PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA PERBANKAN
Penyelesaian
piutang negara perbankan adalah kebijakan penegakan
hukum penagihan piutang negara
tak tertagih yang disebabkan oleh kredit umum dan kredit
khusus (likuiditas) bermasalah dari
bank-bank milik negara dan Bank Indonesia[1]
yang berpotensi merugikan negara[2], untuk itu diperlukan penyelesaian secara efektif dan
efisien.
Piutang
negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada atau badan-badan yang baik
secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan peraturan, perjanjian atau sebab
apapun.[3] Dengan demikian dari
pengertian tersebut piutang negara dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
piutang negara, yaitu
piutang negara perbankan dan piutang negara non perbankan.
Piutang
negara perbankan,
yaitu piutang yang berasal dari Bank Indonesia dan bank-bank yang dimiliki
pemerintah pusat seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara
(BTN), Bank Negara Indonesia (BNI 46), Bank Mandiri, dan bank-bank yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah
seperti, Bank Pembangunan Daerah (BPD).[4] Hingga saat ini piutang
negara perbankan masih banyak yang belum
diselesaikan. Hambatan penyelesaian piutang
negara perbankan ini disebabkan lemahnya
penegakan hukum, sehingga sangat
berpengaruh terhadap faktor efektifitas dan efisiensi.
Penyelesaian
piutang negara yang semula dilaksanakan
melalui lembaga khusus seperti PUPN dan BPPN,
pada saat ini dapat ditempuh melalui beberapa jalur
hukum antara lain melalui Panitia Urusan Piutang Negara atau Badan Penyelesaian Utang
dan Lelang Negara (PUPN/BPULN), melalui Peradilan Umum, Peradilan Niaga, dan
melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (mediasi & negosiasi).
Jalur-jalur penyelesaian yang
dipilih tersebut menjadi tidak efektif
karena kemungkinan putusannya sulit dieksekusi, serta tidak efisien
karena proses litigasinya berjalan lamban, lama, mahal dan
berbelit-belit.[5]
Pada
akhir September 2012 Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelesaian piutang kredit macet
bank badan usaha milik negara (BUMN)
dapat
dilakukan secara langsung atau bernegosiasi
dengan debitur
tidak perlu lagi penyelesaian
piutang itu melalui PUPN, Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 mengabulkan
sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh tujuh debitur PT BNI (Persero) uji materi ini terhadap pasal 4, pasal 8 dan
Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) menyatakan bahwa piutang Badan Usaha Milik Negara adalah
bukan piutang negara. Putusan MK bukan
hanya sebagai titik tolak,
tetapi
juga sebagai tonggak petunjuk telah melampaui
hak konstitusi rakyat, dan juga menimbulkan konsekuensi serius tentang
“makna” dan “hakikat” piutang negara perbankan karena keputusannya tidak konsisten (inkonstensi).[6]
Pada
masa sebelum krisis moneter tahun 1997/1998, penyelesaian piutang negara dilaksanakan melalui
badan khusus, yaitu PUPN.[7]
Pada saat krisis moneter 1997/1998
dibentuk badan khusus baru,
yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).[8] Tujuan dibentuknya
lembaga superbody ini adalah agar penegakan hukum penyelesaian piutang negara
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.[9]
Lemahnya penegakan hukum penyelesaian piutang negara
perbankan setelah reformasi bagi bank-bank BUMN bersumber dari Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara
sebagai revisi atas Peraturan Pemerintah
Nomor 14 tahun 2005, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yang menyebut bahwa piutang BUMN dan BUMD adalah bukan
piutang negara.[10] Hal ini menimbulkan kontradiksi dengan Undang-Undang
Nomor 49/Prp/1960 yang menyebut kredit macet bank-bank BUMN dan BUMD
adalah piutang negara.[11]
Perbedaan penyelesaian piutang negara yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960
menyebabkan penyelesaian piutang negara perbankan yang dihadapi Bank Mandiri, Bank Negara
Indonesia, Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tabungan Negara tidak bisa
dilaksanakan secara efektif.[12]
Penyelesaian piutang negara secara efektif dan efisien
adalah menjadi sangat penting. Menurut
Philippe Nonet-Philip Selznix, kekuasaan
dan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum (penagihan piutang negara) harus sepenuhnya ditegakkan melalui kekuasaan
yang diberikan pada suatu lembaga yang memiliki kewenangan tunggal (khusus) untuk mengurus
dan menyelesaikan piutang negara. Penegakan
hukum penyelesaian piutang negara perbankan selama ini terjadi persinggungan (overlapping) pelaksanaan tugas dan
wewenang dalam upaya penagihan piutang negara.
Kewenangan PUPN/BUPLN (sekarang
DJPLN) dan
Kejaksaan yang juga mempunyai wewenang untuk melakukan penagihan terhadap
piutang negara, penegakan hukum yang demikian adalah tidak efektif karena
berpotensi menambah beban kerugian negara, sebagaimana kasus gagal bayar kredit
likuiditas Bank Indonesia yang diselesaikan
oleh Kejaksaan Agung, sampai sekarang belum terselesaikan karena sisa piutang
yang belum dibayar oleh obligor harus ditagih dengan upaya hukum lainnya.[13]
Selain
penyelesaian piutang negara perbankan terjadi overlapping, muncul pula konsep regulasi yang belum sepenuhnya
menggunakan asas sub-ordinat, sebagai
prinsip dasar penagihan piutang negara, dan ternyata menyimpan sejumlah masalah
besar dalam segi penegakan hukum. Asas yang demikian sangat diperlukan selain
dapat dipandang sebagai indentifikasi prompter
treatment,[14]
juga dapat dipandang sebagai quasi judicial settlement,[15]
yang mempunyai ciri-ciri pokok,
memberikan
kekuasaan dan kewenangan pada pemerintah untuk melakukan penagihan piutang
negara secara efektif dan efisien.
Apabila
penagihan piutang negara perbankan dapat diukur melalui efektifitas penegakan hukum,
persoalan ini bisa didekati dengan kajian hukum responsif. Ciri yang bisa dikenali
dari teori hukum responsif adalah bahwa penyelesaian secara efektif dan efisien
tergantung pada keadaan yang dihadapi, dan pada banyak hal harus dianggap
sebagai wilayah terpisah antara dua keadaan, yang dapat diurutkan sebagai
berikut :
a. Apabila tindakan
tersebut terjadi dalam keadaan darurat yang dirasakan secara luas, seperti
dalam situasi krisis moneter atau situasi sejenis, maka
tindakan harus dengan model hukum represif,
yaitu dibuat
suatu peraturan perundang-undangan yang didalamnya mengandung unsur-unsur hukum materiil[16]
dan unsur-unsur hukum formil[17],
dan dilaksanakan oleh suatu badan khusus yang diberikan kekuasaan dan
legitimasi penuh oleh negara (lembaga
superbody), kedudukannya setara dengan pengadilan (quasi
judicial treatment).
b. Apabila yang dihadapi
dalam keadaan normal, maka tindakan yang diperlukan dalam penegakan hukum
adalah penegakan dengan model hukum otonom (prosedural) dan penegakan dengan
model hukum responsif. Penegakan dengan model hukum otonom ialah penagihan
piutang negara perbankan diselesaikan
dengan mekanisme prosedural melalui pengadilan, sedangkan penegakan hukum
responsif adalah penegakan hukum yang
hanya berfungsi untuk mengejar tujuan (porpusing[18]),
yaitu dengan mekanisme penyelesaian
internal (di luar
pengadilan),
atau dinegosiasikan kembali
dengan debitur seperti memberikan
pengampunan bagi para obligor dengan kebijakan Release and Discharge,
dinegosiasikan dengan cara-cara menyusun kembali perjanjian, misalnya dengan restrukturisasi,
yaitu perubahan syarat-syarat kredit seperti penjadwalan kembali (resecheduling)
dan persyaratan kembali (reconditioning), penghapusan (writeoff) atau
dengan
pengimpasan
pinjaman
(set off ).
Karakteristik
teori hukum Philippe Nonet-Philip Selznick adalah sejalan dengan pandangan teori hukum
ekonomi (Pareto Efficiency) yang mengindikasikan
bahwa sistem hukum pada saatnya akan
dihadapkan pada situasi dimana tiada seorangpun dapat membuat lebih baik tanpa
membuat orang lain lebih buruk.[19]
Pendekatan konsep teori
hukum ekonomi ini dapat disinkronisasikan dengan konsep sistem Piramida Keadilan
Terpadu/SPKT (Integrated Justice System
Pyramid) yang merupakan suatu konsep solusi hukum untuk menemukan
keseimbangan antara keadilan bersifat retributive,
distributive, dan komulatif. Konsep SPKT mengusulkan
perubahan kebijakan
hukum dalam penegakan hukum yang melibatkan sektor swasta yang menekankan kepada
pendekatan yang moderat terhadap bank badan usaha milik negara (BUMN) atau
Bank Indonesia, untuk mengkaji perundang-undangan administratif yang
memiliki ketentuan pidana seperti Undang-Undang Perbankan. dan Bank Indonesia.[20]
Konsep
tersebut di atas
dapat digunakan sebagai landasan teori dalam kajian hukum piutang negara mengenai
persoalan kebijakan penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik
Indonesia terhadap penyelesaian piutang negara perbankan, apakah dapat
diselesaikan secara efektif
dan
efisien.
Sebelum mengidentifikasi efektifitas pola penyelesaian
piutang negara perbankan yang berpotensi merugikan negara, terlebih dahulu
harus dapat memahami proses perkembangan penegakan hukum penyelesaian piutang
negara yang pernah dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia
dalam kurun waktu tahun 1998 sampai dengan tahun 2012 (masa pemerintahan
Presiden Habibie sampai dengan pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono).
Pada
awal masa reformasi tahun 1998 (masa pemerintahan Presiden Habibie) banyak
terjadi kemacetan penyelesaian piutang negara perbankan. Pada masa ini kebijakan penegakan hukum penyelesaian piutang negara
diselesaikan sebatas kesulitan likuiditas. Mekanisme penyelesaian piutang negara
perbankan dilaksanakan melalui dua mekanisme
penegakan hukum,
yaitu dengan mekanisme PUPN
dan mekanisme penyelesaian melalui BPPN yang mengikuti prosedur dalam masa
krisis.[21]
Pada
masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dikeluarkan Keputusan Presiden
atau Keppres Nomor 84 Tahun 2001 yang antara lain mengatur pembentukan Kantor
Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) sebagai pengganti BPULN dan tidak
mengubah secara substansial mekanisme pengurusan piutang negara, tetapi hanya
mengganti nama lembaga BUPLN menjadi KP2LN dan hanya menekankan pentingnya aspek “pelayanan” dalam pengurusan piutang negara.
Oleh karena itu, praktis lembaga
ini tidak efektif dalam penyelesaian
piutang negara perbankan. Sedangkan mekanisme penegakan hukum yang dilaksanakan
melalui BPPN,
hanya digunakan dalam mekanisme perlindungan hukum pengusaha besar pengemplang (wanprestasi)
BLBI. Hal ini tercermin dari penegakan hukum penyelesaian
piutang negara perbankan yang disebabkan oleh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dimana
lembaga PUPN yang diberlakukan, tapi tidak difungsikan maksimal. Sedangkan
bentukan lembaga khusus yang lainnya, yakni Badan Penyelesaian Perbankan
Nasional (BPPN) tidak didukung oleh legislasi yang kuat, sehingga penggunaan
lembaga ini kurang efektif dapat menyelesaikan Piutang Negara Perbankan.[22]
Pada
masa pemerintahan Presiden Megawati penyelesaian piutang negara perbankan
lebih banyak mengedepankan negosiasi dengan debitur atau obligor melalui mediasi
terutama terhadap penyelesaian piutang negara BLBI, berdasarkan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Instruksi Presiden
ini mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 2002 dan lebih dikenal dengan
istilah Inpres tentang R & D atau Release
and Discharge, mekanisme ini menerapkan “pengampunan” bagi yang dapat
melunasi dan “penyanderaan”,
dengan ancaman penjara terhadap mereka yang tidak dapat memenuhi skema perjanjian MSAA dan MRNIA.[23]
Inpres ini sangat kontroversial, sehingga menimbulkan
gerakan penolakan terhadap Inpres 2 Tahun 2002 oleh Koalisi Tolak Pengampunan Konglomerat Pengemplang Utang[24].
Mereka mengajukan
uji materi ke Mahkamah Agung. Langkah mereka juga mendapat dukungan dari
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tanggal 26 Februari 2003
yang mengajukan juga judicial review
kepada Mahkamah Agung. Permohonan itu akhirnya ditolak oleh Mahkamah Agung pada
tanggal 3 Mei 2006. Dengan ditolaknya permohonan uji materi ini menurut
YLBHI penyelesaianmelalui R&D sangat
merusak rasa keadilan, sebab para konglomerat telah jelas melanggar ketentuan
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Perbuatan ini merupakan tindak pidana
perbankan yang dapat diancam pidana kurungan.[25]
Pada
era pemerintahan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono,
penyelesaian
piutang negara perbankan (penyelesaian
piutang macet di Bank BUMN) tidak lagi diselesaikan melalui “Mekanisme Negara”
(melalui PUPN), tetapi harus diselesaikan melalui “Mekanisme Korporasi” (tanpa
melalui PUPN) berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
UU Nomor 40 Tahun 2003 tentang BUMN, dan
Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perbankan.
Penyelesaian
piutang negara perbankan yang dilakukan pemerintahan presiden SBY pada dasarnya
lebih mengedepankan
kebijakan “pengampunan”
sebagai upaya penyelamatan kredit pada bank-bank BUMN, yaitu dengan program
restrukturisasi
dan penghapusan kredit, dan apabila penyelamatan kredit ini tidak berhasil,
maka penyelesaian
piutang negara perbankan melalui jalur pengadilan, arbitrasi, penyerahan kredit
macet melalui kejaksaan dan penyerahan pengurusan kredit macet melalui
BUPLN/PUPN.[26]
Pemberlakuan PP Nomor 14/2005 dan PP Nomor 3/2006 dalam
praktiknya mengalami hambatan terutama masih kuatnya pemahaman aparat penegak
hukum yang menganggap piutang perusahaan negara atau piutang BUMN adalah bagian
tak terpisahkan dari piutang negara. Pemahaman ini masih melekat selama 51 tahun, yaitu sejak pemberlakuan UU 49/Prp/1960.
Pada
bulan September tahun 2011
pemerintah telah mengajukan
Rancangan Undang-Undang tentang Piutang Negara dan Piutang
Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)[27] dan sampai saat ini
belum disahkan. Akan tetapi,
konsep dasar pembuatan RUU tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah ternyata tidak
menganut asas kewenangan tunggal,
berbeda
dengan UU tentang PUPN. Badan
ini memiliki kewenangan tunggal untuk menyelesaikan seluruh piutang negara, baik perbankan maupun
non perbankan. Pada RUU tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah, badan khusus yang
dibentuknya yang diberi nama Pejabat Pengurus Piutang tidak berhak mengurus piutang negara
lainnya.[28]
Pada RUU tersebut, piutang negara dibedakan menjadi
tiga dan pengurusannya juga berbeda-beda[29].
Di sisi
lain, konsep dasar RUU ini telah terjadi pergeseran terhadap asas sub-ordinat sebagai prinsip hukum
piutang negara perbankan,[30] berubah menjadi asas keseimbangan atau kedudukan yang sama
antara kreditur dan debitur. Oleh
karena itu, penyelesaian
piutang negara perbankan di
dalam
konsep hukum RUU ini, tidak lagi berdimensi hukum publik melainkan tunduk pada hukum privat.
Konsep
Piutang negara pada RUU tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah, hanya
ditunjukkan pada tagihan
terhadap penghasilan negara bukan pajak (PNBP), sedangkan penyelesaian piutang negara
perbankan diselesaikan
melalui mekanisme korporasi. Substansi
hukum demikian akan menjadi rumit berbelit-belit, tidak efektif dan efisien,
bila dihadapkan pada kondisi krisis.
Sebagaimana pada kasus gagal bayar BLBI tahun
1997/1998 dan pada kasus Bank Century, meskipun telah banyak dikeluarkan
kebijakan pemerintah, persoalan ini tak
kunjung selesai.[31]
Langkah-langkah yang telah dilakukan
oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana
disebutkan di atas, pada hakikatnya
dapat dibedakan ke dalam dua mekanisme penegakan hukum, yaitu
mekanisme represif dan mekanisme responsif.
a. Mekanisme
penegakan hukum represif, penyelesaiannya melalui badan
khusus atau lembaga superbody (seperti PUPN dan
BPPN).
b. Mekanisme
penegakan hukum responsif, penyelesaiannya
melalui eksternal,
yaitu pengadilan atau secara internal,
yaitu bernegosiasi dengan debitur untuk penataan kembali (restrukturisasi), penghapusan piutang (write off), dan pengimpasan (set
off ).
Fakta
dan problem hukum inilah yang menimbulkan pertanyaan,
apakah kebijakan penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik
Indonesia terhadap penyelesaian piutang negara perbankan dapat diselesaikan secara efektif dan
efisien, maka dengan menggunakan sudut
pandang mekanisme penyelesaian tersebut di atas, penegakan hukum dapat dinilai dengan menggunakan
parameter; tindakan represif atau
tindakan responsif,[32] karena menurut
pandangan teori hukum responsif yang
dikemukakan oleh Philippe Nonet-Philip Selznick meskipun kondisi dan situasinya
berbeda akan tetapi karena tujuan
utama penegakan hukum adalah ketertiban , maka yang perlu dipikirkan adalah
bagaimana agar ketertiban harus
dimenangkan.
[1]Kredit bermasalah dari Bank Indonesia
seperti Pemberian kredit Likuiditas/Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
[2]Bandingkan jumlah kerugian negara yang
disebabkan oleh tindak pidana korupsi dengan
kredit bermasalah dari bank BUMN dan Bank Indonesia, Jumlah uang yang di
korupsi periode 2004 – 20012 berjumlah Rp 39,3 Triliun (sumber data dari Komis
Pemberantasan Korupsi diambil dari harian Kompas tanggal 5 Desember 2012), sedangkan
Kredit Bermasalah Bank Persero
BUMN dari Tahun 2007 – Pebruari 2012 , utang yang hapus buku Rp 90 Triliun,
total kredit bermasalah
Rp 119.2 triliun dengan perincian sebagai berikut, Tahun 2007 berjumlah Rp 23,1, Tahun 2008
jumlah Rp 17,6 Triliun, Tahun 2009 Rp 18,8 Triliun, Tahun 2010 Rp 18,0 triliun
, Tahun 2011 jumlah Rp 19,8 Triliun, Tahun 2012 Rp 21,9 Triliun. Jumlah kredit
yang disalurkan Rp 767.5 Triliun. (sumber data dipetik Bank Indonesia yang
dimuat di harian kompas tanggal 22 Oktober 2012) kemudian kredit bermasalah yang belum dapat diselesiakan dari
Bank Indonesia adalah Dana Talangan Bank century Rp 6,7 triliun dan Beban biaya penyelesaian BLBI Rp 650 triliun,
total dana talangan kasus BLBI berjumlah Rp 80 Triliun Melihat jumlah kerugian
negara berdasarkan data-data tersebut ternyata jumlah kerugian negara lebih
banyak disebabkan oleh kredit/piutang negara perbankan dibandingkan uang negara
yang dikorupsi,
[3]Republik
Indonesia,” Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan
Piutang Negara (PUNP ) Pasal 8 dan penjelasannya. Dengan piutang negara
dimaksudkan utang yang :
a.
Langsung terutang kepada Negara dan oleh karena
itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah .
b.
terutang kepada badan-badan yang umumnya
kekayaan dan modalnya sebagaian atau seluruhnya milik negara, misalnya
Bank-Bank Negara, PT-PT Negara, Perusahan-Perusahaan Negara. Yayasan Perbekalan
dan Persediaan, Yayasan Urusan Bahan makanan dan sebagainya. Utang pajak tetap
merupakan piutang negara, akan tetapi diselesaikan tersendiri dengan
Undang-undang Peradilan Panagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.
[4]Piutang
negara non perbankan berupa tagihan-tagihan dari lembaga atau instansi atau
badan pemerintah pusat dan daerah selain bank seperti tagihan macet dari
departemen dan lembaga non departemen atau dinas daerah selain bank seperti
tagihan PLN, TELKOM, Pegadaian, dan lain sebagainya termasuk tuntutan ganti
rugi.
[5]
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di
Indonesia (Cet. 3, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 430
[6]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 023/PUU-IV/2006, Piutang Bank BUMN adalah Piutang Negara.
[7]Undang-Undang nomor 49/ Prp /1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) serta Keppres Nomor 21 Tahun 1991 Tentang Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara (BUPLN)
[9]Pengembalian kerugian negara tanpa melalui
peradilan sebenarnya lebih efektif dan efisien dibandingkan melalui pengadilan.Muhamad
Djafar Saidi,
Hukum& Keuangan Negara, (Jakarta:
Penerbit Raja Grafindo Persada,2011),h.
136
[10]Fatwa Mahkamah Agung WKMA/Yud/20/VIII/2006
tanggal 16 Agustus 2006
[11] Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara dan bisa dilihat dalam putusan mahkamah Agung No
1144 K/Pid /2006, sebagai berikut :
- Meskipun
Bank Mandiri merupakan PT.Terbuka, tetapi secara struktural, Bank Mandiri tetap
sebagai sebuah Persero yang menjadi ciri bahwa bank Mandiri adalah milik
negara. Perubahan-perubahan kepemilikan saham ,apalagi saham negara menduduki
jumlah terbesar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (posisi dominan),
sama sekali tidak mengurangi status hukum Bank mandiri sebagai BUMN yang mengelola
kekayaan negara. Dalam status yang demikian ,direksi atau setiap orang yang
bekerja pada Bank Mandiri demikian pula BUMN lainnya, tidak semata-mata
melakukan fungsi keperdataan, tetapi juga fungsi publik yang menjalankan tugas
pemerintahan pada Bank Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal itu secara hukum
mengandung arti bahwa direksi atau setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti
Bank Mandiri, berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan ,sehingga
kepada mereka dapat dilakukan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggara pemerintahan seperti
ketentuan tentang pemberantasan korupsi.
-
Seperti dikemukakan ,sebagai BUMN ,Bank Mandiri mengelola kekayaan negara sebagai
pengelola kekayaan negara, maka tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh direksi
atau pegawai Bank mandiri, yang merugikan atau dapat merugikan Bank Mandiri
,dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, karena telah menimbulkan
kerugian atau dapat merugikan negara yaitu kekayaan negara yang dikelola Bank Mandiri.
[12] PP 14/2005 tidak secara jelas mencantumkan
pola pelunasan kredit macet apakah dengan cara cash settlement atau asset
settlement, akan tetapi pola ini belum bisa dilaksanakan, sehinggga rencana
Bank-Bank BUMN & BUMD untuk menghapus tagih (hair cut) kredit macet senilai total Rp 45,5 Triliun belum bisa
terlaksana dikarenakan pemerintah sampai saat ini belum juga mengajukan
amandemen Undang-Undang Nomor 49/Prp/ Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
(sumber tweet share)
[13]Menurut keterangan Wakil Jaksa Agung
16 obligor belum dapat
menyelesaikan piutangnya kepada pemerintah
dengan alasan karena Menteri
Keuangan tidak memberikan kuasa kepada Kejaksaan Agung untuk menggugat para
obligor maka perkara ini tertunda, kejaksaan baru melakukan penyidikan terhadap
yang bertanggung jawab. "Bisa jadi direksi (bank) dan group head-group head yang memberikan kredit,
melakukan analisa, sampai memberikan putusan pemberian kredit bermasalah
itu," katanya. Kasus lainnya adalah kredit macet pada bank mandiri Dia menolak
menyebutkan para tersangka. Sebab, kejaksaan masih bekerja di awal tahap
penyelidikan. Pengucuran kredit itu tidak saja terjadi di Bank Mandiri pusat.
Namun juga di daerah. Sebab itu, kejaksaan akan memeriksa Bank Mandiri di
Jakarta, Pekanbaru, dan Medan. Kejaksaan, tengah menuntaskan kasus-kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap bank-bank yang tidak
kooperatif. Selama ini, kejaksaan sudah menindaklanjuti penyidikan dengan
membawa bank itu ke pengadilan. "Namun, ada juga karena kebijakan
pemerintah maka dihentikan penyidikannya,. Akibatnya, dari puluhan bank yang
dibantu, kini tinggal menyisakan 16 debitur yang akan dilakukan penyelidikan,
penyidikan dan dibawa ke pengadilan. Selain Bank Mandiri ada 16 bank yang
tengah diteliti kejaksaan. Antara lain ; Bank Central Dagang, Bank Pelita, Bank
Deka, Bank Pinaesaan, Bank Centris Internasional, Bank Indonesia Raya, Bank
Intan, Bank Pesona Kriya Dana, Bank Tata, Bank Anrico, Bank Dwipa Semesta, Bank
Guna Internasional, Bank Industri, Bank Pasific, dan Bank Majapahit
(Koran
Sindo terbitan 14 Juni 2012 dan
berita RCTI jam
17 tanggal 14 juni 2012 )
[15]Tindakan-tindakan yang dapat dipaksakan
melalui penggunaan kekuasaan negara (title
eksekutorial)
[16]Unsur hukum materiil atau yang mengatur hubungan antara manusia,
yaitu yang mengatur siapa yang
bertanggung jawab, bentuk apa, tugas yang harus dikerjakan dan apa yang menjadi
wewenang
[17]Unsur hukum formil atau yang mengatur tata
cara penegakan dari hukum materil dari undang-undang ini menyangkut isi dan
tugas yang diurus dalam bentuk apa dan bagaimana cara pengurusanya . dipandang
dari segi pembentukannya memiliki arti formil yaitu dibentuk oleh ekskutif
bersama legislatif , juga harus mempunyai arti materiil, yaitu berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah.
[18]Pengertian
purposing adalah orientasi kepentingan atas dasar asas keseimbangan yang cara
penyelesaiannya diatur oleh undang-undang tersendiri.
[19]Konsep
Pareto effeciensy
merupakan gambaran yang paling tepat tentang suatu keadaan dimana kesusksesan
atau kegagalan penagakan hukum dapat diukur
lewat effeciency
dampak-dampak yang dihasilkan oleh kebijakan
Dampak-dampak itu tidak diukur semata-mata secara empiris saja,
melainkan harus berdasarkan sebuah
kriteria teoritis. Berdasarkan teori hukum responsif, penegakan hukum yang efektif, adalah berdasar kepada optimalisasi otoritas dan
legitimas untuk mencapai tujuan , bila penegakan hukum melalui
prosedural (model hukum otonom)
keadilan bisa menjadi lambat dan tidak efisien. Dengan adanya aspek paksaan (represif) dari kekuasaan negara, maka kegagalan pasar / gagal bayar dalam kredit
bermasalah)dapat ditangani secara efisienkarena
negara bisa bertindak untuk menghasilkan keuntungan bagi negara dengan mengorbankan kepentingan kelompok lain.
lihat James
Coporaso dan David P Livine dalam Theory
of Political Economy,Cambridge 1992 , diterjemahkan dalam bahasa indonesia
oleh Suraji dengan judul Teori-Teori Ekonomi Politik,(Pustaka Pelajar, 2008), h.
232.
[20]George P Fletcher , Basic Concept of Legal Thought “ Oxford University Press 1966,
hal 80-81 dipetik dari Romli Atmasasmita ,Globalisasi
Kejahatan Bisnis ,Kencana Jakarta 2003 hlm 150.
Konsep keadilan retributive
menetapkan bahwa semua orang memperoleh keadila yang sama dan tidak ada
satupun yang dibedakan dengan orang
lain. Konsep keadilan distributive menetapkan bahwa ,keadilan hanya dapat
diwujudkan jika proses perbuatan harus diberikan hukuman yang setimpal sesuai
dengan tingkat keseriusan dan akibat dari kejahatan yang bersangkutan. Konsep
keadilan komulatif yang berlaku dalam
hukum keperdataan yang menitik beratkan kepada itikad baik dari para pihak ,
bahwa para pihak harus melaksanakan perikat hukum yang telah disepakatinya secara baik da jujur
. Konsep keadilan ini menghendaki adanya pola penyelesaian hukum yang bersifat
“pemulihan hubungan hukum “ antara para pihak.
[21]Pada
masa pemerintahan transisi Presiden BJ. Habibie ditandai dengan munculnya
lembaga BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 dan keberadaan
BPPN juga diperkuat dengan Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998. Mekanisme
penyelesaian piutang negara perbankan oleh BPPN adalah dengan hapus
tagih (peraturan khusus yang mengatur hapus tagih pada bank BUMN pada masa ddiskon kepada pihak lain (umumnya kepada
perbankan nasional yang telah disehatkan oleh BPPN) BPPN memang diberi
kewenangan yang sangat luas untuk melakukan penyehatan pertbankan nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 dan Keppres 27/1998.
[22]Sesuai
dengan Pasal 37 ayat (3) UU 10/1998 badan khusus (BPPN) juga memiliki
kewenangan sebagaimnana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1)–(3). Kemudian
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999, tentang Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
sebagai
aturan pelaksana UU Perbankan 10/1998 ayat (9) memuat ketentuan pokok tentang
Tata Cara Penagihan PiutangBankDalam penyehatan, Tata Cara PenyertaanModal untuk
Sementara, pendirian dan pembubarannya serta Tata Cara Program Penyehatan
Perbnkan Nasional. kemudian pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid,
penegakan hukum penyelesaian piutang negara
juga hanya berlandaskan Keputusan Presiden (Keppres) yaitu Keppres Nomor 84
Tahun 2001.
[23]Kebijakan
Penyelesaian Piutang Negara BLBI ini akhirnya bermuara pada penyelesaian
keperdataan, dimana pemerintah tidak melakukan tuntutan pidana kepada para
banker, yang dapat mengembalikan seluruh hutangnya yang timbul dari penyaluran
BLBI, kemudian diadakan kesepakatan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan
Debitur dengan membuat Master Setlement
Acquisition Agremeent (MSAA) dengan klausula hukumnya yang dinamakan Release and Discharge, yaitu pembebasan
dari tuntutan pidana, sedangkan kepada Debitur yang asetnya tidak mampu memnuhi
kewajibannya dibuat kesepakatan Master
Refinancing and Note Issuances Agreement (MRNA), dimana pihak Debitur harus
menyerahkan asetnya jika nantinya aset yang sudahdiserahkan tersebut ternyata
tidak mencukupi atau dibawah kewajibannya. Dengan skema pembayaran hutang
seperti ini, maka sudah dapat diduga bahwa penggelembungan nilai asset sangat
merajalela terjadi sangat mencolok mata.Anehnya, halseperti ini dibiarkan oleh
pemerintah meskipun hal tersebut terjadi didepan mata. Lihat Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatami Kejahatan Kerah Putih,
(Bandung: Citra Aditya, 2004), h. 113.
[24]Koalisi
Tolak Pengampunan Pengemplang Utang ini adalah organisasi non pemerintah yang
terdiri atas Teten Masduki (ICW), La Ode Ida (Wakil Ketua Perhimpunan
Masyarakat Transparansi Anggaran Indonesia), Vony Reyneta (Direktur Yayasan LBH
Apik Jakarta), Longgena Ginting (Direktur Eksekutif Walhi), Asmara Nababan
(Direktur Ekskutif Perkumpulan Demos), Kamarudin Hidayat, Faisal H Basri,
Hidayat Nurwahid, Imam Sugema, Nursahbani Kantjasungkawa, Meilono Soewondo,
Azas Tigor Nainggolan, Monica Tanuhandaru, Nasir Syafrie dan Dadi Krismantoro.
[25] 3
hingga 6 tahun serta denda Rp 5 milyar hingga Rp 8 milyar berdasar
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 (Pasal 11, Pasal 49 ayat 2 huruf b
dan Pasal 50).
[26]Dasar hukum penyelesaian piutang negara
perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah :
-
fatwa
Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 , dengan adanya Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka Undang-Undang Nomor 1 tentang Perbendaharaan
Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang Nomor 49/Prp/Tahun 1960 tentang PUPN tersebut tidak mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum. ,kemudian
MahkamahAgung menyatakan PP 14/2005 tentang Tata Cara
Pengahapusan Piutang Negara/Daerah dapat dilakukan perubahan sepenuhnya.
-
PP Nomor 33/2006 yang mulai berlaku 6 Oktober
2006. Dengan diterbitkannya peraturan ini, maka penegakan hukum dalam
penyelesaian piutang negaraperbankan
dikembalikan kepada hukum privat
tidak lagi melalui lembaga khusus akan tetapi dilakukan secara internal perbankan yaitu dengan cara Restrukturisasi dan PenghapusanKredit Macet.[26]
[27]Amandemen Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960
tentang PUPN
[28] RUU
tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah mendefinisikan Piutang Negara adalah
jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan
/atau hak pemerintah pusat yang dapat
dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian dan akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
akibat lainnya yang sah. Sedangkan yang dinamakan piutang daerah adalah jumlah
uang yang wajib dibayar kepada pemerintah daerah dan/atau hak pemerintah daerah
yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian ,akibat lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan
atau akibat lainnya yang sah.
[29] -
Pengurusan piutang negara dan piutang daerah tidak termasuk pengurusan piutang
negara dan piutang daerah yang cara penyelesaianya diatur dengan undang-undang
tersendiri.
- Pengurusan
piutang badan hukum yang cara penyelesaianya diatur dalam undang-undang
pembentukanya.
- Pengurusan piutang negara dan piutang daerah
dilakukan terhadap piutang yang telah macet dan diserahkan pengurusanya kepada
Pejabat Pengurusan Piutang.
[30]kedudukan kreditur bank BUMN lebih tinggi
daripada debitur
[31]Menurut Daud Yusuf, kebijkan-kebijakan yang dihasilkan oleh elite
politik sekarang ini adalah
kebijakan-kebijakan yang dangkal karena
gagal memahami secara komprehensif akar persoalan , kebijakan yang mereka
haslkan tidak lebih dari sekedar “respon” terhadap gejala yang ada. Salah
satu candu dari para elite politik kita adalah “ urgensi “semua dianggap
kekinian”, mereka menderita
mipio waktu akibatnya menimbulkan “Tirani Urgensi”. Keterbelahan ekstrim anatara paradigma
pemerintah dan masyarakat mengenai penyelesian kasus-kasus besar seperti BLBI dan Bailout Bank Century
dipicu oleh kultur elite yang gemar akan
tindakan dadakan. Dan dihinggapi politik transaksional demi previlese ekonomi
dan politik jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan jika hasilnya “
sakdadine” (asal jadi) bukan
strategi jangka panjang dengan seluruh kalkulasi resikonya. dipetik dari
Sunardi Rinarit , “Tahun
Perburuan – Analisa Politik”
,Kompas 17 Januari 2012
[32]Dalam teori efisiensi pareto, negara sebenarnya tetap bisa bertindak untuk mengahasilkan
keuntungan bagi kepentingan kelompok (masyarakat) dengan mengorbankan kelompok
lain (para obligor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar