapusan
hutang , tidak dapat dilepaskan dari konteks perbuatan hukum yang berpotensi
merugikan negara. Verifikasi faktual terhadap debitor yang berhak mendapatkan Restruturisasi dan
Penghapusan hutangnya, tidak diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing bank
BUMN , akan tetapi dengan kebijakan pemerintah, oleh karena itu dikeluarkanlah
kebijakan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaiman telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara
/Daerah .
2. Makna“
frasa-frasa “ diatas adalah
penegasan “ integritas “ negara
terhadap harta kekayaan negara yang berupa “ uang “ yang berada dan dikelola oleh badan-badan
tersebut diatas adalah sebagai perlindungan hak konstitusi rakyat terhadap
kegunaan dan manfaat pengelolaannya , yaitu untuk kesejahteraan rakyat, bukan
kesejahteraan para debitornya, putusanMahkamah Konstitusi nomor 023/PUU-IV/2006
membenarkannya, akan tetapi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX 2011 justru menafsirkan sebaliknya, dan
putusan ini mengingkari fakta empiris yang
tak terbantahkan.
3. Penegaskan
tentang “integritas “ negara
atas kekayaanya, baik yang berada di badan-badan/badan-badan
negara atau baik secara langsung dan
tidak langsung dikuasai negara , Konsekwensi apa yang terjadi pada pemohon dengan apa yang
dimaksud oleh undang-undang, bukan suatu sintesa dua varibel yang dapat
menggambarkan secara mendalam telah terjadi pelanggaran hak konstitusinya .
4. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 023/PUU-IV/2006 tanggal 20 Desember 2006 Dalampertimbangan hukum point ke 5 mengatakan
:
“ Bahwa meskipun UU PUPN tidak berntangan dengan UUD 1945(huruf tebal dari penulis ),tetapi
karena raison d’etre dan suasana kebatinan UU PUPN sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan sekarang ,sebagimana diakui sendiri oleh pemerintah , maka
Mahkamah berpendapat bahwa pembentuk undang-undang perlu segera melakukan
pembaharuan atas UU PUPN dimaksud agar tertib hukum berdasarkan UUD 1945
tertata dan terjamin konstitusionalnya.[7]
5. Kasus
uji materi Nomor 77/PUU-IX/2011 dan
Nomor 023/PUU-IV/2006
tentang hak konstitusional
sebagaimana diatur dalam pasal 28 yaitu
pemohon minta perlakuan yang sama dihadapan hukum dantidak boleh ada perlakuan diskriminatif , keduanya adalah
persoalan tentng keberadaan hukum .
6. Para Pemohon dalam perkara Nomor
77/PU-IX/2011 adalah para debitor Bank BUMN,
sedangkan Perkara Nomor 023/PUU
para pemohonnya ialah
pengacara/advokat , akan tetapi nasibnya berbeda yang satu bernasib baik
permohonannya dikabulkan sebagaian ,sedangkan kelompok pengacara/advokat
bernasib sial permohonannya ditolak
7.
Para pemohon debitor Bank BUMN mengajukan argumennya yang cukup baik (argumen
poin 42 ) , sebagai berikut
“ bahwa demi
terpenuhinya hak konstitusi para pemohon dan para debitor lainya agar mendapat
perlakuan yang sama ,serta kepentingan masyarakat dunia yag berhubungan
langsung dengan perbankan dalam hal ini bank BUMN , yang sudah terpuruk karena
krisis moneter/ekonomi yang mungkin jumlahnya mencapai ratusan ribu, dan demi
bangkitnya kembali perekonomian nasional ,demi terciptanya lapangan kerja baru,
demi menggeliatnya dunia usaha serta
demi adanya pertumbuhan ekonomi
yang dapat meningkatkan pendapatan nasonal maupun pendapatan negara dari sektor
pajak , juga agar bank-bank BUMN ( bank Badan Usaha Milik Negara ) dapat
mempunyai kebebasan dalam hal penanganan piutang perseronya guna menyelesiakan piutang bermasalahnya.
Faktor penghambatnya adalah pasal 4,
pasal 8, pasal 10, pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49/Prp Tahun 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( PUPN ).Sehingga para pemohon ( debitur
BUMN ) berkeyakinan kalau frasa –frasa yang dimaksudkan didalam
pasal-pasal itu dihapuskan oleh Mahkamah
Konstitusi dan dinyatakan tidak mengikat debitor Bank BUMN , akan memulihkan
hutangnya melalui retrukturisasi
atau dengan penghapusan hutang ( hair cut ). Menurut
asumsi para pemohon , kalau itu dilakukan oleh bank BUMN , niscaya ekonomi Indonesia akan bagkit, dapat membuka lapangan pekerjaan baru,
menggeliatnya dunia usaha dan meningkatkan pendapatan nasional ? alahualam
.
IV.
Sistem
Penegakan Hukum Piutang Negara.
Undang-Undang Nomor 49/Prp tahun
1960 adalah sebagai suatu sistem penegakan hukum yang mengakui suatu badan khusus ( PUPN ), Identik dengan badan khusus lainya seperti
KPK, konsep hukum dilahirkannya badan
khusus ini (PUPN ) berpegang pada
prinsip undang-undang yang bersifat “ lex spesialis “, dalam kontek penegakan hukum
piutang negara . Penagihan hutang-hutang tak tertagih dari badan-badan
/badan-badan negara yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh
negara, membutuhkan instrumen tindakan hukum yang dapat melakukan penyelesaian secara efektif dan efisien. Dalam kajian hukum responsif menurut pendapat
Philippe Nonet -Selznick , instrumen tindakan hukum untuk dapat melakukan penyelesian secara efektif
dan efisien , dapat ditempuh melalaui :
1. Tindakan
hukum represif ( dibuat suatu undang-undang yang bersifat khusus yang
mengandung unsur hukum materil dan hukum
formil, dan penyelesiannya melalaui badan khusus ) .
2. Tindakan
hukum otonom atau prosedural, yaitu
semua penyelesaian hutang tak
tertagih harus melalaui pengadilan .
3. Tindakan hukum responsif yaitu dengan cara bernegoisasi atau
dinegoissasikan kembali seperti Restrukturisasi/ Hair Cut melalui kebijaksanaan
yang berlaku dimasing-masing bank .
Akan tetapi pilihan tindakan - tindakan hukum itu menurut
Nonet tergantungpada konteks , dan kondisi
negara . Ketika kondisi negara dihadapkan pada kredit macet dan kasusu gagal
bayar pada bank BUMN berpotensi
merugikan negara, maka yang diperlukan oleh pemerintah adalah sebuah badan
khusus yag dapat menyelesiakan secara efektif dan efisien.
V.
Diskripsi
Putusan Mahkamah Konstitusi.
Mengutip pendapat Geertzs sebagai
“deskripsi yang mendalam “ ( thick description ) kita tidak boleh menggambarkan
apa yang sebenarnya terjadi tapi apa yang dimaksudkan oleh orang (
undang-undang ) dengan apa yang terjadi[8]
.Contoh tentang Piutang negara didalam undang-undang nomor 49 tahun 1960 (
undang-undang bersifat khusus ) dimaksudkan adalah piutang negara perbankan dan
non perbankan.Yang satu tak memliki arti apa-apa, kecuali bank milik negara
yang lain memiliki arti banyak ( Piutang Pertamina, Piutang PLN , Piutang Telkom dll ). Adalah penting
untuk diperhatikan bahwa ketika kita berbicara tentang “ makna “ terhadap suatu
frasa , menurut pendapat Geertz, sebagian besar orang teringat pada sesuatu
yang sangat pribadi – suatu ide didalam ketentuan perundag-undangan, tidak ada
yang betul-betul selera pribadi, . Oleh
karena itu ,kita harus memahami bahwa piutang negara perbankan adalah konteks
“makna “ perundang-undangan yang harus dipahami bersama sebagai undang-undang yang
bersifat khusus, bukan sesuatu yang sangat pribadi yang akhirnya merubah makna
Tujuan-tujuan yang berkaitan
dengan apa yang terjadi pada
debitor bank BNI sebelum dan
sesudah putusan MK, tidak bisa merubah
fakta yang tak terbantahkan bahwa kedudukan
hukum Para pemohon Uji materi adalah
Debitur Bank Milik Negara bukan
debitor Bank Milik Swasta, secara fisik
semata adalah debitor bank, tetapi bila kita perhatikan secara detail perbuatan
hukumnya . Pemohon adalah debitor bank BUMN
, maka sebagai penghutang pada
bank milik negara. tunduk pada
prinsip-prinsip hukum piutang negara (
lex specialis ), sedangkan Undang-Undang
Perbankan ,Undang-Undang Perbendaharaan
Negara, dan undang-undang BUMN adalah
prinsip –prinsip hukum yang berlaku umum.
Persepsi bahwa badan usaha milik
negara/BUMN adalah perusahaan negara.
analogi hukumnya juga harus mengatakan bahwa piutangbadan usaha milik negara adalah
piutang Negara , merupakan dua persepsi yang sudah eksis dan merupakan fakta
yang tidak terbatahkan ( Res Ipsa
Luqitor ). Ketika persolaan dua persepsi
kata “ negara “ , pada Badan Usaha Milik
Negara dan piutang negara disintesakan
dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas ,
menghasilkan sintesa hukum bahwa penegakan hukum penyelesian piutang negara
yang merupakan Lex Specialis - harus
tunduk padabadan hukum Perseroan Terbatas yang merupakan prinsip hukum yang
berlaku umum ( lex generali ) , konsep
penalaran hukumini tidak masuk
akal. ( lihat pertimbangan MK dalam
putusan ini )
Piutang BUMN menjadi bukan Piutang
Negara. adalah analogi hukum menyimpang dari konsep-konsep kebenaran hukum,
dantelah melampui kesimpulan fakta data
empiris.[9]. Misalnya data empiris bahwa uang negara
adalah uang rakyat, maka dimanapun dan bagaimanapun keberadaan uang itu, harus
dianggap sebagai uang rakyat. Fungsi Uang negara adalah untuk digunakan dan
dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyatadalah doktrin konstitusi , maka ketika
di kelola melalui BUMN tidak berarti uang negara berubah menjadi bukan uang
negara. bila terjadi kerugian pada BUMN , rakyat jugalah yang ikut menangung
beban itu?
Kalau kita mengamati data empiris
lainnya yaitupiutang negaratak tertagih /kredit macet dari para debitur Bank
BUMN sebagian besar sangatberpotensi merugikan negara, dan ternyata jumlahnya lebih besar bila
dibandingkan dengan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi
( lihat data harian kompas tanggal 22/10-2012 utang yang hapus buku Rp 90
triliun , kredit bermasalah Bank Pesero Th 2012 sebasar
Rp 767,5 Triliun , belum termasuk kredit likuiditas dari Bank Indonesia /kasus
BLBI yang sampai sekarang belum dapat diselesikan ) .Kerugian negara yang
begitu besar bahkan APBD pun tidak akan bisa menyamainya, semua itu disebabkan oleh perbuatan para
debitor bank BUMN yang gagal bayar .
Data empiris ini telah menunjukan
bahwa rakyat dan negara sesungguhnya tidak memiliki hutang apa-apa pada
petualangan para debitor , bahwa hutang tumbuh karena reaksi debitor terhadap
hutangnya yang ada didalam bank milik negara dan bahwa debitor adalah
penghutang negara hanyalah karena ia berhutang pada bank negara sehinga ia
harus diatur oleh hukum piutang negara yang kuat karena sebab –akibat yang
kuat Oleh karena itu hakim harus
menerapkan doktrin Res ipsa Loquitor atau The thing speak for itself ( fakta telah berbicara sendiri ) . akan
tetapi dibalik semua itu Mahkamah
konstitusi justru menyatakan bahwa
piutang BUMN bukan piutang negara, putusan ini sangat menguntungkan debitor,
dan mencedarai hak konstitusi rakyat ,suatu pandangan yang jelas-jelas
bertentangan dengan konsep keadilan atau prinsip
tidak ada orang yang boleh mengambil keuntungan
dari kesalahannnya sendiri.
Dari sisi lainnya dapat dicermati bagaimana eksistensi kredit
macet dari debitor bank “pesero “ , selama ini dalam sistem neraca perbankan ,
ternyata berdasarkan data –data perbankan
kredit macet dipisahkan dari
neraca bank ( off balance sheed ) ,
debitur-debitor yang gagal bayar / atau debitor nakal / debitor yang ngemplang
utang dibiarkan tak tersentuh, dan debitor ini lambat laun dilupakan ,
ujung-ujungnya yaitu penghapusan hutang,
namun prosedur penghapusan utangdalam jumlah besar memerlukan persetujuan
menteri atau bahkan Presiden dan DPR . Inilah sisi gelap kasus gagal bayar pada
bank milik negara , baik debitor dan kreditor terjebak pada integritas. Satu
sisi pihak kreditur (negara) melakukan
tindakan penyelamatan supaya uangnya kembali disisi lain pihak debitor
(penghutang ) ingin selamat tidak bayar hutang .
Jebakan integritas inilah yang
kemudian oleh para debitor Bank Negara Indonesia dibawa kepada Mahkamah Konstitusi , mencoba
untuk mengusik integritas negara dengan
dalih uji materi terhadap pasal 4, pasal 8, dan pasal 12 Undang-Undang Nomor
49/Prp Tahun 1960 , dan diatas telah dijelaskan
bahwa pasal-pasal yang diujikan itu adalah pasal-pasal tentang penegasan integritas negara .
Konklusi Mahkamah Konstitusi
melepaskan ” integeritas “ negara dari apa yang terjadi pada para
debitor BUMN , dengan apa yang dimaksud undang-undang , sehingga diputuskan PUPN tidak berwenang menagih piutang Bank
BUMN, termasuk penyelesian piutang macet yang merupakan kewenangan
korporasi, disadari atau tidak Mahkamah
Konstitusi telah memberikan cahaya terang dari sisi gelap hutang debitor,
bagaimana tidak dengan melenyapkan integritas negara terhadap kedudukan piutang bank BUMN , maka bank akan dengan mudah mengahapuskan hutang
para debitor , karena piutang bank BUMN
bukan bagian dari pengawasan negara.
VI.
Prinsip
Hukum Piutang Negara .
Ditinjau dari aspek hukum penyelesian
kredit /piutang negara perbankan,
Mahkamah Konstitusi mengabaikan asas sub-ordinasi , kredit macet bank
BUMN berbeda dengan penyelesian kredit macet non bank BUMN , Penyelesian kredit macet pada Bank BUMN tunduk pada prinsip-prinsip hukum piutang
negara antara lain prinsip sub-ordinasi
dimana kedudukan kreditur /negara lebih kuat dari pada debitor , maka dengan
adanya keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Piutang BUMN bukan piutang negara,
prinsip hukum ini telah bergeser menjadi sebaliknya, dimana debitor mempunyai
kedudukan yang sama dengan kreditor,
tidak ada lagi penghalang bagi gerak mereka, para debitor bank BUMN dapat menggunakan
hak-haknya dalam segala halakan tetapi hanya satu hal dalammenjalankan
kewajibanya yaitu tidak bayar hutang, Pengabaian
prinsip hukum menimbulkan efek badai kredit macet dan hak tagih negara terhadap
para obligor/debitor –debitor nakal yang sekarang sedang ditangani oleh
pemerintah :
1. Penyelesian kredit macet bank -bank BUMN akan diselesikanberdasarkan selera managemen
bank masing-masing , dan model penyelesaian dengan cara pengahapusan hutang ( write off ) menjadi idola , dahulu model
penyelesian pengahapusan hutang adalah model yang paling menakutkan karena
dapat dikatagorikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi.
2. Dan seiring dengan sosialisai putusan Mahkamah Konstitusi oleh para bankir
plat merah pada para debitornya, gerak
laju kegembiraan pengemplang utang tak akan terelakan dan akan merembes diluar wilayah hukum, seperti
konspirasi penghapusan hutang, dan konfigurasiekonomi-politik yang mengahsilkan
praktek-praktek transaksional, karena penyelesian kredit macet berdasarkan
kebijaksanaan masing-masing bank BUMN , kebijaksanaan sangat lengket dengan
psikologis pribadinya. Berbeda jauh
dengan “ kebijakan “ produk hukum ini
dibawah pengawasan /kontrol wakil –wakil
rakyat.
VII.
Hakekat
Piutang Negara.
Persoalan lainya dari putusan Mahkamah Konstitusi itu adalah tentang “ hakekat “
ada dua perspektif yang berbeda antara BUMN dan Piutang Negara. Putusan
Mahkamah Konstitusimenegaskan bahwa piutang BUMN adalah bukan Piutang negara,
memunculkan species norma hukum baru yang memisahkan negara dan rakyatnya.
Hakekat juridis dari species norma
baru ini, memunculkan perspektivisve norma yang tidak fair ( adil ), terhadap hak milik negara . Karena pada hakekatnya
milik negara adalah milik rakyat, sedangkan gagasan bahwa uang
negara yang sebagai ditempatkan sebagai
modal BUMN berobahmenjadi bukan
uang milik negara, adalah sebuah gagasan dari para akhli hukum bisnis.
Sintesa norma yang dilakukan oleh Mahkama
Konstitusi terhadap norma keuangan negara dan norma perseroan menghasilkan species norma baru yaitu piutang
BUMN bukan piutang negara , adalah
sebuah sinetesa antara
gagasan dan makna undang-undang , sintesa ini telah
mengubur “ hakekat BUMN, yang
semula Badan Usaha Milik Negara adalah
perusahaan milik rakyat berubah menjadi perusahaan bukan milik negara ( rakyat
).sehingga frasa-frasa yang dimaksudkan didalam pasal 4, pasal 8 dan pasal 12
Undang-Undang Nomor 49/1960 tentang PUPN sebagaimana disebutkan diatas, adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sintesa hukum semacam inimenurut Van
Vallon Hovenadalah sintesa hukum yang paling mengerikan atau berbahaya
yang orang dapat bayangkan karena telah memusnahkan makna dari “ hakekat “. ( Hetakeligste
en verwaandste jurisdische maaksel dat met zich den kenkan).
VIII.
Kedudukan
Hukum Badan Usaha Milik Negara
Pembahasan mengenai perundang-undangan BUMN agar mampu menjelaskan
kedudukan hukumnya, sebagai badan hukum publik, maka ditinjau dari aspek hukum perseroan
kedudukan pemegang saham pengendali pada perusahaan negara berbeda dengan
perseroan terbatas non perusahaan negara, didalam
perusahaan negara adalah kekuasaan dan kedaulatan penuh dari pemegang
sahamnya, yakni Negara. Kalau di
lihat dari aspek politik antara BUMN dan pemegang sahamnya
menurut pendapat Robert Fabrikant merupakan gabungan yang aneh, yaitu
unsur-unsur perusahaan dengan unsur-unsur politik. Kesulitan-kesulitan konseptual
yang terangkum dalam badan hukum ini ,
menimbulkan perbedaan pendapat dari
sisi prespektif hukumnya, karena hubungan ini terjadi dalam masalah
kebijakan dan korporasi, alat pengukuran yang dipakai tidak selalu sama untuk
menentukan masih adakah unsur hukum publik pada BUMN.Pandangan hukum bisnis
sangat berbeda dengan pandangan politik
hukum ,
dari sisi hukum bisnis ia melihat dari prespektif harta kekayaan yang
dipisahkan atau disendirikan sebagai modal, pandangan ini tidak bedanya dengan perorangan
yang ingin mendirikan badan usaha, yang diharuskan menyendirikan modalnya lepas
dari kekayaan induknya sehingga menimbulkan perbedaan pandangan terhadap sistem
“ pengawasan “.Penilaian
hukum bisnis dianalogikan terhadap bagaimana perusahaan yang dikelola dengan
sistem GCG, dapat menjamin para manajer perusahaan itu
melindungi kepentingan para pemilik sahamnya, sedangkan dari sisi politik hukum
bagaimana kepentingan negara itu dapat
dilindungi dengan kelola GCG yaitu rakyat sebagai pemilik kekayaan yang
dipisahkan ( rakyat Indonesia ). [10]
Karena pola yang digunakan
bagi perusahaan Negara diambil dari hukum perseroan yang menyangkut perusahaan
swasta.Penerapan konsep-konsep ini pada perusahaan-perusahaan Negara,
membedakan dua masalah yang merupakan rangka dasar bagian ini :
a.
Standar hukum yang digunakan .
b.
Pengangkatan
Direksi
Masalah pertama, standar
hukum terutama adalah masalah isi yaitu yang berhubungan dengan ukuran yang
digunakan untuk menilai penampilan perusahaan. Masalah kedua, pengangkatan
direksi , pada hakekatnya adalah masalah prosedur dalam mana ditinjau cara-cara
pemerintah mengawasi dan memimpin perusahaan negara, dan yang kedua adalah
pengangkatan direksi adalah kewenangan pemerintah .
Masalah –masalah tersebut tidak sepenuhnya berlainan dari segi
konseptual, karena pembenaran pengawasan negara tampaknya sebagian berakar
dalam bentuk tindak-tanduk yang mungkin amat penting bagi suatu perusahaan
negara. Misalnya, Perusahaan Negara
menghasilkan “laba” atau dengan sesuatu cara memberikan sumbangan
penting bagi kesejahteraan nasional, sekalipun demikian , dapat dianggap
“lalai” kurang bertanggung jawab bila manajer-manajernya menolak
mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada pemerintah ataupun tidak menjalankan
petunjuk-petunjuk pemerintah.
Perusahaan Negara yang tidak
mengindahkan kebijakan pemerintah ,
tidak dapat dibebaskan dari tugasnya untuk patuh pada pengawasan pemerintah,
sekalipun sikap keras kepala itu mungkin akan membantunya untuk lebih efisien
dari sudut bisnis. Hal ini yangmembedakan antara perseroan dengan persero. Pandangan yang berorientasi pada hukum
privat berusaha membenarkan “perbuatan melawan hukum “ dalam persero oleh manager atau karyawan , bahwa sikap tidak mengindahkannya kebijaksanaan
pemerintah adalah karena para manajernya
sendiri merasa lebih mampu daripada pemerintahan.
Dalam pandangan politik
hukum, tidak peduli bagaimanapun
“berhasilnya” perusahaan tersebut menurut standar bisnis konvensional, suatu Perusahaan Negara yang telah diberikan
otonomi untuk memajukan kepentingannya sendiri
tetap harus hormat terhadap kekuasaan pemerintah, Hal ini diperlukan jangan sampai menimbulkan ketidak harmonisan tertentu dalam
kalangan badan-badan usaha milik negara ,sehingga akan mengurangi kemampuan
pemerintah untuk mengerahkan sumber umum guna mencapai pembangunan ekonomi yang
seimbang.
1. Standar
hukum pembentukannya
Suatu Perusahaan Umum
dirumuskan sebagai badan hukum yang didirikan biasanya oleh dan atas
persetujuan badan legislatif dan selalu oleh kekuasaan sah yang ditugaskan
untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu. Demi kepentingan
nasional, fungsi-fungsi tersebut dibatasi pada bidang-bidang yang secara
komparatif terbatas dan tunduk pada pengawasan tertentu dan dari eksekutif,
sedangkan perusahaan itu secara yuridis tetap merupakan badan bebas yang tidak
langsung bertanggungjawab [11]
Sekalipun bentuk hukum badan
ini berbeda dari negara satu dengan yang lainnya, perusahaan-perusahaan Negara
di negara berkembang mungkin mempunyai ciri yang paling menonjol sebagai
lembaga yang dimiliki negara, yang mempunyai bentuk hukum yang serupa dengan
perusahaan swasta .
Pemerintah menanamkan modal
untuk digunakan bagi pembangunan ekonomi.Dengan demikian lembaga yang dijadikan
alat untuk memungkinkan negara memisahkan dan menumpuk sumber-sumbernya dengan
efisien, mempertinggi kemampuan produksi nasional.
Meningkatnya penggunaan
bentuk perusahaan oleh negara dalam mempercepat pembangunan ekonomi,
mencerminkan pengakuan mereka terhadap peranan penting yang dimainkan oleh
perusahaan-perusahaan dalam mengangkat aspek ekonomi rakyat ke tahap kesejahteraan . Namun dalam
memberikan sumbangan perusahaan negara
yang menjalankan kebijaksanaan dan menunjukan sifat-sifat yang
menimbulkan tanda tanya : Apakah agar dapat “berhasil” perusahaan-perusahaan
negara dituntut mencurahkan kegiatan-kegiatannya ke arah mencari laba dan tidak
untuk “kepentingan umum.” Sama
fungsinya dengan perusahaan swasta,
dimana merasa perlu mengumpulkan
sejumlah besar sumber keuntungan yang
mungkin diperlukan dan menguntungkan bagi perusahaan , namun kegunaannya
bagi kepentingan rakyat sangat tidak
jelas. Dalam perekomian kapitalis maksud mula-mula membentuk suatu perusahaan
adalah untuk memungkinkan sekelompok perorangan “menyatukan modal dalam rangka
mendirikan perusahaan bisnis serta berusaha secara terpisah dan lepas dari
harta dan tanah mereka lainnya. Ini berarti tidak membebankan harta tetapnya
yang lain guna memenuhi kewajiban-kewajiban hutangnya yang timbul dalam bisnis
tersebut.[12] , bagi perusahaan berbdan hukum privat ini
, menjalankan usaha-usahanya dalam
bidang-bidang yang hanya memberikan keuntungan pada dirinya sendiri, karena
keuntungan bagi perusahaan , juga merupakan keuntungan bagi para pemegang
saham. . Karena keuntungan tersebut diserahkan dalam bentuk dividen atau
kenaikan nilai saham, “kepentingan umum” itu sendiri tidaklah menjadi urusan
langsung perusahaan. Namun diakui bahwa kepentingan umum dilayani oleh kegiatan
perusahaan yang bebas karena persaingan pasar akan memaksa perusahaan terus
menerus melampaui kepentingan dirinya sendiri. Filsafat ekonomi klasik yakin
bahwa suatu “tangan yang gaib” akan menjamin bahwa dorongan bersama terhadap
kegiatan perusahaan akan menambah kesejahteraan umum. Adalah suatu penemuan yang relatif baru,
bahwa persaingan itu sendiri tidaklah menjamin bahwa kegiatan perusahaan
melayani kepentingan umum.Dan semakin terbukti bahwa kegiatan perusahaan bukan
hanya mungkin bertentangan dengan “kepentingan umum” melainkan para manajer
perusahaan kerapkali berusaha untuk melindungi kepentingan-kepentingan pribadi
dan kepentingan perusahaan yang tidak menguntungkan para pemegang saham.
Perbedaan pendapat disekitar pokok-pokok pertentangan antara
layanan terhadap perusahaan, terhadap para pemegang sahamnya dan layanan pada
“kepentingan umum” adalah sangat berbeda-beda
bagi setiap perusahaan swasta , rumusannya sesuai dengan standar-standar penampilan dan para
direkturnya.
Konsep ortodoks yang
merupakan konsep hukum murni, tentang perusahaan sebagai suatu pribadi “buatan”
dengan identitas diri sendiri memberikan bagi perusahaan kemudahan untuk
mengabaikan tanggungjawab sosial.Sulitlah menuntut perilaku badan hukum agar
sesuai dengan nilai-nilai sosial pribadi alamiah, karena suatu perusahaan
bukanlah “bintang sosial”.
Apabila suatu perusahaan
memiliki identitas yang berlainan dengan para pemegang sahamnya, diperlukan
banyak pemikiran bagi seorang pemegang saham untuk membebaskan diri dari
tanggung jawab untuk tindakan perusahaan. Karena perusahaan besar cenderung
“diatur” oleh para pemiliknya yang memandang diri mereka sebagai bagian dari
proses pengambilan keputusan non-pribadi yang jelas memiliki nada a-moral.
Sikap masa bodoh para
pemegang saham pada perusahaan swasta
atas kegiatan perusahaan semakin bertambah dengan adanya pasar-pasar saham yang
besar, yang memudahkan para pemegang saham melepaskan kepentingan pemilikannya
di perusahaan dengan menjual sahamnya bila ia tidak puas dengan
keputusan-keputusan pimpinan perusahaan. Karena pemegang saham biasanya (tidak)
dibebani risiko-risiko pemilikan juga karena mereka “ sama sekali bukan
pemilik.” pengawasan atas perusahaan-perusahaan swasta tergantung pada pemilik saja tetapi juga pada mereka yang paling terkena akibat kegiatan
perusahaan, yaitu para pemegang saham.
Bahwa perusahaan-perusahaan
swasta harus bertanggung jawab kepada sekelompok orang yang lebih besar
daripada para pemilik sahamnya, juga mencerminkan kekhawatiran bahwa para
pemilik saham cenderung merupakan peserta-peserta yang acuh tak acuh, tidak
diorganisasi, dan tidak efektif dalam manajemen perusahaan.
Adanya pemilikan saham yang
terlalu tersebar dalam perusahaan-perusahaan besar memungkinkan para pemegang
saham mengendalikan pimpinan perusahaan.Dan karena para pemegang saham swasta
hanya memikirkan keuntungan, tidaklah wajar beranggapan bahwa mereka mau
mengorbankan keuntungan demi kepentingan umum.Lebih jauh lagi,
perusahaan-perusahaan swasta besar mempunyai pengaruh menekan pada para
pemegang saham mereka; karena itu, perlu dijamin bahwa mereka yang terkena
akibat kegiatan perusahaan sebaliknya mempunyai pengaruh menekan bagi para
pembuatan keputusan perusahaan.
Anggapan, bahwa pemegang
saham “menguasai” perusahaan mereka semakin tambah mengemuka dengan adanya
kenyataan yang dikemukakan tadi, bahwa “hubungan mereka dengan perusahaan
menjadi semakin mudah diputuskan dengan adanya industri pasar saham dan makelar
saham.[13]Karena
alasan-alasan ini, para manajer perusahaan diharuskan untuk tidak melihat segi
keuntungan saja sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan bisnis.
Ringkasnya, pikiran untuk
mengusahakan laba sebesar-besarnya, penguasaan pasar dan tanggung jawab
pemegang , demi standar mencapai kesejahteraan para pemilik pemilik pemegang
saham , sedangkan pandangan lain dari harus disingkirkan seperti : demi kesejahteraan masyarakat “kepentingan umum.”
, karena “penampilan bisnis perusahaan
harus dinilai dengan ukuran sejauh mana ia telah membantu kemajuan yang telah
disepakati bersama menuju sasaran-sasaran rakyat tidak perlu dipikirkan lagi [14].
Terjalinnya
pertimbangan-pertimbangan pragmatis diatas, untuk meninjau kembali
ukuran-ukuran tradisional/ atau paradoks dengan pandangan hukum bisnis dalam menilai penampilan perusahaan negara
disamakan denganprinsip perusahaan swasta, adalah bahwa ... “ perusahaan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemegang sahamnya di mana eksistensi serta kelangsungan
hidupnya berasal dari pemegang sahamnya . Karena itu harus tunduk pada hukum
privat .” tapi akan berbeda bila pada saat memuncaknya ketidakpuasan umum dari
ketidakberhasilan sosial , maka
perusahaan swasata hanya mendorong terhadap keterlibatan perusahaan dengan tanggung
jawab sosial lebih menyangkut
“kepentingan diri sendiri yang
urgensial dari pada kepentingan rakyat banyak ” , berbeda dengan
perusahaan milik negara , dimana tanggung jawab social adalah tujuan bisnisnya.
Pergeseran standar
penampilan perusahaan yang murni ekonomis menjadi lebih bersifat sosial
mencerminkan bahwa perusahaan negara , sekalipun sifatnya “swasta” dan bermula
dalam naluri manusiawi yang tamak, pada hakekatnya lebih merupakan lembaga
sosial daripada lembaga ekonomi.
Tujuan pendirian sebagai
standar hukum di atas dianggap berlaku, masih tetap perlu menentukan sasaran-sasaran
sosial yang dapat dirasakan dan kemudian menentukan apakah suatu perusahaan
negara telah sesuai dengan tujuan meningkatkan sumbangannya pada sasaran sosial
yang telah ditetapkan. Dengan kata lain
“bagaimana sesungguhnya sumbangan bisnis BUMN
kepada masyarakat yang dikelola dengan kemampuan dan tata kelola
berdasarkan prinsip Good Coperate
Goverenance , apakah pengawasan harus
dilepaskan dari negara .
Dalam menerapkan konsep di
atas pada Perusahaan Negara harus dicatat bahwa alasan-alasan yang mendorong
perusahaan-perusahaan swasta untuk mengambil bentuk badan hukum biasanya tidak
bersesuaian dengan keputusan negara untuk membentuk perusahaan.Seperti telah
dijelaskan di atas, keputusan mendirikan suatu Perusahaan Negara biasanya
didasarkan pada adanya kesatuan pertimbangan politik dan ekonomi, khususnya
yang tidak komersial.Dualisme motif inilah yang menyulitkan penyusunan standar
penampilan perusahaan-perusahaan ini, karena tidak seperti perusahaan swasta,
yang secara tradisional dan eksklusif menggunakan pemasukan uang sebagai ukuran
efisiensinya, Perusahaan negara tidak dapat mendasarkan pengambilan keputusan
atas ukuran tunggal yang dapat diuji.Pertimbangan-pertimbangan bisnis
konvensional kadang-kadang harus ditempatkan lebih rendah daripada keseluruhan
dampak sosial dari suatu keputusan perusahaan, tidak peduli bagaimana hal
tersebut mungkin mempengaruhi neraca dan laba-rugi perusahaan umum.Misalnya,
semua proyek yang secara komersial dapat diteruskan tidak cukup penting bagi
umum untuk membenarkan adanya penanaman dana-dana umum yang langka.Namun
Perusahaan Negara tidak selalu dapat mengabaikan proyek-proyek menguntungkan
sehingga dengan demikian mengambil risiko gagal dalam mempertahankan keutuhan
modal umum mereka.Sebaliknya, suatu proyek yang secara sosial tinggi nilainya,
mungkin karena hal tersebut merupakan sarana peningkatan kesempatan kerja atau
penerimaan valuta asing, tidak seharusnya dibiarkan berlalu semata-mata karena
keuntungan tersebut tidak dapat diterima oleh perusahaan dan dicantumkan dalam
neraca keuangan.
Di dalam menentukan besarnya
pengawasan yang paling tepat yang harus dilaksanakan pemerintah atas suatau
perusahaan negara, faktor penting adalah hakekat dari sistem ekonomi dan tahap
pembangunan ekonomi negara di mana Perusahaan Negara itu beroperasi. Dalam
perekonomian kapitalis, Perusahaan Negara merupakan alat bantu bagi perusahaan
swasta. Perusahaan Negara berperan mengisi yang ketinggalan.Dia bertugas untuk
memperbaiki ketidak efisienan atau celah-celah dalam mekanisme pasar ...,
(sebab itu) pengawasan ketat atasnya adalah perlu untuk menjamin agar dia tidak
melangkah di luar peranannya yang terbatas.Dengan demikian tidak mengacaukan
tata kerja mekanisme pasar.[15]
Dalam perekonomian sosialis,
dasar pemikiran untuk mengawasi Perusahaan Negara sama sekali berlainan dengan
pengawasan yang ada pada perekonomian kapitalis. Di negara sosialis, Perusahaan
Negara biasanya merupakan titik tumpu perekonomian nasional dan khususnya di
negara-negara berkembang, Perusahaan Negara merupakan alat utama untuk
menerapkan suatu rencana ekonomi nasional.Kedudukan utama tersebut kerapkali
muncul karena sektor swasta melempem atau tidak ada.
Jadi sebenarnya, tidaklah
begitu perlu membicarakan persoalan yang membingungkan mengenai keseimbangan
yang terbaik yang harus dicapai antara Perusahaan Negara dan perusahaan
swasta.Karena Perusahaan Negara menguasai perekonomian yang diawasi negara dan merupakan
alat kebijaksanaan utama, persoalan yang dihadapi adalah mengenai efisiensi dan
penyesuaiannya pada kebijaksanaan pemerintah.Dasar pemikiran untuk mengawasi
Perusahaan Negara di negara-negara ini tidak tergantung; mungkin seperti halnya
di negara-negara industri, atas dasar perlunya menciptakan modus vivendi antara badan usaha negara dan swasta.
Kekuasaan pemerintah atas
Perusahaan Negara biasanya dilakukan melalui pemeriksaan pembukuan dan melalui
gabungan dari badan-badan legislatif, yudikatif dan eksekutif , cara-cara yang lasim untuk mengawasi
Perusahaan Negara adalah :
1. Bahwa
kebutuhan untuk mengawasi Perusahaan Negara lebih mendesak daripada dasar
pemikiran yang mendorong pengawasan perusahaan-perusahaan swasta. Bila
kepentingan pemilikan para pemegang saham swasta dapat dikatakan sebagai soal
sampingan, jenis dan sifat dari kepentingan pemilikan pemerintah dalam
Perusahaan Negara adalah nyata dan cukup besar. Biasanya, suatu pemerintah
tidak akan mempunyai keinginan ataupun kemampuan untuk secara mudah
mengalihkan pemilikannya atas Perusahaan
Negara. dalam perusahaan-perusahaan
swasta, suatu tim manajemen yang menolak untuk tunduk pada pengawasan pemegang
saham tampaknya (tidak) akan mengambil kebijaksanaan yang betentangan dengan
kepentingan dari yang tersebut belakangan ... sampai batas yang amat jauh,
keinginan-keinginan manajemen sejajar dengan harapan-harapan dari para pemegang
saham ... (kedua belah pihak) tampaknya sepaham dengan cita-cita mengenai
pertumbuhan ... (seperti) dicerminkan dalam harga-harga saham yang meningkat
dan dalam dividen yang tetap dan mungkin meningkat pula.
2. Namun kebersamaan kepentingan yang
mengakibatkan berkurangnya pertentangan antara para pemegang saham swasta dan
tim manajemen tidaklah terdapat dalam kerjasama antara Perusahaan Negara
pemerintah dan tim manajemennya. Seperti ditunjukan di atas, tim manajemen
negara secara naluri akan mengikuti pertimbangan-pertimbangan bisnis
konvensional, yang tidak selalu akan sejalan dengan pengarahan-pengarahan kebijaksanaan
pemerintah.
Karena pemerintah
menggunakan Perusahaan Negara untuk maksud lain, sulitlah menetapkan
peraturan-peraturan yang universal dalam rangka pengawasan dan penampilan.
Paling tidak dalam mendirikan setiap Perusahaan Negara apapun bentuknya, pemerintah
sebagai pemilik utama atau pemilik tunggal, seharusnya dapat diharapkan dan
memang berhak menjalankan kekuasaan yang biasanya berada dalam tangan seluruh
pemegang saham. Karena jumlah investasinya meningkat, pemerintah juga cenderung
menjalankan tingkat pengawasan yang lebih tinggi kepada Perusahaan Negara.
Kepentingan pemerintah akan jauh lebih meningkat bila perusahaan itu ikut serta
dalam sektor ekonomi yang penting dari segi nasional ataupun strateginya.
Perlulah menggaris bawahi
perbedaan-perbedaan penting antara pemerintah dan para pemegang saham
biasa.Para pemegang saham mempunyai hak menurut hukum yang bebas untuk mereka
gunakan sesuai dengan selera pemilikannya.Pemerintah bertindak sebagai pemegang
amanat dana-dana umum, karena itu dapat memiliki tanggung jawab tertentu untuk
menjamin agar uang rakyat ditanamkan secara aman.Sifat umum dari Perusahaan
Negara dan kebutuhan untuk mencapai tujuan-tujuan nasional yang nyata
mengaharuskan pemerintah sebagai pemegang saham menjadi peserta yang lebih
aktif dalam urusan-urusan perusahaan lebih dari yang mungkin diharapkan atau
bahkan mungkin diijinkan bagi para pemegang saham dalam perusahaan swasta.
Bila pemegang saham swasta
menanamkan uang dengan tujuan untuk mendapatkan laba, pemerintah bahkan juga
dalam kedudukan sebagai pemegang saham, biasanya tidak bertindak berdasarkan
pada alasan-alasan mencari untung semata-mata. Pemerintah dibebani tugas untuk
meningkatkan “kepentingan umum” dan dalam mengemban tugas yang lebih tinggi ini
Pemerintah harus melaksanakan tanggung jawab sebagai pemegang saham dengan cara
yang lebih teliti daripada seorang pemegang saham swasta.
Akhirnya, pemilikan
pemerintah biasanya tidak disebabkan karena pembelian saham dalam perusahaan
yang sudah ada. Pemilikan pemerintah hampir selalu merupakan akibat dari suatu
keputusan untuk mendirikan perusahaan yang sama sekali baru untuk mana
pemerintah akan memberi modal yang diperlukan dan sumbangan-sumbangan sumber
lainnya.
Dasar pemikiran yang
melandasi pendirian suatu Perusahaan Negara
:
1. selalu
mencerminkan kenyataan bahwa satu kegiatan tertentu yang penting bagi
kesejahteraan umum tidak dijalankan dengan memadai. Jadi pendirian suatu
perusahaan demikian biasanya akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan sosial
dan bukannya komersial.
Suatu dorongan
tambahan bagi pengawaan pemerintah yang keras atas Perusahaan Negara, ialah
bahwa para direktur perusahaan kadang-kadang memrakarsai tindakan-tindakan yang
menguntungkan perusahaan (atau diri mereka sendiri) tetapi tidak selalu
mendukung kepentingan-kepentingan pemegang saham.Dan karena suatu perusahaan
mempunyai eksistensi hukum tersendiri.Yakni terpisah dari pemegang sahamnya,
masalah yang pertama-tama harus diputuskan ialah untuk memastikan apakah tanggung
jawab ada pada para direktur yang dipilih atau pada pemegang sahamnya.
Tampaknya
ketaatan yang ada pada para direktur perusahaan jarang sekali mengakibatkan
kerugian yang positif bagi para pemegang saham.Satu-satunya kerugian mungkin,
misalnya bila laba perusahaan ditahan dan tidak diserahkan kepada para pemegang
saham.Sekalipun para pemegang saham mempunyai hak untuk menerima dividen,
tampaknya agak bodoh untuk mempersoalkan bahwa kelalaian membagi keuntungan
merupakan suatu tindakan yang jelas tidak jujur. Ditahannya laba mungkin
didasarkan pada pengharapan bahwa laba itu pada akhirnya akan mengakibatkan
keuntungan bagi pemegang saham. Keadaan di atas lebih tepat digambarkan bahwa
para pemegang saham tidak menderita rugi mutlak namun sebaliknya diharuskan
(mungkin juga diminta) untuk melepaskan laba pada saat itu agar dapat menerima
laba yang lebih besar pada masa yang akan datang. Analisa yang demikian
disebut, sekalipun merupakan kesimpulan murni dalam rangka
perusahaan-perusahaan swasta, tidaklah sepenuhnya tepat bagi
Perusahaan-perusahaan Negara.
Alasan untuk
tidak menyetujui keputusan para direktur yang menahan laba adalah bahwa para
pemegang saham hampir pasti didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan
nafsu serakah yang tidak kenal malu.Sebaliknya pada Perusahaan Negara, hak
pemerintah untuk menerima keuntungan perusahaan dikaitkan dengan
pertimbangan-pertimbangan “kepentingan umum.”Dengan demikian pengambilan
keputusan yang dilakukan Perusahaan Negara tidak dapat didasarkan semata-mata
pada pertimbangan bisnis yang dangkal.Merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan
bila para direktur Perusahaan Negara mementingkan perusahaan dengan menghalangi
pemerintah dalam penerimaan dana-dana yang menurut pemerintah mungkin dapat
digunakan dengan lebih berhasil disektor-sektor perekonomian lainnya.Sekalipun
para direktur perusahaan swasta biasanya boleh mengambil keputusan-keputusan
sebagai pengganti keputusan para pemegang saham (karena untuk itulah mereka
dipilih), alasan serupa tidak dapat dibenarkan untuk mengijinkan para direktur
Perusahaan Negara menjadikan keputusan-keputusan dagang mereka sebagai ganti
keputusan-keputusan politik dan kebijaksanaan umum pemerintah.Dengan demikian
harus tersedia kekuasaan yang lebih besar untuk melindungi para pemegang saham
Perusahaan Negara daripada perusahaan swasta.
2. Keputusan
mengenai berapa banyak keuntungan perusahaan yang harus diserahkan kepada
pemegang saham Perusahaan Negara tidak seharusnya secara eksklusif berada di
tangan para direktur. Perhatian mereka semata-mata mungkindalam bentuk menahan
laba sebanyak-banyaknya dalam upaya memperbaiki penampilan mereka. Pada
perusahaan-perusahaan swasta, dorongan batin ini secara teoris diimbangi dengan
kebutuhan para direktur untuk memuaskan hati para pemegang saham sehingga
terjamin bahwa mereka (para pemegang saham) akan memilih para direktur itu
kembali. Dalam Perusahaan-perusahaan Negara
tidak ada timbal balik yang serupa bahkan apabila ada sekalipun, jelas
merupakan ukuran yang tidak tepat untuk menetapkan pembagian pendapatan dalam
Perusahaan Negara. Ukuran untuk pembagian pendapatan dalam Perusahaan Negara
harus tergantung pada kebutuhan perekonomian secara keseluruhan.Perusahaan
Negara sendir hanyalah sekedar satu mata rantai dari keseluruhan mesin
perekonomian tersebut.
3. Hanya
pemerintahlah yang dapat membuat penilaian tepat tentang cara bagaimana
pendapatan suatu Perusahaan Negara seharusnya dibagikan. Sekalipun mungkin
bakal merugikan Perusahaan Negara bahwa pemerintah tidak memahami
kebutuhan-kebutuhan perusahaan dan kebutuhan-kebutuhan direkturnya. Ini masih
lebih baik daripada mengijinkan para direktur, yang dianggap kurang memahami
kebutuhan perekonomian nasional
dibandingkan dengan pemerintah, untuk mengutamakan Perusahaan Negara atas
tanggungan negara.
4. Perlunya
pengawasan pemerintah merupakan sesuatu yang mutlak, bila suatu Perusahaan
Negara diijinkan beroperasi dalam suatu sektor ekonomi tanpa saingan dari
perusahaan umum ataupun swasta.Persaingan, setidaknya dalam teori, merupakan
jaminan efisiensi dan kemampuan mencari untung. Namun seperti dijelaskan di
atas dalam konteks yang sama, adanya faktor persaingan tidak seharusnya
menghindarkan Perusahaan Negara dari standar-standar pengawasan yang paling
teliti. Kesimpulan ini tergantung pada posisi sentral yang diduduki Perusahaan
Negara dalam perekonomian.
5. Penampilan
suatu Perusahaan Negara mempengaruhi para pemegang saham swasta untuk tidak
mencari keuntungan semata-mata dan menjadi perhatian seluruh warga
negara-negara tersebut. Karena itu suatu Perusahaan Negara harus dianggap
sebagai pelindung sumber dan kesejahteraan umum.Dengan demikian penting sekali
mengusahakan “kepentingan nasional” tidak ditempatkan di bawah kepentingan
terbatas dari suatu perusahaan tertentu.
Sebagai
kesimpulan, jelaslah bahwa Perusahaan Negara harus diminta agar menjalankan
kegiatan-kegiatan mereka sedemikian, sehingga menjamin kekayaan pemegang
sahamnya, yakni negara; digunakan sesuai dengan harapan yang berkembang
daripara warga negara.
2. Pandangan HukumAdministrasi Negara dan Pidana
Dari sisi aspek kewenangan bebas
dari pemerintah ( vrijebevoegdheid ) atau sering disebut dengan istilah freis Ermessen, meskipun pemerintah
melakukan tindakan-tindakan keperdataan , instrumen hukum keperdataan, tidak serta- merta terjadi hubungan hukum
antara pemerintah dengan seorang atau badan hukum perdata berdasarkan prinsip
kesetaraan dan kemandirian masing-masing pihak, sebagaimana lazimnya , maka
bila telah menggunakan instrumen perjanjian untuk menjalankan wewenang pemerintahnya
,pemerintah disamping terikat dengan isi perjanjian tersebut juga terikat
dengan asas kepercayaan ( het
vtretrouwens beginsel )[16] dan asas kejujuran atau asas permainan yang
layak sebagaimana asas-asas umum pemerintahan yang layak , maka menurut pandangan hukum Administrasi Negara
pengertian pasal 1 Undang –Undang nomor 19 Tahun 2003 , mengenai
interprestasi “ Seluruhnya atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara “ apakah itu dari kekayaan yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan asalkan kegunaanya untuk modal usaha negara , maka badan usaha itu dinamakan Badan Usaha Milik Negara , interprestasi
dari pasal tersebut menunjukan “
kode “ [17] ,
dengan demikian tetap sebagai badan hukum publik yang terikat pada algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau asas-asas umum pemerintahan yang baik .
Meskipun sistem pengelolaanya
mengedepankan aspek hukum perseroan., namun
pada dasarnya antara Perseroan Terbatas yang didirikan oleh
Swasta/perorangan dengan Persero yang didirikan oleh pemerintah bila ditinjau dari azas publisitas tetap berbeda . Pada
Persero atau Perusahaan Daerah
yang berbentuk PD , seperti PD Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembangunan
Daerah, walaupun akte pendiriannya
dibuat oleh Notaris , tidak ada kewajiban pendaftaran pada Menteri Hukum dan
Hak Azasi Manusia Republik Indonesia , tapi hanya dicatat dalam Berita Negara.
Kelahiran Persero dan Perusahaan Daerah tidak mengenal azas publisitas.
Konsep hukum terhadap pengertian
Badan Usaha Milik Negara tidak hanya
dilihat dari aspek pemisahan harta kekayaan , tapi harus dilihat juga dari aspek permodalannya , maksud dalam
undang-undang sudah jelas bahwa “ Badan Usaha “
yang didirikan dengan modal
seluruhnya atau sebagian besar milik negara adalah Badan Usaha Milik
Negara , makna inilah yang
membedakan antara badan usaha milik perorangan dengan badan usaha milik negara , pandangan ini sejalan dengan putusan mahkamah
Agung No 1144 K/Pid /2006 , sebagai berikut :
- Meskipun Bank Mandiri merupakan PT . Terbuka
,tetapi secara struktural , Bank Mandiri tetap sebagai sebuah Persero yang
menjadi ciri bahwa bank Mandiri adalah milik negara.Perubahan-perubahan
kepemilikan saham ,apalagi saham negara menduduki jumlah tervesar dibandingkan
dengan pemegang saham lainnya ( posisi dominan ) , sama sekali tidak mengurangi
status hukum Bank mandiri sebagai BUMN yang mengelola kekayaan negara . Dalam
status yang demikian ,direksi atau setiap orang yang bekerja pada Bank Mandiri
demikian pula BUMN lainnya, tidak
semata-mata melakukan fungsi keperdataan , tetapi juga fungsi publik yang
menjalankan tugas pemerintahan pada Bank Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal
itu secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau setiap orang yang bekerja
pada BUMN seperti Bank Mandiri , berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan ,sehingga kepada mereka dapat dilakukan ketentuan-ketentuan
mengenai penyelenggara pemerintahan
seperti ketentuan tentang pemberantasan
korupsi.
- Seperti dikemukakan ,sebagai BUMN ,Bank
Mandiri mengelola kekayaan negara ,sebagai pengelola kekayaan negara , maka tindakan melawan hukum yang dilakukan
oleh direksi atau pegawai Bank mandiri , yang merugikan atau dapat merugikan
Bank Mandiri ,dapat dikatagorikan sebagai perbuatan korupsi , karena telah
menimbulkan kerugian atau dapat merugikan negara yaitu kekayaan negara yang dikelola Bank Mandiri.
3. Pengertian
Milik Negara , Milik Pribadi dan Milik Publik
Mahkamah Konstitusi melupakan pengertian “milik : Dalam
Teori Hak Milik ( lihat C.B Machpheron dalam -
Mainstream and Critical Positions - University of Toronto Press 1978 ) dikenal milik pribadi , milik publik dan milik negara, dua masalah muncul dari analis mengenai tiga macam milik
tersebut , pertama adalah bahwa ketiga macam itumilik umum , milik pribadi dan
milik negara adalah hak-hak pribadi , baik pribadi manusia alamiah maupun pribadi-pribadi buatan
, yang kedua adalah bahwa milik umum ,tidaklah dihapuskan oleh gagasan tentang
milik sebagi hak-hak ( klaim-klaim yang
dapat dipaksakan ) dari pribadi-pribadi ,tetapi malahan ternyata merupakan
jenis milik yang murni. Karena milik umum adalah selalu suatu hak dari pribadi
individual alamiah sedang dua jenis milik lain itu tidaklah selalu demikian,
milik pribadi mungkin merupakan suatu hak pribadi alamiah atau pribadi buatan
dan milik negara adalah milik suatu pribadi buatan. Bila negara dipandang dengan cara ini , maka
dipahami sepenuhnya bahwa negara mempunyai suatu hak kelembagaan untuk mengesampingkan
orang-orang lain , termasuk para warga negara ,dari usaha menikmati kegunaan
dan manfaat sesuatu benda , dengan cara yang sama sebagaimana negara
mengizinkan seseorang pemilik pribadi melakukanya. Jadi dalam sebuah negara demokrasi kelompok manusia yang diberi wewenang
bukanlah kumpulan warga negara seluruhnya .lembaga itu bertindak atas nama
mereka ,tetapi lembaga itu bukan milik mereka seluruhnya . Dan lembaga
itulah ( BUMN ) yang memegang hak-hak
yang disebut milik negara ?Jadi milik negara tidak memberikan kepada warga
negara , secara perorangan suatu hak langsung untuk menikmati kegunaan ,atau
suatu hak untuk tidak dikesampingkan dari usaha menikmati suatu benda –benda
yang dikuasai oleh negara bertindak sebagai suatu lembaga ( Badan Usaha Milik
Negara ) , Perusahaan –perusahaan Maskpai Penerbangan dan Perbankan tidak dengan begitu saja dapat
dinikmati oleh semua warga negara dinegeri ini , Perusahaan Perbankan yang dimiliki oleh
negara ( BUMN ) cenderung bersikap cemburu untuk mempertahankan miliknya seperti perusahaan yang dimiliki swasta
IX.
Norma Merubah Hakekat
Kemudian dilihat dari sudut
“Hakekat “ , maka uang negara pada hakekatnya adalah uang milik rakyat Indonesia , dan demikian halnya Badan Usaha Milik Negara pada hakekatnya adalah badan usaha milik rakyatindonesia, sehingga
dengan demikian piutang negara adalah
piutang seluruh rakyat Indonesia dan yang berhak menagih adalah seluruh rakyat
Indonesia . Akan tetapi Mahkamah
Konstitusi justrumemandang sebaliknya bahwa
Piutang BUMNadalah bukan piutang
negara atau bukan piutang rakyat , maka tafsir hukum semacam ini dari sudut
sintesa normatifmenimbulkan antagonisme , ataufomulasi dua norma yang
melebur hakekatnya. Dua norma itu
adalah pertama norma keuangan negara dan
yang kedua adalah normaBadan hukum “perseroan terbatas “, hasil sintesa normatif
ini dapat diuraikan sebagai berikut : ketika uang negara dimasukan kedalam
Badan Usaha milik negara, uang itu bukan
lagi menjadi uang negara , maka segala
aspek hukum baik hutang maupun piutang BUMN ( BUMN perbankan dan non Perbankan
) adalah bukan lagi menjadi tanggung jawab negara, transformasi norma seperti
ini membawa dampak pada prinsip-prinsip penyelesian piutang negara seperti penafsiran “ kerugian negara , penghapusan ( Write Off )
hutang , retrukturisasi kredit , piutang tak tertagih yang diakibatkan oleh
bantuan likuiditas ( kredit Likuiditas )
Bank Indonesia dan penyelesian BLBI termasuk masalah Bail Out , semua
ini merubah ketertiban hukumnya , yang merupakan pilar dari tujuan hukum yaitu
ketertiban , pertanyaanya adalah
bagaimana tujuan hukum itu dapat dimenangkan seandainya keadaan negara dihadapkan pada kondisi dan situasi tertentu, misalnya situasi krisis
moneter, jumlah piutang/kredit bermasalah pada BUMN baik piutang perbankan
maupun non perbankan semakin membengkak data terakhir yang dirilis harian
Kompas adalah Hapus buku sejumlah Rp 90 Triliun ,kredit macet sejumlah Rp 675 triliun belum termasuk sisa kredit
dari kasus gagal bayar kridit likuiditas Bank Indonesia yang hak tagihnya
dioperkan kepada pemerintah , ditambah dengan kasus Bailout Bank Century yang tak
kunjung selesai.
Jika norma hukum merubah hakekat-nya
, maka substansi hukumnya telah menyimpang dari prinsip-prinsip hukum
penyelesaian piutang negara , ( uang negara yang digunakan sebagai
penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara, berubah menjadi bukan uang negara ). Norma hukum “ Piutang negara
“ membedakan jenis piutangnnya
menjadi Piutang Negara Perbankan dan
Piutang Negara Non Perbankan. Penegakan hukum penyelesian piutang negara terdapat tiga prinsip hukum yaitu
Prinsip Kewenangan , Prinsip Sub-ordinasi
( kedudukan yang tidak sama antara kreditur dan debitur kedudukan kreditur
/negara lebih kuat dibandingkan dengan debitur
) maka diperlukan undang-undang yang mengandung hukum materil dan hukum
formal,dan Prinsip Prompter treatment ( Penyelesaian
sesingkat-singkatnya )diperlukan
Badan kkhusus yang bertugas sebagai penagih piutang negara, yang kedudukannya
setara dengan pengadilan dan penyelesiannya tidak menggunakan hukum acara perdata ( HIR ). Tiga prinsip inilah yang membedakan dengan
piutang non negara. Jadi ketika pemohon yang nota bene adalah Debetur bank BUMN
dikabulkan oleh MK . Sudah dapat diperkirakan bahwa mereka sebagai para debitur
bersorak sorai . Betapa gembiranya para debitur ini karena penyelesian kredit macetnya dapat ditempuh
melalui berbagai jalur penegakan hukum sama dengan Bank milik swasta yaitu
dengan cara-cara hukum acara perdata. Dan akibatnya yang diharapkan oleh para
Debitur Bank BUMN kasus gagal bayar Bank
BUMN tidak akan pernah berakhir / Never Ending Cases .
X.
Pergeseran Prinsip Hukum Penyelesaian Piutang Negara
Pergeseran norma dalam penyelesaian piutang negara telah terjadi terhadap penyelesaian piutang BLBI
yang merupakan kasus
gagal bayar luar biasa (extraordinary default), penyelesaian yang dilaksanakan oleh BPPN mengesampingkan
prinsip-prinsip hukum piutang negara, sehingga dalam
perjalannya kasus ini menelan biaya penyelesaiannya
luar biasa besar.Menurut pendapat Abhee
Antara – biaya
penyelesaian BLBI adalah sebesarRp 1000
Triliun. [18]
BPPN
merubah status hukum BLBI yang semula perikatan yang bersumber dari
undang-undang menjadi perikatan bersumber dari perjanjian. Perikatan yang bersumber dari
perjanjian memiliki sifat responsif karena adanya asas kebebasan berkontrak.
Kebebasan berkontrak (fredom of making contract) ialah asas yang sangat
penting didalam hukum perjanjian.
Asasyang
terpenting lainnya adalah asas keseimbangan
yang bertumpu pada “itikad baik”[19] ini berarti memberi
perlindungan pada debitur
dan kedudukan antara kreditur
dan debitur
menjadi seimbang.
Fakta bahwa penyelesaian piutang negara yang diselesikan dengan mekanisme pola negoisasi menimbulkan bencana keuangan negara . Penyelesian piutang negara dipandang sebagai
perbuatan hukum privat seperti
penyelesian piutang BLBI
yaang tidak lagi sebuah perikatan yang bersumber dari undang-undang, oleh BPPN kemudian dirubah dengan suatu perjanjian secara tertulis antara pemerintah
(BPPN) sebagai kreditur
dengan Bank penerima BLBI yang
disebut sebagai penyelesaian
kewajiban pengendali saham (PKPS)
melalui
mekanisme pengampunan Release and
Discharge dalam bentuk Perjanjian MSAA,MRNIA,danAPU,
teks perjanjiannya menggunakan bahasa Inggris, dan model perjanjian
semacam ini lazim digunakan dalam sistem common
law. Dengan pola penyelesaian demikian, maka
kedudukan hukum kreditur
menjadi setara dengan debitur
dan negara harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum perjanjian common law.
BPPN menyusun Terms
of Reference dibantu oleh beberapa konsultan dalam negeri maupun luarnegeri,
yaitu ;
a.
International
Legal Advisor: Orix, Allen & Gledhill, Brown & Wood, Coudert Brothers,
Morgan, Lewis &Bokius, White&Case.
b.
Local Legal
Advisor: LubisGanieSurowidjojo, Makarim&Taira, Soemadipradja&Taher,
Wiriadinata&Widyawan.
c.
International
Accountants: Arthur Andersen, Deloitte Touche Tohmatsu, Ernst & Young, KPMG
Peat Marwick, Pricewaterhouse Coopers.
Di samping konsultan-konsultanitu,
BPPN juga menunjuk suatu tim profesional
yang terdiri dari J.P. Morgan, Lehman Brothers, Danareksa, dan Bahana
Securities yang bertugas untuk melakukan berbagainegosiasi [20].
Termasuk, melakukan appraisal atas aset PPS bank yang akan diserahkan
kepada BPPN sebagai pembayaran kewajibannya kepada pemerintah. Hasil akhir dari
negosiasi tersebut selain sebagai pemenuhan komitmen pemerintah kepada IMF
dalam LOI juga berupa pembayaran kembali kewajiban bank-bank kepada pemerintah dengan
menggunakan teori kontrak model common law [21]
Pola
penyelesaian tersebut adalah bukan sebagai tonggak kebebasan berkontrak yang
bertanggung jawab, tetapi sebagai titik awal bencana keuangan negara terbesar
di abad ke 20 negeri ini yang ditengarai sebagai mega skandal (moral hazard) [22]
. Fakta membuktikan bahwa dalam
perkembangannya penyelesaian kasus gagal bayar yang luar biasa (extraordinary default), sebagaimana dikatakan
oleh Hendy Herijanto menelan biaya penyelesaian
dan beban bunga yang harus dibayarkan setiap tahunnya sampai dengan tahun
2021 sangat besar [23]
Data
empiris ini telah menunjukan bahwa rakyat dan negara sesungguhnya tidak memiliki
hutang apa-apa dari petualangan para
debitor , bahwa hutang tumbuh karena reaksi debitor terhadap hutangnya yang ada
didalam bank milik negara dan bahwa debitor adalah penghutang negara hanyalah
karena ia berhutang pada bank negara dimana ia harus diatur oleh hukum piutang
negara yang kuat karena sebab –akibat yang kuat
Tentu
mendesain sebuah norma hukum yang mampu
mempersatukan kepentingan uang negara
sebagai satu rumpun undang-undang keuangan negara ,dan mana hukum yang
bersifat umum dan mana hukum yang bersifat khusus ( UU PUPN ) adalah tidak salah , namun
meredusir norma piutang negara dengan orientasi kepentingan politis ekonomi debitor
yang bersifat kekinian justru merugikan
keuangan negara dimasa depan ,terutma kemanfaat
dan kegunaanya bagi kesejahteraan rakyat. Tantangan kedepan jauh lebih berat
jika putusan ini akan digunakan sebagai instrumen hukum kebijaksanaan
masing-masing bank milik negara ,karena desain penyelesaian model ini susah
untuk dipantau dan di kontrol oleh DPR , berbeda dengan desain model lama , dimana penyelesaian
kredit bermasalah,restrukturisasi dan hair cut harus melalui kebijakan
pemerintah. Desain baru ini, didalamnya terdapat ruang bebas bagi para debitor
nakal bernegoisasi untuk mendapatkan
apa-apa dan memberikan apa-apa.
Putusan Mahkamah
Konstitusi saat ini memiliki orientasi dasar bervisi jangka pendek serta banyak mengarah pada politisasi konstitusi, menurut Daud
Yusuf - salah satu candu dari para
elite kita adalah “ urgensi “ semua dianggap
“ kekinian “ mereka menderita mipio waktu ,akibatnya menimbulkan “ tirani
urgensi[24], Dalam
praksis sesuai watak dari “tiraniurgensi “
para pengambil keputusan akhirnya hanya menghasilkan “kebijakan-kebijakan “
yang dangkal karena gagal memahami secara konprehensip akar persoalan ,
keputusan yang mereka hasilkan tidak lebih dari sekedar “ respon” terhadap
gejala yang ada ,tidak mengherankan jika hasinya akan merembes sektor lain yang
tidak pasti.
Desain
penyelesian hutang dari Mahkamah
Konstitusi , bukan strategi besar masa
depan dengan seluruh kalkulasi resikonya, karena akan merembes kesektor politik traksasional dari previlige ekonomi
dan politik jangka pendek, daripada
perobahan dalam visi penegakan hukum yang sifatnya transformatif mempertahankan kepentingan nasional, yangpada
hakekatnya piutang negara adalah piutang rakyat dan badan usaha milik negara (
BUMN ) adalah badan usaha milik rakyat , yang berhak menagih dan menikmati
hasilnya juga rakayat, oleh karena TIDAK
ADA ORANG YANG BOLEH MENGAMBIL KEUNTUNGAN DARI KESALAHANYA SENDIRI [25]
[1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 /PUU-IX/2011- Uji Materi UU Nomor 49/1960 tentang Panitian
Urusan Piutang Negara
[3]
Anton F Susanto , 20013 ,h 110
bandingkan dengan doktrin deviasi
Roberto Unger –kesediaan untuk menerima kaedah yang ada diantara beberapa
kaedah kaedah tandingan yang dapat ditemukan dalam himpunan hukum. MK lebih
mengutamakan doktrin hukum dominan yaitu
preseden dan peraturan otoritatif ,dan hubungan antar manusia yang
dikehendaki.
[5] Sumber pokok dari kesalahan dan ketidakadilan
adalah pikiran yang salah mengenai kegunaan . MK adalah juga lembaga legislator tapi bukan
pembuat norma adalah penghapus norma , jadi jika legislator memiliki ide salah
mengenai kegunaan bila ia mempertimbangkan kebergunaan khusus dari pada
kebergunaan umum ,cenederung berhasrat menguasai perasaan manusia ,dari pada
menguasai perasaan-perasaan itu. Jadi dalam kasus ini menggunakan perasaan
kesamaan hukum, dan MK menguasai perasaan itu ( lihat Cesare Bonesana,Marchese
Beccaria ,dei delle pene ; an essy on crime and punishments )
[6]adalah komponen badan-badan negara, yang
dapat melaksanakan kontrol yang sangat minim ( yaitu pengelolaan keuangan
negara ) atas pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan itu ( doktrin Conseil d’Etat )
[7]Atas pertimbangan hukum tersebut pada akhirnya Mahkamah Konstitusi Menyatakan Permohonan Para Pemohon Ditolak, putusan ini
ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. berbeda dengan Putusan yang sekarang ini MK meyatakan
mengabulkan permohonan para pemohon sebagaian, putusan ini dikeluarkan dalam
masa kepimpinan Mochamad Mahfud MD
[10]
Robert Fabrikant . Legal Aspect of Production Sharing Contract in Indonesia
Petroleum Industry , dalam Pernan Hukum
Dalam Perekonomian di Negara berkembang , Penyunting T Mulya Lubis dan Richard
M Buxbaun. Penerbit Yayasan Obor Jakarta 1986 , hal 234
[11]
Ibid h 240
[16]Indoharto
, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata . Bahan Kuliah
pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang PTUN, Universitas Indonesia , Jakarta 1992
[17]
Berdasarkan teori kode proses signifikasi dan komunikasi adalah fungsi-fungsi
sosial maupun evolusi sosial , maka untuk “ berbicara “ tentang “pembicaraan “
,untuk menandai signifikasi atau untuk mengomunikasikan komunikasi mau tak mau
akan dipengaruhi oleh semesta pembicaraan ,signifikasi dan komunikasi itu
sendiri ( lihat Umberto Eco , A
Theory of Semiotics , Indiana University Press h 43 )
[21]Bandingkan dengan pendekatan Franco-Latin, di sisi lain,
berusaha untuk memaksimalkan asset perusahaan dengan
mengusahakan pegimpasan berdasar kesepakatan , dan. Penolakan selektif seperti kontrak
dikenal sebagai "cherry picking." Pendekatan Franco-Latin sering mengabaikan
pribadi dinegosiasikan sesudah kontrak sebelumnya, yang akan mendukung salah satu kreditur atas
yang lain. ( Lihat William J Bergman,
Bliss, A. Johnsons .G Kaufman- Netting ,
Financial Contract , and Bank The Economic Implication , Paper , Federal
Reserve Bank of Chicago 2003.
[22] Menurut pendapat Kant , ketentuan umum
mengenai pertimbangan moral berdasarkan
maxim yang dimiliki,tetapi maxim itu bersifat universal . Maxim merupakan suatu
prinsip yang mendasari kita bertindak ,dan prinsip itu bersifat universal jika
orang lain umumnya menerima prinsip itu . Disinilah letaknya moral hazard
,yakni orang bertindak berdasarkan prinsipnya sendiri yang tidak dapat diterima
oleh orang lain umumnya ( dikutip dari Hendy Herijanto , Selamatkan Perbankan Demi Perekonomian Indonesia ,Ekspose, 2013, h 120
)
[23]
Beban bunga
menurut sumber lain mengatakan Rp
110 triliun atau keseluruhannya mencapai
Rp 170 triliun yang harus dibayarkan
dari APBN sampai dengan tahun 2021. Bandingkan dengan total anggran untuk enam departemen yakni Departemen PU Rp 37,5
triliun, Departemen Pertahanan Rp 35 triliun, Departemen Kesehatan Rp 19,3triliun,
Departemen Agama Rp 20 triliun , dan Departemen Perhubungan Rp
16,1triliun. Porsi pembayaran utang pokok dan bunga tersebut untuk penyehatan
perbankan dan BLBI Rp 700 triliun sampai
tahun 2014 belum juga lunas . Padahal dana talangan itu dalam bentuk Surat Utang Negara /obligasi. Setiap tahun
membebani APBN yang nota bene adalah uang rakyat. Tapi ironisnya ,sampai sekarang pihak yang
menyelewengkan BLBI tidak semua dan sepenuhnya di hukum ( lihat Hendy Heriyanto
op cit h 34 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar