Sabtu, 29 April 2023

 DISKRIPSI

TEORI QUIETUS POLITIK

 

1.      Bidang Teori ilmiah  invensi

            Invensi ini berhubungan dengan teori ” cara mental bekerja”  berdasar pada asumsi,   “ pikiran, sesungguhnya adalah kesadaran “. Kita ada karena berpikir ( thinking being ) .  Berpikir memungkinkan akal mengenali cara mental bekerja.   Cara mental bekerja di bentuk oleh dua  kesadaran persuasive :

1)      Pertama disebut sebagai Kesadaran persuasive  minimal ( disingkat : Pm ) dan

2)      Kedua disebut sebagai Kesadaran persuasive Maksimal ( disingkat : Px ) .

  

2.      Latar belakang Invensi Teori Ilmiah.

 

1)      Tindakan manusia secara persuasive mengantisipasi dirinya pada kedaulatan mengambil hidup untuk mendapatkan keuntungan  yang sebesar-besarnya , dimana  setiap orang tidak dapat berbuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk ,  masing-masing mengambil posisi sebagai zona pengerukan laba dan sekaligus juga sebagai penikmat dan tong sampah, juga membiarkan mati untuk tidak dapat dikatakan sebagai pembunuh. Sehingga penampakan dalam kehidupan sekarang ini adalah sebuah lintasan kerja manual dan kerja mental , juga adalah sebuah  distorsi  antara  politik dan kematian ( quietus politic ).     

2)      Implementasi dari kedua persuasive diatas adalah sebagai berikut :

·         Pm - Adalah kesadaran selalu berhadapan dengan pemenuhan kebutuhan /pikiran bagaimana kebutuhan dapat dipenuhi agar bisa hidup lebih baik, pemikiran ini berada pada pola menjaga-jaga ( persuasive ) secara minimal, yang di sebut sebagai Cara Kerja Manual.

·         Px   - .  Adalah kesadaran  dalam perluasan  ( res extensa )  , dimana  kesadaran menjadi  persuasive yang  maksimal , yang mengambil tempat dalam berpikir  -  “ bagaimana jika “. Misalnya bagaimana jika tidak mendapatkan pasar terhadap produk saya, bagaimana jika saya terlambat datang, dan seterusnya. Pemikiran ini berada paada Cara Kerja Mental.

 

3)      Pemenuhan kebutuhan adalah kesadaran persuasive manusia, yang merupakan fondasi kekuasaan terhadap kebutuhan yang secara minimal harus dipenuhi. Bila Pm diperluas menjadi PX . Maka tindakan untuk menuju PX, memang adalah berbuat lebih baik, namun bagi orang lain menjadi lebih buruk .  Sehingga penampakan dalam kehidupan  menjadikan PX  adalah sebuah lintasan  distorsi  antara  politik dan kematian ( quietus politic).     

4)      Mekanisme cara kerja manual dan cara kerja mental bisa dijelaskan dengan contoh sebagai berikut :

5)      Contoh Pertama Tidur.    Ketika kita tidur , kemudian kita terjaga dari tidur, berapa ukuran waktu kebutuhaan  persuasive minimal ( Pm )  sampai kita terjaga dari tidur. Katakanlah  waktu yang kita perlukan untuk memuaskan kebutuhan untuk tidur ,  adalah 8 jam.  Kesadaran persuasive untuk pemenuhan kebutuhan “tidur “ adalah 8 jam ( Pm tidur = 8 ) . Kesadaran berikutnya adalah  kebutuhan kita terhadap “tidur” , secara persuasive ingin dipercepat , sehingga lamanya tidur menjadi pendek yaitu  3 jam.

 

a)      Percepatan “tidur “ memerlukan alat yang dapat membangunkan kita agar cepat  terjaga dari tidur. Sekarang kita berada pada Px , yaitu “ kesadaran persuasive maksimal”  – percepatan  pemenuhan  “ terjaga “. Cara kerja mental mulai berakselerasi dengan ratio . Siapa yang mendapat keadaan lebih baik  dan untuk apa sesungguhnya keadaan yang lebih baik dari  bangun cepat itu ?  .

b)      Cara kerja Px  adalah dengan menyiapkan “alarm”,menggunakan isntrumen waktu dari Jam Beker atau HP . Px  secara mekanis menghasilkan produk kecepatan terjaga yang dimaksimalkan oleh kekuasaan akal agar kita ‘terjaga. ( Px tidur = 3 )  .

c)      Tujuan dari cepat “terjaga” agar  jangan sampai terlambat bekerja atau melakukan agenda aktifitas pemenuhan kebutuhan hidup. Pada  Px ,  Anda telah berbuat baik bagi agenda aktifitas Anda , tapi tahu kah Anda , disadari atau tidak,   sesungguhnya tindakan Anda , tidak membuat diri Anda lebih baik, dari orang lain. Anda telah berbuat baik terhadap agenda aktifitas , sehingga “bos” Anda menjadi senang. Akan tetapi setidaknya dengan menggunakan “alarm” orang lain mengalami lebih buruk “ kaget “ , terjaga dari tidurnya. Jadi sesungguhnya bila kesadaran persuasive dimaksimalkan, tindakan ini menunjukan bahwa “ tidak ada berbuat sesuatu lebih baik tanpa membuat sesuatu lain lebih buruk” pm-px = 3-8 . Hasil -5 ( min lima jam ).  Pendapatan  yang  Anda peroleh  tidak lebih baik bagi Anda, karena pemenuhan kebutuhan Anda untuk  bertahan hidup berkurang 5 jam.  Jadwal yang dibuat oleh perusahaan Anda adalah berbuat untuk lebih baik hanya bagi perusahaan Anda, namun buruk bagi Anda. Durasi waktu itulah membuat daya tahan fisik Anda lebih buruk.

3)      Contoh Kedua KTP Elektronik

a)      Untuk menggambarkan bahwa Anda adalah penduduk di suatu Negara, dan  sebagai Warga Negara dari suatu Negara, maka diperlukan sebuah identitas. Tentu saja bentuk identitas itu  perlu keputusan politik. Perkara identitas ini menjadi rumit adalah karena jumlah penduduk disuatu negara begitu kompleksnya. Disisi lain adalah ketersediaan dana juga menjadi  pertimbangan politik yang bisa saja mengalami bias . karena dalam katagori distribusi antara siapa penyalur dananya dan siapa yang membuatnya , demikian juga bagaimana  hasilnya dan apakah kucuran sesuai dengan alokasi anggaran.  Kucuran ketersediaan adalah rangkaian peristiwa yang menopang pembuatan identitas  penduduk dan identitas warga Negara, maka  ketersediaan identitas terbelah dalam dua bentuk yaitu KTP adalah Kartu Tanda Penduduk sebagai suatu identitas penduduk dalam antar daerah satu Negara , kedua Pasfort adalah identitas warga Negara satu Negara  antar Negara. Dalam konteks identitas timbul gagasan /pemikiran politik   awal adalah  kesadaran persuasive minimal ( Pm ) bahwa penduduk di Negara ini harus memiliki identitas. Menaggapi keprihatinan itu maka timbulah pemikiran ( kesadaran ) politik bentuk KTP dan Parport serta dana .  Dana Penyelenggaraan KTP menjadi otoritas daerah, sedangkan dana penyelenggaraan Pasport adalah urusan Negara /pemerintah pusat.  Gagasan ini adalah sebuah mekanisme cara Pm bekerja dalam batas kerja manual.  Selama kesadaran politik dalam penerbitan KTP berjalan dalam wilyah kerja manual. Pada periode awal pembuatan KTP dalam wilayah kerja manual.  Kesadaran politik dari kerja manual ini , tidak mengubah prioritas terhadap proyek KTP identik dengan Pasport , berlakunya sesuai dengan porsi identitasnya. Misal  Penduduk wilayah daerah ( kabupaten/Kota ) A. adalah A. tidak boleh A dan B sama. Perhitungan biaya dan manfaat sepadan dengan pengelolaan resikonya .  Berbuat sesuatu lebih baik tidak membuat sesuatu lebih buruk.

b)      Tahap berikutnya adalah muncul gagasan dari pemikiran yang merupakan bentuk kesadaran politik  dalam wilayah Px  yaitu kesadaran persuasive maksimal . Identitas penduduk yang dahulu KTP manual diubah menjadi KTP elektronik. Petimbangan politik adalah ketersediaan identitas  KTP lebih setara dengan Pasport dimana semua identitas berlaku didaerah lain , karena ia dianggap sebagai warga Negara, bukan lagi dipandang sebagai penduduk di suatu daerah ( Kabupaten/Kota ). Akhirnya pola kerja gagasan ini  memasuki wilayah kerja mental . Politik mengalami kesalahan prioritas. Menghidupkan proyek KTP elektronik ,  menjadi penting secara  skala politik . Disini ketersediaan dana diambil alih oleh Negara /Pemerintah Pusat. Pada priode ini – Pembuatan KTP berubah menjadi proyek KTP , tahap dimna mekanisme bekerjanya masuk dalam wilayah “Kerja Mental “ . Ciptaan menjadi totonnan/ akrobatik ,  membuat  suatu kucuran ketersediaan dana akhirnya menjadi rangkaian peristiwa yang menopang diri sendiri ( Pejabat Pemerintah dan Anggota DPR ). Kucuran ketersediaan sudah mengubah prioritas. Era dimana politik sudah berada di jantung kehidupan  Maka kerja politik adalah kerja mental yang menggapai keprihatinan  - Tiada  seorang pun dapat berbuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk.  

4)      Contoh Ketiga  Kartu Tol Elektronik ( e - Tol  )

 

a)      Perjalanan lewat jalan Tol, pada era kesadaran persuasive minimal, setiap pengemudi yang menggunakan jalan tol, harus membawa uang pas. Dengan tujuan menghindari kemacetan panjang. Pola kerja membayar tol dengan uang cash langsung , dengan ketentuan sediakan uang pas. Cara membayar Tol , dilakukan dengan cara Kerja Manual - Pm bekerja mendapat manfaat langsung, artinya bahwa pengertian membayar adalah membeli manfaat dari  jalan tol .  Setiap pengguna jalan memperoleh dari harga yang telah ditentukan , yaitu membayar  senilai lajur jalan tol,  yang tarifnya sudah jelas terpampang dilayar monitor atau papan tariff.  Kerja manual menceritakan pada Anda sebuah pengalaman  peristiwa sebagai pengguna jalan tol membayar Tol , sesuai tarif nya . setara dengan kocek yang Anda keluarkan.

b)      Pm menghasilkan – orang yang membuat lebih baik  tanpa membuat oran lain lebih buruk.

c)      Berikutnya timbul gagasan membayar Tol , menggunakan Kartu Tol Elektronik ( e Tol ). Cara membayar tidak lagi dengan cara kerja manual. Berubah menjadi cara kerja mental. Kodisi ini mengarahkan mental kita pada dua aktifitas yaitu membeli Kartu e Tol. Kocek Anda , dikendalikan oleh kerja mental, hanya seputar urusan membayar Tol., sehingga yang keluar dari benak Anda adalah Anda harus beli Kartu e Tol untuk membayar jalan Tol. Satu manfaat dua transksi.  Sementara itu nilai Kartu e Tol Rp 50.000,- bukanya Anda harus mengeluarkan kocek Anda sebesar itu, disini hukum ekonomi mulai bergerak  Kartu e Tol adalah barang yang memiliki fungsi “ kelangkaan dan kegunaan “.

d)      Manakala posisi Anda di tengah gerbang Tol tidak memiliki Kartu, maka Anda diharuskan membeli Kartu e Tol. Kerja mental mengarahkan Anda bahwa harga Kartu tidak setara dengan kocek yang dikeluarkan Anda. Disini Kartu memiliki fungsi kelangkaan dan kegunaan .  Pertama “Kartu e Tol “ memiliki fungsi “ kelangkaan “  karena tidak tersedia di tempat itu , fungsi lainnya adalah “kegunaan”. Anda dalam posisi di digerbang Tol, tidak membawa kartu.  Dua fungsi nilai ekonomis Kartu    mulai memunculkan karakternya ,  tergantung keberadaanya. 

e)      Katakanlah Anda berada di Jalan Tol Semarang Kartu Tol nilai Rp 50.000 , atau isi 50.000 ,- harus Anda beli seharga Rp 75.000 ,-. Mungkin harga E Tol akan berbeda,  bila posisi Anda di Gerbang Tol Cirebon atau di Jalur Tol Jakarta.

f)       Peristiwa ini memberikan pengalaman  kepada Anda, ternyata Kerja mental ( Px ) – Membuat pengeluaran Anda menggunakan jalan Tol ,lebih besar , karena  harga tidak sesuai tarif. – Manfaat pengguna pada cara Kerja Manual , harga  sesuai tarif . Bandingkan dengan cara Kerja Mental ( Px ). Meskipun gagasan itu adalah suatu cara dapat dikatakan sebagai efektifitas  memperlancar arus dan menghindari kemacetan. Implementasi Px-  betatapun gagasan itu dengan konsep high teknologi , faktanya adalah tidak  membuat orang lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk. 

g)      Konsep Kerja Mental ( Px –pada e Tol )  -  sebagai berikut :  ketika Pm memiliki nilai yang sama dengan Px- hasilnya Px tidak sama dengan  Pm ( apakah nilai 50 sama dengan 50  ),  50 : 50  = 50-75.      

     

5)      Contoh bagaimana  mendapatkan pemenuhan kebutuhan –kebutuhan biologis terhadap : rasa lapar, rasa haus , rasa kurang cukup , rasa tidak nyaman, rasa was-was , rasa bersalah , rasa ter-saing, rasa te-rasing , rasa kurang ber-untung, rasa marah , rasa benci , nafsu , rasa ber-iman. Keseluruhan rasa-rasa yang disebutkan dimuka akan berubah menjadi res extensa, karena  kesadaran ( berpikir ) tidak lagi kedalam jiwa dirinya , namun pemikiranya telah menjangkau melebihi cogintans , yang menjelma menjadi berpikir ( memiliki gagasan )  yang dilaksanakan dalam cara kerja mental.  Penetrasi   nafsu Sex –  dalam kerja manual,  persoalan sex adalah urusan suami istri , tentu  persoalan ini bisa diatasi, dengan berhubungan badan.  Namun jika pemikirannya berada dalam kerja mental , sex bisa menjadi industri, sebagai barang yang memiliki kegunaan bagi kebutuhan nafsu biologis , dan memiliki nilai karena “kelangkaan”,  sehingga berubah menjadi barang langka  yang berharga tinggi. 

6)      Penetrasi “ demokrasi “ dalam kerja manual adalah tidak hanya memberi hak suara sama bagi individu, tetapi juga memberi kesempatan luas kepada Negara untuk melakukan perubahan dan kemajuan di beberapa bidang seperti kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, perdamaian, dan stabilitas politik merupakan proses berkelanjutan .  Untuk sampai pada tujuan kesana  maka perlu kerja mental. Kesadaran  Persuasive maksimal  tidak lagi kedalam jiwa dirinya , namun pemikiranya telah menjangkau melebihi cogintans , yang menjelma menjadi gagasan /  berpikir  “bagaimna jika“  dari Negara berkembang menjadi Negara maju.

7)      Arena pencapaian demokrasi  adalah , rasa senang dan rasa terpenuhi - nya segala kebutuhan hidup warga negaranya, dutuntut dengan dua cara kerja , manual dan mental, sebagai dua hal yang seiring ,yang tidak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya dari sebuah negara untuk dapat dikatakan sebagai Negara modern / maju.

8)      Pergulatan antara titik akhir dan titik awal    dari arena pemenuhan kebutuhan dan kepuasaan  , adalah keinginan dalam jangkauan kebutuhan biologis dari komulasi “ rasa-rasa yang disebutkan diatas, telah terkurung dalam gagasan /pemikiran demokrasi[1].  Kondisi kehidupan inilah yang melahirkan bahwa kerja mental sangat dominan dari kerja manual .

9)      Kerja mental mencapai gagasan demokrasi  adalah sporadik momentum antara kebutuhan dan kepentingan, yang selalu membawa korban.    “  Tidak ada seorangpun berbuat lebih baik, tanpa membuat orang lain lebih buruk “



[1]  Demokrasi  itu sendiri , dalam realisasinya tidak dapat memastikan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, terutama dalam mengelola keragaman,  kesetaraan , keadilan sosial , keamanan dan kemajuan ekonomi.

  

 

ASPEK HUKUM MALPRAKTEK

 

 

I     Pengertian Malpraktek

Istilah malpraktek dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan “ praktek kedokteran yang salah  , tidak tepat ,menyalahi undang-undang atau kode etik “. Kemudian kita akan dapati istilah dalam kamus  Inggris –Indonesia John M. Echolas  mengartikan malpractice  atau malpraktek  :

a.       Salah mengobati ,cara mengobati pasien yang salah

b.      Tindakan yang salah

Pengertian tentang malpraketk dalam Dorland’s Medical dictionary  adalah praktek yang tidak tepat atau  yang menimbulkan masalah , tindakan medik atau tindakan operatif  yang salah  ( improper or injurious practice inskillful and faulty medical or surgical treatment  ).

Stedman’s Medical Dictionary – Malpraktek diartikan sebagai “ kesalahan penanganan pasien karena ketidak tahuan ,ketidak hati-hatian ,kelalaian atau adanya niat jahat ( mistreatment of patient, trough ignorance ,carelessness, neglect, or criminal intent )

Black Law Dictionary mengartikan malpraktek  adalah setiap  sikap tindak yang salah ,kurang ketrampilan dalam ukuran yang tidak wajar.  Pengertian ini umumnya digunakan terhadap sikap tindak dari para dokter ,pengacara, dan akuntan.

Kegagalan untuk memberikan pelayanan professional dan melakukannya pada tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat  rata-rata dari profesinya di dalam masyarakat  ,sehingga mengakibatkan luka ,kehilangan, atau kerugian, pada penerima layanan yang mempercayai mereka ,termasuk didalamnya  adalah sikap-sikap profesi yang salah ,kurang ketrampilan yang tidak wajar , menyalahi kewajiban profesi  atau hukum

Dari beberpa pengertian ini maka dapat disimpulkan ,adanya unsur hubungan   hak dan kewajiban  antara  dokter – pasien  , hak dan kewajiban tersebut  telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. Dalam undang-undang ini telah diatur pola hubungan dokter-pasien

II  Pola hubungan Pasien-Dokter

Hubungan dokter-pasien umumnya tidak setara , Ada kesenjangan diantara keduanya dalam berbagai aspek . Biasanya pasien berada dipihak yang lemah , yang oleh karena itu ia perlu mendapat perlindungan .  Karena posisi dokter sebagai pihak yang lebih kuat dalam berbagai hal , maka dokter perlu diberi rambu-rambu agar ia tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang merugikan dan menguntungkan diri sendiri . Perlindungan bagi pasien dan rambu-rambu bagi dokter  diperlukan  untuk dibina  dan ditegakan sesuai dengan  :

a.       Hati nurani dan moral

b.      Etika medis

c.       Disiplin profesi

d.      Hukum

Pemahaman yang perlu dijaga dalam tataran hati nurani etika dan disiplin profesi kedokteran sebenarnya sudah dicetuskan oleh Hipocrates  ( 460-377 SM ) yang dikenal sebagai  bapak ilmu kedokteran   jauh sebelum ilmu kedokteran mencapai puncaknya dewasa ini , asas etik inilah yang sampai sekarang menjadi sumber filofis kedokteran “  KESEHATAN PENDERITA AKAN SAYA UTAMAKAN “  ( The helath of my patient will be first consideration )

Lafal sumpah hipocrates ini kemudian diakomodir dalam lafal-lafal sumpah kedokteran  seperti lafal sumpah deklarasi Genewa 1948 yang disetujui oleh General Assembley WMA dan kemudian diamander Sydney  1968 .

Dasar –dasar sumpah tersebut kemudian telah dijabarkan menjadi 6 asas etik yang bersifat universal , yang juga tidak akan berubah dalam etik kedokteran  yaitu :

1.      Asas  Menghormati otonomi pasien  ( principle of respect  to the patient’s autonomy ) Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh dokter  serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup . pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya,dan tidak boleh dipksa. Untuk itu perlu adanya informed concent.

 

2.      Asas Kejujuran  ( principle of veracity  )

Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur akan apa yang terjadi ,apa yang akan dilakukan, serta akibat/resiko yang dapat terjadi . Informasi yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Selain jujur kepada pasien , dokter juga harus jujur kepada diri sendiri.

3.      Asas Tidak Merugikan ( principle of non maleficence )

Doketer berpedoman primum non nocere ( first of all do no harm ) tidak melakukan tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak merugikan pasien, serta mengupayakan resiko fisik, resiko psokologis, maupun resiko sosisla akibat tindakan tsb seminimal mungkin.

4.      Asas Manfaat ( principle of beneficence )

Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana perawatan/tindakan berdasarkan pada pengetahuan yang sohih dan dapat berlaku secara umum. Kesejahteraan pasien perlu mendapat perhatian yang utama . resiko yang mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin, sementara manfaatnya harus semaksimal mungkin bagi pasien.

5.      Asas Kerahasiaan ( principle of confidentiality )

Dokter harus menghormati kerahasian pasien meskioun pasien tersebut sudah meninggal dunia

 

 

 

6.      Asas Keadilan ( principle of Justice )

Doketr harus berlaku adil tidak memandang kedudukan atau kepangkatan, tidak memandang kekayaan dan tidak berat sebelah dalam merawat pasien.

 

        Dari asas  etik tersebut kemudian disusun peraturan kode etik kedokteran yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil keputusan etik  dalam melakukan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Kemudian kode etik ini  disamping sebagai etika profesi  hubungan dengan pasien, dokter juga diberikan rambu-rambu hukum yang merupkan kaedah norma yang mengatur parktek kedokteran dibawah pengawasan norma hukum agar ketertiban di masyarakat tentang hubungan masyarakat dan profesi kedokteran yang bersifat kontraktual tidak saling menimbulkan kerugian. Untuk itulah maka dalam Undang-Undang Praktek kedokteran telah diatur tentang Hak dan Kewajiban Pasien  ;

-          Hak  dan kewajiban Pasien diatur dalam pasal 51 dan 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran.

-          Hak dan Kewajiban dokter diatur dalam pasal 50 dan 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. 

III.             Unsur Kelalaian  Medik

Kelalian bukanlah suatu pelanggaran atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “ De minimis non curet lex “ yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele . Tetapi  jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat “ Culpa lata “ serius dan criminal. Tolok ukur culpa lata adalah  ;

1.      Bertetangan dengan hukum

2.      Akibatnya dapat dibayangkan.

3.      Akibatnya dapat dihindaarkan.

4.      Perbuatannya dapat dipersalahkan.

Jadi malpraktek medik merupakan kelalian yang berat dan pelayanan kedokteran dibawah standar.

Malpraktek Medik murni ( Criminal Malpractice ) sebenarnya tidak banyak dijumpai ,misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya. Atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik , ( apedektomi, hesterektomi,  dsb ) , yang sebenarnya tidak perlu dilakukan , jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Hal ini bisa terjadi karena dokter telah teribas oleh materilaistik ,hendonistis , dan konsumtis. Sehingga malpraktek seperti ini ada kemungkinan bisa terjadi  dikalangan kedokteran.

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika :

1.      Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.

2.      Memberikan pelayanan dibawah standar profesi ( non lege artis )

3.      Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati.

4.      Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hukum.

Bila dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menungtut penggantian kerugian karena kelalaian , maka penggugat harus membuktikan adanya empat unsusr :

1.      Adanya kewajiban bagi dokter terhadap pasien.

2.      Dokter telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim dipergunakan.

3.      Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya

4.      Secara factual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Kadang –kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian  tergugat, Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi “ Res Ipsa Loquitor “ yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal dirongga perut pasien,sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana ( criminal ) , kelalian menunjukan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius , yaitu sikap yang sembarangan atau sikap tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harfus bertanggung jawab terhadap tuntutan criminal oleh Negara.

      Konsep kelalaian tersebut dalam mengusahakan agar tuntutan kelalaian itu memenuhi standar keberhasilan menurut Guwandi harus memenuhi empat unsur yang dikenal dengan 4 D.

1.      Duty to Use  Due Care

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter /perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standard pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera  karenanya. Adagium Primum Non Nocere terutama harus ditaati . hubungan pasien –dokter /rumah sakit sudah harus ada pada saat peristiwa itu terjadi.Timbulnya hubungan ini bahkan juga dapat terjadi dari suatu pembicaraan petelepon.

Didalam kasus “ O’Neil vs Montefiori Hospital . Seorang dokter mengadakan pembicaraan telepon dengan seorang pasien tentang kondisinya, Tanpa memrikasa lebih dahulu secara fisk , dokter tersebut mngijinkan pasien itu pulang/keluar dari rumah sakit . namun pasien itu pada malam harinya ternyata meninggal dunia .berpendapat bahwa seorang dokter yang telah menerima seseorang sebagai pasien untuk dirawat dan diobati , namun tanpa memrikasa lagi pasien nya , telah terbukti adanya kewajiban sebagai mana terdapt pada unsur pertama : Duty of due care.

 

 

2.      Diriliction ( breach of Duty )

Apabila sudah ada kewajiban ( duty ) maka dokter /perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standard profesi yang berlaku . Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut maka ia dapat dipersalahkan.  Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan –catatn pada rekam jejak medik , kesaksian perawat, dan bukti lain. Apabila keslahan atau kelalaian itu demikian jelasnya ,sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakimdapat menerapakan doktrin Res ipsa Loquitor. Tolok ukur yag dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.

3.      Damage ( Injury )

Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktek “ cedera atau kerugian” yang diakaibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter /rumah sakit dituduh telah berlaku lalai , tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian  ( damage,injury,harm ) kepada pasien , maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah luka ( injury ) tidak saja dalam bentuk fisik , namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yag hebat ( mental anguish ). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain.

4.      Direct Causation ( Proximate Cause )

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktek medik , maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat / dokter dan kerugian (damage ) yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Hanya atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian, kecuali jika penyimpangannya sedemikian tidak wajar sehingga smpai mencederai sipasien.

Contoh Kasus

1.      Seorang penderita gawat darurat disuatu rumah sakit dan ternyata memerlukan pembedahan segera. Ternyata pembedahan tertunda-tunda ,sehingga penderita meninggal dunia . Pelanggaran etik dan hukum kasus ini mengadung dua kesalahan ;   

a.       Jika tertundanya pembedahan tersebut disebabkan kelalian doter maka sikap dokter tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter  KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP 304 dan 306 lafal sumpah dokter saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita . KODEKI Bab II pasal 10 seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan . KUHP Pasal 304 Barang siapa dengan sengaja menyebabkan dan membiarkan seseorang dalam kesengsaraan , sedangkan ia wajib member kehidupan , perawatan dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya dua tahundelapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500. KUHP pasal 306 , jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian maka bersalah dihukum dengan hukumnya penjara selama-lamanya 9 tahun .

b.       Jika tertundanya pembedhan tersebut disebabkan keluarga pendertita belum membayar uang panjar untuk rumah sakit maka rumah sakit lah yang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306 , sedangkan dokter kena pelanggaran KODEKI.

2.      Seorang dokter memberi cuti sakit berulang beberapa kali kepada seorang tahanan , padahal orang tersebut mampu menghadiri siding perkaranya. Dalam hal ini dokter terkena pelanggaran KODEKI Bab I Pasal 7 dan KUHP pasal 267.

KODEKI Bab I Pasal 7 : seorang doter hanya member keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarnya. Pasal 267 KUP : Dokter dengan sengaja member surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak adanya penyakit , kelemahan atau cacat , dihukum dengan hukuman selama 4 tahun.

 

 IV        EUTHANASIA 

       Ketika pasien dalam keadaan  merana  dan sekarat yang mengahadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan tak tersebuhkan , dalam situasi demikian ,tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar. Keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sisnilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan ,atau mati secara baik  ( mati enak ).

Namun hal ini menimbulkan delema medic menruskan  atau tindakan medic yang memperpanjang kehidupan, apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang telah mati otak atau mati batang otak ini.

Sementara sesuai dengan makin meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan nasib sendiri ( self determination ) dibanyak Negara mulai timbul gerakan dan penghargaan atas hak seseorang untuk mengakhiri hidup.  Dibeberapa Negara hak ini diakui oleh pemerintah karena diatur dalam undang-undang.

Pengertian Euthanisia berasal dari kata Yunani Euthanathos . Eu  artinya baik ,tanpa penderitaan , sedang thanatos artinya mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan abaik tanpa penderitaan , atau  mati cepat tanpa derita.

Jenis-Jenis Euthanasia

Ditinajau dari dari cara dilaksanakan euthanasia dapat dibedaka 

a.       Ethanasia pasif

b.      Euthanisia pasif 

       Euthania pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau

      pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia .

      Euthanisia aktif adalah perbuatan yang dilakaukan secara medic melalui intervensi aktif

      oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.

      Euthanisa aktif ini dapat dibedakan menjadi dua :

a.       Euthanisi aktif langsung  ( direct ) adalah dilakukannya tindakan medic secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal dengan istilah mercy killing.

b.      Euthanisia aktif tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medic untuk meringankan penderita pasien , namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

  Ditnjau dari permintaan euthanasia dibedakan menjadi :

a.       Euthanisia Voluntair atau euthanasia sukarela (atas permintaan pasien ) adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.

b.      Euthanisia tidak atas permintaan adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar , dan biasanya keluarga pasien yang meminta.

Euthanasia dihadang oleh pasal-pasal pidana seperti , Pasal 334 , pasal 338 , 340 dan pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , karena dikatagorikan sebagai perbuatan pidana .

Lalu bagaimana menurut hukum syariat islam ? harap dibuat makalah oleh para mahasiswa yang mengikuti kuliah ini

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB  II

 

ASPEK HUKUM KEDOKTERAN DAN MALPRAKTEK

 

 

 

A.   Hukum Kedokteran

                 Berbicara mengenai kesehatan terdapat apa yang dikenal dengan kesehatan masyarakat dan kesehatan individu, dengan demikian terdapat dua bidang hukum dalam pengakajian kesehatan :

1.     Hukum kesehatan masyarakat ( public health law ) seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan ,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan , Peraturan menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan medic adalah beberapa peraturan yang termasuk sebagai hukum kesehatan, kumpulan peraturan ini disebut sebagai peraturan hukum kesehatan yang khusus.

2.     Hukum kesehatan individu , hukum kesehatan inilah yang sering disebut dengan hukum kedokteran (medical law), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Hukum kedokteran (bagia dari hukum esehatan ) adalah kumpulanperatuan yang mengatur mengenai kesehatan individu ,dimana didalamnya termasuk pengaturan tentang hubungan rumah sakit dengan dokter , rumah sakit dengan pasien dan doketer dengan pasien.

a.     Aspek hukum hubungan pasien dan dokter.

Hubungan dokter dan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum. Hukumantara subjek hukum dan subjek hukum diatur oleh kaedah-kaedah hukum perdata.

Dilihat dari hubungan hukum antara dokter dan pasien terdapat apa yang dikenal saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksankan pengobatan bagi pasien terbentuklah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis).

Perikatan dapat bersumber dari undang-undang dan juga bersumber dari perjanjian , dalam hukum perdata dikenal beberapa macam jenis perikatan diantaranya adalah perikatan ikhtiar ( inspanning verbintenis) dan perikatan hasil (resultaat verbintenis ). Pada periktan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan oleh dokter adalah upaya semaksimal mungkin.sedangkan perikatan hasil ,prestasi yang harus diberikan oleh dokter berupa hasil tertentu.

Dasar dari perikatan dokter dan pasien adalah perjanjian /kontrak disebut sebagai perjanjian terapeutik. Dan bisa juga perikatan antara dokter dan pasien terbentuk atas dasar undang-undang , yaitu terdapatnya kewajiban hukum dokter untuk menolong orang yang memerlukan pertolongan medic.

Pada perikatan berdasar perjanjian, apabila seorang pasien datang ketempat praktek dokter dalam arti menerima penawaran jasa pelayanan kesehatan dari dokter , maka antara dokter dengan pasien ada hubungan hukum perjanjian/kontrak terapeutik.

Pada perikatan atas dasar undang-undang ,apabila seorang dokter melihat seorang korban kecelakaan dan doketr tersebut membantu orang kecelakaan karena adanya kewajiban hukum dokter untuk menolong orang yang mendapatkan kecelakaan. Dikatakan antara dokter dan orang kecelakaan (pasien) , terbentuk perikatan atas dasar undang-undang.

Pada perjanjian kontrak , maka para pihak yaitu dokter dan pasien bebas (asas kebebasan berkontrak )untuk menentukan isi perjanjian /kontrak yang mereka sepakati bersama , dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang ,kepatutan,kepantasan dan ketertiban. Misalnya :

-         Pada perikatan ikhtiar pada pelaksanaan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien tidak menjanjikan kesembuhan dari pasien, tetapi dokter berupaya semaksimal menyembuhkan pasien.

-         Pada perikatan hasil , dalam pelaksanaan nya dokter harus merelisasikan hasil tertentu, misalnya antara dokter gigi dan pasiennya, maka yang dihasilkan adalah hasil tertentu . Dokter bedah plastik harus memberikan hasil tertentu kepada pasiennya.

b.     Aspek Hukum Hubungan Dokter dan Rumah sakit

Dokter sebagai subjek hukum orang pribadi dengan rumah sakit sebagai subjek hukum badan hukum. Hubungan yang terbentuk adalah dibagi menjadi dua macam :

-         Pertama terjadi hubungan perburuhan ,yakni dokter bekerja sebagai karyawan dalam rumah sakit dan menerima gaji dari rumah sakit. Terdapat hubungan perburuhan dan ada kedudukan yang dinamakan kedudukan majikan (rumah sakit), dan buruh (dokter ). Disini dokter dikenal sebagai  “ dokter in “ dari rumah sakit. Hubunga ini terdapat pula pada semua rumah sakit pemerintah dan sebagian kecil rumah sakit swasta.

-         Kedua hubungan kontraktual  adalah hubungan yang berdasarkan pada perjanjian/kontrak yang sering terjadi pada rumah sakit swasta.dokter dan rumah sakit tidak terikat pada hubungan perburuhan . Dokter berhak menggunakan fasilitas yang ada dirumah sakit menyediakan fasilitas bagi dokter . Kedudukan dokter dalam rumah sakit semacam ini dikenal dengan sebutan “dokter out “ dari rumah sakit.

Pada hubungan perburuhan dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian , maka rumah sakit dapat dimintakan pertanggung jawabanya. Pada hubungan perjanjian /kontrak dalam hal dokter melakukan kesalahan/kelalaian , maka rumah sakit tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya.

c.      Aspek Hukum Hubungan Pasien Dan Rumah Sakit.

Pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawata kesehatan . terdapat hubungan yang ditur oleh perjanjian /kontrak.

Rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran/standar perawatan kesehatan . Pada rumah sakit yang mempunyai “ dokter in “ maka rumah sakit selain menawarkan jasa perawatan kesehatan juga jasa pelayanan kesehatan “ dokter in “ . Pada rumah sakit yng tidak mempunyai “dokter in “ hanya  “ dokter out “ , maka antara pasien dengan rumah sakit terdapat sebuah perjanjian dan antara pasien dan dokter terdapat sebuah perjanjian pula[1]

B.    Pengertian Malpraktek

Istilah malpraktek dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan “ praktek kedokteran yang salah  , tidak tepat ,menyalahi undang-undang atau kode etik “. Kemudian kita akan dapati istilah dalam kamus  Inggris –Indonesia John M. Echolas  mengartikan malpractice  atau malpraktek  :

c.      Salah mengobati ,cara mengobati pasien yang salah

d.     Tindakan yang salah

Pengertian tentang malpraketk dalam Dorland’s Medical dictionary  adalah praktek yang tidak tepat atau  yang menimbulkan masalah , tindakan medik atau tindakan operatif  yang salah  ( improper or injurious practice inskillful and faulty medical or surgical treatment  ).

Stedman’s Medical Dictionary – Malpraktek diartikan sebagai “ kesalahan penanganan pasien karena ketidak tahuan ,ketidak hati-hatian ,kelalaian atau adanya niat jahat ( mistreatment of patient, trough ignorance ,carelessness, neglect, or criminal intent )

Black Law Dictionary mengartikan malpraktek  adalah setiap  sikap tindak yang salah ,kurang ketrampilan dalam ukuran yang tidak wajar.  Pengertian ini umumnya digunakan terhadap sikap tindak dari para dokter ,pengacara, dan akuntan.

Kegagalan untuk memberikan pelayanan professional dan melakukannya pada tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat  rata-rata dari profesinya di dalam masyarakat  ,sehingga mengakibatkan luka ,kehilangan, atau kerugian, pada penerima layanan yang mempercayai mereka ,termasuk didalamnya  adalah sikap-sikap profesi yang salah ,kurang ketrampilan yang tidak wajar , menyalahi kewajiban profesi  atau hukum

Dari beberpa pengertian ini maka dapat disimpulkan ,adanya unsur hubungan   hak dan kewajiban  antara  dokter – pasien  , hak dan kewajiban tersebut  telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. Dalam undang-undang ini telah diatur pola hubungan dokter-pasien

C.   Pola hubungan Pasien-Dokter

Hubungan dokter-pasien umumnya tidak setara , Ada kesenjangan diantara keduanya dalam berbagai aspek . Biasanya pasien berada dipihak yang lemah , yang oleh karena itu ia perlu mendapat perlindungan .  Karena posisi dokter sebagai pihak yang lebih kuat dalam berbagai hal , maka dokter perlu diberi rambu-rambu agar ia tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang merugikan dan menguntungkan diri sendiri . Perlindungan bagi pasien dan rambu-rambu bagi dokter  diperlukan  untuk dibina  dan ditegakan sesuai dengan  :

e.      Hati nurani dan moral

f.       Etika medis

g.     Disiplin profesi

h.     Hukum

Pemahaman yang perlu dijaga dalam tataran hati nurani etika dan disiplin profesi kedokteran sebenarnya sudah dicetuskan oleh Hipocrates  ( 460-377 SM ) yang dikenal sebagai  bapak ilmu kedokteran   jauh sebelum ilmu kedokteran mencapai puncaknya dewasa ini , asas etik inilah yang sampai sekarang menjadi sumber filofis kedokteran “  KESEHATAN PENDERITA AKAN SAYA UTAMAKAN “  ( The helath of my patient will be first consideration )

Lafal sumpah hipocrates ini kemudian diakomodir dalam lafal-lafal sumpah kedokteran  seperti lafal sumpah deklarasi Genewa 1948 yang disetujui oleh General Assembley WMA dan kemudian diamander Sydney  1968 .

Dasar –dasar sumpah tersebut kemudian telah dijabarkan menjadi 6 asas etik yang bersifat universal , yang juga tidak akan berubah dalam etik kedokteran  yaitu :

7.     Asas  Menghormati otonomi pasien  ( principle of respect  to the patient’s autonomy ) Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh dokter  serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup . pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya,dan tidak boleh dipksa. Untuk itu perlu adanya informed concent.

8.     Asas Kejujuran  ( principle of veracity  )

Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur akan apa yang terjadi ,apa yang akan dilakukan, serta akibat/resiko yang dapat terjadi . Informasi yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Selain jujur kepada pasien , dokter juga harus jujur kepada diri sendiri.

9.     Asas Tidak Merugikan ( principle of non maleficence )

Doketer berpedoman primum non nocere ( first of all do no harm ) tidak melakukan tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak merugikan pasien, serta mengupayakan resiko fisik, resiko psokologis, maupun resiko sosisla akibat tindakan tsb seminimal mungkin.

10. Asas Manfaat ( principle of beneficence )

Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana perawatan/tindakan berdasarkan pada pengetahuan yang sohih dan dapat berlaku secara umum. Kesejahteraan pasien perlu mendapat perhatian yang utama . resiko yang mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin, sementara manfaatnya harus semaksimal mungkin bagi pasien.

11. Asas Kerahasiaan ( principle of confidentiality )

Dokter harus menghormati kerahasian pasien meskioun pasien tersebut sudah meninggal dunia

12. Asas Keadilan ( principle of Justice )

Doketr harus berlaku adil tidak memandang kedudukan atau kepangkatan, tidak memandang kekayaan dan tidak berat sebelah dalam merawat pasien.

        Dari asas  etik tersebut kemudian disusun peraturan kode etik kedokteran yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil keputusan etik  dalam melakukan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Kemudian kode etik ini  disamping sebagai etika profesi  hubungan dengan pasien, dokter juga diberikan rambu-rambu hukum yang merupkan kaedah norma yang mengatur parktek kedokteran dibawah pengawasan norma hukum agar ketertiban di masyarakat tentang hubungan masyarakat dan profesi kedokteran yang bersifat kontraktual tidak saling menimbulkan kerugian. Untuk itulah maka dalam Undang-Undang Praktek kedokteran telah diatur tentang Hak dan Kewajiban Pasien  ;

-         Hak  dan kewajiban Pasien diatur dalam pasal 51 dan 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran.

-         Hak dan Kewajiban dokter diatur dalam pasal 50 dan 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.

D.   Unsur Kelalaian  Medik

Kelalian bukanlah suatu pelanggaran atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “ De minimis non curet lex “ yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele . Tetapi  jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat “ Culpa lata “ serius dan criminal. Tolok ukur culpa lata adalah  ;

5.     Bertetangan dengan hukum

6.     Akibatnya dapat dibayangkan.

7.     Akibatnya dapat dihindaarkan.

8.     Perbuatannya dapat dipersalahkan.

Jadi malpraktek medik merupakan kelalian yang berat dan pelayanan kedokteran dibawah standar.

Malpraktek Medik murni ( Criminal Malpractice ) sebenarnya tidak banyak dijumpai ,misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya. Atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik , ( apedektomi, hesterektomi,  dsb ) , yang sebenarnya tidak perlu dilakukan , jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Hal ini bisa terjadi karena dokter telah teribas oleh materilaistik ,hendonistis , dan konsumtis. Sehingga malpraktek seperti ini ada kemungkinan bisa terjadi  dikalangan kedokteran.

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika :

5.     Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.

6.     Memberikan pelayanan dibawah standar profesi ( non lege artis )

7.     Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati.

8.     Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hukum.

Bila dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menungtut penggantian kerugian karena kelalaian , maka penggugat harus membuktikan adanya empat unsusr :

5.     Adanya kewajiban bagi dokter terhadap pasien.

6.     Dokter telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim dipergunakan.

7.     Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya

8.     Secara factual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Kadang –kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian  tergugat, Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi “ Res Ipsa Loquitor “ yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal dirongga perut pasien,sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana ( criminal ) , kelalian menunjukan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius , yaitu sikap yang sembarangan atau sikap tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harfus bertanggung jawab terhadap tuntutan criminal oleh Negara.

     Konsep kelalaian tersebut dalam mengusahakan agar tuntutan kelalaian itu memenuhi standar keberhasilan menurut Guwandi harus memenuhi empat unsur yang dikenal dengan 4 D.

5.     Duty to Use  Due Care

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter /perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standard pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera  karenanya. Adagium Primum Non Nocere terutama harus ditaati . hubungan pasien –dokter /rumah sakit sudah harus ada pada saat peristiwa itu terjadi.Timbulnya hubungan ini bahkan juga dapat terjadi dari suatu pembicaraan petelepon.

Didalam kasus “ O’Neil vs Montefiori Hospital . Seorang dokter mengadakan pembicaraan telepon dengan seorang pasien tentang kondisinya, Tanpa memrikasa lebih dahulu secara fisk , dokter tersebut mngijinkan pasien itu pulang/keluar dari rumah sakit . namun pasien itu pada malam harinya ternyata meninggal dunia .berpendapat bahwa seorang dokter yang telah menerima seseorang sebagai pasien untuk dirawat dan diobati , namun tanpa memrikasa lagi pasien nya , telah terbukti adanya kewajiban sebagai mana terdapt pada unsur pertama : Duty of due care.

6.     Diriliction ( breach of Duty )

Apabila sudah ada kewajiban ( duty ) maka dokter /perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standard profesi yang berlaku . Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut maka ia dapat dipersalahkan.  Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan –catatn pada rekam jejak medik , kesaksian perawat, dan bukti lain. Apabila keslahan atau kelalaian itu demikian jelasnya ,sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakimdapat menerapakan doktrin Res ipsa Loquitor. Tolok ukur yag dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.

7.     Damage ( Injury )

Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktek “ cedera atau kerugian” yang diakaibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter /rumah sakit dituduh telah berlaku lalai , tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian  ( damage,injury,harm ) kepada pasien , maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah luka ( injury ) tidak saja dalam bentuk fisik , namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yag hebat ( mental anguish ). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain.

8.     Direct Causation ( Proximate Cause )

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktek medik , maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat / dokter dan kerugian (damage ) yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Hanya atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian, kecuali jika penyimpangannya sedemikian tidak wajar sehingga smpai mencederai sipasien.

Contoh Kasus

3.     Seorang penderita gawat darurat disuatu rumah sakit dan ternyata memerlukan pembedahan segera. Ternyata pembedahan tertunda-tunda ,sehingga penderita meninggal dunia . Pelanggaran etik dan hukum kasus ini mengadung dua kesalahan ;   

c.      Jika tertundanya pembedahan tersebut disebabkan kelalian doter maka sikap dokter tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter  KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP 304 dan 306 lafal sumpah dokter saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita . KODEKI Bab II pasal 10 seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan . KUHP Pasal 304 Barang siapa dengan sengaja menyebabkan dan membiarkan seseorang dalam kesengsaraan , sedangkan ia wajib member kehidupan , perawatan dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya dua tahundelapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500. KUHP pasal 306 , jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian maka bersalah dihukum dengan hukumnya penjara selama-lamanya 9 tahun .

d.      Jika tertundanya pembedhan tersebut disebabkan keluarga pendertita belum membayar uang panjar untuk rumah sakit maka rumah sakit lah yang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306 , sedangkan dokter kena pelanggaran KODEKI.

4.     Seorang dokter memberi cuti sakit berulang beberapa kali kepada seorang tahanan , padahal orang tersebut mampu menghadiri siding perkaranya. Dalam hal ini dokter terkena pelanggaran KODEKI Bab I Pasal 7 dan KUHP pasal 267.

KODEKI Bab I Pasal 7 : seorang doter hanya member keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarnya. Pasal 267 KUP : Dokter dengan sengaja member surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak adanya penyakit , kelemahan atau cacat , dihukum dengan hukuman selama 4 tahun.

E.    EUTHANASIA 

       Ketika pasien dalam keadaan  merana  dan sekarat yang mengahadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan tak tersebuhkan , dalam situasi demikian ,tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar. Keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sisnilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan ,atau mati secara baik  ( mati enak ).

Namun hal ini menimbulkan delema medic menruskan  atau tindakan medic yang memperpanjang kehidupan, apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang telah mati otak atau mati batang otak ini.

Sementara sesuai dengan makin meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan nasib sendiri ( self determination ) dibanyak Negara mulai timbul gerakan dan penghargaan atas hak seseorang untuk mengakhiri hidup.  Dibeberapa Negara hak ini diakui oleh pemerintah karena diatur dalam undang-undang.

Pengertian Euthanisia berasal dari kata Yunani Euthanathos . Eu  artinya baik ,tanpa penderitaan , sedang thanatos artinya mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan abaik tanpa penderitaan , atau  mati cepat tanpa derita.

1.     Jenis-Jenis Euthanasia

Ditinajau dari dari cara dilaksanakan euthanasia dapat dibedaka 

c.      Euthanisia pasif  .  euthania pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia .

d.      Euthanisia aktif . euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakaukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Euthanisa aktif ini dapat dibedakan menjadi dua

-         Euthanisi aktif langsung  ( direct ) adalah dilakukannya tindakan medic secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal dengan istilah mercy killing.

-         Euthanisia aktif tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medic untuk meringankan penderita pasien , namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

2.     Ditnjau dari permintaan euthanasia

dibedakan menjadi :

c.      Euthanisia Voluntair atau euthanasia sukarela (atas permintaan pasien ) adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.

d.     Euthanisia tidak atas permintaan adalah euthanasia yang dilakukan pada Pasien yang sudah tidak sadar , dan biasanya keluarga pasien yang meminta.

      Euthanasia dihadang oleh pasal-pasal pidana seperti , Pasal 334 , pasal 338 , 340 dan pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , karena dikatagorikan sebagai perbuatan pidana .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

MALPRAKTEK DAN KELALAIAN MEDIK

 

A.    Perbedaan Malpraktik Medik dengan Kelalaian Medik

1.      Terminologi Malprektek Medik.

            Terminologi malpraktik medik (malpractice medic) dan kelalaian medik (negligence) merupakan dua hal yang berbeda. Kelalaian medik memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi di dalam malpraktik medik tidak hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga karena adanya kesengajaan. Jika dilihat dari definisi di atas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat ada motif (mens rea, guilty mind), sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannnya. Harus diakui bahwa kasus malpraktik murni yang berintikan kesengajaan (criminal malpractice), dan yang sampai terungkap ke pengadilan memang tidak banyak. Demikian pula di luar negeri yang tuntutannya pada umumnya bersifat perdata atau pengganti kerugian. Namun perbedaannya tetap ada. Oleh karena itu, malpraktik dalam arti luas dapat dibedakan dari tindakan yang dilakukan :

2.      Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau malpraktik dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medik, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medik yang isinya tidak benar, dan sebagainya.    

3.      Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan, pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan, sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal.

1.      Perbedaaannya

Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif yang dilakukan, yaitu:

1.      Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.

2.      Pada kelalaian, tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi.

Akibat yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar

kemampuannya[2]

­­­­­­­­­        Mengacu pada rumusan-rumusan yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai malpraktik medik, yaitu bahwa yang dimaksud malpraktik medik adalah kesalahan baik sengaja maupun tidak  dengan disengaja (lalai) dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik (SPM) dan standar prosedur operasional (SPO) dan berakibat buruk/fatal dan atau mengakibatkan kerugian lainnya pada pasien, yang mengharuskan dokter bertanggung jawab secara administrratif dan atau secara perdata dan atau secara pidana.

Dalam penjelasan Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran disebutkan bahwa standar profesi medik adalah batasan kemampuan minimal yang harus dikuasai seorang dokter yuntuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia. Sedangkan standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruktif tentang langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional disusun oleh institusi tempat dokter bekerja (rumah sakit, puskesmas, dan lain-lain).

3.      Tindakan Medik

Tindakan medik adalah tindakan profesional oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengurangi penderitaan. Meski memang harus dilakukan, tetapi tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa tidak menyenangkan. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan terutama bagi para pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlukan pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan menurut Budi Sampurno, dalam melakukan tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang dokter harus:

1.      Mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, dan pasien.

2.      Mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan khusus pada kasus klinis yang dihadapi.

Secara material, menurut Danny Wiradharma, suatu tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.      Mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu tujuan yang kongkret.

2.      Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran

3.      Sudah mendapat persetujuan dari pasien.

Syarat 1 dan 2 juga disebut sebagai bertindak secara lege artis. Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah suatu tindakan medik dapat dimasukkan dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi, dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas, maka kemudian menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medik tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum administratif.

Hubungan keperdataan timbul karena adanya suatu perjanjian antara dokter dengan pasien untuk memberikan pertolongan, dan dalam perjanjian tersebut diikatkan beberapa persyaratan, dan apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka terhadap pihak yang tidak memenuhi persyartan tadi dapat diajukan gugatan. Lazimnya persyartan dalam hubungan perjanjian antara pasien-dokter tidak secara eksplisit dituangkan dalam perumusan persyartan perjanjian, namun dianggap telah terkandung di dalamnya sesuai dengan etik yang mengikuti dokter dalam menjalankan profesi jabatannya. Dalam hubungan tersebut pengertian informasi pasioen merupakan suatu bentuk umum penerangan kepada pasien pada umumnya.55 Dalam hukum perdata, tindakan medik yang dilakukan dokter merupakan pelaksanaan perikatan yang dibuat antara dokter dengan pasien yang pada hakikatnya merupakan perikatan (transaksi tera-peutik), serta hubungan karena undang-undang (zaakwarneming).56

Dalam hukum administratif yang berkaitan dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medik adalah Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan dkoter Gigi Pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.57

Guwandi menyebutkan bahwa seorang dokter dalam melakukan tindakan medic haruslah berdasarkan empat hal, yaitu:58

1.      Adanya indikasi medik;Betindak secara hati-hati;

2.      Bekerja berdasarkan standar profesi medis dan prosedur operasional;

3.      Ada Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent).

Syarifuddin Wahid menyebutkan empat hal yang harus dilakukan dokter untuk menghindarkan timbulnya sengketa medik dengan pasien:

1.      Dokter harus memahami apa yang legal dan apa yang tidak legal untuk dilakukan dokter berkaitan dengan pekerjaan/profesi dokter;

2.      Dokter harus memahami risiko-risiko hukum yang ada terkait dengan profesi dokter;

3.      Melaksanakan semua aturan administrasi berkaitan dengan praktik dokter;

4.      Melindungi profesi dari kemungkinan-kemungkinan adanya permasalahan dari segi hukum.

Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 mengatur tentang wewenang dan kompetensi dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokterannya:

1.      Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:

a. mewawancarai pasien;

b. memeriksa fisik dan mental pasien;

c. menentukan pemeriksaan penunjang;

d. menegakkan diagnosis;

e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;

f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;

g. menulis resep obat dan alat kesehatan;

h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;

i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan

j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah

   terpencil yang tidak ada apotek.

2.      Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan  lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia[3]

5.4 Risiko Medik (Untoward Result)

Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Satu-satunya jalan menghindari risiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali. Kalimat di atas merupakan salah satuungkapan yang perlu kita renungkan, bahwa di dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari ketidaksengajaan atau kesalahan yang tidak dikehendaki di dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak diharapkan, seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi.

Suatu hasil yang tidak diharapkan terjadi di dalam praktik kedokteran sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu :

1.      Hasil dari suatu perjalan penyakit atau komplikasi penyakit yang tidak ada hubungannya dengan tindakan medik yang dilakukan dokter.

2.      Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu:

a.       Risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Risiko seperti ini dimungkinkan di dalam ilmu kedokteran oleh karena sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi serta rentan terhadap pengaruh eksternal. Sebgai contoh adalah syok anafilatik.

b.      Risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap dapat diterima (acceptable), dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui oleh pasien untuk dilakukan, yaitu:

1)      Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan, atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan, dan infeksi pada pembedahan, dan lain-lain.

2)      Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medik yang beresiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.

      Di Indonesia, pengertian risiko medik dirumuskan secara eksplisit dalam perundang-undangan yang ada. Namun secara tersirat, risiko medik disebutkan dalam beberapa pernyataan berikut :

1.      Informed Consent, atau sering disebut sebagai Persetujuan Tindakan Medik, adalah suatu dokumen tertulis yang ditandatangani oleh pasien, yang menzinkan suatu tindakan tertentu pada dirinya. Persetujuan Tindakan Medik baru mempunyai arti hukum bila ditandatangani sesudah pasien mendapat informasi lengkap mengenai tindakan yang akan dikerjakan.61

Dokumen ini selain dimaksudkan sebagai alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri pada pasien, juga dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak atas integritas pribadi pasien termaksud. Salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi kepentingan dokter dari tuntutan pasien, di dalam Informed Consent [4]tersebut dicantumkan bahwa dokter tidak akan dituntut di kemudian hari.

Syarat yang dimaksud antara lain menyatakan bahwa pasien menyadari sepenuhnya atas segala resiko tindakan medik yang akan dilakukan dokter, dan jika dalam tindakan medik itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka pasien tidak akan melakukan tuntutan apapun ke pengadilan di kemudian hari. Selain itu untuk memenuhi kewajiban memberikan informasi, maka dicantumkan pula pernyataan dari dokter yang menyatakan bahwa telah dijelaskan sifat, tujuan, serta kemungkinan (risiko) akibat yang ditimbulkan dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Dengan demikian, dokter yang bersangkutan juga menandatangani formulir Persetujuan Tindakan Medik termaksud. Jika pasien menolak dilakukannya suatu tindakan medic tertentu, maka pasien dan/atau keluarganya diwajibkan untuk mengisi Surat Pernyataan Penolakan.

2.      Pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 nTentang Praktik Kedokteran:

a.       Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh  dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

b.      Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien  mendapat penjelasan secara lengkap.

c.       Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya  mencakup :

1)      diagnosis dan tata cara tindakan medis;

2)      tujuan tindakan medis yang dilakukan;

3)      alternatif tindakan lain dan risikonya;

4)      risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

5)      prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

d.      Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara  tertulis maupun lisan.

e.       Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh  yang berhak memberikan persetujuan.

3.      Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tanteng Persetujuan Tindakan Medik:

a.       Pasal 2 ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.

b.      Pasal 3 ayat (1): Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan.

c.       Pasal 7 ayat (2): Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya dapat dilakukan untuk meyelamatkan jiwa pasien.

4.      Pernyataan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) tentang Informed Consent

PB IDI dalam Surat Keputusannya No. 319/PB/A.4/88 butir (3) menyebutkan : “Setiap tindakan medik yang mengandung risiko cukup besar mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medic yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya (informed consent).”

Anny Isfadyarie menyebutkan beberapoa hal yang berkaitan dengan risiko medik, yaitu:63

1.      Bahwa dalam tindakan medik selalu ada kemungkinan (risiko) yang dapat terjadi yang mungkin tidak sesuai dengan harapan pasien. Ketidakmengertian pasien terhadap risiko yang dihadapinya dapat menyebabkan diajukanya tuntutan ke poengadilan oleh pasien tersebut.

2.      Bahwa dalam tindakan medik ada tindakan yang menganduing risiko tinggi.

3.      Bahwa risiko tinggi tersebut berkaitan dengan keselamatan jiwa pasien.

World Medical Association Statement on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari 44th World Medical Assembly Marbela – Spain, September 1992, yang dikutip oleh Herkutanto, menyebutkan bahwa risiko medik atau yang lazim disebut sebagai untoward result adalah “suatu kejadian luka/risiko yang terjadi sebagai akibat dari tindakan medik yang oleh karena suatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan bukan akibat dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan, untuk hal ini secara hukum dokter tidak dapat dimintai pertanggung-jawabannya” (An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of any lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is an untoward result, for which the physician should not bear any liability). Setiap tindakan medik selalu mengandung risiko, sekcil apapun tindakannya tetap saja dapat menimbulkan risiko yang besar, sehingga pasien menderita kerugian/celaka. Dalam hal terjadi risiko, baik yang dapat diprediksi maupun yang tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat dimintakan pertanggung-jawabannya.

Dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau asumpsion of risk. Maksud adagium tersebut adalah apabila seseorang menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya (risiko) yang sudah ia ketahui, maka ia dapat menuntut pertanggungjawaban pada orang lain apabila risiko itu benar-benar terjadi. Tidak dapat menuntut pertanggungjawaban seseorang karenm rterjadi bukan karena kesalahan (schuld) baik sengaja maupun kelalaian. Apabila risiko muncul pada saat pelayanan medis, maka pasien tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pidana pada seorang tenaga medik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB V

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MALPRAKTIK MEDIK

1 Pembuktian Menurut Hukum Pidana

      Dalam ruang lingkup hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan perbuatan pidana apabila memenuhi semua unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam suatu aturan perundang-undangan pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat(1) KUHP yang menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan, nullum delictum noella poena sine previa lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Pasal 1 ayat (1)  KUHP ini dikenal dengan asas legalitas. Kata kecuali dalam pasal 1ayat (1) KUHP ini mengandung pembatasan terhadap perbuatan pidana. Tidak setiap perbuatan dapat dikriminalkan walaupun secara etik mungkin bertentangan dengan moral kemasyarakatan atau bertentangan dengan hukum kebiasaan suatu masyarakat.

      Pada criminal malpractice, pembuktian didasarkan pada terpenuhi tidaknya semua unsur pidana karena tergantung dari jenis criminal malpractice yang didakwakan. Criminal malpractice delik umum, pembuktiannya pun tunduk pada hukum acara pidana yang berlaku, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Dalam pasal 184  KUHAP disebutkan tentang alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan perbuatan pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Perbuatan dikatakan terbukti sebagai perbuatan pidana apabila berdasarkan minimal dua alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan dikatakan perbuatan hukum pidana apabila semua unsure pidananya terpenuhi.

      Malpraktik medik dapat masuk ke ranah hukum pidana apabila memenuhi syarat-syarta dalam 3 aspek, yaitu:

1.      syarat sikap batin dokter;

2.      syarat dalam perlakuan medis, dan

3.      syarat mengenai hal akibat.

Pada dasarnya syarat dalam sikap batin adalah syarat sengaja atau culpa, yaitu wujud perbuatan dalam melakukan tindakan medik, syarat perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang, dan syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien. Semua perbuatan dalam pelayanan medik dapat mengalami kesalahan (sengaja atau lalai) yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik medik, apabila dilakukan secara menyimpang. Dapat diartikan bahwa umumnya menimbulkan malpraktik dan tidak selalu berakibat terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum. Alsannya, karena untuk terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum, selain perbuatan-perbuatan dalam perlakuan medik tersebut menyimpang, masih ada syarat sikap batin akibat yang tidak mudah dipahami dan diterapkan. Bahkan kasus kongkret tertentu menunjukkan perbuatan yang ternyata salah kadangkala bisa dibenarkan dengan alasan tertentu. Hal itu berarti untuk kasus kongkret tertentu kadang diperlukan syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari sudut logika umum. Misalnya, salah dalam membuat diagnosis, tetapi perbuatan itu dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenar, misalnya fakta-fakta medis yang ada (hasil pemeriksaan standar) dari sudut kepatutan dibenarkan untuk menarik kesimpulan diagnosis.

 

2 Dasar Pemidanaan malpraktik Medik

Sebelum menguraikan dasar pemidanaan atas terjadinya malpraktik medik, perlu kiranya diingatkan kembali bahwa penggunaan terminologi malpraktik medik di sini adalah malpraktik medik dalam arti luas, tidak sebatas pada kelalaian atau kelalaian medik. Jadi, termasuk pula malpraktik yang terjadi karena adanya kesengajaan (delik dolus/opzet).

Undang-undang (KUHP) tidak membuat pengertian tentang sengaja (dolus/opzet), tetapi pengertian sengaja dapat ditemukan dalam Memorie van Toelichting (MvT), bahwa untuk adanya kesengajaan harus memuat willens (kehendak) dan wetens (mengetahui). Remmelink67 mengatakan, berkenaan dengan substansi, harus dikaitkan dengan perbuatan (tindakan) terhadap mana kehendak tertuju dan akibat serta situasi yang melingkupinya sudah dibayangkan sebelumnya. Dalam dolus (sengaja), sebab itu mengandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan) atau volontie et connaissance. Tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens (disadari atau diketahui). Namun, dalam praktik peradilan pada delik materiil seperti pembunuhan, unsur mengetahui (wetens) tidak diharuskan ada, tetapi cukup

diartikan dapat mengetahui, misalnya sebagaimana tercantum dalam arrest Hoge Raad tanggal 29 Juli 1907 mengenai penerapan Pasal 348 ayat (1) KUHP, yang dikenal sebagai abortus-arrest. Dalam memori kasasinya terhukum mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah janin dalam kandungan itu pada waktu ia gugurkan berada dalam keadaan hidup atau mati, sedang pengadilan pun tidak pernah menyatakan tentang terbuktinya pengetahuan terhukum mengenai masalah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Lamintang menyimpulkan bahwa dalam Memorie  van Toelichting, dolus (opzet) itu juga diartikan sebagai willens en wetens, maka di dalam peradilan, seperti tercermin dari arrest-arrest Hoge Raad, perkataan willens atau menghendaki itu diartikan sebagai kehendak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu  dan wetens atau mengetahui itu diartikan sebagai mengetahui atau dapat mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat sebagaimana yang dikehendaki.

      dalam konteks pemahaman tersebut, maka ada tiga undang-undang yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik medik:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.      Undang-Undang No.23 tahun 1992 Tentang Kesehatan;

3.      Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

a.       Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

      Pasal-pasal dalam KUHP yang relevan dengan tanggung jawab pidana yang berhubungan dengan malpraktik medic adalah Pasal 267, 299, 322, 344, 346, 347, 348, 349, 351, 359, 360 dan 361 KUHP.

b.      Pemalsuan Surat Keterangan Dokter

      Pasal 267 KUHP adalah pasal yang khusus dikenakan bagi dokter, yang menyebutkan bahwa:

1.      Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2.      Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan.

3.      Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

Dalam praktik sehari-hari, adakalanya surat keterangan dokter tersebut diisi oleh perawat yang melaksanakan perintah dokter, tetapi yang menandatangani surat keterangan tersebut adalah dokter. Bila perawat yang mengisi surat keterangan dokter tersebut tidak mengetahui tentang ketidak-benaran isi dari surat tersebut, maka perawat tidak ikut bertanggungjawab. Tetapi bila perawat mengetahui bahwa isi surat keterangan tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan, maka terhadap perawat juga dapat dikenakan sanksi sebagai pelaku yang turut serta sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Agar rumusan dalam pasal 267 KUHP ini bisa dikenakan pada dokter, unsur sengaja harus terpenuhi, karena bisa saja terjadi kesalahan dalam penerbitan surat keterangan itu. Misalnya dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, dokter tidak menemukan kelainan pada tubuh pasien, sehingga ia memberikan surat keterangan sehat yang diminta oleh pasien. Ternyata sebenarnya pasien menderita hemofilia yang tidak diketahui oleh dokter tersebut. dalam keadaan semacam ini, tindakan dokter memberikan surat keterangan yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran tidak dapat dipersalahkan, karena ia tidak sengaja melakukannya.

Untuk dapat dinyatakan bahwa perbuatan dokter merupakan kesengajaan harus dibuktikan bahwa palsunya keterangan dalam surat merupakan perbuatan yang dikehendaki, disadari, dan dituju oleh dokter tersebut. Dengan perkataan lain, dokter memang menghendaki perbuatan membuat palsu dan atau memalsu surat dan mengetahui bahwa keterangan yang diberikan dalam surat itu adalah bertentangan dengan yang sebenarnya. 69

c.       memberikan harapan Pengguguran Kehamilan

      Dalam hal memberikan harapan pengguguran kehamilan kepada seorang wanita hamil, Pasal 299 KUHP menyebutkan bahwa:

1.      Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwakarena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana  denda paling banyak empatpuluh lima ribu rupiah.

2.      Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang

69 Anny Isfandyarie, 2006.op.cit. hlm 126.

tabib, bidan  atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga

3.      Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankanpencariannya, dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Sebagai contoh kasus, misalnya seorang pasien wanita datang kepada dokter dengan pernyataan bahwa wanita tersebut hamil, dan meminta kepada dokter untuk memberikan obat agar kehamilannya tidak berlanjut. Dokter kemudian memberikan resep dengan keterangan bahwa setelah obat yang tertulis di dalam resep tersebut habis, kehamilan wanita tersebut akan segera berakhir. Walaupun resep tersebut belum dibelikan oleh pasien dan belum sempat diminum, perbuatan dokter yang menimbulkan harapan pada pasien bahwa karena obat tersebut hamilnya dapat digugurkan, akan dapat dituntut dengan Pasal 299 KUHP ini. Dengan demikian berdasar Pasal 299 ayat (2) dan ayat (3) KUHP, dokter yang bersangkutan dapat terkena ancaman pidana selama-lamanya 4 (empat) tahun ditambah sepertiga, shingga menjadi 5 (lima) tahun em,pat bulan dan dapat pula ditambah dengan pencabutan hak melakukan pekerjaan sebagai dokter.70

d.      Rahasia Kedokteran

Berkaitan dengan rahasia kedokteran, Pasal 322 KUHP menyebutkan:

1.      Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan ataupidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

2.      Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Menurut HAK. Moch. Anwar, rahasia tersebut dipercayakan dalam jabatannya atau pekerjaannya, termasuk juga rahasia yang diketahui dengan cara lain daripada yang dipercayakan.

Ada perbedaan antara rahasia jabatan dengan rahasia pekerjaan. Rahasia jabatan merupakan sesuatu rahasia yang diketahui karena jabatan atau kedudukan seseorang, seperti pegawai negeri. Apapun rahasia pekerjaan merupakan rahasia yang diketahui karena pekerjaan. membedakan jabatan sebagai pekerjaan pegawai negeri, dan perkejaan untuk pekerjaan non-pegawai negeri, seperti rohaniawan, advokat, dan dokter. Apabila rahasia pekerjaan tersebut di bidang kedokteran, maka disebut rahasia kedokteran (rahasia medis). Rahasia kedokteran (rahasia medis) merupakan sesuatu yang diketahui berdasarkan informasi yang disampaikan pasien (termasuk oleh orang yang mendampingi pasien ketika berobat), termasuk juga segala sesuatu yang dilhat (diketahui) ketika memeriksa pasien. Menurut Guwandi, asal mulanya rahasia medis adalah dari pasien sendiri yang menceritakannya kepada dokter, sehingga sewajarnyalah pasien itu sendiri adalah dan dianggap sebagai pemilik rahasia medis atas dirinya sendiri, bukannya dokter.  Kewajiban menyimpan rahasia pasien juga diatur di dalam Pasal 48 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang diberlakukan sejak Oktober 2005. Pada Pasal 48 ayat (1) dinyatakan: setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Sementara itu ayat (2) menyatakan: rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Ketentuan UU No. 29 tahun 2004 tersebut tidak mengkriminalisasi perbuatan menyimpan rahasia kedokteran. Namun hal ini bukan berarti ketentuan Pasal 322 KUHP tidak berlaku lagi terhadap pekerjaan dokter (rahasia kedokteran), karena ketentuan UU No. 29 Tahun 2004 ini tidak menganulir (mengecualikan) Pasal 322 KUHP terhadap rahasia kedokteran.

Pendapat penulis, sebagaimana di atas, berbeda dengan pendapat Anny Isfandyarie yang menyatakan bahwa dengan adanya ketentuan di dalam UU tersebut sebagai lex specialis, maka Pasal 322 KUHP tidak berlaku lagi bagi dokter dan dokter gigi, tetapi tetap dapat diberlakukan bagi tenaga kesehatan di luar dokter dan dokter gigi. Namun di dalam praktiknyamasih dimungkinkan dicantumkannya Pasal 322 KUHP ini sebagai tuntutan subside oleh penuntut umum.

      Menurut Adami Chazawi, dalam perkara pidana, jika pengadilan meminta dokter sebagai ahli memberikan keterangan yang di dalamnya ada keterangan yang wajib disimpannya, misalnya tentang penyakit yang menyebabkan pasien meninggal, tidak dipidana.  Hal ini bukan berarti dokter tidak melakukan tindak pidana sebagaimana rumusan pasal 322 KUHP, tetapi tidak dipidananya perbuatan memberikan keterangan ahli karena kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Pertimbangan hukumnya ialah apabila dokter nekat bertahan pada rahasia jabatan di depan sidang pengadilan, maka ia melanggar kepentingan hukum yang lebih besar yang berupa kepentingan hukum untuk tegaknya keadilan.7

      Menurut penulis, pendapat Adami Chazawi tersebut tidak tepat. Dalam kasus disebutkan bahwa dokter diminta keterangannya sebagai ahli, bukan sebagai saksi. Seseorang (siapapun) yang diminta keterangan sebagai ahli, memberikan keterangan tidak bersifat faktual melainkan berdasarkan keahlian pada bidang tertentu. Keterangan diberikan berdasarkan keilmuan yang dimiliknya. Hal ini berbeda dengan bila diminta keterangan sebagai saksi, yang mana keterangan diberikan berdasarkan fakta yang dilihat, didengar, dan dialaminya. Jadi tidak mungkin seorang dokter yang diminta keterangannya sebagai ahli akan memberikan penjelasan yang bersifat faktual seperti penyakit atau keadaan seseorang. Mengenai penyakit atau keadaan seseorang yang sakit merupakan suatu hal yang bersifat factual yang harus dirahasiakan dokter. Sedangkan

keterangan sebagai ahli yang diberikan dokter bukanlah rahasia karena substansinya menyangkut ilmu pengetahuan, yang bukan objek yang harus dirahasiakan.

      Berbeda dengan apabila dokter diminta keterangannya sebagai saksi. Dalam hal ini akan terjadi dilemma bagi dopkter, antara keharusan menyimpan rahasia kedokteran dan keharusan memberikan keterangan sebagai saksi. Kewajiban memberikan kesaksian ini merupakan kewajiban hukum setiap orang, bahkan pelanggaran terhadap kewajiban ini dikriminalisasi berdasarkan Pasal 224 KUHP, bahwa:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan

Lihat Pasal 1 ke 27 UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan ,penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pasal 1 ayat 28 UU No.8 Tahun 1981 menyatakan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

      Dalam kasus demikian dokter juga dapat memilih untuk melaksanakan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran, yang berarti ia tidak bersedia member keterangan sebagai saksi. Atas pilihan itu sorang dokter tidak dapat dipidana, karena hukum pidana materiil telah disediakan alasan pembenar (rechwaardigingsgronden) yang dalam hal ini adalah noodtoestand atau keadaan darurat (terpaksa). Pada kasus tersebut dokter dihadapkan pada konflik antara dua kewajiban, yaitu kewajiban menyimpan rahasia kedokteran dan kewajiban memberi keterangan sebagai ahli, yang mana ia harus memilih untuk melaksanakan satu kewajiban, yaitu member keterangan sebagai saksi.

Dalam perspektif hukum pidana formal (hukum acara pidana), telah disediakan “hak undur diri” (verschoningrecht) sebagai saksi atau ahli sebagaimana terdapat dalam Pasal 170 KUHAP, yang menyatakan:

1.      Mereka yang karena pekerjaannya, harkat martabat, atau jabtannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

2.      Hakim menentukan sah tidaknya segala alas an untuk permintaan tersebut.

Atas dasar hak undur diri sebagai saksi atau ahli tersebut, seorang dokter tetap dapat menyimpan rahasia kedokteran, namun hak tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena permintaan mundur sebagai saksi atau ahli tergantung pada penilaian hakim. Artinya, apabila hakim memandang kesaksian atau keterangan ahli dari dokter tersebut sangat penting (menentukan) dalam memutus perkara itu, maka hakim dapat menolak permintaan mundur sebagai saksi atau ahli.

      Alexandra Indriyanti  menyebutkan beberapa hal yang merupakan kekecualian wajib simpan rahasia kedokteran, yaitu: ada persetujuan dari pasien, ada komunikasi dengan dokter lain dari pasien tersebut, dan informasi tersebut tidak tergolong informasi yang bersifat rahasia. Sementara itu dokter diperkenankan membuka rahasia pasiennya secara terbatas kepada pihak tertentu, asal memenuhi tiga syarat, yaitu:

1.      Syarat keterbatasan para pihak yang relevan saja, misalnya kepada suami/istri, mantan suami/istri, pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut.

2.      Syarat keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan.

3.      Syarat keterbatasan persyartan, yakni informasi hanya dibuka apabila memang secara medis, informasi tersebut layak dibuka.[5]

Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga berlaku pada kondisi-kondisi darurat seperti wabah dan bencana alam, di mana seorang dokter ataupun petugas kesehatan tidak boleh membiarkan bencana terjadi tanpa penanganan yang semestinya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1962 Tantang Wabah. Undang-Undang ini mewajibkan dokter atau petugas kesehatan lain untuk segera melaporkan kondisi-kondisi luar biasa karena wabah penyakit dan penyebarannya, sehingga segera bisa ditanggulangi.

F.      Eutanasia

      Euthanasia berasal dari kata eu dan thanatos (Yunani). Eu artinya baik dan thanatos artinya mati, mayat. Dengan demikian euthanasia secara harfiah berarti kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Seutinius dalam buku Vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat tanpa derita. Menurut Richard Lamerton, euthanasia pada abad ke 20 ditafsirkan sebagai pembunuhan atas dasar belas kasihan (mercy killing). Juga diartikan sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya (mercy dead), atau tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang mati. Pengertian tersebut tampaknya semata-mata dilihat dari sudut sifat kematian (tanpa penderitaan) atau dari sudut perbuatan pasif berupa membiarkan seseorang mati tanpa usaha untuk mempertahankan kehidupannya. Pengertian seperti itu tidak menggambarkan yang sesungguhnya terjadi karena belum menggambarkan kehendak orang yang mau mati itu. Padahal kehendak itulah yang maha penting dan menjadi unsur esensieed dari euthanasia. Oleh karena itu, sebaiknya istilah euthanasia diartikan sebagai membunuh atas kehendak korban sendiri.

      Di dalam penjelasan Kode Etik Kedokteran Indonesia, istilah euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:

1.      pindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2.      Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat penenang, dan

3.      mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.[6]

Pada umumnya disepakati batasan tentang euthanasia, yaitu:

1.      Euthanasia aktif, yaitu tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup si pasien.

2.      Euthanasia pasif, di mana dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.

3.      Auto-euthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.

Menurut Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono,80 terdapat kasus-kasus yang disebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada larangan hukum pidana. Empat bentuk pseudo-euthanasia menurut Leenen adalah:

1.      Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati barang otak. Jantung masih berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan berat.

2.      Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya. Dasar pemikirannya, dokter tidak dapat melakukan sesuatu jika tidak dikehendaki pasien.

3.      Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majeure). Dalam hal ini terjadi dua kepentingan hukum yang tidak bisa memenuhi kedua-duanya.

4.      Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya.

      Hukum Indonesia tidak mengenal dan tidak dapat membenarkan alas an atau motivasi euthanasia seperti yang dikemukakan Leenen tersebut. UU Indonesia tidak memberikan tempat untuk mentoleransi salah satu alasan pengakhiran hidup manusia dengan cara itu. Pasal 344 KUHP melarang segala bentuk pengakhiran hidup manusia walaupun atas permintaan sendiri dengan rumusan sebagai berikut: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

      Nilai kejahatan pembunuhan atas permintaan korban ini sedikit lebih ringan daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) yang diancam pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun penjara dan jauh lebih berat daripada kelalaian yang menyebabkan matinya orang (Pasal 359 KUHP) yang diancam pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara.[7]

 

      Faktor lebih ringan (dua tahun) dari pembunuhan biasa disebabkan oleh pembunuhan atas permintaan korban ini terdapat unsur “atas permintaan korban itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Permintaan korban itu oleh hukum masih dihargai dengan diberi ancaman pidana dua tahun lebih ringan daripada pembunuhan biasa, disbanding jika kematian tidak dikehendaki korban.81

6.2.1.5 Aborsi

      Istilah popular lainnya adalah pengguguran kandungan. Walaupun dari sudut hukum menggugurkan kandungan tidak sama persisnya artinya dengan praktik aborsi karena dari sudut hukum (pidana) pada praktik aborsi terdapat dua bentuk perbuatan. Pertama, perbuatan menggugurkan (afdrijven) kandungan. Kedua, perbuatan mematikan (dood’doen) kandungan.

      Di Indonesia sekarang ini terdapat 2 (dua) aturan hukum yang mengatur tentang aborsi, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Dalam perspektif KUHP, pengaturan aborsi ada di Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP.

Pasal 346 KUHP menyatakan:

“ Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, maka diancam dengan pidana paling lama enam tahun “

Dalam pasal ini yang menjadi subjek (pelaku delik) adalah seorang perempuan, yaitu perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang untuk mematikan kandungannya. Subjek delik tidak bersifat umum (yang biasanya menggunakan kata barangsiapa/setiap orang), yang mana pada delik ini terhadap unsur keadaan yang menyertai berupa subjek, sehingga tidak dapat ditetapkan terhadap orang yang tidak memenuhi kualifikasi subjek ini.

Dalam kontruksi delik ini ditentukan akibat, yaitu mengakibatkan gugurnya kandungan dan mengakibatkan matinya kandungan si perempuan tersebut. untuk timbulnya suatu akibat, baik gugur kandungan atau mati kandungan, tentu ada perbuatan yang dilakukan, sehingga ada hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat.

Di samping itu, adanya unsur sengaja (dolus), sehingga dengan melakukan suatu perbuatan itu pelaku menghendaki dan dapat mengetahui adanya akibat tersebut.  dalam hukum pidana, delik yang subjeknya bersifat umum (menggunakan kata barangsiapa/setiap orang disebut delik communia. Sedangkan subjek yang bersifat khusus (misal seorang perempuan, pegawai negeri) disebut delik propria, yaitu delik yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat tertentu.

Menurut van Bemmelen, harus dapat dibuktikan kandungan perempuan itu dalam keadaan hidup pada waktu abortus provocatus dilakukan83, namun ia tidak disyaratkan mengetahui keadaan itu. Hal ini misalnya

sebagaimana tercantum dalam arrest Hoge Raad tanggal 29 Juli 1907 mengenai  penerapan Pasal 348 ayat (1) KUHP, yang dikenal sebagai abortus-arrest.

Suatu persoalan normatif muncul, yaitu pada usia kandungan berapa lama aborsi itu dilarang. Dengan tidak diaturnya persoalan ini, maka tidak ada acuan yang pasti bagi penegak hukum pidana dalam menerapkan ketentuan ini. Selain itu, persoalan lain adalah dengan disebutnya perbuatan “menyuruh” dalam Pasal 346 KUHP, apakah “menyuruh” di sini pengertiannya sama dengan “menyuruh” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Terhadap orang yang disuruh dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan, karena orang yang disuruh hanyalah sebagai “instrumen” untuk mewujudkan kehendak dari orang yang menyuruh.

Pasal 347 KUHP menyatakan:

1.                   Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandunganseorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara palinglama dua belas tahun.

2.         Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancamdengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348 menyatakan:

1.             Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandunganseorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

2.      Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 KUHP menyatakan:

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatanberdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang

ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 347 dan 348 KUHP mengatur keterlibatan orang lain dalam tindak pidana aborsi. Apabila seseorang melakukan aborsi tanpa persetujuan dari perempuan yang kandungannya diaborsi, maka pertanggung-jawaban pidana pelaku didasarkan pada pasal 347 KUHP. Namun apabila dengan persetujuan perempuan itu, maka pertanggungjawaban pidananya berdasarkan Pasal 348 KUHP. Adapun Pasal 349 KUHP mengatur tentang pemberatan dan pemberian pidana tambahan, yaitu dapat ditambah 1/3 dari ancaman pidana dalam pasal yang dijadikan dasar tuntutan dan pencabutan hak untuk menjalankan pekerjaan (profesi), apabila aborsi dilakukan oleh dokter atau bidan atau apoteker.[8]

Tindak pidana aborsi dalam perspektif UU No. 23 tahun 1992 diatur dalam Pasal 80 ayat (1).

 

6.2.1.6 Kelalaian yang Menyebabkan Kematian, Cacat atau Luka

Dalam upaya penyembuhan, sangat atau bahkan hamper tidak ada dokter yang dengan saja melakukan kesalahan terhadap pasien. Apabila terjadi kematian/cacat/luka dan keadan tersebut diduga atau patut diduga karena kesalahan dokter, maka yang paling penting adalah membuktikan adanya grove schuld atau sikap kurang hati-hati yang besar atau sangat sembrono dalam upaya penyembuhan (culpa lata), sedangkan suatu kesalahan ringan/biasa tidak dapat ijadikan dasar untuk meminta pertanggungjawaban hukum.84

e.       Kelalaian yang Menyebabkan Kematian

Pasal 359 KUHP:

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun

Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, di mana kematian bukanlah yang dituju atau dikehendaki.

Adanya hubungan kausal telah lazim dikenal dengan istilah akibat langsung yang tidak berbeda    

dengan akibat yang ditimbulkan oleh sebab-sebab yang masuk akal dan menurut kelayakan.

Hal itu dapat dipikirkan sebagai akibat dari suatu sebab. Khusus dalam hal mencari causal verband antara tindakan medik dengan akibat yang timbul sesudah tindakan medik maka digunakan ilmu kedokteran sendiri. Adanya akibat kematian, apakah dari sebab diberikan suntikan obat tertentu dengan dosis tertentu, tidak cukup dengan akal orang awam, tetapi harus menggunakan ilmu kedokteran. Akan tetapi, adakalnya cukup digunakan akal orang awam sekalipun. Contoh kasus tertinggalnya benda di badan pada suatu pembedahan. Adanya benda tertinggal dalam badan sudah cukup membuktikan akibat dari pembedahan yang ketika menjahit luka bekas pembedahan yang tidak teliti.

      Dalam hal ini, di samping adanya sikap batin, culpa, harus ada tiga unsure lagi yang merupakan rincian dari kalimat “menyebabkan orang lain mati”, yaitu:

1.      Harus ada wujud perbuatan.

2.      Adanya akibat berupa kematian.

3.      Adanya causal verband antara wujud perbuatan dengan akibat kematian.

Tiga unsur ini tidak berbeda dengan unsur perbuatan menghilangkan nyawa dari pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Bedanya dengan pembunuhan hanyalah terletak pada unsur kesalahannya, yakni pada Pasal 359 ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa).

f.        Kelalaian yang Menyebabkan Luka

Pasal 360 KUHP menyebutkan:

1.      Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau  pidana kurungan paling lama satu tahun.

2.      Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa, sehingga timbul penyakit atau halanganmenjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Ada dua macam tindak pidana menurut Pasal 360. Dari rumusan ayat (1) dapat dirinci unsur-unsur yang ada [9], yaitu: Adanya kelalaian

1.      Adanya wujud perbuatan

2.      Adanya akibat luka berat

3.      Adanya hubungan kausalitas antara luka berat dan wujud perbuatan.

Rumusan ayat (2) mengandung unsur-unsur:

1.      Adanya kelalaian

2.      Adanya wujud perbuatan

3.      Adanya akibat: luka yang menimbulkan penyakit, dan luka yang menimbulkan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu.

4.      Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat.

Menurut Pasal 90 KUHP, luka berat berarti:

1.      jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

2.      tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;

3.      kehilangan salah satu panca indera;

4.      mendapat cacat berat;

5.      menderita sakit lumpuh;

6.      terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

7.      gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Sebagai alternatif, luka yang mendatangkan penyakit adalah luka yang menjadi halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian. Ukuran jenis luka ini bukan pada penyakit, tetapi pada halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian. Ukurannya lebih mudah, yakni terganggunya pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter bahwa orang itu perlu istirahat karena adanya gangguan pada fungsi organ tubuhnya karena luka yang dideritanya. Diperlukan istirahat oleh karena luka-luka tersebut.

Perihal unsur kelalaian yang terdapat dalam Pasal 359 maupun 360 KUHP mensyaratkan adanya perbuatan tidak berhati-hati. Untuk menilai perbuatan seseorang berhati-hati atau sebaliknya, perbuatan seseorang itu haruslah dibandingkan dengan perbuatan orang lain. Berkaitan dengan hal ini, uraiannya sebagaimana telah dijelaskan pada Bab V Subbab 5.2.1.

g.       Pemberatan Pidana dan Pidana Tambahan

Pasal 361 KUHP menyatakan:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana itu boleh ditambah dengan sepertiganya dan dapat dijatuhkan pencabutan hak melakukan pekerjaan, yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu dan hakim dapat memerintahkan  pengumuman putusannya.

     Berdasarkan pasal tersebut, dokter yang telah menimbulkan cacat atau kematian yang berkaitan dengan tugas atau jabatan atau pekerjaannya, maka Pasal 361 KUHP memberikan ancaman pidana sepertiga lebih berat. Di samping itu, hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta memerintahkan pengumunan keputusannya itu.

4.      Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 di samping memuat ketentuan hukum administrasi juga memuat ketentuan pidana. Ketentuan hukum di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tercantum di dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 86. Beberapa pasal pemidanaan, yang diantaranya dapat dikenakan dokter, adalah sebagai berikut:

Pasal 80

Pasal 80 ayat (1):

Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 80 ayat (1) terdapat unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

1.      Unsur objektif:

a.       melakukan tindakan medic tertentu

b.      pada ibu hamil

c.       tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat(1) dan (2)

2.      Unsur subjektif:

a.       dengan sengaja

Pasal 15 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa:

1.      Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.

2.      Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :

a.       berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;

b.      oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;

c.       dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;

d.      pada sarana kesehatan tertentu.

Menurut penjelasan Pasal 15, tindakan medik dalam bentuk pengguguran  kandungan, dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, morma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang dimaksud dengan tindakan medik tertentu dalam Pasal 80 ayat (1) adalah berupa pengguguran kandungan, walaupun tidak disebut aborsi atau menggugurkan atau mematikan kandungan. Oleh karena itu, Pasal 80 ayat (1) ini termasuk delik materiil, yaitu delik yang merumuskan akibat. Jadi, tindakan medik tertentu pada ibu hamil haruslah berakibat terhentinya kehamilan ibu tersebut. terhentinya kehamilan ibu itu juga haruslah sesuatu yang disengaja, dalam arti pelaku menghendaki dan dapat mengetahui tentang terhentinya kehamilan itu. Oleh karena itu pula, ketentuan Pasal 80 ayat (1) ini disebut abortus provocatus kriminalis.

      Dalam hukum pidana, ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No.23 tahun 1992 disebut dasar pembenar dilakukannya aborsi, yakni keadaan darurat/terpaksa (noodtoestand) yang merefleksikan adanya konflik antara dua keadaan, antara kewajiban menghormati hidup setiap insan dan kewajiban untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin dalam kandungan. Keadaan darurat menurut pasal ini secara limitatif “sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya”. Jadi, tidak termasuk alasan lain seperti hamil karena kasus pemerkosaan, incest, aborsi yang aman, dan lainnya.

      Adapun substansi Pasal 15 ayat (2) mengatur kewenangan dan prosedur tindakan, yaitu berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut, dilakukan tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu (dengan pertimbangan tim ahli), dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, serta pada sarana kesehatan tertentu.

      Apabila terpenuhi kedua ayat dari Pasal 15 tersebut, maka pelaku tidak dipidana karena adanya dasar pembenar dan terpenuhinya dasar kewenangan dan prosedur tindakan. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 15 itu, dalam penerapannya, terlebih dahulu harus memperhatikan dasar pembenar, yakni keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1). Apabila tidak ditemukan alasan sebagaimana dimaksud, maka tidak lagi memperhatikan dasar kewenangan dan prosedural yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2), sehingga perbuatan tersebut merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992. Jadi, tidak perlu mempersoalkan belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3). Sebagian pendapat menyatakan bahwa Pasal 80 ayat (1) ini belum dapat diterapkan karena belum adanya PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3). Menurut penulis, tidak diperlukan lagi PP untuk mengatur lebih lanjut mengenai tindakan medik tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), karena isi ayat (1) dan (2) sudah cukup operasional. Aturan hukum (apalagi PP) tidak mungkin mengatur masalah yang bersifat teknis, karena masalah teknis ditentukan dalam standar prosedur operasional (SPO) tindakan medik.

      Seperti halnya Pasal 346, 347, dan 348 KUHP, ketentuan Pasal 80 ayat (1) No. 23 tahun 1992 juga tidak mengatur batasan usia kandungan yang tidak boleh digugurkan, sehingga juga akan menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.

      Dengan demikian dapat dilihat perbedaan antara tindak pidana sborsi menurut KUHP dan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan; tindak pidana aborsi dalam KUHP membedakan dasar hukum pertanggungjawaban pidana antara wanita yang melakukan sendiri-sendiri atau menyuruh orang lain, yaitu Pasal 346 dengan pertanggungjawaban pidana orang lain yang terlibat, yakni Pasal 347 dan 348. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 1992, tidak ada perbedaan dasar hukum pertanggungjawaban pidana, yakni sama-sama dikenakan Pasal 80 ayat (1), sehingga apabila pihak yang terlihat lebih dari 1 (satu) orang, misalnya wanita yang mengandung itu dengan dokter, dasar hukum pertanggungjawaban pidananya dengan mengaitkan Pasal 80 nayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 dengan (juncto) Pasal 55 ayat (1) ke 1 atau ke 2 Pasal 56 KUHP.

Perbedaan lain adalah dalam KUHP tidak diatur secara khusus dasar pembenar.88 Sedangkan dalam UU No. 23 tahun 1992, dasar pembenar itu diatur secara khusus, yaitu keadaan darurat sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1).

      Dengan demikian di Indonesia terdapat dua aturan hukum mengenai aborsi, yaitu KUHP dan UU No. 23 tahun 1992. Apabila terjadi kasus aborsi, aturan hukum mana yang dipakai sebagai dasar dalam penuntutan? Persoalan ini muncul karena dalam UU No. 23 Tahun 1992 tidak ada dinyatakan pencabutan Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Namun dalam teori hukum terdapat suatu asas untuk menyelesaikan konflik aturan (dualisme aturan), yaitu asas Lex specialis derogate lege generalis (undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang umum). Dalam konteks pertanyaan di atas, UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dapat dipandang sebagai undang-undang yang bersifat khusus, dan KUHP adalah undang-undang yang bersifat umum. Berdasarkan asas itu, maka UU No. 23 tahun 1992 yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam penuntutan.

Pasal 80 ayat (2):

Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak melaksanakan ketentuan tentang jaminan pemeliharaan keschatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Ketentuan pasal 80 ayat (2) ini substansinya berkaitan dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan (3), yang mengatur bahwa penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan oleh masyarakat harus memiliki izin dan harus berbentuk badan hukum, seperti BUMN, BUMD, atau yayasan; sehingga diancam dengan sanksi pidana menurut Pasal 80 ayat (2) adalah dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan (3). Ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan (3) ini menurut isinya termasuk ketentuan hukum administrasi, sehingga dapat dikatakan ketentuan Pasal 80 ayat (2) mengkriminalisasi pelanggaran norma hukum administrasi yang diatur pada Pasal 66.

Dasar pembenar khusus adalah dasar pembenar yang hanya berlaku untuk satu tindak pidana, biasanya pengaturnya mengikuti ketentuan delik yang bersangkutan, dalam KUHP misalnya Pasal 310 ayat (3). Dasar pembenar yang bersifat umum adalah dasar pembenar yang dapat digunakan untuk semua tindak pidana, pengaturnya dalam bab III KUHP.

Pasal 80 ayat (3):

Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Ketentuan pidana dalam Pasal 80 ayat (3) tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2), sehingga ketentuan Pasal 80 ayat (3) ini dapat dikatakan mengkriminalisasi pelanggaran norma administrasi yang ada di Pasal 33 ayat (2), yang menyatakan:

Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.

-Pasal 81

Pasal 81 UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan terdiri dari 2 ayat, yaitu :

-Pasal 81 ayat (1):

Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan segaja :

1.      melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);

2.      melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);

3.      melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).

Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, implant alat kesehatan, tindakan bedah plastik dan rekonstruksi, hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilaksanakan pada sarana kesehatan tertentu. Persyartan ini sebagaimana tersebut di dalam Pasal 34 ayat (1) yang mengatur tentang kewenangan melakukan transplantasi organ. Pasal 36 ayat (1) mengatur kewenangan melakukan implan obat dan atau alat kesehatan, dan Pasal 37 ayat (1) mengatur kewenangan melakukan bedah plastik dan rekonstruksi. Ketentuan Pasal 34 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37 ayat (1) juga merupakan norma hukum administrasi. Dengan demikian Pasal 81 ayat (1) ini juga mengkriminalisasi pelanggaran norma hukum administrasi.

Pasal 81 ayat (2):

Barang siapa dengan sengaja :

1.      mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2);

2.      memproduksi dan atau mengedarkan alat keschatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

3.      mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

4.      menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan serta norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3);

dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (scratus empat puluh juta rupiah).

Ketentuan Pasal 34 ayat (2) yang dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) huruf a UU Tentang Kesehatan tersebut berbunyi: “Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya.”

Pasal 40 ayat (1) menyatakan: “Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya.” Sedangkan ayat (2) menyatakan: “Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.”

Pasal 69 ayat (2) dan (3) berisi syarat yang harus dipenuhi dalam penelitian, pengembangan kesehatan, dan penerapan hasil penelitian pada manusia. Pada ayat (2) dinyatakan: “Penelitian, pengembangan kesehatan dan penerapan hasil penelitian pada manusia harus dilaksanakan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat,” dan ayat (3) menyatakan: “Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan orang yang diteliti.”

Pasal 82

Pasal 82 ayat (1):

Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :

1.      melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);

2.      melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);

3.      melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);

4.      melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1);

5.      melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2);

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (scratus juta rupiah).

UU No. 23 Tahun 1992 telah menentukan persyartan tertentu untuk dapat melakukan pengobatan dan perawatan berdasarkan ilmu kedokteran, yakni hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 ayat (4) UU tentang Kesehatan yang berbunyi: “pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.” Tujuan utama pasal ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat dari pengaruh buruk atau akibat buruk dari pengobatan yang menggunakan ilmu kedokteran yang dilakukan oleh tenaga yang tidak berwenang untuk itu.

Untuk transfusi darah juga harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan mempunyai keahlian untuk memberikan transfuse darah yang tercantum di dalam Pasal 35 ayat (1), yang menyatakan: “Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan itu.”

Demikian juga tentang implan obat, Pasal 36 ayat (1) memberikan persyaratan: “Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.”

Adapun Pasal 63 ayat (1) mengatur pekerjaan kefarmasian, ketentuan mana menentukan bahwa dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Dokter di daerah yang berniat membantu meringankan beban pasien dengan melakukan pemeriksaan dan sekaligus memberikan obatnya (bukan resep obat) dapat dituduh telah melakukan pekerjaan kefarmasian, kecuali bila obat yang diberikan itu sifatnya dibutuhkan segera. Ketentuan Pasal 36 ayat (1) menyatakan: “Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.”

Sedangkan pad Pasal 70 ayat (2) UU Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa: “Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.”

Pasal 82 ayat (2):

Barang siapa dengan sengaja :

1.      melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);

2.      memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

3.      memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

4.      mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);

5.      memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 82 ayat (2) a ini mengatur tindak pidana bayi tabung (In vitro Fertilisasi/IvF). Yang diancam dengan sanksi pidana adalah melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 yang menyatakan:

1.      Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan.

2.      Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :

a.       hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;

b.      dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;

c.       pada sarana kesehatan tertentu.

      Ketentuan Pasal 16 ayat (1) mengatur tentang alas an untuk mengupayakan kehamilan di luar cara alami, yaitu sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan. Dalam ilmu hukum, hal ini dapat disebut sebagai keadaan darurat. Sedangkan ayat (2) mengatur tentang syarat dan prosdur untuk melakukan upaya kehamilan di luar cara alami, yaitu: pembuahan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel ovum itu berasal, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan, dan dengan sarana kesehatan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan kehamilan di luar cara alami yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Ketentuan yang mengharuskan bahwa pembuahan sperma dan ovuim dari pasangan suami istri yang sah dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel ovum itu berasal, dimaksudkan untuk menjamin kepastian hubungan darah antara bayi yang dilahirkan dengan pemilik sel sprema dan ovum tersebut. hal ini berguna di antaranya untuk menentukan kewarisan dan perwalian dari anak tersebut. dengan demikian hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal istilah “rahim rental”, atau donor sperma atau ovum”. Kedua hal tersebut tidak boleh dilakukan.

      Kriminalisasi pengupayaan kehamilan di luar cara alami tersebut tidak mengaitkan dengan alas an keadaan darurat sebagaimana disebut dalam Pasal 16 ayat (1), hanya mengaitkan dengan syarat dan prosedur yang diatur dalam ayat (2).

      Ketentuan Pasal 82 ayat (2) b dan c, kriminalisasi mengenai pelanggaran terhadap Pasal 40 ayat (2) yang menyatakan: “Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.” Ketentuan pidana Pasal 82 ayat (2) b mengenai sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan, sedangkan Pasal 82 ayat (2) c mengenai sediaan farmasi berupa kosmetika dan alat kesehatan yang tidak memenuhi standard an atau persyaratan yang ditentukan.

      Ketentuan pidana dalam pasal 82 ayat (2) d mengatur tentang mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi yang harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelangkapan serta tidak menyesatkan. Sedangkan Pasal 82 ayat (2) 2 mengatur tentang memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.

 

 Pasal 83

Pasal 83 UU Kesehatan menyebutkan bahwa ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82 UU Tentang Kesehatan ditambah dengan sepermpatnya apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan kematian.

6.       Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Pada dasarnya norma hukum yang tercantum dalam UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran merupakan norma hukum administrasi. Namun dalam undang-undang ini juga tercantum ketentuan pidana di dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 80. Pencantuman sanksi pidana pada UU No. 29 Tahun 2004 ini tidak lepas dari fungsi hukum pidana secara umum, yakni ultimum remudium. Makna yang terkandung dari asas ultimum remudium adalah bahwa sanksi pidana merupakan upaya (sanksi) yang manakala sanksi hukum lainnya sudah dianggap tidak signifikan dengan bobot norma hukum yang dilanggar. Dalam konteks UU Praktik Kedokteran yang pada dasarnya memuat nporma-norma hukum administrasi, dengan dicantumkannya sanksi pidana pada pelanggaran norma hukum administrasi tertentu, berarti pembuat undang-undang ini menilai sanksi administrasi saja tidak cukup signifikan, sehingga diperlukan sanksi pidana.

Pasal 75

Tindak pidana praktik dokter tanpa surat tanda registrasi (STR), dirumuskan dalam Pasal 75:

1.      Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2.      Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3.      Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Menurut Adami Chazawi,89 tindak pidana Pasal 75 ini bersumber dari pelanggaran kewajiban hukum administrasi kedokteran sebagai berikut:

1.      Bagi dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia ialah kewajiban menurut Pasal 29 di mana sebelum melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib memiliki STR yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (ayat 1 dan 2).

2.      Bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedoteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia, kewajiban menurut Pasal 31 ayat (1) ialah sebelum melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran gigi di Indonesia wajib memiliki STR sementara terlebih dahulu.

3.      Bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia, sebelum melakukan praktik kedokteran wajib memiliki STR bersyarat (pasal 32 Ayat 1).

Surat tanda registrasi (Pasal 29 ayat 1), baik sementara (Pasal 31 ayat 1) maupun yang bersyarat (Pasal 32 ayat 1) secara administratif memberikan hak atau kewenangan pada

dokter atau dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran gigi di Indonesia. Apabila yang bersangkutan tidak memiliki STR dari sudut hukum administrasi kedokteran, maka tidak wewenang untuk berpraktik kedokteran atau kedokteran gigi di Indonesia. Oleh karena itu, perbuatan demikian itu diancam dengan sanksi pidana, sehingga perbuatan tersebut menjadi/mengandung sifat melawan hukum pidana. Apabila praktik dokter tanpa STR tersebut membawa akibat penderitaan pasien berupa luka-luka, rasa sakit fisik ataupun kematian, maka terjadi malpraktik kedokteran walaupun telah mendapat informed consent dan tidak melanggar standar profesi atau standar prosedur.

      Dari pelanggaran hukum adminisrasi menjadi tindak pidana dapat dilihat maksud pembentuk undang-undang ini, yakni sebagai upaya preventif untuk menghindarkan dokter atau dokter gigi dari malpraktik kedokteran dan sekaligus sebagai upaya preventif agar terhindar dari munculnya korban akibat malpraktik kedokteran. Frasa “tanpa memiliki STR” merupakan unsur keadaan yang menyertai dan melekat pada subjek hukum dokter. Sifat melawan hukum, praktik kedokteran oleh seorang dokter melekat atau terdapat pada unsur tanpa STR tersebut. sifat melawan hukum yang demikian dapat menjadi sifat melawan hukum malpraktik kedokteran apabila dari praktik kedokteran tersebut menimbulkan akibat yang merugikan kesehatan fisik atau mental atau nyawa pasien, walaupun praktik kedokteran tersebut tidak bertentangan dengan standar profesi dan standar prosedur dan dilakukan atas informed consen.

Pasal 76

Tindak pidana praktik kedokteran tanpa surat ijin praktik (SIP) dirumuskan dalam Pasal 76, yaitu: “ Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu memiliki surat ijin praktik sebelum melakukan praktik kedokteran di Indonesia. Kewajiban dokter ini semula merupakan kewajiban hukum administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karena pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam sanksi pidana.

Ketentuan mengenai SIP adalah sebagai mana diatur dalam Pasal 37 & 38:

1.      SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan (Pasal 37 ayat 1).

2.      SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat (Pasal 37 ayat 2).

3.      Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik (Pasal 37 ayat 3).

4.      Untuk memiliki SIP harus memenuhi tiga syarat, yakni (1) memiliki STR yang masih berlaku; (2) memiliki tempat praktik; (3) memiliki rekomendasi dari organisasi profesi (Pasal 38 ayat 1).

5.      SIP tetap berlaku sepanjang (1) STR masih berlaku, dan (2) tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (Pasal 38 ayat 2).

Pasal 77

Tindak pidana menggunakan identitas seperti gelar yang menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP, diatur dalam Pasal 77, yaitu:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat ijin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

      Unsur “perbuatan menggunakan gelar” harus memenuhi dua syarat, (1) gelar yang digunakan harus berupa gelar yang ada hubungannya dengan ilmu kedokteran. Suatu gelar yang diketahui umum dapat menunjukkan bahwa pemilik gelar menguasai bidang kedokteran dan (2) si pembuat sesungguhnya tidak memiliki gelar tersebut. demikian juga pada alternatif dari menggunakan gelar in casu disebut sebagai  “menggunakan identitas bentuk lain”. Unsur ini sangat terbuka dan dapat mengikuti apa yang berlaku di bidang praktik kedokteran. Identitas bentuk lain harus identitas yang diketahui umum sebagai identitas para dokter, misalnya pakaian khas dokter yang berupa jas atau jubah putih, mengalungkan stetoskop di leher, pada mobilnya terpampang lambing IDI atau asosiasi kedokteran lainnya, yang menimbulkan kesan seolah-olah seorang dokter. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 ayat (1): ‘ Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutanadalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat ijin praktik”.

      Pasal 77 ini selain berlaku pada orang yang bukan dokter, juga berlaku pada dokter atau dokter gigi yang tidak mempunyai STR dan/atau SIP yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran. Hal ini karena dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR dan/ SIP merupakan satu kalimat yang artinya tidak dapat dipisahkan.

      Dibentuknya sanksi pidana pada Pasal 77 ini dimaksudkan untuk tiga tujuan. Pertama, sebagai upaya preventif agar tidak terjadi penyalahgunaan cara-cara praktik kedokteran oleh orang-orang yang bukan ahli kedokteran. Kedua, melindungi kepentingan hukum masyarakat umum, agar tidak menjadi korban  dari perbuatan-perbuatan yang meniru praktik kedokteran oleh orang yang tidak berwenang. Menghindari akibat dari praktik kedokteran oleh orang tidak berwenang. Ketiga, melindungi martabat dan kehormatan profesi kedokteran oleh orang-orang yang tidak berwenang.

Pasal 78

Tindak pidana dengan menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang menimbulkan kesan seolah-olah dokter yang mempunyai STR dan SIP, diatur dalam pasal 78 yang menyebutkan:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang

bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat ijin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Sebagaimana Pasal 77, selain pada orang yang bukan dokter, pasal ini dapat diartikan berlaku juga bagi dokter atau dokter gigi yang tidak mempunyai STR dan/atau SIP. Sebagaimana bunyi Pasal 73 ayat (2): “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelyanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat ijin praktik.”

Pasal 79

Tindak pidana dokter praktik yang tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medik, dan tidak berdasarkan standar profesi, diatur dalam pasal 79 yang menyebutkan:

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

a.       dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1);

  1. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1); atau
  2. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf c.

Tujuh macam tindak pidana Pasal 79 bersumber pada kewajiban hukum administrasi, yang apabila dilanggar menjadi tindak pidana dengan diberi ancaman pidana. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (1) yang mensyaratkan pemasangan papan nama dan rekam medik pada dokter praktik. Demikian juga Pasal 51 huruf a – e yang menyebutkan adanya kewajiban yang harus dilaksanakan dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran, yaitu:

1.      pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

2.      kewajiban merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau. kemampuan yang lebih baik.

3.      menjaga rahasia kedokteran, bahkan hingga pasien  yang telah meninggal.

4.      melakukan pertolongan darurat pada saat ia wajib melakukannya.

5.      Kesediaan untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan profesi.

Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi tindak pidana apabila dilanggar bahkan sebagian dapat menjadi syarat terjadinya malpraktik kedokteran apabila dari pelanggaran administrasi tersebut menimbulkan akibat fatal bagi kesehatan pasien, baik berupa luka ataupun kematian.92

      Khusus mengenai ketentuan pidana dalam bab X Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “ kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan perkara yang dimohonkan oleh dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An, SH. Dkk. Tersebut diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Selasa (19-6-2007) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat.[10]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB VII

PENYELESAIAN KASUS MALPRAKTIK MEDIK

 

Vincent dkk.[11] dari Academic Department Of Psychitry, St. Mary’s Hospital, London, UK, melakukan penelitian tentang alas an-alasan pasien dan keluarganya mengajukan tuntutan ke pengadilan sehubungan dengan malpraktik medik. Dari 277 responden objek penelitian yang mengajukan tuntutan malpraktik medik melalui 5 Lembaga Bantuan Hukum, ternyata 70% di antaranya mengalami cedera serius yang menyebabkan timbulnya permasalahan jangka panjang terhadap pekerjaan, kehidupan sosial, dan dalam hubungan keluarga. Emosi yang mendalam timbul karena penderitaan yang akan mereka alami dalam jangka panjang. Keputusan untuk mengajukan tuntutan hukum telah diambil tidak saja karena cidera yang dialami, tetapi juga karena ketidak-pekaan penanganan selama perawatan, serta komunikasi yang buruk antara pasien dan dokter. Dari penelitian ini, Vincent menyimpulkanbahwa pada umumnya pasien dan keluarganya mengajukan tuntutan ke pengadilan bukan saja karena adanya cidera atau kerugian lain, tetapi juga karena adanya beberapa faktor lain, di antaranya:

1.      kurangnya keterbukaan dan kejujuran.

2.      Minimnya penjelasan dari pihak medis.

3.      Kurangnya komunikasi.

Di Indonesia, penyelesaian kasus malpraktik medik mengacu pada Pasal 66 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Pasal 66:

1.      Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

2.      Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:

a.       identitas pengadu;

b.      nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan ; dan

c.       alasan pengaduan.

 


3.      Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Sesuai Pasal 66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat praktik kedokteran yang mereka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya melalui MKDKI, yang merupakan jalur non-litigasi. Selain melalui jalur non-litigasi, pasien/keluarga pasien yang menduga telah terjadi malpraktik atas diri pasien tidak tertutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana.

Kewenangan MKDKI dalam menangani pengaduan masyarakat, sesuai dengan Pasal 67: “Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengadaan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.”

MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3):

  1. Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
  2. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.
  3. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

Untuk menjamin ntralitas MKDKI, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 disebutkan bahwa MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum. Sedangkan ayat (2) dalam pasal yang sama menyebutkan pesyaratan menjadi anggota MKDKI.

Pasal 59 ayat (1) dan (2):

1.      Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter gigi dan organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.

2.      Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.       Warga Negara Republik Indonesia;

b.      Sehat jasmani dan rohani;

c.       Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

d.      Berkelakuan balk;

e.       Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;

f.        Bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi;

g.      Bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10 sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan

h.      Cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik.

Keputusan MKDKI merupakan sanksi disiplin dan bersifat mengikat, sesuai dengan Pasal 69 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004:

1.      Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.

2.      Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.

3.      Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a.       pemberian peringatan tertulis;

  1. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
  2. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Alur penanganan ketidakpuasan pasien

 

Hasil

tidak

Meminta penjelasan R.

Memuaskan

Meminta penjelasan

Tidak

Memuaskan

Isu Etik

Isu Disiplin

Isu Hukum

Isu Hukum

Isu Hukum

MKEK/

MKEDGI

MKDKI

Lembaga

ADR

P.N.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Lembaga ADR adalah lembaga yang mencoba menawarkan penyelesaian kepada pihak-pihak yang bertikai, antara pasien dengan dokter atau dokter gigi. Penyelesaian ini menggunakan pendekatan kepentingan (interest based) yang bersifat win-win solution, melalui konsiliasi, mediasi, fasilitasi dan negosiasi, tanpa mengedapankan benar-salah (right based), dilakukan di luar pengadilan, dengan atau tanpa kompensasi. Melalui lembaga ADR ini dapat dilakukan upaya mencari jalan keluar atas keputusannya, baik pihak dokter maupun pihak pasien.

      Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia/IDI atau Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia/PDGI), sesuai Pasal 68: “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengakuan pada organisasi profesi.”

      Perselisihan itu selanjutnya akan ditangani oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) IDI, atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG) PDGI. MKEK dan MKEKG adalah suatu badan peradilan profesi yang bertugas mengadili anggota ikatan profesi itu sendiri. Hukuman yang dijatuhkan MKEK/MKEKG bisa berupa teguran atau pemecatan dari keanggotaan IDI/PDGI yang dapat bersifat sementara (skorsing) atau tetap/selamanya.

      Apabila suatu kasus yang diduga malpraktik medic diadukan oleh masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke sidang pengadilan untuk diperiksa. Oleh karena Undang-Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, sehingga masalah gugatan perdata atau pidana diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli (expert witness testimonium) apabila diperlukan, sebagaimana lazimnya juga di luar negeri.

      Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kejahteraan diri dan keluarganya sebagaimana Pasal 25 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara mengakui hak setiap orang untuk memperoleh standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.

      Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam hukum kedokteran. Keduanya membentuk hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam hubungan dokter-pasien ini dapat terjadi sengketa medik yang timbul karena adanya kesenjangan antara harapan pasien/keluarga pasien dengan kenyataan yang ada setelah dilakukan upaya medik, ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman tentang masalah teknis medis dari pihak pasien serta informasi dari pihak dokter yang tidak memuaskan pasien/keluarga pasien. Perlindungan bagi pasien dan rambu-rambu untuk dokter dibina antara lain oleh hati nurani dan moral, etika medis, disiplin profesi, dan aturan hukum. Moral dan etika medis adalah rambu-rambu paling tua untuk menjaga hubungan antara dokter dan pasien dalam berbagai dimensi agar berlangsung dalam batas-batas yang dianggap wajar dan baik, sedangkan aturan hukum sebagai rambu-rambu baru menyusul jauh kemudian. Hubungan dokter-pasien yang bersifat kemitraan akan mengantar kedua pihak pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang dilakukan hanyalah sebatas upaya, yang oleh karenanya dokter dan pasien harus melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya

Malpraktik medik dapat masuk dalam lapangan hukum pidana apabila memenuhi syarat-syarat dalam 3 aspek, yaitu (1) syarat sikap batin dokter; (2) syarta dalam perlakuan medis, dan (3) syarat mengenai hal akibat. Pada dasarnya syarat dalam sikap batin adalah syarat sengaja atau culpa, yaitu wujud perbuatan dalam melakukan tindakan medik. Syarat perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang. Syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien. Tiga undang-undang yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik medik adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Khusus mengenai Ketentuan Pidana dalam Bab X Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Juni 2007 menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “ kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

      Pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat praktik kedokteran yang mereka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya melalui MKDKI yang merupakan jalur non-litigasi. Selain melaui jalur non-litigasi, pasien/keluarga pasien yang menduga telah terjadi malpraktik atas diri pasien, tidak menutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, baik jalur perdata atau pidana. Khusus untuk jalur perdata, adanya Lembaga ADR dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah sengketa medik yang terjadi, selain ke pengadilan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

INTERAKSI

ETIKA KESEHATAN – ETIKA KEDOKTERAN HUKUM MEDIK

A.Pengantar

           2                        3

 

 

1                                               4

 

 

8                                             5

 

 

            7                        6

      Apabila hendak dibicarakan etika kesehatan, etika kedokteran maupun hukum medik, maka hal itu tidak mungkin dilepaskan dari masyarakat. Masyarakat merupakan landasan, sumber maupun wadah tempat berprosenya hal-hal tersebut. Dari sudut pandangan sistem, maka masyarakat bukanlah semata-mata merupakan himpunan atau kesatuan manusia belaka, namun merupakan suatu sistem. Secara visual, system kemasyarakatan itu (“societal system”) adalah, sebagai berikut :

 

     2.9     3.9            

 

1.9                 4.9

 

8.9                 5.9

       7.9     6.9

 

 

 

 

 

 

 


Penjelasannya adalah sebagai berikut :

keseluruhan lingkaran merupakan system kemasyarakatan yang mencakup beberapa subsistem.

1.   Nomor 1 adalah sub-sistem fisik

2.   Nomor 2 adalah sub-sistem biologis.

3.   Nomor 3 adalah sub-sistem politik.

4.   Nomor 4adalah sub-sistem ekonomi.

5.   Nomor 5 adalah sub-sistem sosial.

6.   Nomor 6 adalah sub-sistem budaya.

7.   Nomor 7 adalah sub-sistem kesehatan.

8.   Nomor 8 adalah sub-sistem pertahanan-keamanan.

9.   Nomor 9 adalah sub-sistem hukum

Subsistem hukum sebenarnya lebih tepat dinamakan inter sub-sistem hukum, oleh karena mungkin mengatur bagian-bagian tertentu sub-sistem lainnya. Oleh karena itu, dalam gambar tersebut di atas diberi kode-kode 1.9, 2.9, 3.9, dan seterusnya.

Kode 7.9, misalnya adalah sub-sistem kesehatan yang diatur oleh hukum (bagian lainnya tidak diatur oleh hjukum). Bagaimana halnya dengan bidang kedokteran atau medis dalam hubungannya dengan sub-sistem kesehatan dan inter sub-sistem hukum ?

 

Gambarannya adalah, sebagai berikut:

 


                                                                             7.9

                                                              7.a  

                                                                     7

Penjelasan:

Nomor 7 adalah sub-sistem kesehatan

Nomor 7a adalah bidang kedokteran atau medis

Nomor 7.9 adalah inter sub-sistem hukum yang mengatur sub-sistem kesehatan maupun bidang kedokteran atau medis.

      Manusia yang hidup dalam system kemasyarakatan tersebut, terdiri dari aspek jasmaniah dan rohaniah. Aspek rohaniah manusia, terdiri dari kodrat alamiah, kodrat budaya serta dunia nilai. Kodrat alamiah manusia terdiri dari:

1.      Cipta (pikiran; rasio)

2.      Karsa (kehendak; kemauan)

3.      Rasa (perasaan; emosi).

Cipta melalui logika akan menciptakan ilmu (pengetahuan). Karsa melalui etika menciptakan religi, akhlak, sopan santun, dan hukum. Rasa melalui estetika menciptakan kesenian. Hal-hal yang diciptakan itu merupakan kodrat budaya, sedangkan dunia nilai yang masing-masing dihasilkannya adalah:

1.      Kebenaran

2.      Keserasian

3.      Keindahan

B.     Sistematika prosesnya secara visual adalah, sebagai berikut:

DUNIA NILAI

Kebenaran

 

 

Keserasian   

 

 

Keindahan

 

KODRAT BUDAYA

Logika-ilmu

        Religi

Akhlak

Etika

Sopan santun

Hukum

Estetika-kesenian

 

KODRAT ALAMIAH

1.    Cipta

 

 

2.    Karsa

 

 

3.    Rasa

 

           

 

 

 

 

 

 


Kesemuanya itu dibawa manusia dalam kehidupan kemasyarakatannya, sehingga mencakup sistem kemasyarakat, serta sub-sistem yang menjadi bagiannya.

 

C.     Etika Kesehatan

      Berdasarkan sistematioka tersebut di atas dikatakan bahwa etika yang menghasilkan religi dan akhlak, lebih tertuju pada kesempurnaan diri manusia pribadi. Yang menghasilkan sopan-santun dan hukum, tertuju pada kehidupan antara pribadi (interaksi). Etika itu dalam proses selanjutnya, yang semula merupakan etika kemasyarakatan sesuai dengan sub-sistem yang ada, dapat mengkhususkan diri pada masing-masing sub-sistem. Dengan demikian, mungkin ada etika politik, etika sosial, etika budaya, etika kesehatan, dan seterusnya.

Titik sentral etika adalah penilaian terhadap hal-hal yang disetujui dan yang tidak disetujui. Titik sentral itu daya cakupnya meliputi, antara lain:

1.    apa yang benar dan apa yang salah.

2.    Apa yang merupakan kebaikan dan yang merupakan keburukan.

3.    Apa yang merupakan kebajikan dan apa yang merupakan kejahatan.

4.    Apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak.

Dalam keadaan normal, maka apa yang benar merupakan kebaikan, kebajikan, dan yang dikehendaki. Demikian pula halnya dengan yang salah lazimnya merupakan keburukan, kejahatan dan ditolak.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa etika paling sedikit mempunyai arah-arah, sebagai berikut:

1.      Analisis psikologis atau sosiologis untuk menjelaskan perihal tolok ukur penilaian yang dipergunakan

2.      Rekomendasi sikap tindak atau tingkah laku.

      Oleh karena tiu, dari etika berkembanglah “aksiologi” (apa yang benar atau salah menurut nilai tertentu), dan “deontology” (yakni ilmu mengenai apa yang seharusnya). Kedua hal itu tidak perlu berjalan secara terpisah, sehingga dapat saja digabung.

      Sebagaimana dikatakan di muka, maka hal-hal yang berkaitan dengan etika itu, berkembang pada masing-masing sub-sistem, sehingga kemungkinan ada etika kesehatan yang berkembang dalam masyarakat. Etika kesehatan itu jelas mencakup penilaian terhadap jala kesehatan yang disetujui atau tidak disetujui, dan juga mencakup suatu kerangka rekomendasi bagaimana bersikap tindak secara pantas dalam bidang kesehatan.

Menurut Thiroux, maka etika kesehatan mencakup ruang lingkup minimal, sebagai berikut (J.P. Thiroux 1977:264).

“….. treatment of dying patients, allowing someone to die, mercy death, and mercy killing; behaviour control;human experimentation and informed consent; genetics, fertilization,and birth; health care delivery and its costs: population and birth control, abortion, and sterilization; allotment of scarce medical resources, organ transplantation, and hemodialysis; and truth telling and confidentiality in medicine. In short,…. (it) is really concerned with the establishment between the sick and the dying on the one hand, and the healthy and the medical professionals on the other.”

Suatu contoh etika kesehatan adalah perihal hubungan antara petugas-petugas kesehatan, dengan pasien serta keluarganya. Etika kesehatan mengenai hal ini memang tidak bersifat tunggal, akan tetapi dapat dikategorisasikan dalam tiga golongan (paling sedikit), yakni:

1.      Paternalism, yakni yang menyatakan bahwa kalangan profesi kesehatan harus berperan sebagai orangtua terhadap pasien dan keluarganya.

2.      Individualism, yakni yang menyatakan bahwa pasien harus mempunyai hak-hak mutlak terhadap badan maupun kehidupannya.

3.      Reciprocalism, yakni bahwa kalangan profesi kesehatan harus bekerjasama dengan keluarga pasien maupun pasien, untuk merawat pasien.

 

Etika Kedokteran.

      Sebagaimana dikatakan di muka, maka bidang kedokteran merupakan bagian dari sub-sistem kesehatan. Apabila hal itu diambil sebagai titik tolak pandangan, maka etika kedokteran merupakan bagian dari etika kesehatan. Oleh karena merupakan bagian dari etika kesehatan, maka etika kedokteran harus serasi dengan etika kesehatan. Hal ini disebabkan oleh karena etika kesehatan bersumber pada masyarakat, sedangkan kalangan kedokteran merupakan bagian masyarakat.

      Etika kedokteran yang dewasa ini merupakan suatu kode, dilandaskan pada sumpah Hippocrates. Sumpah Hippocrates tersebut dikembangkan menjadi sumpah dokter yang pada dasarnya seragam di pelbagai masyarakat di dunia.

            Etika kedokteran pada dasarnya merupakan suatu kerangka sikap tindak yang dianggap pantas bagi seorang dokter. Oleh karena itu, biasanya etika kedokteran berisikan pedoman-pedoman yang berisikan kewajiban-kewajiban umum, seperti misalnya: “dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.”

            Kecuali itu etika kedokteran juga berisikan pedoman-pedoman mengenai kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri. Memang, apabila kode etik kedokteran Indonesia, misalnya dipelajari, maka tampaknya tidak ada hal-hal yang tidak serasi dengan etika kesehatan secara umum, apabila ditinjau dari sudut isinya. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa dari sudut penafsiran tidak mustahil timbul perbedaan-perbedaan. Misalnya, salah satu perbuatan dokter yang dipandang bertentangan dengan etik adalah setiap perbuatan yang bersifat memuji diri-sendiri (Soerjono Soekanto & Kartono Mohamad 1983: 52 dan seterusnya). Apabila seorang dokter menulis suatu artikel di surat kabar mengenai cara pengobatan tertentu yang dianggap ampuh untuk menanggulangi suatu penyakit, dapatkah perbuatan itu dipandang sebagai tingkah laku yang melanggar etika kedokteran? Dari sudut pandangan masyarakat yang menjadi dasar etika kesehatan, perbuatan itu mungkin dianggap biasa atau memang dikehendaki, oleh karena dokter dianggap wajib memberikan penerangan kepada warga masyarakat.

            Secara teoritis kemungkinan terjadinya ketidak-serasian antara etika kedokteran dengan etika kesehatan memang kecil. Akan tetapi, dalam praktik tidak mustahil hal itu terjadi, walaupun lebih sering tidah disadari (terutama dari sudut warga masyarakat yang awam terhadap ilmu kedokteran maupun etikanya). Kalau hal itu terjadi, apakah yang seharusnya dilakukan?

            Etika kedokteran sebenarnya merupakan pedoman-pedoman yang berkaitan dengan bidang kedokteran sebagai profesi. Menurut Skolnick, maka (J.H. Skolnick 1966: 231).

“In sociology, there have been two main traditions, one emphasizing professional ideal and values, the other stressing technical competence. . . . .

An alternative concept of “professionalism” is associated with a managerial view emphasizing rationality, efficiency and universalism. This view envisages the professional as a bureaucrat. . . . . .” Etika kedokteran yang ada dewasa ini tampaknya lebih banyak memberikan tekanan pada “professional ideals and values.”

Hukum Medik

Sebagaimana di singgung di muka, maka dalam bidang kodrat budaya, etika menimbulkan religi, kesusilaan, sopan-santun dan hukumj. Oleh karena etika berkaitan dengan apa yang seharusnya (artinya bersifat normatif), maka konkritisasinya adalah kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan-santun dan hukum. Masing-masing kaidah mempunyai tujuan yang berbeda-beda, yakni:

1.      Kaidah kepercayaan bertujuan agar manusia hidupnya ber-Iman, sehingga kaidah ini diarahkan pada kesempurnaan pribadi seseorang.

2.      Kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih, sehingga kaidah ini diarahkan pada kesempurnaan pribadi seseorang.

3.      Kaidah sopan santun bertujuan agar kehidupan manusia berlangsung dalam keadaan yang menyenangkan, sehingga kaidah ini diarahkan pada hubungan antar pribadi.

4.      Kaidah hukum bertujuan agar masyarakat hidup dalam keadaan damai melalui keserasian antara ketertiban (disiplin) dengan ketenteraman (kebebasan), sehingga kaidah ini diarahkan pada hubungan antar pribadi.

Kalau etika merumuskan penilaian-penilaian mengenai apa yang benar dan apa yang salah, misalnya, maka kaidah hukum berisikan suruhan, larangan dan kebolehan, yang mungkin bersifat imperatif atau fakultatif. Kaidah-kaidah hukum tadi dapat dirumuskan secara hipotetis atau kategoris, yang esensialiannya adalah patokan-patokan tingkah laku yang dianggap pantas atau sayogia (behoorlijk). Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa hukum medik merupakan perangkat kaidah-kaidah hukum  yang berkaitan dengan perawatan kesehatan, yang khususnya dilakukan oleh kalangan medik.

Perlu dicatat, bahwa mengenai istilah, memang masih ada kerancuan, oleh karena istilah-istilah hukum kesehatan, hukum kedokteran dan hukum medic, seringkali dipergunakan dengan pengertian yang tidak konsisten. Dalam tulisan ini sengaja dipergunakan istilah “hukum medik” dengan maksud agar pada pandangan pertama sudah tampak adanya perbedaan antara etika kesehatan, etika kedokteran dan hukum medik. Dengan demikian, maka hukum medik sebenarnya adalah sinonim dengan hukum kesehatan, sehingga hukum medik tidak hanya mengatur hubungan antara dokter dengan pasien, akan tetapi juga hubungan-hubungan yang terjadi yang berkaitan dengan petugas kesehatan lainnya, yang ruang lingkupnya sama dengan sub-sistem kesehatan. Kalau yang dibicarakan hukum kedokteran (saja), maka ruang lingkupnya hanyalah menyangkut hubungan hukum antara dokter dengan pasien, yang berintikan pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban dokter dan pasien, sepanjang mengenai perawatan kesehatan. Apabila kaitannya diperluas, sehingga juga berhubungan dengan tanggung jawab perawat, misalnya, maka namanya sudah hukum medik atau hukum kesehatan.

Penutup:

                         Hukum                                                                       

 

 

 

 

 

 

                           Medik

Etika                                                                       

 

                          

 

                  

 

 

Kesehatan

      Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa landasan hukum medik adalah etika kesehatan (masyarakat) maupun etika kedokteran. Hukum kedokteran, landasannya secara langsung etika kedokteran belaka (walaupun etika kedokteran secara logis juga dilandaskan pada etika kesehatan). Adanya percobaan untuk mengetengahkan batas-batas secara relatif ini, mungkin akan dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan ruang lingkup masing-masing dengan tegas. Biar bagaimanapun juga harus ada kesesuaian dan konsistensi antara istilah (term), pengertian (begrip) dan perumusan (omschrijving). Sebagai kesimpulan dapat disajikan

 

 

 

 

visualisasi hubungan antara etika kesehatan, etika kedoikteran dengan hukum medik, sebagai berikut:

 

Etika

 

 

 

Kedokteran

 

Hukum

 

 

 

Kedokteran

 

 

 

 

 

 

 


B. HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PROFESI SEORANG DOKTER

 

       Kontrak atau persetujuan terapeutik adalah antara dokter dan pasien, dan merupakan persetujuan pemberian jasa (…ensten verlening).

Kita mengetahui bahwa persetujuan terapeutik termasuk kategori “Inspanningverbintenis” ialah persetujuan dimana satu pihak (di sini ialah pihak dokter) berjanji untuk berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien. Dokter misalnya tidak berjanji untuk menyembuhkan pasien dengan pasti dalam suatu waktu tertentu.

Dari persetujuan itu pasien memperoleh hak-hak; dokter pula memiliki hak-hak sendiri.

1.      HAK-HAK PROFESI SEORANG DOKTER.

a.       Hak yang terpenting dari seorang dokter adalah hak untuk bekerja menurut standard profesi medik. Dalam rangka memelihara kesehatan pasien, maka seorang dokter mempunyai hak untuk bekerja sesuai standard (ukuran) profesinya.

b.      Hak menolak melaksanakan tindakan medik yang ia tidak dapat mempertanggungjawabkan secara profesional. Dalam literatur Hukum Kesehatan terdapat suatu contoh ialah suatu keputusan dari Medische Tuchtraad Amsterdam 18 Juni 1980 Nor. 108 yang merupakan suatu jurispendensi mengenai hak dokter tersebut.

c.       Hak untuk menolak suatu tindakan medik yang menurut suara hatinya (conscience) tidak baik. Seorang dokter menurut hak ini mendapat hak untuk bertindak sesuai “Sa science et sa conscience” dan jika ia menghadapi suatu kasus seperti tersebut ini dimana ia menolak, maka ia mempunyai kewajiban untuk menunjuk seorang dokter lain.

d.      Hak mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika ia menilai bahwa kerjasama pasien dengan dia tidak lagi ada gunanya (Geen zinvole samenwerking).

Misalnya dokter memberikan instruksi pengobatan yang perlu dan wajib dilaksanakan oleh pasien, tapi pasien berkali-kali tidak mengikutinya sebagian  maupun keseluruhannya tanpa memperlihatkan suatu penyesalan tapi tiap kali hanya mengemukakan bahwa ia lupa. Contoh dalam literatus: M.T. Den Haaf 24/10/33 & 2/7/64.

e.       Hak atas “privacy” dokter.

Pasien harus menghargai dan menghormati hal-hal yang menyangkut “privacy” dokter, misalnya jangan memperluas hal-hal yang sangat pribadi dari dokter yang ia ketahui sewaktu pengobatan.

f.        Hak atas “itikad baik” dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutis.

Misalnya pasien harus memberikan informasi yang slangkap mungkin tentang apa yang dirasakan sakit, sehingga dokter dapat bekerja dengan baik (diagnose & terapi). Pasien pula harus bekerja sama sebaik mungkin dalam hal melaksanakan saran-saran dan petunjuk dokter (kecuali tentu jikalau pasien ingin menolak suatu tindakan pengobatan tertentu).

g.      Hak atas balas jasa.

Hal ini pula sesuai dengan persetujuan terapeutik dimana dari pihak pasien disamping memiliki hak-hak pasien, ia pula mempunyai kewajiban untuk memberikan suatu honor kepada dokter, dan kewajiban pasien tersebut ini merupakan salah satu hak seorang dokter. Dalam hal ini Asuransi Kesehatan kewajiban pasien ini diambil oper oleh asuransi.

h.      Hak atas “fair play” dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadapnya.

Jikalau seorang pasien tidak puas dan ingin mengajukan keluhan-keluhan, maka dokter mempunyai hak agar pasien tersebut membicarakan/mendiskusikan terlebih dahulu  dengan dia sebelum mengambil langkah-langkah lain seperti melaporkan kepada Pimpinan Rumah Sakit atau melaporkan kepada IDI atau mengajukan gugatan atau tuntutan hukum.

i.        Hak untuk membela diri.

Hak ini sudah jelas dan tidak memerlukan keterangan lebih lanjut.

j.        Hak “memilih” pasien.

Hak tersebut ini sama sekali tidak merupakan suatu hak mutlak. Lingkungan sosial merupakan hal yang sangat mempengaruhi hak ini.

Dalam masyarakat yang kolektivitis seorang dokter biasanya dididik “Community Oriented” dan sama sekali mengenyampingkan hak ini.

Dalam masyarakat yang individualistis seperti kebanyakan masyarakat Eropa Barat ada pula keadaan-keadaan di mana hak ini tidak berlaku.

Hal ini pula tidak berlaku misalnya untuk seorang dokter dalam status ikatan dinas.

 

 

 

2.      KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PROFESI SEORANG DOKTER.

Kewajiban-kewajibannya dokter (de beroepsplichten van de arts) dapat dibebankan dalam kelompok ialah:

1.      Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial dari pemeliharaan kesehatan.

2.      Kewajiban yang berhubungan dengan standard medik.

3.      Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran.

4.      Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan (proportionaliteits begins).

5.      Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien.

a.      Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.

Pada kelompok ini kepentingan masyarakat yang menonjol dan bukan saja kepentingan pasien saja.

Dalam melakukan kewajibannya di sini seorang dokter harus memperhitungkan factor kepentingan masyarakat (Doelmatig gebruik) misalnya:

-          Pada sarana-sarana di mana ia bekerja seperti RS, klinik, puskesmas, dokter harus berhati-hati dalam mendistribusikan obat-obatan yang persediaannya sedikt.

-          Dalam menentukan diopname seorang pasien, dokter harus memperhitungkan jumlah tempat tidur yang ada di Rumah Sakit dan keadaan sakit pasiennya.

-          Mempertimbangkan untuk tidak menulis suatu resep untuk obat-obatan yang tidak begitu perlu.

-          Mempertimbangkan penulisan resep obat yang murah daripada obat yang mahal untuk penyembuhan pasien.

b Kewajiban yang berhubungan dengan standard medik.

Seorang dokter wajib melakukan tiap tindakan medik sesuai dengan Standard Medik yang berlaku. Standard Medik ini untuk sebagian besar ditentukan oleh Ilmu Pengetahuan Medik.

Pengertian Standard Medik dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Suatu cara melakukan tindakan medik dalam suatu kasus yang kongkrit menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medik dan pengalaman”. (Leenen 1981 hal.31 : De medische standard dan wordenomschreven als op grond van wetenschap en ervaring aanewezen wijze van medisch handelen in het concrete geval).

Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberikan suatu kriterium yang eksak untuk dipakai pada tiap tindakan medik karena situasi kondisi dan pula karena reaksi para pasien yang berbeda.

c. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran

Tindakan medik tidak saja harus sesuai dengan standard medik akan tetapi pula harus ditujukan pada suatu tujuan medik.

Tindakan-tindakan diagnostik maupun tindakan-tindakan terapeutik harus secara nyata ditujukan pada perbaikan dari situasi pasien.

Leenenn 1981 pada hal. 33 mengemukakan bahwa:

“Het doel van de geneeskunde kan als volgt worden om schreven:

a.       het genezen en voorkornen van ziekte;

b.      het verzachten van lijden;

c.       het begeleiden van de patient, waaronder begrepen stervens-begeleiding.”

Diterjemahkan sebagai berikut:

Tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai berikut:

a.       menyembuhkan dan mencegah penyakit.

Seorang dokter ada kewajiban untuk selalu melakukan suatu tindakan medik/pengobatan yang ada gunanya. Suatu tindakan medik/pengobatan yang ada gunanya ialah suatu tindakan medik yang mengandung kemungkinan untuk menyembuhkan pasien atau untuk memberhentikan proses penyakit, atau untuk mencegah suatu penyakit.

Tindakan medik/pengobatan yang tidak ada gunanya misalnya dalam memperpanjang proses kematian seorang pasien menimbulkan suatu masalah, karena tindakan medik  tersebut tidak ditujukan pada tujuan medik.

b.      meringankan penderitaan.

Memperingan penderitaan seorang pasien adalah suatu tujuan tradisional dari pengobatan. Hal ini merupakan suatu bagian dari persetujuan terapeutik. Meringankan penderitaan berarti pula bahwa dokter harus berusaha untuk mencegah sebanyak mungkin adanya penderitaan yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan medik.

c.       mengantar pasien (comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir hidup.

mengantar pasien (comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir hidup. Comforting pasien dan keluarganya adalah bukan saja suatu kewajiban dari dokter, tapi pula dari tenaga-tenaga kesehatan lain.

Dalam dunia kedokteran kadang-kadang ada suatu anggapan bahwa kemampuan teknis lebih penting dari meringankan penderitaan maupun “comforting”. Hal ini tidak benar karena Ilmu Kedokteran tidak dibatasi pada aspek-aspek biomedik. Seorang dokter tidak saja dapat melakukan kesalahan profesi dalam hal diagnose dan terapi saja tapi pula dalam meringankan penderitaan dan “Comforting” pasien.

d.      Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan (proporsionaliteits beginsel).

      Hal ini berhubungan dengan tindakan-tindakan diagnostik dan terapeutik, dengan penanganan penderitaan “comforting” dan pula dengan tindkan “prefentiv”. Dokter harus menjaga adanya suatu keseimbangan antara tindakan-tindakannya dan tujuan yang ingin ia mencapai dengan tindakan-tindakan tersebut itu.

      Jika misalnya ada suatu tindkan diagnostik yang berat dilakukan pada suatu penyakit yang relatif  ringan sekali, maka hal ini tidak memenuhi prinsip keseimbangan (diagnostic overkill). Ini pula dapat terjadi di bidang terapi (terapi overkill) maupun di bidang “comforting” (care overkill). Dokter selalu harus membandingkan tujuan tindakan mediknya dengan resiko dari tindakan tersebut dan ia harus berusaha mencapai tujuan itu dengan resiko yang terkecil.

PENJELASAN STANDARD PROFESI MEDIK:

Jikalau suatu tindakan medik dilakukan menurut standard medik, sesuai dengan tujuan Ilmu Kedokteran, sesuai pula dengan prinsip keseimbangan dan dilakukan secara teliti, maka tindakan ini disebut suatu tindakan medik “LEGE ARTIS”.

Suatu tindakan medik “Lege Artis” adalah suatu tindakan sesuai “STANDARD PROFESI MEDIK”.

LEENEN merumuskan sebagai berikut:

Suatu tindakan medik seorang dokter adalah sesuai dengan STANDARD PROFESI MEDIK jika dilakukan secara teliti sesuai standard medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan “AVERAGE” dibanding dengan dokter-dokter dari kategori keahlian medik yang sama, dlam situasi kondisi yang sama dengan peralatan dan obat-obat yang memenuhi suatu perbandingan yang wajar dibanding dengan tujuan kongkrit tindakan medik tersebut.

LEENEN 1981 hal.36:

De formulering van de norm voor de medisch profesionele standard zon dan kunnan zijn:

Zorgvulding volgens de medische standard handelan al seen gemiddeld bekwaam arts van gelijke medische categorie in gelijke omstandighaden met middlen die in redelijke verhouding staan tot het concrete handelingsdoel.

Dalkam hubungan ini perlu pula dikemukakan adanya suatu keputusan pengadilan SUPREME COURT OF CANADA 1956 yang sedikit banyak mirip dengan formulasi LEENEN tentang STANDARD PROFESI MEDIK.

Keputusan Suporeme Court of Canada tersebut memberikan suatu pedoman tentang “PRINCIPLE OF LIABILITYseorang dokter dan berbunyi sebagai berikut:

“The doctor has to possess the skill, knowledge and judgement of the average of the group of technicians to which he belongs”.

II.5 Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien.

Termasuk kewajiban profesi seorang dokter untuk memperhatikan dan menghormati hak-hak pasien.

Kewajiban-kewajiban profesi yang berhubungan dengan hak-hak pasien didasarkan pada relasi dokter-pasien dan beberapa hak pasien yang harus dihormati itu adalah antara lain:

-          Hak mendapatklan pelayanan medik dan perawatan

-          Hak memilih dokter dan rumah sakit

-          Hak atas informasi dan persetujuan

-          Hak atas rahasia kedokteran

-          Hak menghentikan pelayanan medik

-          Hak menolak pengobatan

 

 

 

Lampiran 1     

 

HEALTH LAW, HEALTH LEGISLATION AND SOCIETY

Oleh:

Prof. DR. H.J.J. Leenen

 

      Since the fifties health law has developed as a special branch of law in a few countries, especially in France and the Netherland. In the sixties other countries joined. In the United States Of America the scope of interest broadened from medical liability, mainly a problem of civil law, towards the relation between ethics and law on the one hand and health of the individual and society on the other hand. The first world congress on medical law in Ghent in 1967 contributed much to this development, as did the other congresses organized by the World Association for Medical Law. The congress of 1979 in Ghent was attented by representatives of Indonesia and our contacts date from that time. Especially Prof. Oetama and drs. F. Ameln initiated activities to build up health law in Indonesia. It was a great honour for me to be invinted to inaugurate health law has expanded considerably in your country and this seminar shows the healthy status of health law in Indonesia.

      I will not go deeply into the reasons for the development of health law as a special branch of law in many countries. A major cause is the evolution of medical science and technology, which more and more intrude upon the human body and mind and affect physical and mental integrity. Moreover, medicine has become a big and bureautic institution in which personal relations tend to deteriorate. On the other hand, the nations of human rights and individual self determination are, especially after the Second World War, nationally and internationally accepted as cornerstones of law and social policy. Therefore a tension exists between a deep intruding sophisticated and bureaucratic health care and the patient who has become more aware of his personal rights. The tension between the powerful system and the weak patient needs to be dissolved. History has shown that when the power of institutions over individuals increases and their relationship has deteriorated, law is one of the instruments society uses to defend the weaker party. Thus one of the tasks of health law is to work out legal instruments for the protection of the patient.

      The social aspects of health care have also contributed to development of health law. In all countries a disparity exists between the health needs of the population and the available funds. An equitable distribution of the available facilities is a matter of social justice. It requires a reasonable dispersion of facilities all over the country and a financing system that secures everybody access to health care thus enabling everybody to use health care facilities. It is wellknown that the problem of equity in health care has not yet been solved and that this solution is more and more coming under stress because of the growth of medical and technological possibilities on the one hand and the continuous decrease of health care funding on the other hand. The problem of scarcity and its equitable distribution is one of the main issues in health law. Many more factors are involved in the emergence of health law, but I have to confine myself to these general remarks.

      These two main streams to the river of health law also constitute its theoretical basis. The right of selfdetermination, an individual right, and the right to health care, a social right, aim respectively at the protection of the individual sphere and of liberty and at an equitable distribution of health care facilities. Social rights are different from individual rights. Legally the latter are of a stronger nature than social rights, which provide only instruction norms to the government. Nevertheless and equitable distribution of scarce health care facilities is of the utmost importance to the well-being of the individual and social rights contain mopral and when legislated even legal claims to participation in the social goods in accordance with a distributive justice.

      Health law can be defined as the body of legal rules that relates directly to health and the application or general civil, administrative and penal law in health care. The specific rules for individual and social rights in health care are included in the first part of this definition; the second part sees to the connection between health care and general law. Health law with its particular subjects is a specialized branch of law and simultaneously it is part of law in general. General law principles and rules apply to health care. Health law belongs to the family of law.

      It is what I would like to call a horizontal specialism; health law has to combine the administrative, civil and penal approaches. This is not to say that every subject of health law must always be studied from all three points of view, but while going deeper into the problems if often appears that more than one of the said approaches is at stake. Patient’s rights, for instance, are in many countries primarily of a civil nature, but they also have a penal aspect to them insofar the absence of the patient’s consent can turn a medical act into a criminal act.they have an administrative aspect when the legislator includes the protection of the rights of the patient in administrative ruling. Being a horizontal specialism health law cannot be studied by either civil, penal or administrative lawyers only. Independently they can contribute much to the development, but health law cannot growfully and freely when it would be in charge of only one of these aspects of law. In this sence health law is interdisciplinary within the legal profession.

      Being a member of the legal family does not mean that health law is not affiliated with medicine. It would be a mistake to develop and elaborate health law without maintaining close connections with the health proffesions. Health law is also interdisciplinary outside the legal law proffesion, because it has to be orientated towards the real problems in health care. In my view health law as proffesion cannot be exercised without close contacts with doctors, nurses, pharmacists, medical scientists a.s.o. Health professions must accept that health lawis of the legal discipline and health lawters must be aware that knowledge of and insight in health care are required for a realistic and expert health law analysis. Health law should not to be studied in the study only.

      There is still another reason for close cooperation between health professions and health lawyers. For a large part health law has to manifest itself in the contacts between the patient and e.g. the doctor, the nurse and the health care system. Whether the patient will be sufficiently informed, whether he will get expert care in the hospital depends mainly on the health professionals. Health lawyers can work out norms and rules, but they have to be applied for the greater part by the health professionals. So it is not only important that health lawyers teach health professionals but also that they make them aware that it mainly depends on them whether the rights of patients will be respected and whether health care will be delivered in accordance with the rules.

      The subjects that are studied by health law can be classified as follows:

-          Basic concepts, theory, metodology e.g. the right to selfdetermination, the right to health care, private versus public responsibility.

-          Individual aspects of health law e.g. physical and mental integrity, sterilization, artificial insemination, abortion, privacy, riughts of minors, the mentally ill, rights of patients, euthanasia.

-          Quality of health care e.g. the health professions, disciplinary provisions, audit, quality requirements for institutions, quality regulations concerning technical equipment, drugs.

-          Provisions of health caree.g. planning legislation, organization of helath care, organ transplantation, anaesthesia, psychosurgery, mental health legislation.

-          Preventive and environmental health.

-          Financial accessibility of health care e.g. social security, subventions, systems of payment of health care providers, price-regulations.

-          Relations between patients and providers e.g. medical contract, hospital contract, free choice of doctors and patients, complaint-procedures.

-          Role of the government e.g. health inspectorate, competencies and procedure, the rule of legislation.

-          Relation between state and citizen e.g. force and pressure upon a citizen by the state in the case of contagious disease or mental problems, medical care for detainess and for the military, waterfuloridation.

-          International health law.

Superfluous to say, that other classifications are possible and that within a chosen categorization it is a matter of choice in which category to plce a specific subject. It depends on the view one takes of which aspect of a problem is salient. As to the compulsory confinement of the mentally ill for instance, some will favour a point of view from the competencies of the state, other will stress the rights of the mentally ill.

In nearly all of the said subjects the question of legislation is at stake. Are the rules to be incorporated into formal legislation or should the rulling be left to customary law, jurisdiction and selfregulation? This question has become urgent because of the increasing role of the state in health care, which has resulted in a growing body of legislation. This is specially true for administrative health law. The problems of special health legislation in civil and penal health law are restricted to questions like whether the medical contract is to be incorporated as a special contract into the civil code, to abortion-and euthanasia legislation and the like. Civil and penal health legislation are rather rare. These two fields of health law are mainly elaborated within the general systems of civil and penal law, where courts play and important role.

The growth of administrative health law is not only due to the increasing role of the state in the administration of health care, but also to a tendency of the state to draw into its realm subjects which were formerly left to selfregulation of society. Another factor is what I call the “fiction of legislation”. It is often assumed both by politicians and many others insociety that a social problem can be solved providing it with a legal framework. This assumption implies the hypothesis that a law will function according to its goal. This is not to say that a law will function according to its goal. This is not to say that a law will not mostly succeed in achieving that goal, but especially in administrative matter there is a real risk that side effects and even counter effects will hamper its original aim. Sociology of law has shown that legislation has not always worked out as it had been intented. Thus it may turn way from its original goal and legislation can even become an obstacle to reaching it. But however this may be, the fiction of legislation has in many countries contributed to the growth of administrative legislation.

Beside these aspects it has to be kept in mind, that legislation is only one of the instruments to solve social problems. Sometimes this instrument is indispensable, sometimes other methods are to be preferred.it is not only impossible but also undersirable to rule all aspects of life and society in legislation. To many problems legislation is not the appropriate answer. Furthermore, legislation in itself`is limited by nature. Law cannot relace human relationships, nor can it force people to love each other and it can change human behavior only in a limited way. Law can give support and can sometimes force. As an instrument legislation is also defective. Formulating in a law necessarily creates confinements and restrictions and diversity is unified in legal definitions. Moreover, legislation nearly always leaves loopholes and can lead to fixation of social processes because the law cannot adapt itself quickly enough or sufficiently to changes.

Because of these problems and expansion of legislation in the administration of health care deregulation has become all the vogue. The question is raised how the state and society and as a consequence legislation and selfregulation relate to each other. There is no answer to this question. This depends on cultural, social and political factors, but also on the legal system and legislative style of a country. Some countries are more inclined to administrative ruling than others and legislative styles differ from country to country. This appears, sub alia, from the study on trends in health legislation, which I carried out with Mrs. Pinet and Prof. Prims for the European Office of WHO at Copenhagen. Because of these differences legislative theory is necessary of a rather abstract nature.

However difficult it is to elaborate on legislation in a concrete sense, it is still possible to give a general outline of health legislation policy. Thus one can consider the motives for using the instrument of legislation there by bringing a subject into the public sphere. Some of them are:

a)      Health care is a concern of the entire population, for which the government is responsible. Legislation on the structure and functioning of health care not only underlines this public responsibility, but also gives a say to parliament representing society.

b)      Quality of health care is another aspect which requires legislation. Legislation on this quality not only pertains to drugs and equipment, but also to the delivery of health care by health professionals. The patient mostly is not in a position to judge the quality of care and it is up to the government to guarantee the supervision of quality of care. Sometimes direct legislation, putting quality control into the hands of the government, is indicated e.g. with drugs. With the delivery of care by health professionals indirect legislation is more obvious. In this type of legislation quality control is an obligation of the profession and the health care institution andit is up to them how to fulfil this obligation.

c)      Financial and geographical accessibility of health care constitutes a strong reason for legislative intervention. An equitable distribution of the scare health facilities cannot be left to the market mechanism. Then the poorer regions of the country and the poorer parts of the population would be badly off.

d)      Protection of the rights of the patient is a strong incentive for legislation. The patient is the weaker party and his dependence on the health care providers leaves him nearly without arms. The legislators can provide the patient with means to defend himself.

e)      Outside the context of health care protection of the individual can also bring the legislator into action. For instance, the legislator into action. For instance, the safeguarding of health data stored in computers and of privacy and regulation of the right of access to one’s own medical records cannot mostly be left to the private sphere. Conflicts of interests in these fields cannot be solved through selfregulation by one of the parties in this conflict viz. the possessor of the data. The same is true for complaint procedures. The requirement of independence in judging complaints prevents from setting up these procedure by the party against whom the complaint is lodged.

f)       Inhealth activities often third party interests are involved. Examples are medical examinations for a job, the removal of organs for transplantation, experiments on human beings. Third party interests are potential danger to the patient. Such a danger constitutes a strong incentive to the legislator to interfere.

g)      Protection of the health of society is a classic motive for legislation, the more so when this protection results in upon individual liberty. Here contagious diseases are an obvious example.

h)      Legislation is always required in penalcase or when the Constitution requires legislation. In the Netherlands the latter is true for intrusions upon physical integrity.

i)       Finally, legislation is indispensable to the protection of the individual against the government. Legislation is not only an instrument in the hands of the government. Legislation is not only an instrument in the hands of the government, it can also be employed against the government in order to limit its power and abuse of power.

      A motive for legislation being present does not necessary imply that these are not alternative ways of solving the problem.  At least two other questions have to be answered. The first question is whether there exist other acceptable ways of solving the social problem. The second one pertains to the feasibility of legislation. It has to be studied whether a law can be expected to function according to its goal and whether it can be enforced.

The first question raises the matter of selfregulation. Selfregulation has a lot of advantages. One of them is the involvement and responsibility of the citizens. But as an alternative to legislation for the problems above mentioned as motives for intervention of the legislator, it has disadvantages too. A first one is that neither the government nor the not allied can exercise influence. Leaving regulation to private organizations implies giving them power without a say of outsiders who are affected by this power. So selfregulation by the medical profession of information of the patient and of consent to medical treatment for instance in professional codes, affects, the patient without himleaving a say in the making of the rules. Selfregulation is to create power in society free of external influence. Then legislation has to be considered to put governmental power in support of the weaker party and to bind the hands of private organizations. A second problem is that private organizations and institutions often tend  to aim selfinterest rather than public interest. Thirdly, selfregulatory provisions are difficult to enforce; members of a group can withdraw of sanctions by giving up their membership or one can break off relations with a private institution. For self regulation to be an alternative to legislation in my opinion three conditions must be met: it must be internally binding, it must not aim at selfinterest but at common interest and it must function in the open and under societal influence. As an alternative to legislation selfregulation behind closed doors is unacceptable. The more selfruglation sufficiently operates under the said conditions, the more the role of the legislator can be restricted. Indirect legislation may act as a link between governmental responsibility and private regulation. In such a type of legislation the government merely uses its power as a means to provide a safeguard and to to control, but is refrains from acting as long as it is certain that justice is not violated. The legislator’s reluctance to act may never result in an insufficient protection of the rights of the individual or in an inequitable distribution of health resources. The danger of abstaining from legislation is that it has a negative effect on the position of the weakest parties in society. To study the feasibility of legislative rules is important, not only to read a right the “fiction of legislation”, but also to gain insight in what a law can and cannot do and how it can be aimed with maximum accuracy at its goal.

The sword of laws has ablunt and a sharp edge. Power groups insociety always try to get hold of the sword of law and to direct its sharp side to others and to keep the blunt side to themselves. Power and law have always been akin. One of the tasks of health law is to give a sword into hands of the powerless in health care to defend their human rights and an equitable distribution of the scarce health facilities.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN 2

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.      Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan

2.      Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 23 TAHUN 1992

TENTANG KESEHATAN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang :

a.       bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;     

b.      bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia;

c.       bahwa dengan memperhatikan peranan kesehatan di atas, diperlukan upaya yang lebih memadai bagi peningkatan derajat kesehatan dan pembinaan penyelenggaraan upaya kesehatan secara menyeluruh dan terpadu;

d.      bahwa dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud butir b dan butir c, beberapa undang- undang di bidang kesehatan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan;

e.       bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Undang-undang tentang Kesehatan;

Mengingat :

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

 

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1.      Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

2.      Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.

3.      Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

4.      Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

5.      Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.

6.       Implan adalah bahan berupa obat dan atau alat kesehatan yang ditanamkan ke dalam jaringan tubuh untuk tujuan pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan, dan atau kosmetika.

7.      Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman dan keterampilan turun temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

8.      Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.

9.      Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.

10.  Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

11.  Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

12.  Zat aktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis.

13.   Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep doktcr, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.

14.  Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyclenggarakan upaya kesehatan.

15.  Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara praupaya.

 

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

 

 

Pasal 2

 

Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kckuatan sendiri.

 

Pasal 3

 

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

 

 

 

 

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN

 

 

Pasal 4

 

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

 

Pasal 5

 

Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya.

 

BAB IV

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB

 

 

Pasal 6

 

Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya keschatan.

 

Pasal 7

 

Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.

 

Pasal 8

 

Pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan keschatan bagi masyarakat yang kurang mampu tetap terjamin.

                                                     

Pasal 9

 

Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

 

 

 

 

 

BAB V

UPAYA KESEHATAN

 

Bagian Pertama

Umum

 

 

Pasal 10

 

 

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rchabilitatif) yang dilaksanakan secara menycluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

 

Pasal 11

 

 

(1)   Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan melalui kegiatan :

a.       kesehatan keluarga;

b.      perbaikan gizi;

c.       pengamanan makanan dan minuman;

d.      kesehatan lingkungan;

e.       kesehatan kerja;

f.        kesehatan jiwa;

g.      pemberantasan penyakit;

h.      penyembuhan penyakit dan pemulihan kcschatan;

i.         penyuluhan kesehatan masyarakat;

j.        pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan;

k.      pengamanan zat adiktif;

l.        kesehatan sekolah;

m.    kesehatan olahraga;

n.      pengobatan tradisional;

o.      kesehatan matra.

(2)   Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.

 

Bagian Kedua

Kesehatan Keluarga

 

 

Pasal 12

 

 

(1)   Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, kecil, bahagia, dan sejahtera.

(2)   Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami istri, anak, dan anggota keluarga lainnya.

 

Pasal 13

 

Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran data rangka menciptakan ketuarga yang sehat dan harmonis.

 

Pasal 14

 

Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, pascapersalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan.

 

Pasal 15

 

(1)   Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.

(2)   Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :

a.       berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;

b.      oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;

c.       dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;

d.      pada sarana kesehatan tertentu.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 16

 

(1)   Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan.

(2)   Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :

a.       hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;

b.      dilakukan oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;

c.        pada sarana kesehatan tertentu.

(3)   Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Pasal 17

 

 

(1)   Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak.

(2)   Kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan usia sekolah.

 

 

Pasal 18

 

 

(1)   Setiap keluarga melakukan dan mengembangkan kesehatan keluarga dalam keluarganya.

(2)   Pemerintah membantu pelaksanaan dan mengembangkan kesehatan keluarga melalui penyediaan sarana dan prasarana atau dengan kegiatan yang menunjang peningkatan kesehatan keluarga.

 

 

 

Pasal 19

 

(1)   Kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kemampuannya agar tetap produktif.

(2)   Pemerintah membantu penyelenggaraan upaya kesehatan manusia usia lanjut untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara optimal.

 

Bagian Ketiga

Perbaikan Gizi

 

Pasal 20

 

(1)   Perbaikan gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan gizi.

(2)   Perbaikan gizi meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi, pencegahan, penyembuhan, dan atau pemulihan akibat gizi salah.

 

 

Bagian Keempat

Pengamanan Makanan dan Minuman

 

Pasal 21

 

(1)   Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan.

(2)   Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi :

a.       bahan yang dipakai;

b.      komposisi setiap bahan;

c.       tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa;

d.      ketentuan lainnya.

(3)   Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4)    Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Bagian Kelima

Kesehatan Lingkungan

 

Pasal 22

 

 

(1)   Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat.

(2)   Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum, dan lingkungan lainnya.

(3)   Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit, dan penyehatan atau pengamanan lainnya.

(4)    Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan persyaratan.

(5)    Ketentuan mengenai penyelenggaraan kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Keenam

Kesehatan Kerja

 

Pasal 23

 

 

(1)   Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal.

(2)   Kesehatan kerja meliputi pclayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.

(3)    Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.

(4)    Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketujuh

Kesehatan Jiwa

 

Pasal 24

 

(1)   Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang schat secara optimal baik intelektual maupun emosional.

(2)   Kesehatan jiwa meliputi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan jiwa, pencegahan dan penanggulangan masalah psikososial dan gangguan jiwa, penyembuhan dan pemulihan penderita gangguan jiwa.

(3)   Kesehatan jiwa dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat, didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lainnya.

 

Pasal 25

 

(1)   Pemerintah melakukan pengobatan dan perawatan, pemulihan, dan penyaluran bekas penderita gangguan jiwa yang telah selesai menjalani pengobatan dan atau perawatan ke dalam masyarakat.

(2)   Pemerintah membangkitkan, membantu, dan membina kegiatan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan masalah psikososial dan gangguan jiwa, pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa, pemulihan serta penyaluran bekas penderita ke dalam masyarakat.

 

Pasal 26

 

(1)   Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan keschatan jiwa atau sarana pelayanan kesehatan lainnya.

(2)   Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau atas prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di wilayah setcmpat atau hakim pengadilan bilamana dalam suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa.

Pasal 27

 

Ketentuan mengenai kesehatan jiwa dan upaya penanggulangannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedelapan

Pemberantasan Penyakit

 

Pasal 28

 

 

(1)   Pemberantasan penyakit diselenggarakan untuk menurunkan angka kesakitan dan atau angka kematian.

(2)   Pemberantasan penyakit dilaksanakan terhadap penyakit menular dan penyakit tidak menular.

(3)   Pemberantasan penyakit menular atau penyakit yang dapat menimbulkan angka kesakitan dan atau angka kematian yang tinggi dilaksanakan sedini mungkin.

 

 

Pasal 29

 

Pemberantasan penyakit tidak menular dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi penyakit dengan perbaikan dan perubahan perilaku masyarakat dan dengan cara lain.

 

Pasal 30

 

Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, penyelidikan, pengebalan, menghilangkan sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina, dan upaya lain yang diperlukan.

 

Pasal 31

 

Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan penyakit karantina dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

 

 

 

Bagian Kesembilan

Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan

 

Pasal 32

 

 

(1)   Penyembuhan penyakit dan pemulihan keschatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat.

(2)   Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.

(3)    Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

(4)   Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(5)    Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

 

Pasal 33

 

(1)   Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfuse darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi.

(2)   Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.

 

Pasal 34

 

(1)   Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

(2)   Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya.

(3)   Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 35

 

(1)   Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(2)   Ketentuan mengenai syarat dan tata cara transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 36

 

(1)   Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

(2)   Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan implan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Pasal 37

 

(1)   Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana keschatan tertentu.

(2)   Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

(3)   Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kesepuluh

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

 

 

Pasal 38

 

(1)   Penyuluhan kesehatan masyarakat diselenggarakan guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, dan aktif berperan serta dalam upaya kesehatan.

(2)   Ketentuan mengenai penyuluhan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Bagian Kesebelas

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

 

Pasal 39

 

Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.

 

Pasal 40

 

(1)   Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya.

(2)   Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.

 

Pasal 41

 

(1)   Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan sctelah mendapat izin edar.

(2)   Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

(3)    Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau kcamanan dan atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

 

Pasal 42

 

Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar.

 

Pasal 43

 

Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat keschatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedua Belas

Pengamanan Zat Adiktif

 

 

Pasal 44

 

 

(1)   Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.

(2)   Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.

(3)   Ketentuan mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Bagian Ketiga Belas

 

Kesehatan Sekolah

 

Pasal 45

 

(1)   Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih bcrkualitas.

(2)   Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah atau melalui lembaga pendidikan lain.

(3)   Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Keempat Belas

Kesehatan Olahraga

 

Pasal 46

 

 

(1)   Kesehatan olahraga diselenggarakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan melalui kegiatan olahraga.

(2)   Kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui sarana olahraga atau sarana lain.

(3)   Ketentuan mengenai kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kelima Belas

Pengobatan Tradisional

 

Pasal 47

 

 

(1)   Pengobatan traditional merupakan salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan.

(2)   Pengobatan traditional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perlu dibina dan diawasi untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan dan atau perawatan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan kcamanannya.

(3)   Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan kcamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

(4)    Ketentuan mengenai pengobatan tradisional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Belas

Kesehatan Matra

 

Pasal 48

 

 

(1)   Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam lingkungan matra yang serba berubah.

(2)   Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.

(3)   Ketentuan mengenai kesehatan Matra sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB VI

SUMBER DAYA KESEHATAN

 

Bagian Pertama

Umum

 

 

Pasal 49

 

Sumber daya kesehatan merupakan semua perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya kesehatan, meliputi :

a.       tenaga kesehatan;

b.      sarana kesehatan;

c.       perbekalan kesehatan;

d.      pembiayaan kesehatan;

e.       pengelolaan kesehatan;

f.        penelitian dan pengembangan keschatan,

 

Bagian Kedua

Tenaga Kesehatan

 

 

Pasal 50

 

(1)   Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bcrsangkutan.

(2)   Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Pasal 51

 

(1)   Pengadaan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan diselenggarakan antara lain melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan olch pemerintah dan atau masyarakat.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyclenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pasal 52

 

(1)   Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan.

(2)   Ketentuan mengenai penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 53

 

(1)   Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

(2)   Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

(3)   Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.

(4)   Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dcngan Peraturan Pemerintah.

 

 

 

 

Pasal 54

 

(1)   Terhadap tenaga keschatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

(2)   Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

(3)   Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dcngan Keputusan Presiden.

 

Pasal 55

 

(1)   Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

(2)   Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

 

Bagian Ketiga

Sarana Kesehatan

 

Pasal 56

 

(1)   Sarana kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter, praktik dokter gigi, praktik dokter spcsialis, praktik dokter gigi spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, pedagang besar farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, sekolah dan akademi kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya.

(2)   Sarana kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.

 

Pasal 57

 

(1)   Sarana kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang.

(2)   Sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap memperhatikan fungsi sosial.

(3)   Sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.

 

 

Pasal 58

 

(1)   Sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan masyarakat harus berbentuk badan hukum.

(2)   Sarana kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah.

 

 

Pasal 59

 

(1)   Semua penyelenggaraan sarana kesehatan harus memiliki izin.

(2)   Izin penyelenggaraan sarana kesehatan diberikan dengan memperhatikan pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

(3)   Ketentuan mengenai syarat dan tata cara memperolch izin penyelenggaraan sarana kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Keempat

Perbekalan Kesehatan

 

Pasal 60

 

 

Perbekalan keschatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya.

 

 

Pasal 61

 

 

(1)   Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan lainnya yang terjangkau oleh masyarakat.

(2)   Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan, kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan penyediaan perbekalan kesehatan.

(3)   Pemerintah membantu penyediaan perbekalan kesehatan yang menurut pertimbangan diperlukan olch sarana kesehatan.

 

 

Pasal 62

 

(1)   Pengadaan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dibina dan diarahkan agar menggunakan potensi nasional yang tersedia dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.

(2)   Produksi sediaan farmasi dan alat keschatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam farmakope Indonesia atau buku standar lainnya dan atau syarat lain yang ditetapkan.

(3)   Pemerintah mendorong, membina, dan mengarahkan pemanfaatan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

 

 

Pasal 63

 

(1)   Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(2)   Ketentuan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Pasal 64

 

Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Bagian Kelima

Pembiayaan Kesehatan

 

 

Pasal 65

 

(1)   Penyelenggaraan upaya kesehatan dibiayai olch pemerintah dan atau masyarakat.

(2)   Pemerintah membantu upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama upaya kesehatan bagi masyarakat rentan.

 

 

Pasal 66

 

 

(1)   Pemerintah mengembangkan, membina, dan mendorong jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagai cara, yang dijadikan landasan setiap penyerlenggaraan pemeliharaan kesehatan yang pembiayaannya dilaksanakan secara praupaya, berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan.

(2)   Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya, dikelola secara terpadu untuk tujuan meningkatkan derajat kesehatan, wajib dilaksanakan olch setiap penyclenggara.

(3)   Penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat harus berbentuk badan hukum dan memiliki izin operasional serta kepesertaannya bersifat aktif.

(4)   Ketentuan mengenai penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Keenam

Pengelolaan Kesehatan

 

 

Pasal 67

 

 

(1)   Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan olch pcmerintah dan atau masyarakat diarahkan pada pengembangan dan peningkatan kemampuan agar upaya kesehatan dapat dilaksanakan secara berdayaguna dan berhasilguna.

(2)   Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian program serta sumber daya yang dapat menunjang peningkatan upaya kesehatan.

 

Pasal 68

 

Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilaksanakan oleh perangkat kesehatan dan badan pemerintah lainnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

 

 

Bagian Ketujuh

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

 

Pasal 69

 

 

(1)   Penelitian dan pengembangan kcsehatan dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang diperlukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan.

(2)   Penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penclitian pada manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.

(3)   Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.

(4)   Ketentuan mengenai penclitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Pasal 70

 

(1)   Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan.

(2)   Bedah mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.

(3)   Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB VII

PERAN SERTA MASYARAKAT

 

 

Pasal 71

 

 

(1)   Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya.

(2)   Pemerintah membina, mendorong, dan menggerakkan swadaya masyarakat yang bergerak di bidang keschatan agar dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna.

(3)   Ketentuan mengenai syarat dan tata cara peran serla masyarakat di bidang kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 72

 

(1)   Peran serta masyarakat untuk memberikan pertimbangan dalam ikut menentukan kebijaksanaan pemerintah pada penyelenggaraan kesehatan dapat dilakukan mclalui Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional, yang beranggotakan tokoh masyarakat dan pakar lainnya.

(2)   Ketentuan mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerja Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

 

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

 

Bagian Pertama

Pembinaan

 

Pasal 73

 

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.

Pasal 74

 

Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diarahkan untuk:

 

1.      mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal;

2.      terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan perbekalan kesehatan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau olch seluruh lapisan masyarakat;

3.      melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya terhadap kesehatan;

4.      memberikan kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan upaya kesehatan;

5.      meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.

 

Pasal 75

 

Ketentuan mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan Pasal 74 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedua

Pengawasan

 

 

Pasal 76

 

Pemerintah melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.

 

Pasal 77

 

Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini.

 

Pasal 78

 

Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB IX

PENYIDIKAN

 

 

Pasal 79

 

(1)   Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(2)   Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :

a.       melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;

b.      melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;

c.       meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum schubungan dengan tindak pidana di bidang keschatan;

d.       melakukan pemeriksaan atas surat dan atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;

e.        melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;

f.        meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;

g.      menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang kesehatan.

(3)   Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.


 

BAB X

KETENTUAN PIDANA

 

Pasal 80

 

 

(1)   Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)   Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak melaksanakan ketentuan tentang jaminan pemeliharaan keschatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3)   Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(4)   Barang siapa dengan sengaja :

a.       mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);

b.      memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

 

 

 

 

 

 

Pasal 81

 

(1)   Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :

a.       melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);

b.      melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);

c.       melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).

(2)   Barang siapa dengan sengaja :

a.       mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2);

b.      memproduksi dan atau mengedarkan alat keschatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

c.       mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

d.      menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan serta norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (scratus empat puluh juta rupiah).

 

Pasal 82

 

(1)   Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :

a.       melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);

b.      melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);

c.        melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);

d.      melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1);

e.       melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (scratus juta rupiah).

(2)   Barang siapa dengan sengaja :

a.       melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);

b.      memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

c.       memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

d.      mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);

e.       memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

Pasal 83

 

Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan kematian.

 

Pasal 84

 

Barang siapa :

1.      mengedarkan makanan dan atau minuman yang dikemas tanpa mencantumkan tanda atau label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2);

2.      menyelenggarakan tempat atau sarana pelayanan umum yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan lingkungan yang sehat sebagamna dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4);

3.      menyelenggarakan tempat kerja yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);

4.      menghalangi penderita gangguan jiwa yang akan diobati dan atau dirawat pada sarana pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1);

5.      menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) atau tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1); dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

 

Pasal 85

 

(1)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 adalah kejahatan.

(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 adalah pelanggaran.

 

Pasal 86

 

Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat ditetapkan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

 

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 87

 

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari :

 

1.      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 18);

2.      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang Merawat Orang-orang Miskin dan Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 48);

3.      Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);

4.       Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usahausaha Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);

5.       Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2576);

6.      Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580);

7.      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga Paramedis (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2698);

8.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2804);

9.      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805); pada saat diundangkannya Undang-undang ini masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

 

 

Pasal 88

 

 

(1)   Dengan berlakunya Undang-undang ini sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat yang belum berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), tetap dapat melaksanakan fungsinya sampai dengan disesuaikan bentuk badan hukumnya.

(2)   Penyesuaian bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini.

 

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

 

 

Pasal 89

 

 

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka :

1.      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 18);

2.      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang Merawat Orang-orang Miskin dan Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 48);

3.      Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);

4.      Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usahausaha Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);

5.      Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2576);

6.      Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580);

7.      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga Paramedis (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2698);

8.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara, Nomor 2804);

9.      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805); dinyatakan tidak berlaku lagi.

 

 

Pasal 90

 

 

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan pcnempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 17 September 1992

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

SOEHARTO

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 17 September 1992

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992

NOMOR 100

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

 

NOMOR 29 TAHUN 2004

 

TENTANG

 

PRAKTIK KEDOKTERAN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

Menimbang :                  a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat;

 

c. bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

 

d. bahwa untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran;

 

e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran;

 

 

Mengingat:  Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia      Tahun 1945;

 

 

 

 

Dengan Persetujuan Bersama

 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

 

dan

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

M E M U T U S K A N :

 

 

 

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

 

KETENTUAN  UMUM

 

 

 

Pasal 1

 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1.      Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.

2.      Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3.      Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

4.      Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.

5.      Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya.

6.      Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.

7.      Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan.

8.      Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi.

9.      Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.

10.  Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

11.  Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

12.  Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.

13.  Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.

14.  Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.

15.  Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

 

ASAS DAN TUJUAN

 

 

 

Pasal 2

 

Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai

ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan

keselamatan pasien.

 

 

Pasal 3

 

Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :

a.       memberikan perlindungan kepada pasien;

b.      mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan

c.       memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

 

 

BAB III

 

KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

 

Bagian Kesatu

Nama dan Kedudukan

 

 

Pasal 4

 

(1)   Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

(2)   Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden.

 

 

 

 

Pasal 5

 

Konsil Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik  Indonesia.

 

Bagian Kedua

Fungsi, Tugas, dan Wewenang

 

Pasal 6

 

Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.

 

Pasal 7

 

(1)   Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas :

a.       melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;

b.      mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan

c.       melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.

(2)   Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.

 

 

Pasal 8

 

Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran

Indonesia mempunyai wewenang :

a.       menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;

b.      menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;

c.       mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;

d.      melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;

e.       mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;

f.        melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan

g.      melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.

 

Pasal 9

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan tugas Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

 

Pasal 10

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran  dan Konsil Kedokteran Gigi.

 

 

Bagian Ketiga

Susunan Organisasi dan Keanggotaan

 

Pasal 11

 

(1)   Susunan organisasi Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas:

a.       Konsil Kedokteran; dan

b.      Konsil Kedokteran Gigi.

(2)   Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing terdiri atas 3 (tiga) divisi, yaitu :

a.       Divisi Registrasi;

b.      Divisi Standar Pendidikan Profesi; dan

c.       Divisi Pembinaan.

 

 

 

 

Pasal 12

 

(1)   Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas :

a.       pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas 3 (tiga) orang merangkap anggota;

b.      pimpinan Konsil Kedokteran dan pimpinan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu) orang merangkap anggota; dan

c.       pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu) orang merangkap anggota.

(2)   Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja secara kolektif.

(3)   Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung jawab tertinggi.

 

Pasal 13

 

(1)   Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua.

(2)   Pimpinan Konsil Kedokteran terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.

(3)   Pimpinan Konsil Kedokteran Gigi terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.

 

 

Pasal 14

 

(1)   Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuah belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari :

a.       organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang;

b.      organisasi profesi kedokteran gigi 2 (dua) orang;

c.       asosiasi institusi pendidikan kedokteran 1 (satu) orang;

d.      asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi 1 (satu) orang;

e.       kolegium kedokteran 1 (satu) orang;

f.        kolegium kedokteran gigi 1 (satu) orang;

g.      asosiasi rumah sakit pendidikan 2 (dua) orang;

h.      tokoh masyarakat 3 (tiga) orang;

i.        Departemen Kesehatan 2 (dua) orang; dan

j.        Departemen Pendidikan Nasional 2 (dua) orang.

(2)   Tata cara pemilihan tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

(3)   Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.

(4)   Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia harus berdasarkan usulan dari organisasi dan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5)   Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.

 

Pasal 15

 

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia, pimpinan Konsil Kedokteran, pimpinan  Konsil Kedokteran Gigi, pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil  Kedokteran Gigi dipilih oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.

 

 

Pasal 16

 

Masa bakti keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan

dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

 

 

Pasal 17

 

(1)   Anggota Konsil Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mengucapkan sumpah/janji, menurut agamanya di hadapan Presiden.

(2)   Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk  melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau  menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.

 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian. 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.

 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.

 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan  golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha

Esa, masyarakat, bangsa dan negara.

 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya .

 

 

Pasal 18

 

Untuk dapat diangkat sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia, yang  bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a.       warga negara Republik Indonesia;

b.      sehat jasmani dan rohani;

c.        bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

d.      berkelakuan baik;

e.       berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia;

f.        pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi, kecuali untuk wakil dari masyarakat;

g.      cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik; dan

h.      melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia.

 

 

Pasal 19

 

(1)   Anggota Konsil Kedokteran Indonesia berhenti atau diberhentikan karena :

a.       berakhir masa jabatan sebagai anggota;

b.      mengundurkan diri atas permintaan sendiri;

c.       meninggal dunia;

d.      bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;

e.       tidak mampu lagi melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan; atau

f.        dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2)   Dalam hal anggota Konsil Kedokteran Indonesia menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.

(3)   Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan  oleh Ketua Konsil Kedokteran Indonesia.

(4)   Pengusulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri kepada Presiden.

 

 

Pasal 20

 

(1)   Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Konsil Kedokteran Indonesia dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris.

(2)   Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

(3)   Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan anggota Konsil Kedokteran Indonesia.

(4)   Dalam menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia.

(5)   Ketentuan fungsi dan tugas sekretaris ditetapkan oleh Ketua Konsil Kedokteran Indonesia.

 

 

Pasal 21

 

(1)   Pelaksanaan tugas sekretariat dilakukan oleh pegawai Konsil Kedokteran Indonesia.

(2)   Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian.

 

 

Bagian Keempat

Tata Kerja

 

 

Pasal 22

 

(1)   Setiap keputusan Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat mengatur diputuskan oleh rapat pleno anggota.

(2)   Rapat pleno Konsil Kedokteran Indonesia dianggap sah jika dihadiri oleh paling sedikit setengah dari jumlah anggota ditambah satu.

(3)   Keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.

(4)   Dalam hal tidak terdapat kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dapat dilakukan pemungutan suara.

 

 

Pasal 23

 

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 24

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja Konsil Kedokteran Indonesia diatur  dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

 

 

 

Bagian Kelima

Pembiayaan

 

Pasal 25

 

Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil Kedokteran Indonesia dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

 

 

BAB IV

STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN

DAN KEDOKTERAN GIGI

 

 

Pasal 26

 

(1)   Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

(2)   Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :

a.       untuk pendidikan profesi dokter atau dokter gigi disusun oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi; dan

b.       untuk pendidikan profesi dokter spesialis atau dokter gigi spesialis disusun oleh kolegium kedokteran atau kedokteran gigi.

(3)   Asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berkoordinasi dengan organisasi profesi, kolegium, asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.

(4)   Kolegium kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berkoordinasi dengan organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.

 

BAB V

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN GIGI

 

 

Pasal 27

 

Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.

 

 

Pasal 28

 

(1)   Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.

(2)   Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi.

 

 

BAB VI

REGISTRASI DOKTER DAN DOKTER GIGI

 

 

Pasal 29

 

(1)   Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.

(2)   Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

(3)   Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan :

a.       memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;

b.      mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;

c.       memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;

d.      memiliki sertifikat kompetensi; dan

e.       membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

(4)   Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d.

(5)   Ketua konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi dalam melakukan registrasi ulang harus mendengar pertimbangan ketua divisi registrasi dan ketua divisi pembinaan.

(6)   Ketua konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi berkewajiban untuk memelihara dan menjaga registrasi dokter dan dokter gigi.

 

 

Pasal 30

 

(1)   Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia harus dilakukan evaluasi.

(2)   Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.       kesahan ijazah;

b.      kemampuan untuk melakukan praktik kedokteran yang dinyatakan dengan surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi;

c.       mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;

d.       memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan

e.       membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

(3)   Dokter dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.

(4)   Dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

 

 

 

Pasal 31

 

(1)   Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia.

(2)   Surat tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun berikutnya.

(3)   Surat tanda registrasi sementara diberikan apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).

 

 

Pasal 32

 

(1)   Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia.

(2)   Dokter atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk waktu tertentu, tidak memerlukan surat tanda registrasi bersyarat.

(3)   Dokter atau dokter gigi warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan dari Konsil Kedokteran Indonesia.

(4)   Surat tanda registrasi dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan pelatihan.

 

 

Pasal 33

 

Surat tanda registrasi tidak berlaku karena :

a. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;

c. atas permintaan yang bersangkutan;

d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau

e. dicabut Konsil Kedokteran Indonesia.

 

Pasal 34

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang, registrasi  sementara, dan registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

 

 

Pasal 35

 

(1)   Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:

a.       mewawancarai pasien;

b.      memeriksa fisik dan mental pasien;

c.       menentukan pemeriksaan penunjang;

d.      menegakkan diagnosis;

e.       menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;

f.        melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;

g.      menulis resep obat dan alat kesehatan;

h.      menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;

i.        menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan

j.        meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

(2)   Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

 

BAB VII

PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

 

Bagian Kesatu

 

Surat Izin Praktik

 

Pasal 36

 

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.

Pasal 37

 

(1)   Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.

(2)   Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.

(3)   Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.

 

 

Pasal 38

 

(1)   Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :

a.       memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;

b.      mempunyai tempat praktik; dan

c.       memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

(2)   Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :

a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan

b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan Menteri.

                                                                                                                 

Bagian Kedua

Pelaksanaan Praktik

 

Pasal 39

 

Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter  atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

 

 

 

 

Pasal 40

 

 

(1)   Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter  gigi pengganti.

(2)   Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.

 

Pasal 41

 

 

(1)   Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.

(2)   Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.

 

 

Pasal 42

 

Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.

 

Pasal 43

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Bagian Ketiga

Pemberian Pelayanan

 

Paragraf 1

Standar Pelayanan

 

Pasal 44

 

 

(1)   Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.

(2)   Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.

(3)   Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Paragraf 2

Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi

 

Pasal 45

 

 

(1)   Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2)   Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

(3)   Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4)   Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

(5)   Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

(6)   Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

Paragraf 3

Rekam Medis

 

Pasal 46

 

 

(1)   Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.

(2)   Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.

(3)   Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

 

 

Pasal 47

(1)   Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.

(2)   Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

(3)   Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

Paragraf 4

Rahasia Kedokteran

 

 

 

 

 

Pasal 48

 

(1)   Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.

(2)   Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Paragraf 5

Kendali Mutu dan Kendali Biaya

 

Pasal 49

 

(1)   Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.

(2)   Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan audit medis.

(3)   Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh organisasi profesi.

 

Paragraf 6

Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi

 

Pasal 50

 

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :

a.       memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b.      memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;

c.       memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan

d.      menerima imbalan jasa.

 

 

Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

a.       memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b.      merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c.       merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d.      melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e.       menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

 

 

Paragraf  7

Hak dan Kewajiban Pasien

 

Pasal 52

 

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

a.       mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

b.      meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c.       mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d.      menolak tindakan medis; dan

e.       mendapatkan isi rekam medis.

 

Pasal 53

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :

a.       memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

b.      mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c.       mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

d.      memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Paragraf 8

Pembinaan

 

Pasal 54

 

 

(1)   Dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melindungi masyarakat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, perlu dilakukan pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.

(2)   Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia bersama-sama dengan organisasi profesi.

 

 

BAB VIII

DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI

 

Bagian Kesatu

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

 

 

Pasal 55

 

(1)   Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

(2)   Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.

(3)   Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

 

 

Pasal 56

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia.

 

 

Pasal 57

 

(1)   Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.

(2)   Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

 

 

Pasal 58

Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris.

 

 

Pasal 59

 

 

(1)   Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.

(2)   Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia harus dipenuhi syarat sebagai berikut :

a.       warga negara Republik Indonesia;

b.      sehat jasmani dan rohani;

c.       bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

d.      berkelakuan baik;

e.       berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;

f.        bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi;

g.      bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan

h.      cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik.

Pasal 60

Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi.

 

 

Pasal 61

 

Masa bakti keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

 

 

Pasal 62

 

(1)   Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan agama masing-masing di hadapan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia.

(2)   Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.

 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.

 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.

 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.

 

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya.

 

 

Pasal 63

(1)   Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

 

 

Pasal 64

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :

a.       menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan

b.      menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.

 

 

Pasal 65

Segala pembiayaan kegiatan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dibebankan kepada anggaran Konsil Kedokteran Indonesia.

 

 

 

 

 

Bagian Kedua

Pengaduan

 

Pasal 66

 

(1)   Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

(2)   Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :

a.       identitas pengadu;

b.      nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan

c.       alasan pengaduan.

(3)   Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

 

 

Bagian Ketiga

Pemeriksaan

 

Pasal 67

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.

 

 

Pasal 68

 

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.

 

 

Bagian Keempat

Keputusan

 

Pasal 69

 

(1)   Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.

(2)   Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.

(3)   Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :

a.       pemberian peringatan tertulis;

b.      rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau

c.       kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

 

 

Bagian Kelima

Pengaturan Lebih Lanjut

 

Pasal 70

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

 

BAB IX

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

 

Pasal 71

 

Pemerintah pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.

 

Pasal 72

 

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diarahkan untuk :

a.       meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan dokter gigi;

b.      melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi; dan

c.       memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter gigi.

 

 

Pasal 73

(1)   Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

(2)   Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 74

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan praktik kedokteran dapat dilakukan audit medis.

 

 

 

BAB X

KETENTUAN PIDANA

 

 

Pasal 75

(1)   Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2)   Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3)   Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

 

Pasal 76

 

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

 

Pasal 77

 

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun  atau  denda  paling  banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

 

 

Pasal 78

 

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tandaregistrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

 

 

 

 

Pasal 79

 

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :

a.       dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

b.      dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau

c.       dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

 

 

Pasal 80

 

(1)   Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling  banyak  Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

 

 

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 81

 

Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

 

Pasal 82

(1)   Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat penugasan dan/atau surat  izin praktik, dinyatakan telah memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik berdasarkan Undang-Undang ini.

(2)   Surat penugasan dan surat izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan surat tanda registrasi dokter, surat tanda registrasi dokter gigi, dan surat izin praktik berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun setelah Konsil Kedokteran Indonesia terbentuk.

 

 

Pasal 83

 

(1)   Pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat belum terbentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di Tingkat Pertama dan Menteri pada Tingkat Banding.

(2)   Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi untuk memberikan pertimbangan.

(3)   Putusan berdasarkan pertimbangan Tim dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau Menteri sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

 

 

Pasal 84

 

(1)   Untuk pertama kali anggota Konsil Kedokteran Indonesia diusulkan oleh Menteri dan diangkat oleh Presiden.

(2)   Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun sejak diangkat.

 

BAB XII

 

KETENTUAN PENUTUP

 

 

Pasal 85

 

Dengan disahkannya Undang-Undang ini maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi, dinyatakan tidak berlaku lagi.

 

 

 

Pasal 86

 

Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) harus dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

Pasal 87

 

Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) berakhir.

 

Pasal 88

 

Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 6 Oktober 2004

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

ttd.

 

 

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 6 Oktober 2004

 

SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

 

 

ttd.

 

BAMBANG KESOWO

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004

NOMOR 116

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 29 TAHUN 2004

 

TENTANG

 

PRAKTIK KEDOKTERAN

 

 

 

I.     UMUM

 

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.

 

Landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu

sendiri.

 

Dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medis terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindak pidana.

 

Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan dokter gigi, maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter dan dokter gigi. Sebaliknya apabila tindakan medis yang dilakukan dapat berhasil, dianggap berlebihan, padahal dokter dan dokter gigi dengan perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hanya berupaya untuk menyembuhkan, dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan.

 

Berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum.

 

Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang.

 

Oleh karena itu untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak serta untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan obyektif seorang dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

 

Konsil Kedokteran Indonesia merupakan suatu badan yang independen yang akan menjalankan fungsi regulator, yang terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Disamping itu, peran dari berbagai organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan yang ada saat ini juga perlu diberdayakan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter atau dokter gigi.

 

Dengan demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tundukpada ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati ketentuan kode etik yang disusun oleh organisasi profesi dan didasarkan pada disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

 

Dalam menjalankan fungsinya Konsil Kedokteran Indonesia bertugas melakukan registrasi terhadap semua dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi, dan melakukan pembinaan bersama lembaga terkait lainnya terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran.

 

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka perlu diatur praktik kedokteran dalam suatu undang-undang. Untuk itu, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran.

Dalam Undang-Undang ini diatur:

1.      asas dan tujuan penyelenggaraan praktik kedokteran yang menjadi landasan yang didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan dan keselamatan pasien;

2.      pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi disertai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan kewenangan;

3.      registrasi dokter dan dokter gigi;

4.      penyusunan, penetapan, dan pengesahan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi;

5.      penyelenggaraan praktik kedokteran;

6.      pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia;

7.      pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran; dan

8.      pengaturan ketentuan pidana.

 

II. PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

      Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan:

a.       nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi;

b.      manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat;

c.       keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu;

d.      kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras;

e.       keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat;

f.        perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.

Pasal 3

      Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

       Cukup jelas.

Pasal 6

      Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

      Cukup jelas.

 Ayat (2)

 

Yang dimaksud dengan “standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi” adalah pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional.

Penyusunan standar pendidikan profesi bagi dokter dan dokter gigi dilakukan oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi dengan

mengikutsertakan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.

 

Penyusunan standar pendidikan profesi bagi dokter spesialis dan dokter gigi spesialis dilakukan oleh kolegium kedokteran dan kolegium kedokteran gigi dengan mengikutsertakan asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi dan rumah sakit pendidikan.

 

Konsil Kedokteran Indonesia mengesahkan standar pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis yang telah ditetapkan tersebut diatas.

 

Yang dimaksud dengan “asosiasi institusi pendidikan kedokteran” adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh para dekan fakultas kedokteran yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam rangka memberdayakan dan menjamin kualitas pendidikan kedokteran yang diselenggarakan oleh fakultas kedokteran.

 

Yang dimaksud dengan “asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi” adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh para dekan fakultas kedokteran gigi yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam rangka memberdayakan dan menjamin kualitas pendidikan kedokteran gigi yang diselenggarakan oleh fakultas kedokteran gigi.

 

Yang dimaksud dengan “asosiasi rumah sakit pendidikan” adalah himpunan rumah sakit pendidikan dokter atau dokter gigi (teaching hospital).

 

 

Pasal 8

      Huruf a

           Cukup jelas.

 

      Huruf b

Cukup jelas.

 

      Huruf c

           Standar kompetensi disusun oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi serta kolegium kedokteran dan kolegium kedokteran gigi.

 

      Huruf d

             Cukup jelas.

      Huruf e

            Penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi yang disahkan, terlebih dahulu ditetapkan bersama kolegium terkait.

 

      Huruf  f

 

Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan  Dokter Gigi Indonesia (PDGI).

      Huruf g

 

Pencatatan dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan untuk pemberian surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi dalam registrasi ulang.

 

Pasal 9

       Cukup jelas.

 

Pasal 10

        Cukup jelas.

 

Pasal 11

         Cukup jelas.

Pasal 12

         Cukup jelas.

 

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

      Ayat (1)

            Unsur dari asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang masing-masing 2 (dua) orang terdiri atas 1 (satu) orang berlatar belakang pendidikan profesi dokter dan 1 (satu) orang dokter gigi.

Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” adalah orang yang peduli dan mempunyai komitmen tinggi untuk kepentingan pasien. Tokoh tersebut mempunyai wawasan nasional dan memahami masalah kesehatan tetapi bukan dokter atau dokter gigi.

     Ayat (2)

Cukup jelas.

     Ayat (3)

Cukup jelas.

     Ayat (4)

Cukup jelas.

     Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 15

       Cukup jelas.

Pasal 16

        Cukup jelas.

Pasal 17

        Cukup jelas.

Pasal 18

        Huruf a

            Cukup jelas.

        Huruf b

            Cukup jelas.   

        Huruf c

            Cukup jelas.

 

 

        Huruf d

             Cukup jelas.

        Huruf e

              Cukup jelas.

        Huruf f

              Cukup jelas.

        Huruf g

              Cukup jelas.

        Huruf h

              Tidak menutup kemungkinan bagi dokter dan dokter gigi untuk tetap dapat menjalankan praktik kedokterannya. Hal ini dimaksudkan agar tetap dapat meningkatkan kemampuan profesinya.

 

Pasal 19

Cukup jelas.

 

Pasal 20

Cukup jelas.

 

Pasal 21

Cukup jelas.

 

Pasal 22

         Cukup jelas.

 

Pasal 23

         Cukup jelas.

 

Pasal 24

Dalam ketentuan ini diatur pula mengenai penggantian antarwaktu anggota Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 25

Pendapatan dari anggaran pendapatan dan belanja negara dalam ketentuan ini antara lain biaya registrasi dan sumber dana lain yang sah yang merupakan penerimaan negara bukan pajak .

 

Pasal 26

         Cukup jelas.

 

Pasal 27

         Cukup jelas.

 

Pasal 28

Cukup jelas.

 

Pasal 29

         Ayat (1)

Cukup jelas.

 

         Ayat (2)

Surat tanda registrasi dokter ditandatangani oleh Ketua Konsil Kedokteran dan surat tanda registrasi dokter gigi ditandatangani oleh Ketua Konsil Kedokteran Gigi. Dengan demikian, Ketua Konsil Kedokteran dan Ketua Konsil Kedokteran Gigi disebut juga registrar.

 

         Ayat (3)

Huruf  a

Cukup jelas

Huruf  b

Cukup jelas.

Huruf  c

Surat keterangan sehat fisik dan mental adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh dokter yang memiliki surat izin praktik.           

Huruf  d

                 Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh kolegium yang bersangkutan.

 

Huruf  e

Cukup jelas.

         Ayat (4)

     Cukup jelas.

 

         Ayat (5)

Pertimbangan dimaksud dalam ayat ini untuk melihat apakah dokter atau dokter gigi tersebut selama menjalankan praktik kedokteran telah dikenakan sanksi oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, atau putusan hakim.

 

         Ayat (6)

Memelihara dan menjaga registrasi dokter dan dokter gigi dilakukan dengan membuat daftar yang memuat nama dokter atau dokter gigi yang memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan hal lain yang terkait dengan ketentuan tentang registrasi dokter atau dokter gigi.

 

Pasal 30

 

         Ayat (1)

Evaluasi dilakukan oleh perguruan tinggi di Indonesia berdasarkan permintaan tertulis dari Konsil Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia meminta pengujian setelah dilakukan evaluasi terhadap kesahan ijazah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 Ayat (2)

            Cukup jelas.

         Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian.

         Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 31

 

         Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “surat tanda registrasi sementara dokter dan dokter gigi” adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan di bidang kedokteran.

 

          Ayat (2)

 Cukup jelas.

 

         Ayat (3)

 Cukup jelas.

 

Pasal 32

 

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “surat tanda registrasi bersyarat dokter dan dokter gigi” adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi kepada peserta didik untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi di Indonesia bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing.

         Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

         Ayat (4)

Cukup jelas.

 

 Pasal 33

 Cukup jelas.

Pasal 34

           Cukup jelas.

 

Pasal 35

           Ayat (1)

            Huruf  a

Cukup jelas.

 

Huruf  b

 

Cukup jelas.

 

Huruf  c

 

     Cukup jelas.

 

Huruf  d

 

Cukup jelas.

 

Huruf  e

 

Cukup jelas.

 

Huruf  f

 

Cukup jelas.

 

Huruf  g

 

Cukup jelas.

 

Huruf  h

 

                 Cukup jelas.

 

Huruf  i

 

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan bagi dokter dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien.

Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola apotek. Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan pelayanan.

 

Huruf j

 Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

   Cukup jelas.

 

 

Pasal 36

Cukup jelas.

 

Pasal 37

 

Ayat (1)

 Cukup jelas.

Ayat (2)

 

Dokter atau dokter gigi yang diminta untuk memberikan pelayanan medis oleh suatu sarana pelayanan kesehatan, bakti sosial, penanganan korban bencana, atau tugas kenegaraan yang bersifat insidentil tidak memerlukan surat izin praktik, tetapi harus memberitahukan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota tempat kegiatan dilakukan.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 38

Cukup jelas.

 

Pasal 39

 

Cukup jelas.

 

 

 

 

Pasal 40

 

            Ayat (1)

 

 Cukup jelas.

 

             Ayat (2)

 

Dalam hal dokter atau dokter gigi pengganti bukan dari keahlian yang sama, dokter atau dokter gigi tersebut harus menginformasikan kepada pasien yang bersangkutan.

 

 

Pasal 41

 

            Cukup jelas.

 

 

Pasal 42

 

 Cukup jelas.

 

 

Pasal 43

 

            Cukup jelas.

 

 

Pasal 44

 

            Ayat (1)

 

Yang dimaksud dengan “standar pelayanan” adalah pedoman yang harus diikuti oleh  dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.

 

 Ayat (2)

 

Yang dimaksud dengan “strata sarana pelayanan” adalah tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.

 

            Ayat (3)

 

 Cukup jelas.

 

 Pasal 45

 

            Ayat (1)

 

Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan (under curatele) persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung.

 

Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.

 

Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, maka penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya sedangkan tindakan medis harus dilakukan maka penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien sudah sadar.

 

            Ayat (2)

 

 Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Penjelasan hendaknya diberikan dalam bahasa yang mudah dimengerti karena penjelasan  merupakan landasan untuk memberikan persetujuan. Aspek lain yang juga sebaiknya  diberikan penjelasan yaitu yang berkaitan dengan pembiayaan.

Ayat (4)

Persetujuan lisan dalam ayat ini adalah persetujuan yang diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang diartikan sebagai ucapan setuju.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “tindakan medis berisiko tinggi” adalah seperti tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya.

Ayat (6)

 Cukup jelas.

 

 Pasal 46

 

            Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “rekam medis” adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

 

Ayat (2)

Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis, berkas dan catatan tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara apa pun. Perubahan catatan atau kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan dengan pencoretan dan dibubuhi paraf petugas yang bersangkutan.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “petugas” adalah dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Apabila dalam pencatatan rekam medis menggunakan teknologi informasi elektronik, kewajiban membubuhi tanda tangan dapat diganti dengan menggunakan nomor identitas pribadi (personal identification number).

 

 

Pasal 47

Cukup jelas.

 

 

Pasal 48

Cukup jelas.

 

 

 

 

 

 

Pasal 49

 

            Ayat (1)

 

Yang dimaksud dengan “kendali mutu” adalah suatu sistem pemberian pelayanan yang efisien, efektif, dan berkualitas yang memenuhi kebutuhan pasien.

 

Yang dimaksud dengan “kendali biaya” adalah pembiayaan pelayanan kesehatan yang dibebankan kepada pasien benar-benar sesuai dengan kebutuhan medis pasien didasarkan pola tarif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 

 

 

 Ayat (2)

 

Yang dimaksud dengan “audit medis” adalah upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.

 

 Ayat (3)

     Cukup jelas.

 

 Pasal 50

 

Yang dimaksud dengan “standar profesi” adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.                                                                                                

 

Yang dimaksud dengan “standar prosedur operasional” adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.

 

 

 

Pasal 51

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 52

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 53

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 54

 

Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 55

 

            Ayat (1)

 

Yang dimaksud dengan “penegakan disiplin” dalam ayat ini adalah penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi.

 

            Ayat (2)

 

                   Cukup jelas.

 

 Ayat (3)

 

Yang dimaksud dengan “independen” dalam ayat ini adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan tugasnya tidak terpengaruh oleh siapa pun atau lembaga lainnya.

 

Pasal 56

 

            Tanggung jawab dimaksud meliputi tanggung jawab administratif, sedangkan dalam pelaksanaan teknis Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah otonom dan mandiri.

 

 Pasal 57

 

            Ayat (1)

 

                    Cukup jelas.

 

             Ayat (2)

 

Yang dimaksud dengan kata “dapat” dalam ayat ini dilakukan dengan memperhatikan pengaduan terhadap dokter atau dokter gigi yang praktik, dan luas wilayah kerja.

 

 

Pasal 58

 

Cukup jelas.

 

 

Pasal 59

 

            Ayat (1)

 

     Cukup jelas.

 

            Ayat (2)

 

    Huruf a

 

Cukup jelas.

 

               Huruf b

 

Cukup jelas.

 

   Huruf c

 

            Cukup jelas.

Huruf d

 

         Cukup jelas.

 

Huruf e

 

                    Cukup jelas.

 

Huruf f

 

        Cukup jelas.

 

Huruf g

 

Pengetahuan di bidang hukum kesehatan diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan yang menyangkut aspek hukum dalam bidang kesehatan baik yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan maupun lembaga lainnya yang terakreditasi.

 

 Huruf h

 

                   Cukup jelas.

 

 

Pasal 60

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 61

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 62

 

            Cukup jelas.

 

 

Pasal 63

 

 Cukup jelas.

Pasal 64

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 65

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 66

 

            Ayat (1)

 

Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, tetapi tidak mampu mengadukan secara tertulis, dapat mengadukan secara lisan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

 

            Ayat (2)

 

       Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang yang secara langsung mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Termasuk juga dalam pengertian “orang” adalah korporasi (badan) yang dirugikan kepentingannya.

 

 

Pasal 67

 

Cukup jelas.

 

 

Pasal 68

 

            Cukup jelas.

Pasal 69

 

            Cukup jelas.

 

 

Pasal 70

 

            Cukup jelas.

 

 

Pasal 71

 

            Cukup jelas.

 

 

Pasal 72

 

Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 73

 

            Ayat (1)

 

                     Cukup jelas.

 

            Ayat (2)

 

                     Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

Tenaga kesehatan dimaksud antara lain bidan dan perawat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan medis sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

 

Pasal 74

 

            Lihat penjelasan Pasal 49 ayat (2).

 

 

Pasal 75

 

            Cukup jelas.

Pasal 76

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 77

 

            Cukup jelas.

 

 

Pasal 78

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 79

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 80

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 81

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 82

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 83

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 84

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 85

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 86

 

            Cukup jelas.

 

 

 

Pasal 87

 

            Cukup jelas.

 

 

Pasal 88

 

            Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4431

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ari Yunanto,   Hukum Pidana Mallpraktek Medik , 2010,  penerbit Andi Yogyakarta.

Alexandra Indriyanti D, Mafia Kesehatan, Pinus Book Publisher, Yogyakarta.

Adami Chazawi. 2004. Kejahatan terhadap Tubuh & Nyawa. PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.

 

Chazawi, Admi , 2007 , Malpraktek kedokteran , Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum , Banyumedia Publishing, Malang.

Fuady Munir, 2005, Sumpah Hippocrates  ( Aspek Hukum Malpraktek Dokter ), Pt Citra Adtya Bakti, Bandung.

M. Yusuf Hanafiah, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan,1999,  Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sri Praptianingsih , Kedudukan  Hukum Perawat dalam upaya Kesehatan di Rumah Sakit, 2006,Rajagrafindo Persada, Jakarta .

Willa Chandrawila Supriadi, 2001 ,Hukum Kedokteran, Mandar Maju  Bandung

Majalah Hukum Dan Keadilan terbitan tahun 1997

 

 

 

 

 

 

 



[1] Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran,2001 ,  Mandar maju Bandung halm  10

[2]   Tindakan medik harus dilakukan oleh tenaga medic. Dalam hukum positif di Indonesia, kita membedakan antara tenaga medik dan tenaga kesehatan. Peraturan pemerintah RI. No. 32 Tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sedangkan tenaga medik adalah mereka yang profesinya dalam bidang medik, yaitu dokter, baik physician (dokter fisik = dokter) maupun dentist (dokter gigi). Para dokter tersebut berpraktik mungkin sebagai general practitioner atau specialis. Apabila tindakan medic itu dilakukan oleh mereka yang tidak berwenang untuk melakukannya, maka dapat digolongkan sebagai tindakan tindak pidana. Akan tetapi, apabila tindakan tersebut ditujukan untuk membantu tenaga medic, maka dapat dijalankan sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan wewenang. Safitri Hariyani 2005. Sengketa medik, Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antar Dokter dengan Pasien. Diadit Media, Jakarta, hlm. 37.

 

[3] Syarifuddin Wahid, 2008. Model Pelanggaran Etika dan Hukum kedokteran yang Memicu Tuntutan Malpraktik Dokter. Lokakarya Nasional Hukum dan Etika Kedokteran. Makassar 26-27 Januari 2008. Proceeding.Ikatan Dokter Indonesia cabang Makassar.

[4] Veronica Komalawati, 2002. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.172.

[5]  Alexandra Indriyanti D, Mafia Kesehatan, Pinus Book Publisher, Yogyakarta. Hlm 1003

 

 

[6] Ratna Suprapti Samil, 2001. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka. Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, hlm 92

[7] Chrisdiono M. Achadiat, 2006. Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman. Buku Kedokteran, Jakarta, hlm. 185.

 

[8] 83 J.M. van Bemmelen (trans).1986. Hukum Pidana 3, Bagian Khusus Delik-Delik Khusus. Binacipta.Bandung. Hlm. 22

 

[9] Adami Chazawi. 2004. Kejahatan terhadap Tubuh & Nyawa. PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta. Hl

[10] 93 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 20 Juni 2007.

[11] Vincent, C. et al. Why do people sue doctors ? A study of patients and relatives taking legal action. Lancet, 25, 343, 1994: 1609 – 15.