Sabtu, 29 April 2023

              PERBANKAN  & LEMBAGA KEUANGA  NON BANK



OLEH 


Dr AGUS PANDOMAN,SH MKN,CMB.


PROGRAM PASCA SARJANA  S-2 MAGISTER HUKUM 

FAKULTAS  HUKUM

UNIVERSITAS  WIDYA MATARAM 

YOGYAKARATA





PENGANTAR 

1. Pengertian Peraturan Primer.

Sebagian besar akhli hukum  lebih mengenal tata urutan peraturan per undang-undangan  Negara Republik Indonesia , dan hanya sebagian kecil saja yang memahami komunitas peraturan perundang-undangan. Tata urutan Peraturan Perundang-undangan diadopsi dari doktrin hukum murni yang digagas oleh Hans Kelssen  yang dikenal dengan sebutan “ norma berjenjang “   , daya berlakunya peraturan perundang-undangan dikualifikasikan dengan kedudukan norma hukumnya, semakin tinggi kedudukan tata  urutannya maka ia memiliki daya membunuh /menghapuskan peraturan perundang-undngan,  mana kala  peraturan perundang-undangan itu berada pada hiraki dibawahnya , meskipun materi peraturan perundang-undangan  itu  menyangkut norma hukum  yang sama .    Konsep hukum struktural melekatkan adagium –adagium hukum  terhadap keberadaan  peraturan perundang-undangan sehingga peraturan perundang-undangan  menjadi terkurung dan terpenjara oleh  adagium hukum nya, daya berlakunya hukum  dibatasi oleh tembok  adagium misalnya  “ Lex Superiori derogate legi inferiori “  yang berarti  bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya mengalahkan /membunuh/meniadakan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah keberadaanya. 

       Konsepsi  norma hukum  berjenjang dalam satu susunan hiraki  peraturan perundang-undangan yang dianut oleh Negara Republik  Indonesia merupakan derivasi dari fakta hukum  positif  ,  walaupun secara materil terdapat struktur norma ,yang satu dengan lainnya dapat mengeliminasi daya berlakunya dalam ruang dan waktu yang sama. Hans Kelsen, mengatakan bahwa dalam hukum positif ,  secara materil peraturan perundang-undangan mengndung dua norma. yaitu norma keadilan dan  norma moral.  Norma moral  dalam struktur peraturan berjenjang  berada  dipuncak tertinggi disebut sebagai norma dasar, dengan demikian norma keadilan , menurut doktrin hukum murni , eksistensinya tetap masih lebih tinggi dari pada norma moral .  Norma moral adalah  sebagai barometer  terhadap norma keadilan oleh karena itu meskipun sifat hukum  adalah “ keadilan “  , dalam perjalanan waktu  sifat hukum ini  bersinergi dalam daya berlakunya hukum , tapi bisa saja terjadi penerapan  norma keadilan  menimbulkan diskriminasi  terhadap norma moralnya . Konsep berfikir hukum  , Peraturan berjenjang  merefleksikan bahwa eksistensi  norma yang lebih tinggi adalah predator  terhadap norma yang memiliki kasta lebih rendah.  Menurut pendapat penulis norma berkasta inilah yang  melahirkan Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai legislator kedua , legislator lainnya yaitu lembaga  Legislatif ( DPR )  . Kedua lembaga legislator ini  sangat bertolak belakang , ketika satu norma hukum ( undang-undang  ) dilahirkan oleh Legislatif ( DPR ), pada jarak waktu tertentu,  bisa dimungkinkan dilakukan upaya pembunuhan ( penghapusan ) oleh Mahkamah Konstitusi yaitu melalui mekanisme uji materi yang diajukan oleh warga negaranya.

 Konstruksi hukum  hiraki  yang dicetuskan oleh Hans Kelsen seperti gelombang spectrum diafragma dalam ruang  piramida ,  Hans Kelsen mewujudkan  aktivitas hukum dengan serta merta ( spontan ) saling mengeliminir  berdasarkan kasta yang dilekatkannya, pada tata urutan peraturan perundang-undangan  . Bangunan  dalam tata ruang dan waktu dalam bentuk piramida hukum ,  menurut penulis adalah konsepsi hukum yang menisbikan ketentuan norma legalistik, akan tetapi  keberlakuan norma hukum  adalah kekuasaan undang-undang  terhadap peraturan perundang-undangan lainnya  Paul Scolten membantah pandangan hukum Hans Kelsen  karena dianggap ajran hukum murni mengabaikan  tiga dimensi kekuasaan negara yaitu legislative sebagai pembuat undang=-undang , ekeskutif , sebagai pelaksana undang-undang , yudikatif sebagai institusi yang menjalankan penerapan undang-undang .

“Barang siapa yang merasa berhak memberlakukan aturan hukum, juga berada di

bawah aturan tersebut,. Aturan tersebut dapat saja produk dari jiwanya, tetapi

begitu aturan itu mulai menyandang keberlakuannya maka ia memperoleh realitas

kejiwaan yang berlaku juga terhadap diri pembentuknya sendiri”. 


Kepentingan Negara yang mendekati kebutuhan adalah sepandan dengan keadaan dimana Negara dalam kondisi memenuhi syarat sebagai Negara yang dengan kemapuannya dapat memenuhi kehidupan rakyatnya , kaidah yang dapat ditarik adalah peraturan lebih mementingkan kepada aturan, sehingga dalam pengertian ini peraturan  yang lebih rendah dari peraturan  diatasnya , tidak dapat mengklaim  sebagai peraturan dapat mengikat publik. Untuk dapat  memahami kesesuaian kewenangan negara sebagai tugas kewajiban negara dengan tujuan yang hendak dicapai dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya teori perundang-undangan yang didalamnya merupakan penjabaran sistem norma yang berisi keharusan dan larangan berintikan keadilan.

  Bagir Manan    menjelaskan bahwa beberapa prinsip dalam ajaran tata urutan peraturan perundang-undangan yaitu :

1. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan  perundang-undangan tingkat lebih tinggi .

2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibuat tanpa wewenang ( onbevoegd ) atau melampaui wewenang (  deternement  de pouvoir ).

Menurut Bagir Manan lebih lanjut mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang dibuat pejabat yang berwenang atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum. Peraturan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang  ( ambtsdrager ) , misalnya Peraturan Pemerintah , Peraturan Menteri . Peraturan yang dibuat oleh lingkungan jabatan ( organ ), misalnya Ketetapan MPR.   Materi hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan itu  secara normatif merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap norma hukum yang rendah  tidak boleh berlawanan dengan norma  yang lebih tinggi .  Menurut teori sistem hukum  berjenjang ,  peraturan perundang-undangan yang berlaku positif diberlakukan  oleh suatu negara disebut sebagai hukum positif yang dibuat penguasa . Hukum positif ini dapat berupa peraturan perundang-undangan sebagai kaedah umum ( general norm ) dan kaedah-kaedah yang terjadi karena putusan hakim sebagai kaedah khusus ( individual norm ).  Norma secara umum dibedakan antara norma hukum publik dan norma hukum privat. 

Konsep hukum diatas yang menekankan pada pengkastaan norma, secara teoritik ditentang oleh LA Hart menurut pendapatnya “norma tidak boleh menaggung beban “ keberlakuan dalam ruang dan waktu, mengakibatkan norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sangat  rentan terhadap keberlakuan. Lebih-lebih lagi  telah didirikan lembaga pemusnahnya ( Mahkamah Konstitusi )  karena produk undang-undang dihasilkan oleh DPR  proses produksinya menelan biaya tidak sedikit, akan tetapi undang-undang akan menemui ajalnya , bila putusan  Mahkamah Konstitusi membatalkan norma hukum yang terdapat pada undang-undang tersebut.  Persoalan inilah yang ingin dihindari oleh LA Hart, bagimana mungkin suatu peraturan perundang-undangan yang proses produksinya  begitu pelik  dan memakan biaya yang tidak sedikit ,  dalam sekejap dapat dimusnahkan. Doktrin bahwa keberlakuan hukum memiliki kasta tertingi dan terendah  sangat mudah  dikontegensikan dengan ratio politik , konteks-konteks undang-undang  bila dimaknai oleh kepentingan  urgensial , maka undang-undang dengan seluruh  norma –norma yang digunakan  sebagai instrument hukumnya akan selalu menjadi persoalan “ makna /intreprestasi terhadap frasa “ yang setiap saat dapat saja dikatakan  mengandung perlakuan diskriminasi dan melanggar hak-hak konstitusi warga negara. Konsekwensi yang kedua dengan paham hukum ini , bila undang-undang itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi , apakah pernah terpikirkan secepat apakah norma itu akan diganti dan diganti lagi dan bagaimana dengan  prilaku hukum berikutnya setelah undang-undang atau norma itu dimusnahkan . misalnya pemusnahan norma piutang negara, pemusnahan norma Koperasi, pemusnahan norma sumberdaya alam ,Badan hukum Pendidikan , dimana peraturan-peraturan dengan kasta yang lebih rendah tentang hal yang sama atau sebagai aturan pelaksanaanya sudah diberlakukan . Apakah prilaku-prilaku kehidupan  harus main hakim sendiri ? .

  Konsep hukum LA Hart tidak sependapat dengan  doktrin Han Kelsen , peraturan perundang-undangan  tidak dimaknai secara hiraki tapi  peraturan perundangan bila diproduksi dan bercabang , beranting , adalah satu bentuk komunitas  atau rumpun dan rumpun-rumpunya tersbut membentuk dua kelompok peraturan atau  rumpun peraturan yang bersifat utuh secara menyeluruh sebagai peraturan primer dan peraturan sekunder.    Dua doktrin hukum  yang tampaknya bersebrangan ini , pada hakekatnya adala satu konsep  yaitu hukum adalah  “ peraturan “ , akan tetapi manakla hukum sudah berbentuk undang  melahirkan pandangan yang berbeda,   menurut Hans Kelsen bentuk hukum adalah hirakis perundang-undangan, sementara LA Hart mengatakan bahwa bentuk hukum adalah peraturan primer dan peraturan sekunder, menurut Hart  yang menjadi ikatan  dalam  kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah kaedah –kaedah  yang ditempatkan sebagai hukum tertulis yang dibuat oleh dan atas persetujuan bersama antara penguasa dan rakyatnya. Dan  produk  persetujuan bersama ini dalam bentuknya  dinamakan “ Undang-Undang “ ,  Hart menyebutnya sebagai  Peraturan primer , sedangkan kaedah-kaedah tertulis lainnya yang dikeluarkan oleh penguasa disebut sebagai peraturan sekunder. Peraturan sekunder  adalah peraturan yang tidak memerlukan persetujuan bersama . Walaupun demikian menurut pandangan Hart peraturan ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan primernya.

2. Konsep Peraturan Primer  Lembaga Pembiayaan Perbankan dan Non Perbankan

      Peraturan primer  yang mengatur  tentang  lembaga pembiayaan Perbankan dan non perbankan  didalamnya diatur bagaimana  pengaturan terhadap teori dan praktek perbankan dan non perbankan   yang terkandung  ketentuan pendirian badan hukum  perbankan  dan lembaga pembiayaan    hingga sekarang  ini  berpijak pada ketentuan  peraturan  primer yang  masuk dalam ruang lingkup sistem keuangan   negara Republik Indonesia   yang  mengatur tentang kelembagaan  bank sentral  , kelembagaan  perbankan dan kelembagaan  non perbankan  dalam satu komunitas  peraturan perundang-undanga   , yang bersumber dari  kebijakan moneter pemerintah adalah disebut sebagai peraturan primer .

Peraturan ini mengelompok dan membentuk kepentingan prilaku hubungan  kelembagaan pembiayaan yang menjadi pedoman terhadap kepemilikan dan penguasaan lembaga  keuangan  yang berupa  benda modal  yang bernilai ekonomis dimana  pendirian dan operasional  serta produk-produknya menjadi komunitas peraturan  yang berbentuk undang-undang  dan adalah bagian dari kebijakan moneter  pemerintah .    

Hak  atas modal dan hak operasional  yang  menyangkut harta kekayaan lembaga pembiayaan   dalam kepentingan peralihan /pemindahan dan penyerahan  produk lembaga keuangan ini , dalam perkembangannya menjadi lembaga pembiayaan konvensional dan syariah , sehingga komunitas perundang-undangan yang mengatur lembaga pembiayaan ini telah menglami pergeseran dalam norma  hukum perjanjian yang menyangkut tentang pinjam uang menjadi  kualifikasi  produk   yang dibedakan  yaitu antara  pemberian pinjaman ( kredit )  dan penyertaan  pembiayaan terhadap  benda modal ( uang ) , menjadi perjanjian jenis baru diluar ketentuan-ketentuan perikatan perdata yang terdapat dalam BW .    yang menimbulkan perikatan perdata   konsekwensi hukum dalam pendirian dan operasional lembaga tersebut  disamping itu  juga terkait bagaimana keabsahaannya ketika telah menjadi  lembaga pembiayaan antara perbankan dan non perbankan yang konvensional dan non konvensional . sedangkan  regulasi terhadap asas kebebasan berkontrak   berlandasan pada kewenangan pemerintah  sebagai rehulator pendirian badan hukum lembaga pembiayaan , yang diwujudkan dengan Keputusan administrasi negara dengan menggunakan instrument –instrumen tertentu misalnya tentang peraturan pemerintah, Peraturan Menteri, Instruksi dan lain-lain menurut konsep hukum  Hart adalah dikelompokan dalam peraturan sekunder. 

Peraturan-peraturan Primer yang mengatur tentang lembaga pembiyaan bank dan non bank dapat dikelompokan menjadi dua kelompok peraturan primer yaitu ; Kelompok Pertauran Primer yang mengatur bentuk perjanjian pembiayaan  dan mengenai Pendirian dan operasional nya.

A. Kelompok Peraturan Primer yang mengatur Perjanjian Pembiayaan antara laian :

1. Peraturan Primer berlakunya Asas Publisitas.

2. Peraturan primer tentang perikatan perdata bersumber undang-undang , termasuk didalamnya yang mengatur tentang hak kebendaan dan hak perorangan.

3. Peraturan primer tentang perikatan bersumber perjanjian pembiayaan , dikontruksikan sebagai perjanjian jenis baru misalnya perjanjian leasing, perjanjian factoring, perjanjian pembiayaan konsumen,  perjanjian modal ventura,

4. Peraturan Primer yang mengatur tentang pendaftaran ( publisitas ) perikatan bersumber dari Undang-Undang Pokok Agraria , yaitu Hak Tanggungan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang mengatur, antara lain, perjanjian jaminan hak tanggungan, termasuk cara pembebanan dan cara eksekusinya jika terjadi wanprestasi.

5. Peraturan primer  tentang  Perdagangan Berjangka Komoditi  yang telah diatur dalam  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, yang mengatur, antara lain, perjanjian-perjanjian yang dibolehkan dan perjanjian-perjanjian yang dilarang dalam perdagangan berjangka komoditi.

6. Peraturan primer yang mengatur tentang lembaga pembiyaan , misalnya Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang menjadi dasar hukum bagi perjanjian-perjanjian  untuk lembaga pembiayaan, seperti perjanjian pembiayaan konsumen, perjanjian sewa guna usaha, perjanjian anjak piutang, perjanjian pembiayaan modal ventura, dan perjanjian pembiayaan infrastruktur. Perjanjian-perjanjian ini dikelompokan sebagai perjanjian tidak bernama .

7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang mengatur, antara lain, perjanjian-perjanjian di bidang pasar modal, termasuk kontrak investasi kolektif;

8. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mengatur, antara lain, perjanjian jaminan fidusia, termasuk cara pembebanan dan cara eksekusinya jika terjadi wanprestasi;

9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang menjadi dasar hukum bagi perjanjian-perjanjian dalam rangka penanaman modal asing, seperti joint enterprice, joint venture, production sharing contract, dan kontrak karya, serta management contract dan technical assistance contract.

10. Peraturan Primer tentang Surat Berharga Syariah yang terdapat dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara.

11. Peraturan Primer yang mengatur mengenai kompilasi hukum ekonomi syariah yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

B.  Kelompok Peraturan  Primer yang berkaitan  dengan  Bank  Sentral , Perbankan  sebagai berikut:

1. Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,sebagaimana telah diadakan perubahan dengan  Undang-Undang No 23 Tahun 2004.   

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perbankan

3. Undang-Undang no 21 tentang Perbankan Syariah.

4. Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

5. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1999 Tentang Lalulintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

6. Undang-Undang  No 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana.

7. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.

8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Penjaminan Simpanan.

9. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 1992 Tentang Bank Perkreditan Rakyat.


C.  Peraturan Primer Yang Mengatur Lembaga Pembiayaan Non Perbankan.


1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.

2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.

4) Keputusan Presiden RI No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan.

5) Keputusan Menteri Keuangan RI No 1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

6) Keputusan Menteri Keuangan RI No 1169/KMK.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing ).

7) Keputusan Menteri Keuangan RI No 1256/KMK.00/1989 Tentang Perubahan Ketentuan Menengenai Perusahaan Perdagangan Surat Berharga Dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No 1256/KMK.013/1988, Tanggal 20 Desember  1988 , Tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

8) Keputusan Menteri Keuangan RI No 634/KMK.013/1990 Tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Sewa Guna Usaha ( Perusahaan Leasing ).

9) Keputusan Menteri Keuangan RI No 1256/KMK.017/1995 Tentang Perubahan Keputusan Keputusan Menteri Keuangan RI No 1256/KMK.013/1988, Tanggal 20 Desember  1988 , Tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan

10) Keputusan Menteri Keuangan RI No 448/MK.017/200 Tentang Perusahaan Pembiayaan.

Pada hakekatnya landasan filosofi terhadap frame work peraturan undang-undang  sudah digariskan pada sumber hukum tertinggi  yaitu pancasila , bahwa kita sepakat  paham keadilan yang digunakan dalam kehidupan bernegara adalah keadilan sosial, bukan keadilan konsep neokantinian yang berbentuk keadilan distributisi  ataupun konsep keadilan yang setara. ( Justice of fairness ). Paham keadilan sosial yang digariskan oleh sumber hukum tertinggi adalah pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.  Pemnfaatan dalam ide keadilan distribusi adalah pemnafaatan terbesar untuk nilai yang terbesar ,sedangkan keadilan fairness yang berlandasakan pada konsep kontrak menganut paham tidak ada keadilan bila tidak ada  pemanfaatan hasil  yang setara.Paham Keadilan distribusi sangat berpotensi kuat mempengaruhi terhadap  framework perobahan seluruh peraturan primer dan sekunder .  LA Hart menghendaki bahwa hukum idealnya mengakomodir peraturan-peraturan ,yang disusun sebagai kelompok –kelompok peraturan yakni kelompok peraturan primer.  Dalam pengertian sistem hukum LA Hart,  Kebijakan adalah sebagai alat politik Presiden sebagai kepala pemerintah  yang menghasilkan peraturan sekunder, semua  Kebijakan politik Presiden sebagai kepala pemerintahan baik  oleh Presiden sendiri maupun oleh para menterinya  yang tidak memerlukan persetujuan  bersam dengan DPR  adalah produk hukum dalam lingkup peraturan sekunder. Akan tetapi bila  kebijakan yang yang dikeluarkannya  tidak mengacu pada regulasi undang-undang dalam kelompok peraturan primernya , maka produk hukum tersebut tidak dapat dikatakan sebagai peraturan sekunder , hanya sebatas keputusan politik yang tidak mengikat masyarakat.

2. Sistem penulisan

     Pendekatan sistem  pada penulisan buku ini dengan tema  Sistem  Peraturan Primer Hukum Perikatan Publisitas – Non Publisitas ,    menggunakan pendekatan konsep hukum LA HART, teori sistem dalam konsep hukum ini, menguraikan tentang pola-pola peraturan yang  membentuk sistem hukum   sehingga  peraturan-peraturan itu  dapat diaplikasikan dalam bentuk perikatan-periakatan yang terjadi dari hubungan hukum yang menimbulkan prestasi terhadap harta kekayaan  dan  bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat.  Dengan demikian kita akan mengetahui apa yang dinamakan  hukum,  dan bagaimana hukum dapat bekerja dalam system rotasi  peraturan –peraturan yang menimbulkan prestasi,  sehingga kita akan mengerti bahwa ternyata   peraturan dalam penerapannya tidak memisahkan diri dari sistem  hukum , karena pada hakekatnya produk hukum adalah peraturan, teori ini menurut penulis sebagai  usaha memecahkan masalah bahwa ada banyak sebab terjadi sesuatu , didalam memandang atau menghadapi saling berkaitan pengaturan hukum perikatan bersifat publisitas dan non publisitas , sehingga untuk memahami adanya keterkaiatan dan ketergantungan tersebut ,pendekatan sistem adalah diskriftif yaitu memberikan gambaran untuk memudahkan pemecahan masalah dan menetapkan batas-batas dan memilahnya guna kepentingan pemahaman penganalisaan atas suatu persoalan hubungan hukum dalam realita ketika orang menguasai dan memiliki harta kekayaan berupa benda-benda terdaftar dan tidak terdaftar ( publisitas ) bagaimana mengalihkannya, memperolehnya dan memindahkanya adalah realita berhukum yang perlu diatur dalam bentuk peraturan-peraturan primer dan sekunder.

Menurut LA Hart  yang dinamakan hukum  yaitu peraturan –peraturan itu sendiri yang dikeluarkan oleh yang berwenang , Perturan menurutnya  terdiri dari dua peraturan yaitu peraturan primer dan peraturan sekunder  ,maka  sistem hukum harus dibedakan dengan dua model peraturan , yang mengandung elemen-elemen dalam peraturannya yang satu dan lainnya adalah merupakan satu kesatuan  harus saling berhubungan, dan membentuk sistem aturan-aturan hukum atau norma-norma, dalam suatu struktur yang  kesemuanya berhubungan pada sumber dan keabsahan kelompok peraturan primernya .

Hubungan –hubungan ini membentuk kelompok-kelompok peraturan sekunder dengan aturan -aturan norma dasar dari kelompok primernya.  Dengan demikian , kita  dapat memahami pembenaran macam apa yang dikehendaki  oleh  Pemerintah Republik Indonesia terhadap  Perikatan-perikatan yang bagaimana  terikat asas publisitas ( harus dicatat atau wajib pendaftaran ) dan  tidak terikat oleh pendaftaran . Perikatan  bila dipandang dari  sistem hukum sebagai suatu  peraturan primer .  maka perikatan-perikatan baik yang bersumber undang-undang maupun bersumber perjanjian yang terikat dengan azas publisitas akan mengelompok membentuk komonitas peraturan-peraturan yang melahirkan hubungan hukum keperdataan,disisi lain peraturan-peraturan yang menjadi norma dasar perikatan dari masing-masing kepentingan yang meregulasikan nya tidak harus berpencar satu sama lain, dan keluar dari komunitasnya. Peraturan dalam pandangan LA Hart sudah semestinya mengaktualisasikan kelompoknya bukan membentuk hiraki/tata urutan perunndang-undangan ,  sebagimana dianut oleh paham hukum Hans Kelsen. Ketika hukum telah membentuk komunitasnya , maka bentuk peraturan itu engelompok menjadi peraturan primer dan peraturan sekunder satu peraturan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian misalnya adalah basic norma untuk semua jenis perjanjian, demikian pula basic norma perikatan yang bersumber undang-undang misalnya bagaimana hak-hak tata ruang yang merupakan hak public dapat diindungi oleh negara adalah menjadi satu kelompok sebagai peraturan-peraturan yang membentuk komunitasnya.

Tulisan buku ini adalah untuk lebih memahami pengertian sistem peraturan primer  Perikatan publisitas dan non publisitas yang diatur diberbagai peraturan perundang-undangan  dalam satu kelompok / komonitas norma yang menjadi dasar  kebsahaan hukum dalam lalulintas kepemilikan dan penguasaan terhadap harta kekayaan yang berupa hak kebendaan dan hak-hak perorangan yang terdapat dalam Burgerlijke Wetboek atau diluar BW.  untuk lebih memudahkan pembaca menelusuri gagasan yang ada didalamnya , meski pada akhirnya pembaca sendiri yang akan merangkai pengertian secara utuh setelah membaca secara keseluruhan , perlu dijelaskan bagian-bagian yang menjadi topik dalam buku ini .

Bagian pertama tulisan ini  berjudul pendahuluan  yaitu sebagai prologue penguraian mengenai hubungan hukum dan urutan penulisannya maka perlu dipahami dulu tentang prespektif  teori  dari LA. Hart ,  yang menjelaskan bagaimana pentingnya konsep LA Harta terhadap mengelompokan hukum pada bentuk peraturan-peraturan primer yang mengatur perikatan.  Bagian kelima membuka pikiran bagi pembaca untuk memahami pembagian sistem hukum dalam kelompok hukum primer dalam prespektif teori LA HART dimana dijelaskan pandangan penulis mengenai klasifikasi kelompok hukum yang menjadi satu kesatuan wadah kaedah mengenai peraturan-peraturan yang mengatur tentang  perikatan publisitas dan non publisitas. sehingga memberikan alternatif berpikir bagi pmebaca untuk dapat memahami sistem peraturan secara komprehensif sebagai cermin dari sistem peraturan primer  tentang perikatan publisitas dan non publisitas Sehingga tanpa membaca pendahuluan tentunya akan tereliminasi pada pemikiran ambiguinitas mengenai pengertian hubungan hukum.

Bagian kedua yang menjelaskan bagaimana hubungan hukum itu terjadi dalam prepektif hukum periktan dan juga secara dijelaskan  historissehingga akan dipahami mengapa perikatan merupakan bagian terpenting dalam hubungan hukum. 

Bagian Ketiga tulisan ini mencoba menjelajah bagaimana kedudukan dan pengertian antara Sistem hukum  Perikatan  BW   dan  kualifikasi hak Perorangan dan Kebendaan  sehingga akan memberikan penjelasan yang konkrit mengenai kedudukan dan objek hukum perikatan BW sebagai peraturan primer yang akan membentuk kelompok peraturan-peraturan primer dari sumber hukum perikatan berikutnya yang membentuk komunitas Peraturan-Peraturan Primer Prikatan bersumber Perjanjian dan Peraturan Primer bersumber undang-undang.

Bagian keempat  menjelaskan mengenai pengertian  asas  Publisitas , yang menguraikan  mengenai dasar-dasar  publisitas  yang menjadi aspek hukum perikatan  sehingga dengan demikan akan memberikan gambaran bagaimana kelompok hak-hak yang bermuara pada publisitas dan perjanjian serta hak kebendaan mana yang telah ditentukan oleh undang-undang  terikat dengan asas publisitas.  Sehingga peralihan dan Penyerahan Peralihannya membentuk kaidah –kaidah  terhadap kepemilikan dan penguasaan kebendaan yang tidak lagi ditentukan oleh pemisahan benda menurut jenisnya tapi berdasarkan benda terdaftar dan benda tidak terdaftar.

Bagian kelima mencoba menjelaskan mengenai sistem perturan primer tentang Perbuatan-perbuatan hukum tertentu  terhadap pendaftaran hak-hak atas tanah setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria. pengertian tentang perubahan sistem pengaturan mengenai benda tidak bergerak setelah berlakunya undang-undang pokok agraria , maka penerapan terhadap hak-hak kebendaan tidak bergerak tidak lagi menggunakan sistem BW , dari bagian ini  untuk menelaah tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan hukum tertentu yang diperlukan dalam proses pendaftaran haknya.  

Bagian  keenam dalam bab ini pembaca akan bisa memahami bagaimana bentuk pendaftaran  tentang badan hukum , dengan judul peraturan-peraturan primer tentang badan hukum, peraturan-peraturan yang menegaskan pendirian dari berbagai  badan hukum yang mengaturnya , misalnya badan hukum Perseroan Terbatas, Bbadan hukum Yayasan , badan hukum koperasi, badan hukum perkumpulan. Bagaimana bentuk Akta  pendirian  dan anggaran yang dibuat oleh  Notaris  berdasarkan ketentuan komunitas peraturan-peraturan tersebut. sehingga kita akan menemukan  dimensi akta-akta yang dikerjakan oleh notaris baik mengenai komparisi pendirian dan perubahannya atau pembubaran badan hukum itu.

Bagian ketujuh  sejalan dengan berubahnya sistem perbankan  maka dalam bab kedelapan  akan menjelaskan sistem peraturan primer tentang  perjanjian kredit  sistem konvensiaonal dan perikatan dalam sitem hukum perbankan syariah , dan bentuk akta-akta yang menjadi bukti perikatan dalam perjanjian kredit dan perjanjian syaraiah. Kemudian  penulisan  menelaah  bagaimana yang dimaksud dengan  peraturan primer sebagai landasan  perjanjian kredit.

Bab kedelapan , dibawah judul Sistem Peraturan Primer  Tentang  Lembaga Pembiayaan dan bentuk-bentuk Perjanjain  yaitu Perjanjian baku , akan diuraikan bagaimana peraturan-peraturan yang melandasi perjanjian baku diluar  BW , dan bagaimana bentuk pendaftaranya.

Bagian kesepuluh menuju kepada pemahaman bagaimana Komparisi akta-akta itu, akan dengan mudah diamati maka topik dalam bab ini adalah mengenai sistem peraturan primer tentang Komparisi Akta-akta berdasrkan BW dan diluar BW.

Pada akhirnya  tulisan ini bergerak kesalah satu pemikiran  penulis bagaimana  arah penegakan hukum Periktan   melalui salah satu konsep berfikir teori hukum Responsif  Philippe Nonet & Philip Selznick  terhadap pemahaman Penyalahgunaan Kehendak dan Penyalahgunaan Kekuasaan dengan mendasarkan  pada  perubahan politik hukum Pemerintah Republik Indonesia dalam menyelesaikan Piutang Negara yang macet kearah manakah penegakan hukum yang dikehendaki sebagai pembenar dalam menyelamatkan keuangan negara , yang digunakan sebagai modal dalam bank-bank pemerintah , yang menimbulkan kredit macet,  sekandal-sekandal apakah yang terjadi sehingga penegakan hukum dalam penyelesaian piutang Negara. Masih menyisahkan polemic yang berkepanjangan. Uraiannya akan diketemukan pada bagian kedua belas diketemukan gagasan tentang memahami bagaimana Piutang negara sudah seharusnya dimasukan dalam APBN dengan mencoba melihat proses penyelesaian dan penegakan hukumnya. Sehingga manakah yang tepat dapat  digunakan dalam penyelematan kredit macet pada Bank BUMN.



















BAB I

PERKEMBANGAN SISTEM KEUANGAN 

SETELAH ERA BRETTON WOODS   


A.     Sistem  Standard Emas.

1.      The era of Specie Money

            Pada periode pra-modern, benda-benda metal berharga atau specie money berupa emas dan silver berperan sebagai basis dari sistem moneter internasional. Mata uang lokal dan internasional cenderung dipisahkan dari satu sama lain. Sementara perdagangan lokal bergantung kepada barter, perdagangan internasional dilakukan dengan emas atau silver, diantaranya solidus Konstantinopel, dinar Arab, atau ducat Venesia, diterima secara universal dan relative stabil dan kadangkala nilainya bertahan hingga berabad-abad. Baik mencetak menjadi koin atau tetap pada bentuk mentahnya, emas dan silver adalah media netral di perdagangan internasional; emas atau silver satu negara sama baiknya dengan di negara lain. Uang tidak bisa diciptakan karena alasan politis, ini hanya bisa diperoleh melalui perdagangan, merampas, atau menguasai pertambangan. Nilai dari uang internasional sangat bergantung terutama terhadap suplainya dan seringkali berada di luar kontrol masing - masing negara. Uang lokal, bagaimanapun juga, yang berdasarkan lebih kepada komoditi daripada precious metals  yang berada di tangan pemerintah.

            Di era pre-modern, mata uang internasional mempengaruhi otonomi ekonomi dan politik. Karena suplai dan nilainya ditentukan oleh perdagangan internasional, mata uang tersebut bebas dari pengaruh pemerintah dan pemerintah memiliki keterbatasan kemampuan untuk memanipulasi mata uang yang bergantung pada perdagangan internasional. Di era millennium, sistem moneter internasional apolitis.

            Sifat alami dan peran dari sistem tersebut mulai berubah pada abad 16 dan 17 dengan penemuan emas dan silver di Amerika dan ekspansi perdagangan internasional. Pemisahan dari mata uang lokal dan internasional mulai menghilang sebagai konsekuensi dari gelombang besar yang masuk ke Dunia Baru Eropa, tumbuhnya moneterisasi dari perekonomian nasional dan ketergantungan secara ekonomi. Singkatnya, emas dan silver menggerakkan mata uang lokal. Mata uang nasional dan internasional semakin menyatu melalui ekspansi dagang dan aliran moneter, serta pemerintah kehilangan bahkan kemampuan terbatasnya untuk memanipulasi mata uang lokal ; aktivitas perekonomian lokal dan level harga menjadi subjek dari perubahan internasional. Di bawah situasi seperti ini, perekonomian nasional menjadi semakin saling bergantung.

            Di awal periode modern, semakin meningkatnya integrasi mata uang lokal dan internasional menyediakan kesempatan kontribusi pertama terhadap science of economics dan dasar bagi perkembangan ekonomi liberal. Dalam teori price-specie flow, David Hume merespon obsesi negara merkantilis dengan menimbun specie  melalui sebuah perdagangan surplus dan ketakutan mereka bahwa defisit perdagangan akan menyebabkan kerugian  specie besar-besaran. Hume menyatakan bahwa jika sebuah negara mendapatkan specie dalam pembayaran untuk ekspor daripada impor, konsekuensi meningkatnya suplai uang akan menyebabkan harga specie domestik dan ekspornya meningkat. Sebaliknya, ini akan melemahkan negara lain dari membeli barang-barangnya. Di waktu yang sama, masyarakatnya akan mudah untuk mengimpor lebih karena relative value dari mata uang mereka telah naik dan foreign prices  bisa jatuh karena menurunnya suplai uang keluar negeri. Sebagai hasilnya, ekspor akan menurun dan impornya akan naik. Berubahnya aliran perdagangan dan specie dipengaruhi oleh perubahan harga di dalam negeri dan diluar negeri yang kemudian menciptakan equilibrium.


            Sejak akhir abad  19 , peranan Moneter internasional dalam sistem financial dalam politik keungan global , awal pembentukan sistem ini melalui berbagai transformasi dalam menganggapi perubahan kondisi politik dan ekonomi baik level domestik maupun internasional. Perubahan yang paling dramatik adalah krisis dalam pengintegrasian moneter internasional dan rezim internasional  pada masa-masa perang dan sesudah perang dunia I ( 1930 ) berlaku konsep dari standar emas adalah penguunaan mata uang emas sebagai media pertukaran, sebagai satuan perhitungan dan sebagai alat menyimpan bilai. Kegiatan ini sudah terjadi sejak zaman kuno.  Akan tetapi perdagangan dunia  kian meningkat sejalan dengan bangkitnya revolusi industri mendorong adanya permintaan atas sarana yang lebih mudah untuk mendanai dan menyokong perdagangan internasional maka standar emas hadir guna mengatur dan mendorong pemerintah agar sepakat untuk menukar mata uang kertas mereka menjadi emas dengan suatu kurs yang tetap.

            Sejak tahun 1880 Inggris, Jerman, Jepang dan Amerika telah mengadopsi sistem standar Emas ini. Dengan berlakunya standar emas maka nilai dari setiap mata uang dalam satuan mata uang lainnya dapat ditentukan secara mudah sehingga dapat mengkatalisasi perdagangan internasional.  Nilai  US$ 1 dihargai dengan 23,22 grain emas murni yang mana 1 ons emas sama dengan 480 grain emas. Dengan kata lain harga dari 1 ons emas adalah US $20,67. Sejumlah mata uang yang diperlukan untuk membeli satu ons emas disebut sebagai nilai pari emas.Kelebihan dari standar emas adalah:

a. Mengandung sebuah mekanisme kuat sehingga setiap negara dapat mencapai keseimbangan perdagangan secara serentak.

b. Dapat menyeimbangkan neraca perdagangan. Contoh: Jika suatu negara mengalami surplus perdagangan, akan mengakibatkan terjadinya net flow emas dari negara surplus ke negara minus. Kenaikkan suplai uang menyebabkan meningkatnya harga-harga sedangkan penurunan suplaimenyebabkan harga turun kemudian permintaan naik. Ketika satu pihak membeli lebih banyak dan satu pihak lainnya membeli lebih sedikit maka tercapailah keseimbangan.

          Selama rentang tahun1870 sampai dengan PD I (1914) standar emas bekerja dengan baik. Namun sejak PD I yang mana terjadi inflasi, standar emas mulai ditinggalkan. Devaluasi nilai mata uang sempat terjadi yang menyebabkan kepercayaan atas standar ini memudar. Dan pada puncaknya di awal PD II sang penyokong sistem moneter, Inggris, mengalami kelemahan dalam menentukan arah kebijakan dan perpolitikan dan akhirnya pada tahun 1939 standar emas pun ditinggalkan ditandai dengan pecahnya PD II .  

2.       The Classical Gold Standard (1870-1914)

            Ada beberapa ciri dalam era Classical Gold Standard. Pertama, classical gold standard tidak berfungsi secara otomatis. Penetapan sistem per-bank-kan dan perannya dalam kreasi uang telah melemahkan operasi dari mekanisme aliran harga specie. Berdasarkan teori, bank sentral merespon aliran emas, membeli dan menjual emas untuk memaintain fixed exchange rate untuk mata uang nasional, bank-bank tersebut merespon aliran emas dalam highly discretion manner  untuk melindungi efek pada harga domestik dan perekonomian domestik.

            Kedua, sistem moneter internasional dibawah gold standard tidak beroperasi secara impersonal. Sistem ini dirancang dan diatur oleh Inggris dan London melalui posisi hegemoninya dalam komoditi dunia, uang, dan capital markets memaksa rules of the system terhadap perekonomian dunia. Integrasi dari sistem moneter nasional dengan pasar finansial London menganugerahkan Inggris kemampuan untuk mengontrol sampai ke tingkatan tertentu mengenai suplai uang dunia. Dengan menurunkan dan menaikkandiscount rate-nya, Bank of England memanipulasi aliran emas secara internasional dan dalam mempengaruhi kebijakan moneter dunia. Sistem moneter dibawah standar emas merupakan sistem yang hirearkis, didominasi oleh Inggris dan pada tingkat dibawahnya, oleh pusat finansial yang sedang tumbuh di Eropa Barat.

            Gold Standard merefleksikan sebuah dunia dimana tujuan-tujuan sosial adalah minimal. Di era tanpa intervensi pemerintah ini dan sebelum lahirnya welfare state, keunggulan diberikan untuk stabilitas moneter. Ini merupakan produk hegemoni Inggris, ideologi laissez faire, dan dominasi dari kelas menengah yang konservatif. Ketika kondisi ini berubah dengan terjadinya Perang Dunia I, gold standard tidak lagi berfungsi. Gold Standard menyediakan fondasi efektif untuk perekonomian internasional dan keteraturan politik. Sistem ini juga mengatasi masalah fundamental dari tatanan moneter internasional. Inggris memiliki power dan niat untuk memaintain nilai emas yang berlaku.

            Solusi masalah antara otonomi domestik dan stabilitas internasional diperoleh dibawah gold standard menyediakan sebuah contoh dari kekuatan hegemon memaksa rules of game dan mengatur sistem moneter internasional. Efisiensi dan stabilitas gold standard juga menguntungkan negara maju lainnya. Meskipun Jerman, Perancis, dan Amerika tidak senang dengan keuntungan dimana kepemimpinan moneter dunia diberikan kepada Inggris, namun negara-negara ini tidak memiliki keinginan untuk melawannya. Kepatuhan terhadap sistem ini didikte oleh posisi dominan Inggris dan kekuatan industrial lainnya.

            Mendekati berakhirnya abad 20, lahirnya kekuatan industri baru dan kejatuhan hegemoni Inggris mulai mengurangi basis dari kepemimpinan ekonomi global Inggris. Meningkatnya ketidakpuasan sosial dan pemberontakan terhadap laissez faire mulai menggoyahkan sistem ini. Perang Dunia I merusak fondasi politis dari era ekonomi ini dan menerjunkan dunia ke dalam chaos moneter dan ekonomi selama tiga dekade ke depan.

        Transformasi kedua terjadi setelah Perang Dunia II ketika sistem Bretton Wood tengah berjalan. Sebab di tahun 1970an, periode perubahan di bawah sistem Bretton Wood terjadi perubahan dari standar pertukaran emas menjadi dolar Amerika dan komitmen terhadap kontrol kapital. Beragam perubahan ini memiliki konsekuensi politik yang cukup penting tentang siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana dalam ekonomi politik global.

B.  Era Bretton Woods (1944-1971)

1. The Bretton Woods monetary order  (1-22 Juli 1944)

·       Konferensi moneter internasional yang dihadiri oleh 44 negara. Tujuan dari Bretton Woods system sendiri adalah bagaimana membangun kembali perekonomian dunia setelah perang, serta bagaimana konferensi tersebut dapat menyepakati hal-hal yang dapat mengurangi kebijakan perdagangan, pembayaran dan nilai tukar  

·     

Dengan standar seperti itu, Amerika Serikat sebagai anchor system harus menyiapkan devisa yang cukup banyak demi menopang SMI (Sistem Moneter Internasional) sementara ketika itu Amerika Serikat sedang terfokus pada Marshall Plan, sehingga Amerika Serikat juga harus menyediakan $1milyar guna menopang negara-negara di Eropa Barat, serta Amerika Serikat harus merelakan negaranya menjadi pasar bagi negara lain (selama 26 tahun yaitu selama periode tahun 1947-1953).

Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Bretton Woods system antara lain, dalam sistem ini terdapat kesetaraan nilai tukar uang (fixed currency)‏, selain itu sistem ini juga mengkombinasikan kebebasan ekonomi dengan integrasi terhadap ekonomi internasional dengan kata lain nilai mata uangnya juga menjadi lebih stabil, ekonomi negara-negara yang mengikuti Bretton Woods system berkembang dengan pesat yang berujung pada perbaikan terhadap international finance setelah kehancuran pada saat Perang Dunia II.

SingkatnyaBretton Woods system telah memungkinkan terjadinya akselerasi ekonomi secara besar-besaran bagi negara-negara di Eropa Barat dan Jepang sehingga walaupun sebagai negara-negara yang paling terpengaruh imbas destruktif Perang Dunia II namun mampu bangkit dengan cepat menjadi negara kaya dan maju, sampai disebutkan bahwa apa yang dicapai perekonomian Jepang dalam 25 tahun paska Perang Dunia II selama Bretton Woods System setara dengan kemajuan sebuah negara yang baru dicapai melalui usaha selama 100 tahun.   Breton woods system sebuah institusi sistem yang mana muncul ketika pasca perang dunia kedua ketika dimana dunia membutuhkan sebuah institusi sistem moneter yang mana mampu untuk meng-handle pertumbuhan ekonomi dunia pasca terjadi perang yang berkecamuk. Jika kembali mengamati kondisi moneter internasional sebelum hingga pasca perang dunia ke 1 disini terjadi beberapa kali peningkatan perekonomian yang mana selalu menimbulkan apa yang dinamakan dengan penurunan yang mendadak sehingga menimbulkan apa yang dinamakan dengan dengan great depression. Dapat disadari disini pasca perang merupakan masa yang paling berat yang harus dihadapi oleh perekonomian dunia. Dan kebangkitan perekonomian negara-negara yang terlibat perang, seperti peningkatan produksi bahan makanan dan industri, akan membuat produksi global meningkat cepat, jauh melebihi kebutuhan.ini terjadi ketika rekronstruksi pasca perang dunia II dimana GDP perkapita negara Eropa barat di tahun 1950 yang ekuivalen dengan keadaan Amerika serikat di tahun 1905. Dan keadaan ini menimbulkan sebuah upaya proteksi dan devaluasi terus menerus oleh setiap negara eropa barat dengan tanpa memperhatikan perekonomian negara yang laen oleh sebab itu sebanyak 44 negara berkumpul di Desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (AS), tepatnya pada 1-22 Juni 1944.

Pertemuan panjang tersebut, yang antara lain dihadiri John Maynard Keynes dari Inggris dan Harry Dexter White dari AS, akhirnya mengambil putusan untuk membangun Sistem Bretton Woods, di mana pendirian International Monetary Fund/ IMF menjadi salah satu pilarnya.Sistem moneter baru tersebut mendasarkan diri pada sistem nilai tukar tetap terhadap dolar AS, sedangkan dolar AS dikaitkan dengan emas, di mana setiap 1 ons emas (sekitar 30 gram) ditetapkan harganya kira-kira sebesar USD28.35.Dengan cara ini, nilai tukar antarmata uang di luar dolar AS juga menjadi tetap.dengan diberlakukannya sistem ini terjadi peningkatan pendapatan perkapita dinegara- negara Eropa yang menjadi dua kali lipat daripada sebelumnya.Konferensi tersebut juga melahirkan Bank Dunia dalam bentuk International Bank  for reconstruction and Development (IBRD) serta organisasi perdagangan dunia (semula dirancang dalam bentuk International Trade Organization), yang kemudian muncul dalam bentuk General Agreement in Tariffs and Trades (GATT) pada 1947.  Lembaga ini pada 1995, dibentuk menjadi World Trade Organization (WTO ) . 

Sistem nilai tukar yang sedemikian mendasarkan diri pada premis bahwa setiap negara harus menjaga keseimbangan neraca pembayarannya. Jika terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran (terutama ekspor-impor), perlu dilakukan langkah perbaikan, baik yang sifatnya sementara (misalnya dengan bantuan IMF) maupun bersifat lebih struktural, yaitu melalui devaluasi atau revaluasi.

The Bretton Woods System ( 1944-1976)

            Setelah Perang Dunia II, negara Barat menetapkan dua perangkat dari prioritas ekonomi setelah perah. Pertama, dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. The Beveridge Plan di Inggris Raya, penetapan komisi perencanaan di Perancis, dan Employment Act di Amerika Serikat pada 1946 adalah simbol komitmen pemerintah untuk melakukan intervensi dalam perekonomian dan penetapan dari welfare state. Prioritas kedua merupakan kreasi tatanan perekonomian dunia yang lebih stabil yang dapat mencegah kembalinya depresi perekonomian seperti yang terjadi pada 1930.

            Bretton Woods melihat sebuah dunia dimana pemerintah memiliki kebebasan yang masih toleran untuk mengejar target ekonomi nasionalnya, sementara tatanan moneter akan didasarkan pada fixed exchange rate dengan tujuan untuk mencegah depresi destruktif dan kebijakan pada 1930an. Prinsip lain yang diadopsi adalah currency convertibility untuk transaksi terkini. International Monetary Fund (IMF) dibentuk untuk mensupervisi beroperasinya sistem moneter dan menyediakan pinjaman jangkan pendek kepada negara yang mengalami kesulitan keseimbangan neraca pembayaran sementara waktu.

            Sistem Bretton Woods berusaha untuk mengatasi perbedaan antara otonomi domestik dan stabilitas internasional, namun keistimewaan dasar dari sistem ini (otonomi kebijakan nasional, fixed exchange rate, dan currency convertibility) saling berkonflik satu sama lain. Misalnya, satu negara tidak dapat secara bersamaan dengan bebas mengejar kebijakan ekonomi makro dan menyerap mata uang luar negeri tanpa terkena konsekuensi pada exchange rate.

            Perubahan fundamental dalam tujuan sosial dan target objektif direfleksikan oleh sistem Bretton Woods. Sementara gold standard pada abad 19 dan ideologi laissez faire telah mensubordinasi stabilitas domestik terhadap norma internasional dan periode interwar berhubungan dengan tujuan - tujuan ini. Negara merasa telah memiliki peran lebih besar dalam ekonomi untuk menjamin terpenuhinya tenaga kerja  dan tujuan yang lain, namun aksinya menjadi subjek peraturan internasional. Negara - negara semakin didukung untuk bergabung dengan perdagangan bebas dengan resiko minimal terhadap stabilitas domestik, walaupun kadang berakibat kepada efisiensi alokatif. Jike mereka terlibat dalam kesulitan keseimbangan pembayaran, IMF dapat menyediakan dana untuk defisit anggaran ini dan mensupervisiexchange rate adjustment dimana negara tidak perlu membatasi import untuk mengkoreksi ketidakseimbangan balance of payment

            Pasca perang dunia II mendorong sebuah pertumbuhan pemikiran moneter yang mendorong ke arah pembentukan sistem moneter ini. Alhasil disini sistem Bretton Woods memberikan sebuah semangat baru bagi seluruh perekonomian dunia ini terbukti dengan adanya peningkatan perekonomian Jepang. Perekonomian Jepang meningkat delapan kali lipat dalam jangka waktu hanya duapuluh lima tahun.disini mengapa dapat terjadi sedemikian rupa? Jepang disini bertransformasi perekonomian dengan sangat cepat ketika terjadi perang Korea ditahun 1950an. Entah disini disebabkan oleh Amerika Serikat atau tidak, namun kenyataan yang ada dimana disini pasca perang Korea orang jepang mendapatkan sebuah ilmu, metode baru, membuat industri baru, menentukan pangsa pasaran ke luar negeri, sehingga mendorong  menjadi kekuatan utama di dalam prekonomian dunia. Di sini industri Jepang melakukan sebuah terobosan metode baru yang lebih menerapkan prinsip dari Fordisme dimana Fordisme tidak lain adalah sebuah motode manajemen industri yang berazaskan assembly line atau sering disebut metode ban berjalan dalam proses produksi yang bersifat massal. Konsep tersebut menggambarkan proses ekonomi produksi dengan cara membagi proses produksi ke dalam ratusan atau bahkan ribuan unit kecil. Dengan cara tersebut menurut Ford, ongkos dapat diminimalkan dan keuntungan akan dapat segera dimaksimalkan. Perusahaan Jepang pun mengikuti penerapan kinerja fordisme tersebut. Honda dan toyota, merupakan salah satu perusahaan yang menerapkan konsep ini melakukan sebuah reformasi kerja yang mengandalkan keberadaan buruh terlatih namun murah. Apa yang terjadi didalam perekonomian Jepang juga terjadi didalam perkonomian Amerika Serikat dan negara Eropa barat yang lain. Amerika Serikat, memperoleh peningkatan pendapatan perseorangan sebesar 75 persen dan disini orang amerika memperoleh kemakmuran seperti yang mereka idamkan sebelumnya. Namun jika dibandingkan dengan Eropa dan Jepang percepatan perekonomiannya tidak begitu cepat karena yang kita ketahui disini Jepang dan Eropa memperoleh percepatan perekonomian yang mencengangkan karena tingginya ekspektasi warga mereka untuk berpastisipasi di dalam perkonomian. Amerika Serikat yang notabene telah menerapkan prinsip fordisme mulai menata kembali perekonomiannya pasca terjadinya great depression. Disini meski fordisme merupakan salah satu penyebab terjadinya great depression, warga amerika tetap menerapkan sistem ini namun disini diterapkan kembali adanya peran pemerintah sebagai regulator dan stabilitator perekonomian seperti apa yang telah di idekan oleh John Maynard Keynes. Di sini terjadi pergeseran peran Amerika Serikat yang mana berubah menjadi pengatur kinerja pasaran dunia yang membuat seluruh dunia harus berkiblat kepada perekonomiannya.Dengan adanya sebuah peningkatan perekonomian yang terjadi. Dapat dilihat ekspektasi terhadap sistem Bretton woods memberikan sebuah dorongan yang cukup signifikan untuk mengembangkan perekonomian dunia.

Terdapat tiga aspek yang mana menimbulkan terjadinya sebuah pembentukan sistem bretton woods ini :

a) Yang pertama dapat kita lihat melalui kondisi politik dan ekonomi. Sebelum terjadinya perubahan sistem menuju ke arah bretton woods, dunia ini masih menetapkan emas sebagai standart moneter dunia. Dan peraturannya cukup simpel dimana yang dimaksud dengan standart emas disini adalah setiap mata uang suatu negara didukung oleh kuantitas emas yang dimiliki oleh bank sentral negara tersebut. Standar emas disini terkait dengan sirkulasi uang logam yang mana terjalin didalam koneksi perekonomian sebuah negara. Tujuan utama dari sistem uang pemerintahan yang menurut sejarah telah ada untuk menyediakan seigniorage atau laba pembuatan uang, bagi pemimpin pemerintahan dalam rangka menyediakan mereka kekuatan pembelian umum selama masa genting, khususnya pemimpin-pemimpin menggunakan tampuk pimpinan mereka untuk membatasi dan oleh sebab itu tidak dapat menaikan pajak untuk mengeksekusi pembelaan ikatan yang diperlukan bagi kelangsungan hidup negara mereka. Standar emas menggantikan standar uang logam emas pada abad 17-19 di Barat sebagai perang pembelaan tertentu yang diperluas kepada standar uang logam emas yang sudah tidak lagi layak fungsinya. Sejarah yang sama menaikkan standar sebuah emas di Cina sejak abad ke 9 hingga awal abad ke 17. Kemudian mulai timbul sebagaimana terjadi pada perang-perang besar sebelumnya dibawah standar emas, pemerintahan Inggris menggantungkan nilai tukar uang kertas dari Bank of England pada emas, di tahun 1914 untuk membiayai operasi militer dalam perang dunia pertama. Pada akhir peperangan, Inggris berada pada seri peraturan kesanggupan nilai tukar, yang meng-kurs-kan Permintaan Uang Postal dan Surat-surat Perbendaharaan Negara, yang mana berbeda dari Surat-surat Perbendaharaan Negara Amerika Serikat. Pemerintahan Amerika mengambil ukuran yang sama. Setelah perang, Jerman yang banyak kehilangan emasnya dalam perampasan, tidak sanggup lagi untuk meneruskan percetakan uang logam "Reichsmarks" dan beralih pada nilai tukar uang kertas, meskipun Republik Weimar kemudian memperkenalkan "rentenmark" dan kemudian membuat sisi uang logam yang seluruhnya berlapis emas dalam usahanya untuk mengontrol hiperinflasi. Oleh sebab itu muncul sebuah ide untuk menggeser peranan standar emas menuju ke arah mata uang yang memiliki fleksibilitas yang lebh luwes, dan akhirnya dipilihlah dolar sebagai pengganti emas tersebut.

b) Yang kedua terdapat dirkursus ekonomi yang mana Setelah perang dunia kedua, sebuah sistem yang sama pada standar emas didirikan oleh perjanjian Bretton Wood. Dibawah sistem ini banyak negara-negara yang memiliki nilai harga emas relatif tetap menukar uangnya pada dollar Amerika. Amerika berjanji untuk menetapkan harga emasnya pada $35 per ons secara implisit, lalu semua mata uang memancangkan pada dollar juga memiliki nilai tetap dalam artian emas. Dibawah pemerintahan President Perancis, Charles de Gaulle sampai tahun 1970, Perancis menurunkan cadangan dollarnya, memperdagangkan mereka untuk emas dari pemerintahan Amerika, hal itu telah mengurangi pengaruh luar negri pada ekonomi. Hal ini, sejalan dengan ketegangan pengeluaran keuangan dari Lyndon Johnson's Great Society dan perang Vietnam, telah mengantar President Richard Nixon untuk menyingkirkan harga tetap emas pada tahun 1971 yang menyebabkan hancurnya sistem tersebut.

Bretton Woods system adalah sebuah sistem moneter internasional yang dibentuk pada tahun 1944 bertempat di New Hampshire, Amerika Serikat, sistem ini dibentuk untuk membangun suatu economic orderpaska Perang Dunia II yang bersifat lebih fleksibel dan stabil. Bretton Woods system juga melahirkan tiga institusi keuangan dunia yaitu IMF, World Bank, dan GATT yang ketiganya bisa disebut sebagai Lembaga Moneter Internasional (LMI) pertama di dunia, pendirian tiga institusi ini dimaksudkan sebagai pilar pendukung untuk menjalankan aturan-aturan dalam Bretton Woods system sehingga sistem ini dapat berjalan secara efektif seperti yang diharapkan. Sistem ini menggunakan Fixed Exchange Rate dengan menggunakan standar dollar-emas sehingga secara efektif mengakhiri sistem standar emas yang umum digunakan sebelumnya, jika dalam sistem standar emas mata uang suatu negara dikonversikan langsung dengan emas, maka dalam Bretton Woods system konversi ditetapkan melalui perantaraan dollar dengan standarnya kurang lebih adalah $35 = 1 ons emas. Sistem ini berjalan dengan sebagaimana mestinya sepanjang tahun 1950-1970 ketika Amerika Serikat yang ekonominya terkuat di dunia pada waktu itu berperan sebagai sebuah hegemon dunia, tetapi, seiring dengan pesatnya perkembangan perekonomian Eropa dan Jepang, mereka tidak lagi membutuhkan bantuan Amerika Serikat, ditambah lagi pada tahun 1970 Amerika Serikat mengalami masalah internal menyangkut Perang Vietnam, dan pada akhirnya sistem ini diakhiri oleh Presiden Amerika Serikat sendiri, Presiden Nixon secara sepihak pada tanggal 15 Agustus 1971. Nixon mengumunkan pada dunia dengan ucapannya  yang tidak bertanggung jawab : WE GAVE OUR WORD  TO YOU  BUT WE DON’T HAVE TO KEEP IT

           Di awal abad 20, sistem moneter kembali berevolusi di era modern karena sejumlah perkembangan ekonomi dan politik. Uang bertransformasi menjadi kreasi dari negara. Kontrol negara terhadap suplai dan permintaan uang menjadi determinan yang prinsip dari aktivitas ekonomi nasional dan internasional. 

2.     The Era of Political Money

            Selama abad 18 dan 19, terjadilah revolusi finansial. Pemerintah memulai isu tentang uang kertas,modern banking lahir, instrument kredit publik dan swasta meningkat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemerintah mendapatkan kontrol lebih besar terhadap suplai uang. Akibat dari lahirnya political money tidak disadari hingga era Keynesian, tapi revolusi finansial ini mentransformasikan hubungan antara negara dengan ekonomi dan memiliki efek luar biasa terhadap perekonomian internasional dan politik dunia.

            Revolusi finansial melahirkan  Fiat Money . Di satu sisi ini menyelesaikan atau setidaknya mereduksi masalah historis dari kekurangan suplai uang. Hingga inovasi dari uang kertas dan kemudahan kredit, aktivitas ekonomi ditargetkan untuk tekanan deflasi karena ketidakcukupan suplai emas dan silver. Tapi karena pemerintah mendapatkan kapasitas untuk menciptakan uang, revolusi finansial ini mengakibatkan inflasi dan meningkatkan masalah internasional terhadap ketidakstabilitasan moneter. Stabilitas moneter dan operasi efisien dari sistem moneter membutuhkan subordinasi kebijakan domestik terhadap peraturan internasional. Jika pemerintah menciptakan terlalu banyak uang, inflasi yang diakibatkan olehnya dapat mentidakstabilkan hubungan moneter internasional.

Dalam sistem uang kertas yang diciptakan saat setelah runtuhnya kesepakatan Britton Wood ,pemerintah harus meminjam untuk menciptakan uang dan membayar bunga kepada bank , sehingga melahirkan utang nasional ( SUN). Setiap uang yang dicetak diciptakan dari utang , ini disebabkan karena pemerintah meminjam dari bank , maka apabila target pajak tidak dipenuhi ,pinjaman tersebut untuk menutupi anggran belanja negara. 

           Persoalan kenapa pemerintah akhirnya yang meminjam uang , pada sisitim ini hanya bank yang berhak menciptakan uang . Uang yang mereka ciptakan kemudian mereka alirkan kedalam ekonomi dalam bentuk kredit  ( pinjaman,utang )dengan bunga tertentu. Tidak ada institusi lain yang menciptakan uang kecualai bank, mereka menguasai suplai uang.  Seluruh dunia mengadopsi sistem ini tidak kecuali Indonesia , Tahun 2011 melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Bank Indonesia disahkan sebagai pemegang hak monopoli menerbitkan uang kertas di Indonesia , Dan larangan menggunakan mata uang lain yang diedarkan di Indonesia, dengan kemungkinan pengecualian atas mata uang tertentu yang memiliki daya hard currency . Sistem Fiat money pada prespektif lain mengebalorasi bebrapa bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Idonesia, sebagaimana telah diuraikan dimuka. Struktur ideal peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lembaga keuangan akhirnya mengeliminir peraturan-peraturan dasar sistem perekonomian negara. 

            Kelahiran sistem alat pembayaran yang tidak lagi didukung oleh emas , atau dalam perkataan lain  sistem uang benar-benar kertas ini mendudukan alat pembayaran dalam sistem lembaga keuangan nasional pada prinsipnya mengkontraksikan dirinya pada apa yang disebut sebagai utang, jadi uang kertas mode fiat money sebenarnya adalah uang berdasarkan utang. Problematika yang menyertai uang kertas ini menyangkut dua hal-hal sebagai berikut  :

1) Menciptakan bunga bank, bank hanya menciptakan utang  ( kredit,pinjaman ) pokok,tetapi tidak menciptakan bunganya. Jadi sampai kapanpun tidak aka nada cukup uang didalam sistem untuk melunasi semua utang yang ada.

2) Uang uncul dalam bentuk utang . etiap kontrak utang ada durasinya maka uang tidak memiliki eksistensi secara permanen di masyarakat.

Persoalan –persoalan diatas menyebabkan semua uang cepat atau lambat disedot menjadi modal  ( laba ditahan ) oleh perbankan. Pemilik sistem ini akan memiiki semua uang yang berada di masyarakat manapun. Semua orang secara langsung atau tidak langsung adalah penyewa uang mereka . Mereka ( bank ) beroperasi menciptakan  mekanisme yang menyebabkan kekurangan atau kelangkaan buatan ( artificial shortage ).

      Penggunaan uang kertas secara meluas diseluruh dunia telah membuatnya diakaui sebagai uang yang berfungsi sebagai alat pertukaran ,alat penyimpan nilai ,alat pengukur nilai dan alat bayaran untuk masa depan. Proses penciptaan uang adalah bagian dari kesadaran bersama umat manusia dewasa ini bahwa uang itu tak bernilai apapaun yang digunakan sebagai alat pendapatan untuk meraih kekayaan sehingga pasokan uang selalu  meningkat karena pemakaiannya. Ia membesar karena utang dan bunga . Semakin banyak uang dicetak ,kemudian dipinjamkan secara berbunga,semakin banyak uang yang dimiliki oleh peminjam . Uang menjadi alat menciptakan kekayaan dari sesuatu yang tidak ada ( tiada ) menjadi ada. Peminjam melibatkan seluruh aspek kehidupan dari negara dan warga negaranya, mencetak uang bukan hak pemerintah akan tetapi hak Bank Sentral, sehingga kalau negara kekurangan uang , negara tidak mencetak uang akan tetapi negara harus ber utang pada Bank Sentralnya ( Bank Indonesia ). Untuk itulah Kementerian Keuangan mengeluarkan Surat Utang Negara ( SUN ) yang jumlahnya akan dijadikan uang oleh Bank Indonesia. Mekanisme ini menjadi hal yang disadari oleh negara-negara di dunia, bahwa komposisi negara dan warga negaranya adalah penghutang terbesar, kemauan ber utang disiapkan dalam mekanisme berikut  :

a. Pemerintah membutuhkan uang , maka pemerintah menghubungi Bank Sentralnya, untuk meminta uang misalnya di Indonesia , Pemerintah Indonesia membutuhkan dua triliun rupiah. 

b. Kementerian Keuangan RI ( Pemerintah ) mengisi secarik kertas yang mereka sebut Surat Utang Negara ( SUN) sebesar dua triliun dan mengirim surat tersebut ke Bank Indonesia.

c. Bank Indonesia mencetak uang sebesar dua triliun rupiah ,dan setelah itu terjadilah pertukaran SUN dengan nilai uang 2 triliun rupiah.

d. Uang disebar keseluruh perbankan , dan Sertifikat SUN diperjual belikan melalui otoritas keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Kemudian msyarakat menerima dan menyimpannya di bank. Bank harus memenuhi cadangan minimum ( reserve ratio). Cadagan minimum perbankan adalah porsi uang deposan yang wajib dicadangkan oleh perbankan . Jika rationya 10 % , untuk setiap 10 juta yang ditabung oleh seorang deposan, bank harus mencadangkan 1 juta dan hanya bisa menciptakan kredit ( uang ) sebesar 9 juta kedebitur mereka . 

           Proses ini terjadi menggunakan transaksi elektronik . dengan demikian kita hanya mengetikan angka yang kita mau di keyboard kita. Kita tidak memiliki uang riil karena 90 % adalah uang digital dan 10 % uang riil yang disetorkan nasabah dan diambil nasabah. Sembilan puluh porsen uang digital itu kemudian ditransfer untuk para kreditur dan jika mereka tidak bisa membayar , bank bisa mengambil asset riil kreditor sebagai jaminannya yang berupa tanah dan rumah, kendaraan , perusahaan dan harta kekayaan lainnya. Bank tidak semata –mata meberikan uang bagi nasabahnya akan tetapi juga bertindak untuk merebut kekayaan nasabah .menurut Frasmigi Kamasa bank dengan sengaja melakukan terorisme financial karena pada dasarnya ia menggunakan uang nasabah yang diklaim sebagai dana milik bank untuk diberikan pada kreditur dan jika terjadi kredit macet asset disita menjadi milik bank bukan milik nasabah. Padahal sesungguhnya bank tidak memiliki uang, uang itu adalah uang utang pemerintah bank Bank Sentral ( Bank Indonesia ).

            Apabila pemerintah tidak mampu membayar utang beserta bunganya, Bank Sentral (BI ) beserta lembaga kreditur internasional mendesak pemerintah untuk melakukan privatisasi BUMN . Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Soeharto, dimana pada tahun 1997/1998 krisis keuangan terbesar yang menyeret pemerintah Soeharto masuk jurang ekonomi dan rontoknya rezim Soeharto.Kejadian ini adalah merupakan  bentuk penipuan terbesar dan skandal  di Indonesia  dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Frassminggi mengagap bahwa proses penciptaan uang adalah penipuan. Pasokan uang meningkat karena pemakaiannya. Ia membesar karena utang dan bunga. Semakin banyak uang dicetak , kemudian dipinjamkan secara berbunga ( kredit / utang berbunga) , semakin banyak uang yang dimiliki oleh pihak peminjam . Mereka menciptkan kekayaan dari sesuatu yang tiada.  Uang yang tercipta dari proses utang tersebut membuat semakin banyak utang dan untuk menutupinya harus dilakukan dengan banyak mencetak uang ( untuk semakin banyak tercipta uang agar tersedia likuiditas untuk menutupi ). Semua dilakukan dalam uang elektronik dalam bentuk byte. Dalam tataran dunia umat manusia kesadaran persuasive maksimal  pencetakan uang sudah memasuki ambang batas kebutuhan antara ketakutan under produksi dan under  konsumsi, paranoid ekonomi semakin menjadi-jadi manakala kebutuhan akan barang berlebih tidak diimbangi dengan konsumerisme yang berlebih pula, sehingga kebutuhan akan uang sekarang ini adalah juga harus diciptakan uang semu atau bayangan layar kaca, secara simultan ia dpat ditampilkan pada jutaan layar computer diatas jutaan meja di seluruh dunia. Akan tetapi pada kenyataannya ia tidak ada dimana-mana dan tidak diperlukan lemari besi untuk menyimpanya, mirip sekema ponzi yang pada intinya adalah gali lobang dan tutup lobang. Pada akhirnya lubang yang harus ditutup terlalu banyak dan satu pihak tidak mampu melunasi kewajibanya kepada pihak lain. Inilah dunia kesadaran persuasive maksimal manusia diseluruh jagad raya ini, sistem ini sangat menguntungkan banker dan menjerat negara, bahkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris , Jerman, Jepang dan China harus berutang untuk kebutuhan uangnya. Dalam segala hal ternyata negara berada dalam kondisi keuangan yang mengerikan kembali pada pemotongan program yang diperlukan, merumahkan orang dan menaikkan pajak. Ini telah terjadi selama beberapa tahun, dan sudah barang tentu krisis perbankan telah mencapai tingkat mengerikan di beberapa negara. 

         Penciptaan fisik uang melalui apa yang diuraikan diatas terjerembab dalam sistem akuntansi Fractional Reserve Banking (FRB) adalah jantung dari masalah moneter bagai penyakit menjangkiti kesadaran persuasive maksimal manusia dan sekarang perlahan tapi pasti telah meruntuhkan perekonomian dunia. Bahwa sistem  dimana uang diciptakan diberikan sebagai pengganti utang negara (SUN) . 

           FRB atau dalam pengertian Bank Indonesia Cadangan (Giro) Wajib Minimum (GWM) adalah suatu praktek perbankan untuk menyimpan hanya sebagian (fraction ) dalam simpanan masyarakat selebihnya dapat dimanfaatkan bank sebagai pinjaman kepada pihak lain , sambil tetap mempertahankan kemampuan bank untuk mengembalikan dana simpanan masyarakat kapanpun diminta. FRB adalah cara untuk menciptakan kredit yang berlipat ganda dari tabungan nasabah atau cadangan modal . Misalnya sebuah bank memiliki dana dari tabungan nasabah atau dari bank sentral ( Pembelian SBI )  sebesar Rp 100 miliar . Berdasarkan FRB , bank hanya mempunyai kewajiban menyimpan dana tabungan  itu sebesar 10 % atau sebesar  10 miliar, kemudian meminjamkannya kepada pihak lain atau bahkan menggunakanya sebesar 90 miliar. Dengan jumlah beberapa bank umum beroperasi di negara itu, maka kita berasumsi bahwa peminjam ( debitur ) tidak akan menarik uangnya (utangnya/kreditnya ) dan membawanya kerumah dan disimpan di bawah bantal , melainkan disimpan di bank . Maka oleh pihak bank uang sebesar Rp 90 miliar ini juga boleh dipinjamkan lagi sebanyak 90 % , yaitu Rp 81 miliar , sementara , sisanya sebanyak 10 % yaitu Rp 9 miliar di jadikan cadangan. Hal yang sama terjadi dari ini, 90 % nya boleh dipinjamkan lagi dan sisanya ( Rp 8,1 ) miliar di jadikan cadangan . Hal ini bisa terjadi seterusnya sehingga uang yang tadinya hanya Rp 100 miliar bisa menciptakan kredit akumulasi sebesar Rp 900 miliar.

       Prinsip perbankan modern setelah era Britton Wood   yang menghasilkan sistem fractional banking . Sistem ini menciptakan likuiditas  bukan dari uang seperti apa yang kita kenal, uang kertas dan uang logam, tapi dari uang bank yang dihasilkan melalui proses penciptaan uang ( money creation ). Kesadaran persuasive yang diterapkan tentu bukan lagi suatu kehendak asal dari tindakan persuasive minimal yaitu uang adalah emas , atau perak.  Kesadaran  persuasive maksimal dalam mencapai suatu tujuan , tidak lagi berupa sebuah eksistensi sama dengan esensi, yaitu ketika uang dalam sistem FRB diciptkan uang tidak menjadikan alat tukar berharga , yang esensinya adalah kertas benar-benar kertas.yang berada dalam alam digital. Bagaimna uang diciptakan inilah mengubah esensi sendiri pada  anatomi uang , sesuatu yang tidak bernilai atau nol . Kesadaran persuasive maksimal tindakan memproduksi uang kertas dari ketiadaan diproduksi oleh para bankir tapi bisa mendapatkan apa-apa yang karena tidak liquid maka FRB menjadi liquid menguasai kekayaan yang bukan muncul dari keringat dan jerih payah , sementara kertas yang dikatakan sebagai uang digunakan untuk memberikan nilai pada jerih payah riil masyarakat luas. Karena uang tidak bernilai secara intrinsik ( nilai didalam uang itu ), maka penggunaan uang kertas sebagai pemberi nilai terhadap jerih payah aktivitas /aspek-aspek ekonomi.Pola kehidupan manusi dengan kesadaran persuasive maksimalnya tidak ada seorangpun  membuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk, membiarkan eksploitasi terhadap masyarakat luas, dalam teori quitas adalah membiarkan mati dari pada diktakan sebagai pembunuh. Bagimana cara kerja kesadaran persuasive maksimal tentang uang kertas dalam sistem FRB berikut ilustrasinya 

Anggap saja anda memiliki simpanan Rp 1 miliar dan anda sinpan di Bank A. Bank Indonesia mewajibkan Bank A hanya mencadangkan 5% atau Rp 50 juta. Selebihnya , Rp 950 juta , oleh Bank A dapat dipinjamkan kepada Bank B , oleh Bank B dengan hanya mencadangkan 5% nya Rp 47,5 juta, dari uang pinjaman tersebut , dapat dipinjamkan Bank B ke bank C sebesar 95 % -nya atau Rp 902,5 juta. Bank C kemdian meminjamkannya lagi ke Bank D ,demikian seterusnya . Dengan teori FRB , uang yang tadinya hanya Rp 1 miliar dengan minimum reserve 5 % dapat menghasilkan liquiditas yang berlipat-lipat . Namun mereka tidak meminjam gratis mereka mewajibkan membayar bunga over night  Hal ini dapat dilihat dalam skema berikut : 

      Likuiditas              Bank          Cadangan            Pinjaman

1.000.000.000 Bank A 50.000.000 950.000.000

950.000.000 Bank B 47.500.000` 902.500.000

902.500.000 Bank C 45.125.000 857.375.000

857.375.000 Bank D 42.868.750 814.506.250

814.50.6250 Bank E 40.725.313 773.780.938

773.780.938 Bank F 38.689.047 735.091.891

5.298.162.188 264.908.109 5.033.254.078


Sumber :the age of deception,frasinggi kamasa,hal.176

Dari tabel diatas apabila and panik dengan kondisi ekonomi atau mengalami kesulitan likuiditas , lalu anda menarik simpanan anda Rp 1 miliar dari Bank A apa yang terjadi, sistem perbankan berpotensi kehilangan likuiditas , bukan hanya Rp 1 miliar, melainkan Rp 5,2 miliar uang bank yang tercipta melalui FRB tersebut. melembagakan sistem uang berdasar pada  kejahatan keuangan yang terorganisasi, sehingga memungkinkan bergabung dengan penjahat . Albert Einstein pernah berkata, "Kita tidak bisa memecahkan masalah dengan menggunakan jenis yang sama berpikir kita digunakan ,ketika kita menciptakan mereka." Empat puluh delapan negara saat ini memiliki defisit anggaran dan banyak layanan untuk kesejahteraan dipotong dengan tujuan, menutup kesenjangan 'fiskal' berjumlah rata-rata 24% pada tahun 2010. 

       Berbeda dengan sistem Classical gold standard yang digunakan pada awal  Bretton Wood sistem financial dan moneter yang mana memunculkan sebuah standar pertukaran yakni pertukaran emas.  Pada teorinya pertukaran emas bersifat otomatis dalam sistem pasar laissez faire namun pada praktiknya mengacu pada teori Fixed Exchange rate.

2.    Teori fixed ecxchange rate

        Teori ini menganjurkan adanya  stabilitas perekonomian terhadap penyesuaian nilai tukar dan struktural perekonomian negara-negara anggota bretten woods. Oleh karena itu selama 25 tahun sejak berlakunya sistem bretten woods ini disebut sebagai the golden years, sebagai masa keemasan ekonomi global dan berlaku sistem fixed ecxchange rate yang dipakai dalam sistem bretton woods  mengaitkan  dollar AS dengan harga emas. Sistem ini tidak bertahan karena harga emas  mengalami  kenaikan dan  mereka tidak lagi mau meimiliki uang dolar , maka banyak negara-negara Eropa yang memiliki caadangan emas yang banyak menukarkan dollar AS dengan emas akibatnya persediaan emas di fort knox manjadi  berkurang, ketika itulah yaitu pada tahun 1972 Amerika tidak mematuhi sistem ini dan menyatakan bahwa uang dolar tidak didukung oleh emas , dengan adanya deklarasi amerika inilah seluruh aktifitas moneter dunia berubah total lahirlah apa yang disebut dengan volatilitas  sebagai norma baru peredaran uang kertas . Norma baru universal ini yang diklaim oleh neoliberalisme  sebagai sistem keuangan dunia , yang semula pada awal Britton Wood sangat ditentang, akan tetapi sekaang sebagai prinsip dasar dan penggerak sistem menahan modal ( capital rate )dan menjadi penggerak keuangan dunia. Dengan kata lain bahwa pada saat umat manusia disandingkan pada konferensi tentang uang di Britton Wood menginginkan dan mempertahankan stabilitas keuangan dunia  ( stabilitas relatif  dolar ) dan mata uang lainnya, akan tetapi sekarang justru ketidak stabilan menjadi hal yang dinginkan /faktor utama dalam operasi pasar  .

      Norma universal yang bernama Volatilitas ini mempengaruhi beroperasinya investasi dunia yang dikenal dengan sebutan footloose investments yaitu investasi yang tidak terikat dengan aturan yang mengharuskan pemilik modal untuk menanamkan modalnya dalam jangka waktu tertentu , sehingga pemilik modal dengan mudah sewaktu-waktu berpindah/mengalokasikan modalnya ditempat lain yang dianggap menguntungkan. Konsep ini telah menggiring pola legal opinion di Indonesia yang mengerakan uang dalam bentuk investasi jangka pendek , karena jangkauan model footloose investment bukanlah pembangunan infrastruktur jangka panjang atau ptoyek-proyek jngka panjang lainnya, akan tetapi mengalirnya dana ke Indonesia adalah pada sector non riil yaitu pasar saham dan valuta asing yang sudah dileberalisasikan oleh pemerintah Indonesia dengan keluarnya beberapa peraturan perundang-undang dibidang investasi dan pasar modal ,serta adanya amandemen dibidang perbankan. Kondisional inilah yang memungkinkan pinjaman dan bantuan keuangan  dari lembaga keuangan internasional masuk ke Indonesia melalui IMF dan Worl Bank .  


3.   Teori Fiat Money

       Berakhir  sistem Bretton Wood  maka berlaku teori  Float exchange rate ( bergerak stabil atas kontol negara ). pada masa pemerintahan presiden Nixon untuk menyelamatkan devisa emas Amerika Serikat karena Perang Vietnam yang mengakibatkan pengeluaran besar-besaran sehingga amerika harus menanggung devisit yang akut dalam perekonomian AS.  Sehingga nixon mengeluarkan kebijakan bahwa dolar tidak lagi dijamin dengan emas . Kebijakan AS paada 15 agustus 1971 sebagai awal lahirnya sistem Fiat Money  ( uang benar-benar kertas ) . Uang kertas dikenal sebagai fiat money yang artinya uang yang tidak dijamin ( back-up ) oleh emas atau apapun. Menurut difinisi fiat money adalah uang foral yang berdasarkan otoritasi moneter atau pernyataan yang mengungkapkan skema yang disarankan atau aksi rencana dalam konteks ekonomi, moneter, bisnis, dan komersial.






BAB II

KONSEP KEBIJAKAN MONETER



A. Konsep Dasar

1.  Rumusan Dasar

     Konsep dasar  kebijakan moneter  yang umum dipergunakan dalam membahas kebijakan moneter meliputi   :

a. Target

b. Indikator

a.  Target

      Target akhir (ultimate target) kebijakan moneter adalah variabel-variabel yang ingin dicapai oleh otoritas moneter. Untuk memudahkan, karena di kebanyakan negara otoritas moneter adalah bank sentral, maksud target di sini .adalah variabel yang_ ingin dicapai oleh bank sentral. Indikator kebijakan moneter adalah variabel-variabel yang ingin dikontrol oleh bank sentral agar sasaran akhir dapat dicapai: Indikator juga disebut sebagai sasaran menengah atau intermediate target dalam usaha mencapai sasaran akhir dari kebijakan moneter. Sementara itu, instrumen kebijakan moneter, sesuai dengan istilahnya, adalah sepe-rangkat variabel yang dimiliki dan sepenuhnya dapat digunakan oleh bank sentral untuk mengontrol indikator sedemikian rupa sehingga target yang ditetapkan dapat dicapai. 

         Target kebijakan moneter, dapat dijelaskan bagaimana proses bank sentral dalam menetapkan kebijakan moneter.   Pertama-tama bank sentral menetapkan target yang ingin dicapai; apakah kestabilan harga, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, atau neraca pembayaran yang seimbang. Target tersebut ditetapkan agar sasaran akhir kebijakan ekonomi, yaitu kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Berhubung variabel-variabel utama pasar uang, yaitu suku bunga dan jumlah uang beredar mempunyai peranan yang menentukan apakah target-target tersebut dapat dicapai atau tidak, tahap berikutnya ialah memilih variabel pasar uang yang paling tepat untuk dikontrol agar perkembangannya dapat menunjang tercapainya sasaran.  Variabel-variabel pasar uang tersebut disebut sebagai indikator.

b. Indikator 

    Kesepakatan yang menujukan sesuatu dalam mencapai sasaran adalah  indikator sexing bergejolak sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kekuatan-kekuatan yang bergerak di pasar uang, yaitu permintaan dan penawaran uang, indikator yang dipilih harus dapat dikendalikan dengan baik untuk kemudian diarahkan agar perkembangannya menunjang usaha pencapaian target yang telah ditetapkan. dalam menerapkan kebijakan  yang terdiri dari  yaitu : 

i. Reserve Requirement,

ii. Open Market Operation,

iii. Discount Rate Policy.  

                  Sebagai ilustrasi, gambaran tetrhadap instrument tersebut adalah kebijakan sebelum reformasi pada tanggal 1 Juni 1983,untuk menjelaskan perbedaannya  bagaimaina kebijakan yang pernah diterapkan oleh Pemeintah dan Bank sentral , adalah  Sebagaimana diketahui, sebelum 1 Juni 1983, pengaturan jumlah uang beredar adalah secara langsung, yaitu melalui penetapan pagu aktiva neto perbankan dan penetapan suku bunga.

         Kebijakan moneter tersebut mengakibatkan variabel-variabel indikator tidak lagi sebagai variabel bebas sehingga fungsinya sebagai sasaran antara telah berubah menjadi instrumen yang sepenuhnya dapat dikontrol oleh bank sentral. Dengan berlakunya sistem tersebut, peranan operasi pasar terbuka dan discount rate policy sebagai pengatur tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar menjadi tidak penting bahkan tidak diperlukan. Demikian juga peranan reserve requirement tidak berfungsi sebagai pengatur jumlah uang beredar, tetapi lebih berperan sebagai alat untuk menjaga agar bank-bank tetap likuid sehingga dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya.

          Reformasi moneter yang dilakukan  setelah pada  reformasi, baik jumlah uang beredar maupun suku bunga tidak lagi dikontrol secara langsung. Kebijakan tersebut mengubah sifat kedua variable tersebut menjadi variabel bebas yang perlu dikendalikan secara tidak langsung atau yang disebut sebagai sasaran antara. Dengan sistem baru tersebut, piranti operasi pasar terbuka dan discount rate policy mutlak perlu dikembangkan agar bank sentral dapat mengatur jumlah uang beredar atau suku bunga dengan efektif.  Demikian juga, reserve requirement tidak lagi hanya berfungsi untuk menjaga bank-bank tetap likuid, tetapi. bila diperlukan, dapat juga digunakan sebagai instrumen yang ampuh untuk mengatur jumlah uang beredar dan suku bunga.

    Target kebijakan ekonomi pada umumnya juga merupakan target kebijakan moneter, yaitu stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi jangka panjang, kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran. Stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran merupakan sarana pendukung untuk tercapainya sasaran akhir dani kebijakan ekonomi, yaitu kesejahteraan masyarakat.  Konsep utama  dari kebijakan moneter adalah , semua target kebijakan moneter tersebut dapat dicapai secara serempak dan optimal. Di Indonesia misalnya, kebijakan moneter yang ditempuh oleh bank sentral —sebelum UU BI No. 23 Tahun 1999 diharapkan secara serempak dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah, tingkat inflasi yang rendah, dan terpeliharanya keseimbangan neraca pembayaran. Namun berhubung sasaran-sasaran tersebut satu sama lain mengandung unsur-unsur yang bersifat kontradiktif, untuk mencapai semua sasaran dengan optimal dan serempak adalah sesuatu yang boleh dikatakan tidak mungkin.

           Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja, tindakan tersebut mempunyai dampak yang tidak menguntungkan terhadap kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Ekspansi moneter yang berlebihan cenderung mendorong laju inflasi, yang pada gilirannya akan memengaruhi kegiatan ekspor, impor barang dan jasa. Sebaliknya, kebijakan moneter yang ketat dapat menunjang tercapainya kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun, kebijakan tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga yang pada gilirannya akan menghambat investasi dan produksi, yang akan mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan meluasnya tingkat pengangguran.  Berdasar  teori ekonomi peristiwa tersebut  dikenal  dengan kebijakan  " trade-off  "  antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dalam menetapkan kebijakan moneter, bank sentral dihadapkan kepada dua pilihan. 

1. Pilihan pertama, bank sentral dapat memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dan mengabaikan sasaran lainnya. Misalnya, memilih tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengabaikan tingkat inflasi. 

2. Pilihan kedua, bank sentral memilih pencapaian semua sasaran secara serempak, tetapi tidak ada satu pun yang dicapai dengan optimal. Misalnya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tidak begitu tinggi demi tetap terpeliharanya tingkat inflasi yang masih dapat ditoleransi.

3. Ketiga apakah arah suatu kebijakan moneter tetap tertuju kepada sasaran yang ingin dicapai atau tidak, sekaligus sebagai pengukur sejauh mana pencapaian basil dari kebijakan moneter. Ibarat sebuah kompas, indikator merupakan pembimbing kebijakan moneter menuju pencapaian sasaran yang diinginkan. Indikator atau intermediate target tersebut adalah variabel-variabel ekonomi yang memengaruhi keseimbangan pasar uang. Terdapat dua pilihan variabel yang dapat digunakan, yaitu tingkat suku bunga (interest rate) dan jumlah uang beredar (monetary aggregate).

4. Keempat pilihan Suku Bunga Untuk memperjelas bagaimana tingkat suku bunga dapat berfungsi sebagai indikator, berikut ini diberikan suatu ilustrasi. Misalnya, bank sentral menetapkan bahwa suku bunga sebesar x% per tahun adalah tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong kegiatan investasi yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu. Untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya dibutuhkan waktu yang cukup panjang. Apabila dalam perjalanan waktu ternyata suku bunga menunjukkan kenaikan sehingga melampaui angka yang ditetapkan, bank sentral akan segera melakukan ekspansi moneter dengan harapan suku bunga turun sampai pada tingkat tersebut. Sebaliknya, apabila suku bunga menurun, bank sentral akan melakukan kontraksi moneter. Petunjuk tersebut terlihat bahwa dengan kebijakan moneter,suku bunga akan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga tetap stabil, sementara itu, jumlah uang beredar (monetary aggregate) akan bergejolak naik dan turun demi mempertahankan suku bunga tetap pada tingkat yang diinginkan. Bergejolaknya monetary aggregate ini dapat mengakibatkan terganggunya kestabilan harga.

5. Kelima  adalah Pilihan uang Beredar,  berbeda  dengan suku bunga, jumlah uang beredar sebagai indikator akan memberikan dampak positif, yaitu tingkat harga yang stabil karena apabila jumlah uang beredar bergejolak, bank sentral akan melakukan tindakan kontraksi atau ekspansi moneter sehingga jumlah uang beredar akan relatif konstan pada suatu jumlah yang ditetapkan. Namun demikian, kebijakan ini akan mengakibatkan suku bunga bergejolak karena gejolak permintaan akan uang tidak diimbangi oleh penawaran akan uang. Dari uraian di atas terlihat bahwa baik suku bunga maupun jumlah uang beredar, selain sebagai indikator juga berfungsi sebagai `sasaran antara' yang ingin dikontrol oleh bank sentral dalam rangka mencapai target akhir yang telah ditetapkan. 

2     Instrumen Kebijakan Moneter 

         Instrumen Kebijakan Moneter Untuk dapat mengontrol indikator, baik tingkat suku bunga maupun uang beredar, bank sentral perlu melakukan intervensi dengan menggunakan instrumen-instrumen yang dimiliki. Secara umum, instrumen yang biasa digunakan dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni instrumen langsung dan instrumen tidak langsung. 

a. Instrumen Langsung .

          instrumen langsung  digunakan oleh  otoritas moneter dapat secara langsung menggunakan instrumen tersebut ketika dibutuhkan. Unsur instrument langsung adalah sebabagi berikut :

a) penetapan suku bunga.

b) pagu kredit,

c) rasio likuiditas,

d) kredit langsung, 

e) kuota rediskonto,

f) pengguntingan uang, 

g) pembersihan uang

h) penetapan uang muka impor

 a)   Penetapan Suku Bunga

           Penetapan suku bunga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan bank sentral dalam rangka kebijakan moneter. Teknisnya, bank sentral menetapkan tingkat suku bunga, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga pinjaman. Dengan penetapan tingkat suku bunga ini, bank sentral dapat melakukan ekspansi dan kontraksi moneter sesuai kebutuhan. Akan tetapi, dengan makin mengglobalnya perekonomian dunia, penetapan suku bunga makin hari makin tidak efektif. Lagi pule, efektivitas penetapan suku bunga akan sangat tergantung pada penegakan aturan dari pihak regulator, dalam hal ini bank sentral.

        Di masa lalu, Indonesia pernah menggunakan instrumen inisebagai salah satu langkah dalam kebijakan moneternya. Namun, kinisudah tidak lagi. Besaran suku bunga, baik simpanan maupun pinjaman, dilepas ke mekanisme pasar. Di beberapa negara di dunia, suku bunga masih digunakan sebagai instrumen kebijakan moneternya hingga dekade 80-an (Alexander, et al.: 1995)

 b)    Pagu Kredit

      Selain menetapkan suku bunga, bank sentral juga dapat menjaga likuiditas di pasar dengan menetapkan besaran maksimum kredit perbankan yang dapat disalurkan, yang 1azirn disebut sebagai pagu kredit (credit ceilings). Berapa maksimum bank menyalurkan kreditnya diatur oleh otoritas moneter. Dengan pembatasan kredit ini, jumlah uang beredar dapat dikendalikan. Pagu kredit inilah yang dinaik turunkan sesuai kebutuhan.

c)  Rasio Likuiditas

         Bank sentral juga dapat mewa- jibkan bank-bank, selain memelihara cadangan tertentu, memelihara surat berharga tertentu atau valuta asing tertentu dengan proporsi yang ditetapkan. Biasanya langkah ini dilakukan untuk membiayai anggaran pemerintah melalui surat berharga. Dengan rasio likuiditas tersebut secara otomatis bank-bank wajib menyimpan surat berharga sebagai cadangan.

       d).  Kredit Langsung

    Pada era prakrisis kita mengenal apa yang disebut dengan kredit likuiditas di mana Bank Indonesia memberikan kredit untuk keperluan prioritas tertentu. Misalnya terkait dengan program atau proyek tertentu yang tengah digalaidan oleh pemerintah. Kredit langsung ini merupakan salah satu bentuk instrumen langsung yang dapat dikendalikan bank sentral. Namun, kini instrumen langsung ini tidak lagi digunakan karena dianggap tidak efektif dan sangat mahal.

        e). Kuota Penjualan Kembali Surat Berharga

Bank sentral dapat menetapkan kuota untuk penjualan kembali surat berharga yang belum jatuh tempo. Biasanya ditransaksikan dengan tingkat bunga di bawah tingkat bunga pasar uang antarbank. Sebenarnya, instrumen langsung ini tidak ubahnya pemberian kredit oleh bank sentral secara langsung, hanya raja dijamin dengan surat berharga pasar uang. Kuota biasanya diberikan sebagai insentif kepada sector tertentu.

    f).  Pengguntingan Uang 

     Perkembangan moneter di berbagai negara ter- masuk di Indonesia, tercatat pernah ditempuh kebijakan moneter yang dilakukan dengan Cara pengguntingan uang. Cara ini ditempuh untuk mengurangi uang beredar. Indonesia pernah melakukannya pada tahun 1950 yang dikenal dengan Hama "Gunting Sjafruddin". Dengan langkah ini, uang beredar akan berkurang langsung sebesar persentase tertentu, sedangkan sisanya diganti dengan surat berharga. 

     g).  Pembersihan Uang

          Instrumen lain yang juga pernah dikenal adalah pembersihan uang. Agak sedikit berbeda dengan pengguntingan uang, nilai uang diturunkan dengan persentase tertentu tanpa ada penggantian untuk jumlah yang diturunkan. Indonesia tercatat pernah menggunakan .  Instrumen ini empat kali, yakni pada tahun 1959 (penurunan menjadi 10%), 1946 (penurunan menjadi 3% di mana satu rupiah Jepang menjadi satu tiga sen uang NICA), 1949 (penurunan menjadi 1%, di mana .100 rupiah Jepang menjadi satu rupiah ORI), dan 1966 (penurunan menjadi 0,1%, di mana 1.000 rupiah menjadi 1 rupiah). Dengan langkah ini diharapkan terjadi penurunan jumlah uang beredar.

    h.) Penetapan Uang Muka Impor

      Instrumen langsung lain yang dikenal adalah penetapan uang muka impor. Melalui kebijakan ini, importir yang akan melakukan transaksi pembelian dari luar negeri diwajibkan menyetor sejumlah persentase tertentu sebagai uang muka untuk pembelian valuta asing. Dengan cara ini, uang beredar dapat dikendalikan. 

    Dari beberapa jenis instrumen langsung tersebut tampak bahwa beberapa di antaranya pernah dilakukan oleh otoritas moneter Indonesia pada era prakrisis. Sebut saja misalnya penetapan tingkat suku bunga, pagu kredit, bahkan pembersihan uang. Namun, hampir semua instrumen langsung tersebut kini sudah tidak banyak diterapkan lagi, mengingat efektivitasnya yang makin berkurang.  

      b.  Instrumen Tidak Langsung

Instrumen Tidak L angsung Disebut instrumen tidak langsung karena instrumen ini tidak secara langsung memengaruhi uang beredar. Akan tetapi, melalui instrument inilah, pada akhirnya jumlah uang beredar dapat dikendalikan. Seperti juga instrumen langsung, terdapat banyak jenis instrumen tidak langsung yang pada umumnya terdiri dari cadangan wajib minimun, fasilitas diskonto dan rediskonto, operasi pasar terbuka, fasilitas simpanan bank sentral, intervensi valuta asing, fasilitas overdraft, simpanan sektor pemerintah, lelang kredit, moralsuasion, serta berbagai instrumen dengan pola syariah.

a. Cadangan Wajib Minimum

            Cadangan wajib minimum atau reserve requirement adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar persentase tertentu Bari kewajiban lancarnya. Semakin kecil persentase tersebut semakin besar kemam- puan bank memanfaatkan reserve-nya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar. Sebaliknya semakin besar persentase semakin berkurang kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Cadangan ini bisa dijaga dalam bentuk kas atau dalam bentuk re- kening giro di bank sentral. Biasanya cadangan dibedakan dalam dua bentuk, yakni cadangan primer dan cadangan sekunder. Yang dimaksud dengan cadangan wajib minimum lebih mengacu kepada cadangan primer. 

            Sementara itu, cadangan sekunder merupakan tambahan. Biasanya terdiri atas surat-surat berharga. Besarnya cadangan primer bisa ditentukan setiap hari dan bisa pula ditentukan secara rata-rata satu periode, misalnya mingguan atau bulanan. Atas Jana cadangannya di bank sentral dalam bentuk rekening giro, ada yang diberi bunga atau tidak. Kalaupun diberi, biasanya di bawah tingkat bunga pasar. Termasuk instrumen tidak langsung karena besaran cadangan itu akan mengurangi kemampuan bank-bank dalam menyalurkan kredit. Ketika persentase cadangan diturunkan, maka kemampuan bank untuk menyalurkan kredit akan makin besar. Ini berarti akan terjadi ekspansi moneter. Demikian sebaliknya, apabila cadangan dinaikkan, maka kemampuan bank untuk menyalurkan kredit akan berkurang. Ini berarti terjadi kontraksi moneter. Pada sisi lain, tingkat suku bunga juga terpengaruh. Ketika cadangan primer diturunkan, maka biaya dana juga akan menurun yang pada gilirannya akan menurunkan bunga kredit. Sebaliknya, ketika cadangan primer dinaikkan, akan meningkatkan biaya dana yang pada gilirannya akan menaikkan bunga kredit.

b. Fasilitas Diskonto dan Rediskonto

    Fasilitas diskonto atau discount rate policy adalah kebijakan moneter dalam memengaruhi jumlah uang beredar melalui pengaturan suku bunga pemberian kredit bank sentral kepada bank-bank. Apabila bank sentral menetapkan tingkat diskonto lebih tinggi, bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar menurun. Sebaliknya, apabila bank sentral menetapkan diskonto lebih rendah bank-bank akan meningkatkan permintaan kredit ke bank sentral untuk disalurkan lebih lanjut berupa pemberian pinjaman, sehingga jumlah uang beredar meningkat.

c.  Operasi Pasar Terbuka

     Operasi Pasar Terbuka ( OPT ) merupakan instrumen yang paling banyak digunakan oleh otoritas moneter dalam melaksanakan kebijakan moneter mengingat instrumen ini lebih berorientasi pasar, keterlibatan peserta tidak mengikat, arah kebijakannya mudah ditangkap pelaku pasar, dan tidak membebankan pajak pada bank (Gray, et al.: 2000).

      Operasi pasar terbuka adalah kegiatan bank sentral melakukan jual beli surat-surat berharga jangka pendek dalam rangka mengatur jumlah uang beredar atau suku bunga jangka pendek. Apabila bank sentral bermaksud mengurangi jumlah uang beredar, bank sentral akan menjual surat-surat berharga kepada bank-bank agar reserve bank-bank berkurang sehingga kemampuan bank-bank memberikan pinjaman menurun. Tindakan ini disebut kontraksi moneter. Sebaliknya, untuk menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan membeli surat-surat berharga untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar meningkat. Pembelian atau penjualan surat-surat berharga tersebut dapat pula dilakukan oleh bank sentral dari/kepada masyarakat agar langsung dapat menambah/mengurangi jumlah uang beredar. Sama halnya dengan reserve requirement, kontraksi moneter sebagai akibat operasi pasar terbuka akan meningkatkan suku bunga, dan sebaliknya ekspansi moneter akan menurunkan suku bunga. Lihat Gambar 3.2 berikut. Operasi pasar terbuka yang bersifat kontraktif akan menimbulkan konsekuensi finansial berupa biaya yang akan menjadi beban otoritas moneter. Penanggung beban operasi pasar ini sangat tergantung ke- pada jenis instrumen yang digunakan. Apabila bank sentral melakukan operasi pasar dengan menggunakan surat utang yang diterbitkan oleh bank sentral, beban biaya ini akan ditanggung oleh bank sentral, seperti yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1983 dengan menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, apabila instrumen operasional yang digunakan adalah surat utang pemerintah berupa T-bills, beban operasi moneter ini akan menjadi beban anggaran negara.      

               Sementara itu, apabila bank sentral menggunakan intervensi valuta asing sebagai instrumen operasional, biaya yang timbul akan menjadi beban bank sentral. Operas/ Pasar Terbuka Penjualan Surat Berharga Penjualan Surat Berharga

d. Fasilitas Simpanan Bank Sentral

      Simpanan bank sentral merupakan simpanan bank-bank pada banksentral untuk jangka waktu yang sangat pendek. Simpanan ini bersifat sangat pendek, misalnya satu hari, untuk menampung kelebihan likuiditas pada hari itu. Atas simpanan itu, bank menerima bunga yang biasanya di bawah tingkat bunga pasar. Bank Indonesia telah menggunakan fasilitas ini sejak krisis tahun 1997/98, yang dinamakan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI).

e. Intervensi Valuta Asing

Intervensi valuta asing memiliki pola hampir sama dengan operasi  pasar terbuka. Bank sentral melakukan jual beli valuta asing dengan mata uang sendiri. Cara ini ditempuh untuk memengaruhi jumlah uang beredar. Dalam praktiknya, intervensi valuta asing ini banyak dilakukan untuk upaya stabilisasi atau smoothingpergerakan nilai tukar mata uang sendiri. Dalam sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system), intervensi jual valuta asing dimaksudkan untuk memperkuat mata uang sendiri, sementara intervensi beli valuta asing adalah untuk mengurangi kecenderungan menguatnya mata uang sendiri.

f. Fasilitas Overdraft

Bank sentral juga dapat memberikan pinjaman jangka pendek kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka sangat pendek dalam bentuk fasilitas overdraft. Kesulitan likuiditas jangka pendek terjadi karena pada saat kliring bank akan terjadi "menang" atau "kalah". Menang berarti kewajibannya lebih kecil daripada tagihannya kepada bank-bank, sedangkan kalah berarti kewajibannya lebih besar daripada tagihannya. Dalam kondisi kalah, bank hares rnenyediakan likuiditas untuk menutupi kewajibannya itu. Dalam kondisi inilah bank dapat meminjam melalui fasilitas overdraft. Pinjaman ini memiliki tingkat bunga di atas bunga pasar.

g. Simpanan Sektor Pemerintah

         Simpanan sektor pemerintah dapat menjadi instrumen tidak langsung yang kerap digunakan di banyak negara. Simpanan sector pemerintah dapat dipindahkan, misalnya dari bank umum ke bank sentral atau sebaliknya. Langkah itu secara tidak langsung akan berdampak kepada uang beredar. Ketika uang beredar terlalu banyak, akan dilakukan realokasi simpanan pemerintah di bank umum ke bank sentral. Demikian sebaliknya. Apabila terjadi kondisi uang beredar yang sangat kurang, simpanan pemerintah dari bank sentral dapat direalokasi ke bank umum atau bank pelaksana.

        Pada bulan Juni 1987 Indonesia pernah melakukan realokasi simpanan sektor pemerintah, dalam hal ini giro BUMN besar, Bari bank umum ke Bank Indonesia dalam bentuk SBI sebagai upaya mencegah pelarian modal ke luar negeri. Demikian pula pada bulan Februari 1991, pemerintah mewajibkan 12 BUMN untuk mengalihkan deposito mereka Bari bank-bank kepada SBI untuk mencegah spekulasi devisa dan menurunkan inflasi.

h. Lelang Kredit

     Jika kondisi pasar keuangan belum berkembang dan suku bunga patokan antarbank belum terbentuk, bank sentral memerlukan instru- men sementara untuk mengubah sistem pemberian kredit langsung ke alokasi pasar. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan lelang kredit.

i. Moral Suasion

      Moral suasion atau imbauan juga dapat menjadi instrumen tidak langsung dalam kebijakan moneter. Bank sentral atau otoritas moneter mernberi imbauan kepada perbankan untuk melakukan langkah tertentu yang dibutuhkan. Namun, efektivitas imbauan ini sangat tergantung pada kredibilitas bank sentral.









BAB III

SISTEM PASAR KEUANGAN 


 A.  Konsepsi Pasar Keuangan

a. Argumen Pasa Jeruk.

      Ratio adanya ssistem keuangan  lahir di dunia ini dapat dijelaskan dengan analogi 'pasar jeruk medan' . Dalam perekonomian modern, orang membeli jeruk medan di pasar swalayan, misalnya di Hypermart. Pembeli di Jakarta tidak membeli langsung ke petani jeruk di Medan, karena pembeli yang biasanya membeli dalam jumlah terbatas , harus mengeluarkan ongkos yang besar sehingga membuat harga jual jeruk tersebut menjadi mahal. Pasar swalayan dapat menjual dengan harga lebih murah, karena mampu menekan ongkos dengan membeli dalam skala besar dan menjualnya dalam skala kecil. Dalam hal ini, pasar swalayan bertindak sebagai perantara dalam pasar jeruk medan. Secara umum, bila ongkos transaksi mahal, maka lembaga (individu) perantara akan muncul jika mampu menekan ongkos transaksi. Dalam transaksi keuangan., ongkos transaksi terjadi karena adanya informasi asimetris (asymmetric information) yang memunculkan perilaku pilihan merugikan (adverse selection) dan bahaya moral (moral hazard). Pilihan merugikan adalah perilaku yang muncul karena adanya informasi asimetris sebelum transaksi.

b.   Pasar Mobil Bekas  ( Market for Lemon )

    Perilaku pilihan merugikan oleh George Akerlof (1970), dijelaskan dengan model "Market for Lemon", yaitu pasar mobil bekas. Dalam model tersebut, karena terdapat informasi asimetris antara penjual dan pembeli, sebelum transaksi penjual mobil bekas jelek (lemon) melakukan pilihan merugikan dengan "memoles" mobil jeleknya supaya 'tampak' bagus, sehingga membuat pembeli sulit membedakan mobil bekas bagus (nonlemon) dari yang jelek (lemon). Akibatnya, pembeli akan mengurungkan niatnya untuk membeli mobil bekas.

         Konsep  dalam pasar keuangan, misalnya pasar kredit, di mana peminjam lebih mengetahui risiko default (ketidakmampuan untuk melunasi pinjaman) dari dana pinjamannya daripada pemberi pinjaman (terdapat informasi asimetris), maka perilaku pilihan merugikan tersebut muncul. Peminjam "jelek", yaitu peminjam dengan tingkat risiko default tinggi, akan berperilaku seolah- olah peminjam yang "bagus", yang memiliki risiko default rendah, dengan mengajukan proposal yang menunjukkan aktivitas bisnis yang tampak prospektif dan menguntungkan. Pemilik dana/pemberi pinjaman menjadi sulit membedakan peminjam yang "bagus" (nonlemon) dari peminjam "jelek" (lemon), sehingga mereka menghadapi risiko. Akibatnya, pemilik dana tidak merealisasikan pinjamannya, atau memberi pinjaman dengan mengenakan ongkos yang mahal untuk mengompensasi risiko. Dalam kondisi tersebut, lembaga perantara keuangan (BLKL), muncul karena mampu menekan ongkos transaksi (risiko), dengan menekan perilaku pilihan merugikan.

          Misalnya pada   lembaga keuangan bank , mereka mempekerjakan tenaga spesialis (auditor) yang mampu membedakan peminjam "bagus" dari yang "jelek" dengan membayar upah yang semakin menurun dengan semakin banyaknya transaksi. Dengan perkataan lain, bank mampu berproduksi dengan teknologi skala ekonomi (economies of scale) sehingga dapat menekan ongkos transaksi. Oleh karena itu, bank harus mencapai skala tertentu untuk bisa beroperasi secara efisien.

          Perilaku bahaya moral muncul setelah transaksi. Perilaku ini dijelaskan dengan model "principal-agent problem". Setelah . transaksi, yaitu setelah mengangkat seorang manajer, principal (pemegang saham) mendelegasikan tugas kepada agent (manager). Sebagai pelaksana operasional perusahaan, manajer memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan pemegang saham. Karena informasi yang dimiliki principal tidak sama dengan agent (terdapat informasi asimetris), agent berpotensi melakukan bahaya moral dengan memaksimumkan utilitasnya sendiri dan tidak memaksimumkan utilitas principal-nya. Akibatnya principal menghadapi risiko turunnya utilitas. Perilaku bahaya moral dalam transaksi keuangan muncul dalam bentuk peminjam mengalokasikan dana pinjamannya ke aktivitas yang berisiko tingg karena mengharapkan pengembalian yang tinggi, sehingga meningkatkan risiko default. Kondisi demikian membuat pemilik dana tidak bersedia nmeminjamkan dananya, atau meminjamkan dengan ongkos yang mahal untuk mengompensasi risiko. Dalam hal ini, lembaga perantara keuangan, mampu mengatasi perilaku bahaya moral, misalnya dengan melakukan pemantauan (monitoring), yang sangat mahal bila dilakukan oleh individu dalam transaksi langsung. Selain bank, lembaga-lembaga yang mengambil keuntungan dari proses intermediasi adalah perusahaan asuransi, dana pension, lembaga pendanaan, dan perusahaan keuangan lainnya.

B.   Sistem  Pasar Keuangan.

1. Fungsi Pasar Keuangan. 

                 Pasar keuangan menjalankan fungsi ekonomi yang penting dalam mengalirkan dana dari pihak yang memiliki dana berlebih kepada pihak yang membutuhkan dana. Aliran dana tersebut dapat menempuh dua rute: secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga-lembaga perantara keuangan. Lembaga ini muncul dalam sistem keuangan karena dapat menekan ongkos transaksi, mengurangi harga transaksi, dan memperlancar aliran dana yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, jika proses intermediasi tersebut terganggu, maka akan mempengaruhi sistem keuangan dan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Keberadaan informasi asimetris dan sifat intermediasi yang memiliki waktu jatuh tempo, menghasilkan risiko terhadap pelaku ekonomi. Oleh karena itu, intervensi pemerintah dalam sistem keuangan melalui regulasi perlu dilakukan.

 2.   Fungsi Intermediasi 

        Pada Kehidupan di masyarakat  alam terdapat orang-orang yang memiliki kesempatan bisnis yang menguntung kan, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk rnerealisasikannya. Di pihak lain, ada orang-orang yang memiliki dana berlebih, tetapi tidak memiliki kesempatan atau kernampuan untuk berbisnis. Jika keduanya berternu, rnaka pemilik dana (supplier dana) dapat memperoleh pengembalian (return) dari uang yang dipinjamkannya. Di pihak lain, peminjam (demander dana) dapat merealisasikan proyek investasinya yang menguntungkan. Adanya perbedaan pengembalian memungkinkan terjadinya transaksi yang menguntungkan (gains From transaction), sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Transaksi antara peminjam dan pemilik dana dapat terjadi secara langsung (directfinance) di pasar keuangan, atau secara tidak langsung (indirect finance) melalui lembaga perantara keuangan (financial intermediaries), yaitu Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (BLKL). Bila pasar keuangan dan lembaga perantara keuangan berfungsi dengari baik, maka akan membawa dampak terhadap kegiatan produksi dan konsumsi, serta pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, bila fungsi sistem keuangan tersebut terganggu, akan membawa dampak pertumbuhan ekonomi yang lambat (atau negatif, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997, ketika dunia perbankan Indonesia menghadapi shocks/ guncangan).

          Aliran Dana dalam Sistem Keuangan Pemilik dana adalah mereka yang memiliki dana berlebih tetapi tidak memiliki kesempatan investasi yang menguntungkan. Sedangkan peminjam dana adalah mereka yang memerlukan dana untuk merealisasikan proyek investasinya, dan/ atau untuk konsumsi, karena menganggap utilitas jika mengonsumsi sekarang lebih tinggi daripada menunda sampai memiliki cukup uang. Pemilik dana meliputi individu rumah tangga, sektor bisnis, pemerintah, dan orang asing yang ingin menginvestasikan dananya di negara lain. Peminjam dana terutama meliputi sektor bisnis dan pemerintah, di samping individu rumah tangga dan orang asing yang mencari pinjaman dana ke negara lain

        Aliran dana dalam sistem keuangan dapat terjadi secara langsung di pasar keuangan, dan tidak langsung melalui lembaga perantara keuangan (BLKL) seperti terlihat pada transaksi secara langsung, peminjam dana mengajukan pinjaman kepada pemilik dana dengan menjual sekuritas (surat berharga), yaitu klaim terhadap laba masa depan (future income) dan aset. Transaksi tersebut terjadi karena ada perbedaan pengembalian dan terjadi secara sukarela sehingga menghasilkan keuntungan transaksi. Dengan adanya transaksi di pasar keuangan, terjadi aliran dana dari pihak yang tidak produktif, (yaitu mereka yang memiliki dana berlebih tetapi tidak memiliki peluang investasi), kepada pihak yang produktif, (yaitu mereka yang memiliki peluang investasi), sehingga membawa dampak peningkatan produksi. Di samping itu, berfungsinya pasar keuangan membantu konsumen untuk dapat rnengkonsumsi sesuai dengan. waktu yang direncanakan. 

        Sebagai contoh, mereka yang baru menikah lebih suka memiliki rumah pada waktu muda daripada ketika sudah tua, dan untuk itu mereka meminjam dana ke pasar keuangan. Dengan demikian, pasar keuangan yang berfungsi dengan baik dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

C.  Struktur Pasar Keuangan

     Pasar keuangan dapat dibedakan berdasarkan karakteristiknya, yaitu berdasarkan waktu jatuh tempo instrumennya, prioritas pengembalian (return), urutan transaksinya, dan organisasi pasarnya. Keragaman tersebut muncul untuk memenuhi permintaan konsumen (investor) yang bervariasi.

1.  Pasar Uang dan Pasar Modal

     Berdasarkan waktu jatuh tempo, pasar keuangan dibedakan menjadi pasar uang dan pasar modal. Pasar uang adalah pasar keuangan yang mentransaksikan sekuritas / instrumen yang memiliki waktu jatuh tempo kurang dari satu tahun, sedangkan pasar modal memiliki waktu jatuh tempo lebih dari satu tahun. 

     Contoh instrumen pasar uang adalah: Negotiable bank certificates of deposit (CDs), U.S. Treasury bills, Commercial paper, Banker's acceptance, Repurchase agreements, Eurodollars, dan Federal funds,. 

Contoh  instrumen pasar modal adalah: Corporate stocks, Corporate bonds, U.S.

government securities, State and local government bond. 

2. Pasar Obligasi (Debt Market) dan Pasar Ekuitas (Equity Market!

       Perusahaan yang memerlukan dana bisa meminjam dana secara langsung dengan menerbitkan surat utang (debt) dan/atau saham (stocks/equity). Instrumen utang memberikan penghasilan tetap (fixed income). Sedangkan ekuitas (equity) adalah klaim terhadap penghasilan bersih dan asset perusahaan. Perusahaan harus membayar kewajiban utang-utang dan pajaknya terlebih dahulu sebelum membayar dividen kepada pemegang ekuitas. Dengan perkataan lain, pemegang instrumen utang mendapat prioritas dalam pemenuhan kewajiban perusahaan dibandingkan pemegang ekuitas. Perbedaan penting antara instrumen jenis utang dan ekuitas adalah faktor pembagian risiko (risk sharing). Dengan instrumen utang, pemberi pinjaman mentransfer risiko kepada peminjam, artinya dalam kondisi untung maupun rugi, perusahaan tetap membayar sejumlah dana kepada pemberi pinjaman. Sedangkan dengan instrumen ekuitas, pemberi pinjaman (stockholders) memperoleh dividen, sebesar share dari keuntungan bersih (keuntungan setelah dikurangi kewajiban utang-utang dan pajak) dan asset perusahaan. Bila perusahaan tidak memperoleh keuntungan bersih, maka pemberi pinjaman tidak memperoleh dividen. Dengan demikian, pemegang ekuitas menghadapi risiko yang lebih tinggi dibandingkan instrumen utang, sehingga memperoleh pengembalian yang lebih tinggi (risiko berkorelasi positif dengan pengembalian).

3. Pasar Primer dan Pasar Sekunder

     Pasar keuangan dibedakan menjadi pasar primer dan pasar sekunder. Perusahaan yang akan menerbitkan sekuritas, misalnya wham, membeli jasa bank investasi (investment bank) yang tugasnya melakukan proses penjaminan emisi (underwriting), yaitu menggaransi harga sekuritas dan menjualnya ke publik. Penjualan perdana sekuritas terjadi di pasar primer (primary market), yaitu dibeli oleh investor pelanggan bank investasi yang bersangkutan. Pasar ini tidak umum bagi publik. Sekuritas yang dibeli di pasar primer dijual kembali kepada publik di pasar sekunder (secondary market). Dengan demikian, fungsi pasar sekunder adalah membuat sekuritas menjadi likuid. Selain itu, kondisi pasar sekunder sangat relevan untuk menentukan harga perdana (Initial Public Offering, IPO) di pasar primer.

       Contoh pasar sekunder adalah pasar valuta asing (foreign exchange market), dan pasar keuangan derivatif, seperti future market, dan option market.

5. Pasar Bursa (Exchange Market) dan Pasar Nonbursa (Over The Counter (OTC) Market)

     Pasar keuangan diklasifikasikan menjadi pasar bursa dan pasar nonbursa. Pasar bursa merupakan pasar keuangan yang terpusat di suatu tempat tertentu, di mana penjual dan pembeli sekuritas (melalui broker atau pialang mereka) bertemu, misalnya Bursa Efek Jakarta, Bursa Efek Surabaya, New York Stocks Exchange, atau American Stocks Exchange.

    Sedangkan OTC (pasar nonbursa) adalah pasar keuangan yang bersifat desentralistik, di mana pembelian sekuritas dilakukan melalui dealer yang memiliki persediaan/inventory, dan slap melakukan jual-beli sekuritas dengan harga yang ditentukan. Kondisi pasar ini sangat kompetitif, mereka tersebar dan memiliki kontak sate dengan lainnya untuk memantau harga.

 Contoh instrumen keuangan lain yang ditransaksikan melalui OTC adalah Negotiable Certificate of Deposits, federal funds, banker's acceptance, dan valuta asing.

          Transaksi keuangan dapat pula terjadi secara tidak langsung, melalui lembaga  perantara keuangan, yaitu Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (BLKL). Dalam hal ini lembaga perantara keuangan berfungsi mengumpulkan dana dari pemilik dana dengan menerbitkan liabilities/kewajiban, dan meng- alokasikan dana ke peminjam dana.

       Lahirnya  lembaga-lembaga perantara keuangan memfasilitasi terbentuknya pasar-pasar keuangan. Lembaga-lembaga perantara keuangan mempertemukan pemilik dan peminjam dana yang sebelumnya memakan biaya sangat mahal untuk saling bertemu.   Lahirnya  lembaga-lembaga ini  berpengruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, terganggunya proses intermediasi akan membuat perekonomian tumbuh lambat, seperti pada masa krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 - 1999.

1) Macamnya  Lembaga Perantara Keuangan

     Macamnya lembaga keuangan dapat dibedakan  berdasarkan

b. sumber dananya, yaitu lembaga penerima deposito, contractual saving institution, dan perantara investasi. Lembaga Penerima Simpanan (Depository Institution) Lembaga penerima simpanan/deposito adalah lembaga perantara keuangan yang memperoleh dana dari simpanan (deposits) pihak ketiga dan meminjamkannya kepada pihak lain. Yang tercakup dalam lembaga ini antara lain bank komersial dan koperasi (credit unions). Alokasi dana utama (primary assets) bank komersial adalah memberikan pinjaman ke sektor bisnis dan konsumen (business and consumer loans), sedangkan koperasi memberikan pinjaman kepada konsumen.Contractual Saving Institutions. Contractual saving institutions memperoleh dana berdasarkan kontrak yang bersifat periodik. Karena bersifat kontrak, sumber dananya relatif dapat diprediksi, seperti halnya penggunaan dananya relatif dapat diprediksi, sehingga likuiditas aset menjadi tidak terlalu penting seperti pada lembagapenerima deposito. Dengan karakteristik demikian, alokasi dana utama lembaga jangka tersebut adalah investasi jangka panjang, seperti obligasi, saham dan hipotik (mortgage) (Catatan: Investasi jangka panjang memberikan pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan investasi jangka pendek karena tingkat risiko yang dikandungnya). Lembaga keuangan yang termasuk contractual jiwa, saving institutions adalah perusahaan asuransi kebakaran dan kecelakaan, dan dana pensiun. Perantara Investasi (investment Intermediaries).

c. Lembaga keuangan yang an yang memperoleh dana dari menjual surat berharga diklasifikasikan sebagai perantara investasi. Perusahaan pendanaan memperoleh dana dengan menjual commercial papers (CP) dan mengalokasikannya terutama untuk memberikan pinjaman konsumen. Mutual funds (reksa dana) dan money market mutual funds (reksa dana pasar uang) memperoleh dananya dari menjual shares (unit penyertaan) dan mengalokasikannya ke aset yang terdiversifikasi, seperti saham, obligasi dan instrumen pasar uang. Lembaga keuangan lain adalah pegadaian yang memperoleh dana dari menjual saham dan/ atau obligasi, serta meminjamkannya kepada konsumen.lembaga sekuritas (securities institutions), seperti securities brokers, securities dealers, investment banks, dan organized exchanges meskipun berperan sebagai perantara, tetapi tidak termasuk lembaga perantara keuangan, karena pelaku ekonomi atau. institusi tersebut tidak melakukan fungsi menarik dana (dengan menerbitkan kewajiban) dan mengalokasikan dana (yang merupakan aset), seperti yang dilakukan lembaga perantara keuangan. Akan tetapi, institusi-institusi tersebut penting untuk melancarkan aliran dana dari pemilik dana ke peminjam dana.

             Dengan semakin terbukanya suatu negara terhadap negara lain telah meningkatkan peran pasar keuangan global. Bank dan perusahaan-perusahaan yang memerlukan dana dapat mencari pinjaman ke negara-negara lain. Obligasi asing adalah instrumen utang yang bersifat internasional yang dijual oleh perusahaan suatu negara ke investor negara lain dengan mata uang negara yang dituju. Sebagai contoh, perusahaan di Indonesia menjual obligasi (bonds) dalam dolar ke Amerika; Perusahaan Amerika menjual obligasinya dalam denominasi yen ke Jepang. Instrumen obligasi internasional lainnya adalah Eurobond, yaitu obligasi yang dijual ke negara lain dalam mata uang negara asalnya. Sebagai contoh, obligasi dengan denominasi dolar dijual di London. Selain itu, dengan berkembangnya pasar keuangan global memungkinkan bank memperoleh sumber dana luar negeri yang disebut Eurocurrency, yaitu simpanan dalam mata uang suatu negara di luar wilayah negaranya. Contoh eurocurrency adalah Eurodollars, yaitu simpanan dolar di luar wilayah Amerika, bail( di bank asing maupun di cabang bank Amerika di luar wilayah Amerika. Sumber pinjaman luar negeri yang semakin meningkat mendorong berkembangnya pasar saham dunia (world stock market). Investor Amerika tidak lagi hanya menaruh perhatian terhadap Dow Jones Industrial Average (DJIA), tetapi juga indeks harga dari pasar saham dunia, seperti Nikkei 225 Average (Tokyo), dan Financial Times-Stock Exchange 100-Share Index (London).

          Sejalan dengan peningkatan transaksi keuangan secara global, pasar keuangan instrumen derivatif juga berkembang limas negara. Dengan semakin meningkatnya peran pasar keuangan global, maka risiko keuangan yang dihadapi suatu negara dapat berimbas ke negara- negara lainnya. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika yang disebabkan oleh kredit macet hipotik KPR kelas dua (subprime mortgage) yang terjadi  pada akhir pertengahan tahun 2007 hingga sekarang, telah menyeret negara- negara lain ke dalam krisis ekonomi lokal .

       Perkembangan perekonomian berimplikasi terhadap proses produksi dan konsumsi yang semakin cepat, begitu pula dengan kecepatan aliran dana dari pemilik dana kepada peminjam dana yang semakin besar dan cepat. Kondisi demikian menunjukkan bahwa peran sistem keuangan semakin penting. Munculnya lembaga-lembaga keuangan mampu menekan ongkos transaksi semakin mempercepat aliran dana tersebut. Selain itu, lembaga- lembaga keuangan mampu membuat sumber daya yang tidak likuid menjadi likuid (proses sekuritisasi), dan menghasilkan produk keuangan yang sesuai dengan permintaan konsumen; berdasarkan waktu jatuh tempo (maturity intermediary) dan tingkat risiko (diversifikasi) dengan menciptakan instru.men derivatif (forward, future, option). Akan tetapi, adanya informasi asimetris dan karakteristik produk keuangan yang berdimensi waktu, membuat pelaku pasar keuangan menghadapi risiko sehingga hasilnya tidak optimal. Selain itu, dalam pasar keuangan terdapat keterkaitan pasar yang sangat kuat sehingga membuat risiko yang dihadapi suatu individu atau institusi menular ke individu atau institusi lainnya, sehingga menghambat sistem keuangan, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah mendapat pembenaran untuk melakukan intervensi dengan membuat regulasi dalam mencapai kondisi yang optimal. Pemerintah melalui otoritas moneter (Bank Sentral) meregulasi sistem

keuangan dengan tujuan :

a. Menyediakan informasi kepada public Untuk mengurangi kesenjangan informasi, pemerintah mewajibkan pelaku pasar keuangan untuk menyediakan informasi kepada publik, sehingga investor dapat mengambil keputusan dengan informasi yang cukup, sehingga dapat mengurangi risiko.

b. Menjaga kesehatan (soundness) sistem keuangan Adanya informasi asimetris memunculkan perilaku pilihan merugikan sebelum transaksi, dan bahaya moral setelah transaksi. Peminjam potensial melakukan pilihan merugikan, dengan melakukan berbagai cara untuk memperoleh pinjaman, misalnya dengan kesediaan memberikan suku bunga tinggi, yang dapat menimbulkan bubble (penggelembungan ekonomi). Dan setelah mendapat pinjaman, mereka juga berpotensi melakukan bahaya moral, dengan menginvestasikan dana tersebut ke aktivitas yang berisiko tinggi, karena mengharapkan pengembalian yang tinggi, sehingga meningkatkan risiko default dan mengakibatkan kegagalan. Kondisi ini dapat terjadi, jika lembaga keuangan seperti bank mengalami guncangan ekstemal (external shocks), sehingga mengakibatkan kredit macet. Jika bank tersebut tidak memiliki cukup kapital, maka bank menjadi insolvent (liabilities lebih besar dari aset). Kondisi ini akan membuat nasabah menarik dananya. Dan jika semua nasabah memiliki persepsi yang sama, maka bank tersebut akan diserbu oleh nasabah (bank rush), sehingga bank tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya kepada nasabahnya (disebut dengan bank failure). Di samping itu, keterkaitan pasar yang kuat dalam pasar keuangan dapat menularkan kegagalan tersebut ke pelaku keuangan lainnya sehingga mengganggu sistem keuangan dan akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga kesehatan sistem keuangan, antara lain dengan melakukan penyaringan terhadap pelaku- pelaku penting dalam pasar keuangan. Menetapkan batasan suicu bunga untuk rekening koran (checking account) dan rekening tabungan (saving account), menetapkan batasan jenis asset (menerapkan prinsip diversifikasi "don't put all your eggs in one basket" jangan menaruh selu.ruh telur dalam satu keranjang), menetapkan batasan minimum kapital (Capital Adequacy Ratio, CAR), untuk mengurangi tingkat bahaya moral, dan mensyaratkan asuransi deposito, untuk memberikan rasa aman kepada deposan, sehingga tidak melakukan rush yang dapat menyebabkan kegagalan bank.

c. Meningkatkan kemampuan otoritas moneter Tugas otoritas. moneter (Bank Sentral) adalah menjaga kestabilan sistem moneter. Karena bank dan lembaga keuangan lainnya (BLKL) merupakan pelaku penting dalam sistem moneter, maka otoritas moneter perlu memiliki keterkaitan yang kuat dengan lembaga-lembaga tersebut, yaitu dengan regulasi. Misalnya, mensyaratkan cadangan minimum (reserve requirement), yaitu kewajiban BLKL (dalam hal ini lembaga penerima deposito) untuk menyimpan sebagian dananya di Bank sentral. Dengan demikian, otoritas moneter dapat mengendalikan jumlah uang beredar.

d. Menggairahkan kepemilikan rumah  Di negara-negara LDC ( Least Developed Countries), sering kali otoritas moneter melakukan tugas yang tidak sesuai dengan tugas utamanya menjaga kestabilan moneter yang bersifat makro dan tidak bias kepadasektor tertentu. Kebijakan kepemilikan rumah adalah kebijakan yang bersifat mikro dan bias kepada sektor atau kelompok tertentu. Tidak jarang pula regulasi berorientasi kepada pemilik dana, sehingga makin menyuburkan perilaku pilihan merugikan dan bahaya moral Kebijakan tersebut ternyata tidak hanya dilakukan oleh negara-negara LDCs. Masalah kredit macet subprime mortgage tahun 2008 yang telah mengguncangkan sistem keuangan Amerika dan negara-negara lainnya menunjukkan bahwa Amerika sebagai negara maju ternyata telah menerapkan kebijakan otoritas moneter yang salah dalam meningkatkan perekonomiannya

D. Faktor-Faktor Terbentuknya Bank Sentral  

1.   Kondisi Negara  dalam  Pendirian Bank Sentral :

      Prinsip  Keuangan bahwa  Money will not manage itself. Karena itu, dibutuhkan suatu Bank Sentral untuk dapat mengatur seluk beluk tentang uang. Sebab itu pula maka semua negara dewasa ini mempunyai Bank Sentral atau semacam Bank Sentral untuk mengatur dan mengontrol kebijaksanaan devisa di negara yang bersangkutan. Akan tetapi sejarah dari Bank Sentral tersebut banyak pasang surutnya, dengan berbagai trial & error. Bahkan sebenarnya perkembangan Bank Sentral dalam arti modern dan sophisticated seperti yang terjadi saat ini boleh dibilang masih relatif baru . Memang kelihatannya peran Bank Sentral di suatu negara belum begitu tertata dengan pola yang Baku. Sebab seringkali tindakan-tindakan Bank Sentral tidak menunjukkan efek yang efektif dalam menanggulangi berbagai masalah moneter di negara yang bersangkutan. Misalnya Bank- bank Sentral di negara-negara Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan Asia Selatan sangat kewalahan dan seperti hilang akal dalam meng- hadang dan menanggulangi krisis moneter di negaranya yang terjadi sejak akhir tahun 1997.

      Negara sebagai sebagai pengendali kekacauan keuangan maka ada kaitannya denga persolan penertiban yang diperlukan salah satunya adalah mendirikan  Bank Sentral, faktor-faktor yang mengindentifikasi terhadap pembentukanya  di kebanyakan negara adalah adanya faktor-faktor sebagai berikut : 

a. Kekacauan ekonomi setelah Perang Dunia Pertama.

b. Konferensi finansial international yang dilaksanakan di Brussels,September 1920.

c. Konferensi Genoa tahun 1922.

      Peran Bank Sentral sebagai urat nadi perekonomian, stabilisator dan dinamisator dari perkembangan moneter di negara yang bersangkutan. Akan tetapi sungguhpun demikian, seperti telah disebutkan bahwa perkembangan dan peran dari Bank Sentral ini masih berevolusi dan masih saja berkembang dan berubah terus. 

2) Inggris 

           Bank Sentral  Inggris sudah ada sejak tahun 1694 ketika didirikannya The Bank of England yang sekarang menjadi The Central Bank of England. Bank Sentral di Inggris hampir sama saja dengan bank-bank Iainnya kecuali soal hubungan khusus dengan pemerintah. The Bank of England didirikan di Inggris atas hasil ide yang dicetus oleh seorang berkebangsaan Skotlandia yang bernama William Patterson. Salah satu prestasi spektakuler dari Bank of England ini adalah dengan memberikan pinjaman dan pengaturan hutang piutang pemerintah Inggris ketika berperang dengan Prancis. Kemudian pada tahun 1709, kepada Bank of England diberikan perlakuan istimewa dari pemerintah dengan jalan pelarangan mendirikan bank-bank dengan bentuk joint stock company. Dilarangnya hal tersebut karena di- takutkan bahwa bank-bank dengan sistem joint stock company modalnya yang besar, akan menjadi saingan dari the Bank of England.

3) Amerika Serikat :

   Awal berdirinya Bank Sentral di Amerika dimulai dengan  terjadi "kepanikan finansial" di sekitar tahun 1873, 1884, 1893 dan 1907. Kepanikan-kepanikan tersebut menjurus kepada depresi ekonomi. Yang dituding sebagai penyebab utama dari kepanikan financial tersebut adalah kelemahan-kelemahan dalam mengelola sektor perbank- an. Karena itu, dalam hal menanggulangi kepanikan tersebut, akhirnya  oleh Pemerintah USA diambil langkah-langkah sebagai berikut  :

a. suspensi terhadap specie payment oleh semua bank yang berarti bahwa bank menyetop pembayaran secara tunai terhadap semua legal tender.

b. menutup sejumlah bank bermasalah. Bahkan ketika masa sulit melanda Amerika Serikat, situasi benar-benar panik dengan adanya apa yang disebut dengan Banking Holiday di tahun 1933, yakni dengan ditutupnya semua bank secara serentak.

              Kepanikan finansial tersebut menyebabkan masyarakat tidak tahan ter- hadap kesulitan-kesulitan, sehingga menyebabkan besarnya tuntutan untuk diadakan reformasi ekonomi. Maka Kongres Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang disebut Aldrich-Vreeland Bill dalam tahun 1908, yang ikut mendoron.g terbentuknya National Monetary Commission. Komisi ini kemudian ikut mempengaruhi untuk terbentuknya apa yang disebut dengan Federal Reserve System, dan The Federal Reserve Act diundangkan pada tanggal 23 Desember 1913. Kemudian terbentuklah Federal Reserve Board, dan The Reserve Banks. The Federal Reserve System ini merupakan sistem Bank Sentral di USA dengan The Federal Reserve Banks sebagai Bank Sentralnya, yang oleh pihak bankir sering disebut dengan the Feds, dengan hak, kewajiban dan kewenangan antara lain sebagai berikut :

a. The Feds harus memiliki sendiri reserve requirements.

b. The Feds berwenang untuk mengisukan uang kertas (notes).

c. Melakukan pengawasan kredit dengan sistem rediskonto.

d. Berwenang untuk membeli dan menjual Government Securities dari negara USA.

e. Menetapkan dan mengontrol reserve .requirements dari bank-bank peserta dan bank-bank komersil.

f. Memperketat atau memperlonggar likuiditas moneter dengan jalan pengontrolan kredit.

g. Melakukan pengontrolan terhadap margin requirements terhadap security loans (dalam orang meminjam uang untuk membeli efek).

h. Melakukan pengontrolan terhadap kredit konsumer (dengan apa yang disebut dengan Regulation W).

i. Melakukan pengontrolan terhadap penetapan suku bunga atas deposito.

j. Melakukan clearing dan collecting terhadap cek-cek di tempat- tempat yang jauh dari bank.

k. Melakukan supply dan redempsi terhadap mata uang (currency).

l. Menerbitkan dan membayar Securities dari pemerintah federal.

m. Menjadi agency pajak untuk biro-biro pemerintah.

n. Melakukan Wire Transfer terhadap dana-dana jika dimintakan oleh kalangan bisnis.

o. Melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap bank-bank.

4) Indonesia

            Pemerintah Negara Republik Indonesia  pada sekitar  tahun 1946, yang dipelopori oleh almarhum Margono Djojohadikusumo, berdirilah sebuah bank yang dikenal dengan Bank Nasional Indonesia 1946, yang didirikan dengan Perpu No. 2 Tahun 1946 tentang Bank Negara Indonesia, yang mulai berlaku sejak 5 Juli 1946. ltulah sebabnya tanggal 5 Juli diperingati sebagai "Hari Bank." Pada saat didirikannya, fungsi BNI 1946 merangkap, yakni di samping bertindak sebagai bank komersil (dalam hal-hal khusus) BNI mempunyai fungsi utama sebagai Bank Sentral. Baru kemudian setelah Bank Indonesia didirikan, fungsi BNI 1946 hanya tinggal sebagai bank komersil semata-mata. Dengan demikian, awal mulanya Bank Sentral setelah kemerdekaan itu adalah BNI 1946 tersebut. Fungsi BNI 1946 sebagai Bank Sentral (fungsi utamanya) terlihat dalam Perpu No. 2 Tahun 1946 tersebut, yang antara lain menentukan :

a. BNI adalah bank pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas bank sebagai aiat tukar serta memperbaiki peredaran alat pembayaran.

b. BNI melakukan kebijaksanaan diskonto yang aktif untuk mencapai ketetapan harga.

c. BNI mempunyai kegiatan untuk memberi kredit kepada badan- badan .pemerintah, bank-bank dan badan perekonomian.

d. BNI memberikan kredit kepada negara Republik Indonesia.

e. Uang kertas BNI merupakan satu-satunya uang kertas yang diakui dan harus diterima sebagai alat pembayaran yang sah.

f. BNI menyimpan uang negara dan melakukan pembayaran, penerimaan dan pembukuan rekening untuk negara, perusahaan negara dan perusahaan yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Di samping itu, BNI menyimpan barang-barang berharga untuk negara, perusahaan negara dan perusahaan-perusahaan yang di- tunjuk oleh Menteri Keuangan RI. BNI tidak boleh memberikan kredit kepada swasta atau menerirna giro, deposito dari pihak swasta kecuali di tempat-tempat yang sama sekali belum ada bank atau kecuali jika memperoleh izin dari Menteri Keuangan.

3. Alih Fungsi BNI 1946

    Peran BNI 1946 sebagai Bank Sentral, kenyataan menunjukkan bahwa fungsi BNI 1946 tersebut sebagai Bank Sentral ternyata tidak dapat dilaksanakan dengan balk. Karena itu, pihak yang berwenang mengambil alternatif lain dengan jalan mengeluarkan Undang- Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Undang-Undang No. 11 ini mengubah De Javasche Bank NV menjadi Bank Indonesia yang berfungsi sebagai Bank Sentral. De Javasche Bank NV itu sendiri, yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1827, sebelumnya telah dinasionalisasikan oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 1951.

       Bank Indonesia telah dimulai sejak berdirinya De Javasche Bank NV yakni pada tahun 1827 tersebut. Hanya saja pada awal kemerdekaan keberadaan De Javasche Bank NV berjalan seining dengan eksistensi BNI 1946, yang memang dengan tegas diakui sebagai Bank Sentral. Status BNI 1946 sebagai Bank Sentral baru kemudian dicabut setelah kurang Iebih dua tahun berdirinya Bank Indonesia terusan dari De Javasche Bank NV, yakni dicabut denganUndang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1955. Sehingga sejak tahun 1955, hanya diakui satu Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia kelanjutan dari  De Javasche Bank NVtersebut.

            Kemudian  keluar beberapa peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang, Undang-Undang Darurat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, penetapan presiden dan lain-lain dalam rangka mengatur fungsi dan kewenangan Bank Sentral tersebut. Sampai kemudian keluarlah undang-undang yang mengatur tentang Bank Sentral secara khusus yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 1968, tentang Bank Sentral.  Paska keluarnya Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, maka kedudukan Bank Indonesia dibuat menjadi Iebih mandiri dan mempunyai wewenang yang Iebih luas, dengan pada prinsipnya tidak lagi terikat dengan Departemen Keuangan. Banyak kewenangan yang dalam undang-undang sebelumnya menjadi kewenangan Departemen Keuang- an, misalnya tentang pencabutan izin usaha bank, sekarang dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tersebut menjadi kewenangan Bank

Indonesia.

2. Peranan Bank Sentral 

      Peranan Bank Sentral sangat penting terhadap suatu tatanan perbankan di suatu negara  sebagai regulator perbankan baik secara makro ekonomi maupun dari segi mikro

a.   Pernan  Bank Sentral Secara Makro Dan Mikro 

      Peranan Bank Sentral secara makro adalah  sangat penting berhubung dunia perbankan adalah merupakan urat nadinya perekonomian di suatu negara, sehingga peranan sektor perbankan dapat mempengaruhi maju mundurnya perekonomian di negara yang bersangkutan. Selain secara makro, maka secara mikro peranan Bank Sentral sangat menentukan untuk dapat meminimalkan risiko-risiko dari dunia perbankan yang pada gilirannya dapat melindungi masyarakat berhubung adanya dana masyarakat dalam bank-bank tersebut. Adapun yang merupakan risiko dari suatu dunia perbankan tersebut adalah sebagai berikut :

a) risiko likuiditas.

b) risiko kredit.

c) risiko pasar.

d) risiko pendapatan.

e) risiko manajemen.

f) risiko kepemilikan (misalnya pertikaian atau pergantian kepemilikan

g) risiko operasional (misalnya adanya gangguan/kerusakan dalarn operasional bank).

h) risiko kehilangan kepercayaan (misalnya terjadi rush dari nasabahkarena isu, kejadian atau kebijaksanaan tertentu).

b.  fungsi Bank Sentral 

    F ungsi dan peran Bank Sentral  sebagai berikut  :

a) note/currency issue,

b) reserve requirements,

c) credit control.

d) bank rate policy.

e) Open market operation.

f) variable reserve ratio.

g) the banker agent and advisor of the state.

h) lender of the last resort.

i) custodian of the nations reserves, dan 

j) economic development.

c.   Peranan Bank Sentral dalam hal Note/Currency Issue

      Salah satu fungsi dari Bank Sentral yang cukup vital adalah kewenangan- nya dalam menerbitkan uang dari suatu negara (note issue). Ini adalah kewenangan yang monopoli dari Bank Sentral. Jadi Bank Sentral dalam hal ini mempunyai tugas untuk menghitung berapa uang yang mesti dikeluarkan/dicetak di suatu negara.   Ada dua teori yang sering dipakai oleh suatu Bank Sentral dalam hubungan dengan penerbitan uang, yaitu

(a)   Currency Theory 

     Teori Currency berlandaskan pada acuan  Full Convertibility of Notes. Menurut teori ini, jumlah uang haruslah sebatas simpanan emas yang ada pada Bank Sentral tersebut. Dengan demikian, teori currency ini menjaminsafety yang maksimal untuk suatu currency. Pada tahun 1844, Inggris telah menjadi pengikut teori ini. The Peel's Act of 1844 merupakan hasil  dari perkembangan teori .ini di Inggris. Seperti pernah disebutkan bahwa menurut teori currency ini, yang dilihat hanya pada faktor reserve emas saja. Teori ini kurang melihat kepada faktor-faktor Iainnya, yaitu faktor eksistensi dari suatu kredit, dan faktor- faktor domestik yang dapat menyebabkan sirkulasi yang Iebih besar di saat-saat tertentu.  Inti dari  teori currency ini sama sekali tidak memperhitungkan kebutuhan uang dari dunia perdagangan dan industri.

(b) Banking Theory. 

     Satu teori lagi yaitu   teori currency berseberangan dengan diatas , ada teori yang disebut dengan teori banking (Banking Theory). Menurut teori ini, dalam hal penerbitan uang (notes), maka yang paling penting untuk diperhitungkan adalah kebutuhan dari perdagangan dan industri. Sehingga disediakanlah uang yang flek- sibel dan cukup yang dapat merespon perubahan kebutuhan dari masya- rakat. Dengan demikian, jika teori currency Iebih menitikberatkan kepada pencegahan risiko yang serius akibat dari ketidakstabilan moneter tetapi dapat mengakibatkan kekakuan moneter, maka teori banking Iebih menitikberatkan kepada unsur fleksibilitas dari kebutuhan masyarakat, walaupun ini bisa mengakibatkan ketidakstabilan moneter. Sehingga dalam praktek banyak negara mencoba mencari bentuk-bentuk kombinasi di antara kedua teori tersebut, sehingga memunculkan berbagai sistem dalam hal penerbitan uang (notes), dikenal dengan beberapa sistem antara lain  :  

1. sistem partial fiduciary.

2. sistem maksimum fiduciary,

3. sistem proportionate reserve, 

4. sistem minimum reserve, dan 

5. sistem foreign exchange reserve 

 d. Peranan Bank Sentral dalam hal Reserve Requirements

      Peranan Bank Sentral dalam hal reserve requirements ini sebenarnya masih bersangkutan dengan teori-teori dan sistem-sistem yang dianut dalam hal penerbitan uang (notes). Dalam hal ini Bank Sentral mesti memiliki reserve tertentu, seperti emas, collaterals, government bonds dan lain-lain sesuai dengan teori atau sistem mana yang lebih ditekankandalam masing-masing negara dalam hubungan dengan Currency Regulation.

f.    Peranan Bank Sentral dalam hal Credit Control

      Salah tugas pokok lainnya  yang dilakukan oleh Bank Sentral adalah fungsinya untuk

mengontrol kredit dalam negara yang bersangkutan., fungsi dari Bank Sentral untuk pengawasan kredit erat kaitannya dengan fungsinya dalam hubungan dengan pengaturan currency. Karena, dengan pemberian kredit akan berpengaruh secara langsung kepada jumlah uang dalam sirkulasi. Akan tetapi  ada perbedaan pandangan dari para ahli tentang tujuan utama dari pengontrolan kredit oleh Bank Sentral, seperti terlihat dalam pandangan-pandangan berikut ini : 

Tujuan pengontrolan kredit adalah untuk menjaga stabilitas alat tukar uang.

Pengontrolan kredit bertujuan untuk menjaga stabilitas harga  secara internal.

Tujuan pengontrolan kredit adalah untuk menghilangkan lingkaran peredaran bisnis (business cycle).

Tujuan pengontrolan kredit adalah untuk mengkombinasi antara faktor stabilitas alat tukar internasional dengan faktor peningkatan dan mempertahankan tingginya penyerapan tenaga kerja dan real income dari masyarakat.

      Instrumen kebijakan  yang sering digunakan oleh Bank Sentral dalam hal pengontrolan kredit. Untuk itu digunakan beberapa  melalui instrument  : 

1. Bank Rate Policy, yaitu melakukan pengontrolan kredit dengan jalan pergantian discount rate yang dapat mempengaruhi rate of interest di pasar, yang akan memainkan peranan penting dalam hal pemberian kredit.

2. Open Market Operation, yaitu tindakan yang melibatkan jual beli securities yang beredar di pasar sehingga dapat membawa pengaruh terhadap sirkulasi jumlah uang yang beredar di pasar.

3. Variable Reserve System, yaitu dilakukan dengan dibuatnya variasi dari reserve minimum yang diperlukan oleh suatu komersial bank sehingga dapat mempengaruhi kekuatan bank-bank komersil dalam hal menyediakan kredit.

4. Selective Credit Controls, yaitu merupakan pengontrolan yang selektif dan direktif dari suatu Bank Sentral terhadap arus pemberian kredit terhadap suatu channel tertentu.

5. Credit Rationing, yaitu merupakan suatu tindakan dari Bank Sentral untuk membatasi ketersediaan currency yang dapat dipakai untuk melakukan rediscounting dan mambatasi jumlahnya yang tersedia untuk masing-masing bank.

6. Moral Suasion, yaitu merupakan persuasi moral secara friendly, yang dilakukan oleh Bank Sentral terhadap kebijaksanaan lending dari suatu bank komersil. Direct Action, yaitu merupakan tindakan oleh Bank Sentral untuk melakukan tindakan-tindakan paksa dengan kriteria-kriteria ter- tentu terhadap bank-bank tertentu untuk mencegah hal-hal yang bertentangan dengan policy dari Bank Sentral tersebut mengenai perkreditan

g. Peranan Bank Sentral dalam Hubungan dengan Bank Rate Policy

       Bank Rate Policy sering diartikan sebagai suatu variasi dari terms dan kondisi, dalam arti yang seluas-luasnya, terhadap mana pasar dapatmempunyai akses sementara terhadap Bank Sentral melalui short-term assets atau melalui secured advances. Bank Rate Policy dari Bank Sentral ini berasal dari fungsi Bank Sentral sebagai lender of the last resort. Dalam hal ini, Bank Sentral berkewajiban untuk menyediakan fasilitas terhadap bank yang berada dalam keadaan emergensi, dengan jalan merediskonto fasilitas terhadap bank-bank ter- sebut asalkan bank-bank tersebut dapat menyediakan aset yang ter golong short term yang dianggap Iayak oleh Bank Sentral. Biasanya apabila bank rate dari Bank Sentral rendah maka hal ini akan meningkatkan total jumlah peredaran uang di pasar. Sebaliknya jika bank rate tinggi, maka jumlah peredaran uang akan menjadi rendah. Dan jika bank rate tinggi, maka market rate juga akan menjadi tinggi. Tingginya market rate ini akan mengakibatkan berkurangnya pengambilan pinjaman sehingga akan mengurangi pengambilan kredit bank.

h. Peranan Bank Sentral  sebagai open Market operation

    Pada prinsipnya, open Market operation (Operasi Pasar Terbuka) tidak lain dari pembelian dan penjualan sekuritas p.emerintah. Akan tetapi kadang-kadang istilah ini dipakai juga untuk jual bell sekuritas yang dijamin oleh pemerintah atau sekuritas-sekuritas lainnya. Bahkan kadang- kadang juga dipakai untuk jual bell equity, emas dan valuta asing. Berbeda dengan pengontrolan kredit dengan bank rate policy yang efektif- nya harus menunggu reaksi pasar terlebih dahulu, dengan open market operation dapat mempengaruhi trend pasar secara langsung, sehingga dianggap Iebih ampuh dalam mengendalikan pasar..

i Peranan Bank Sentral  sebagai Variable Reserve Ratio

   Variable Reserve Ratio merupakan salah satu metode non konvensional bagi Bank Sentral dalam usahanya untuk melakukan pengontrolan kredit. Menurut metode ini, Bank Sentral mempunyai kewenangan untuk menetapkan minimum cash reserves dari bank-bank komersil yang disimpan di Bank Sentral. Besarnya minimum cash reserve ini akan bervariasi. Reserve Requirement ini di samping bertujuan untuk menjaga likuiditas dari bank-bank komersil tersebut, juga bertujuan untuk dipergunakan sebagai sarana untuk menekan atau mendorong pemberian kredit (sebagai sarana pengontrolan kredit).



j. Peranan Bank Sentral sebagai The Banker of the State

         Bank Sentral di suatu negara merupakan bank dari dan untuk pemerintah negara tersebut. Karena itu Bank Sentral bertugas pula untuk bertindak sebagai agen dari pemerintah yang akan bertindak untuk dan atas Hama pemerintah. Amara lain dalam hal-hal yang berhubungan dengan bisnis dan keuangan yang ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Sehubungan dengan kewenangan dari Bank Sentral sebagai the banker of the state tersebut, maka Bank Sentral berwenang melakukan kegiatan- kegiatan sebagai berikut :

Tempat dari banking account dari departemen, lembaga dan perusahaan pemerintah;. 

Memberikan extraordinary advance selama depresi ekonomi, peranatau keadaan darurat lainnya;

Memberikan temporary advance kepada pemerintah dengan antisi-pasi adanya bayaran dari pajak, penarikan dana dari masyarakat dengan cara masyarakat tersebut memberikan loan ( loan from public);

Melakukan transaksi-transaksi pemerintah yang berkenaan denganjual bell valuta asing;

Menyediakan valuta asing yang diperlukan oleh pemerintah untukmembayar hutang-hutang pemerintah di luar negeri, atau untuk membayar pembelian pemerintah di luar negeri;

Melakukan manajemen terhadap public debt antara lain dengan jalan mengambil loan atau mengisukan treasure bills atas nama pemerintah.

k. Peranan Bank Sentral sebagai Advisor of The State

    Peranan Bank Sentral sebagai advisor dari pemerintah, khususnya advisor yang berkenaan dengan masalah-masalah moneter dan keuang- an sangatlah penting. Untuk maksud tersebut Bank Sentral akan memberikan masukan-masukan sehingga memerlukan bagian khusus untuk mempelajari trend pasar sehingga dapat memformulasi kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu sesuai dengan perkembangan pasar.

l. Peranan Bank Sentral sebagai The Lender of The Last Resort

      Kewenangan Bank Sentral dalam keadaan- keadaan darurat. Dalam hal ini, Bank Sentral berkedudukan sebagai pemberi pinjaman kepada bank-bank komersil dalam keadaan-keadaan memaksa, yakni jika bank komersil membutuhkan sejumlah dana.

m.  Peranan Bank Sentral sebagai Custodian of The Nations Reserves

      Bank Sentral juga mempunyai peranan sebagai custody dari reserve yang dipunyai oleh negara. Peran ini diberikan sebagai konsekuensi dari peranan Bank Sentral sebagai sate-satunya otoritas untuk mengisukan notes. .Maka dalam fungsinya sebagai custody, pihak Bank Sentral memegang dan menyimpan reserve-reserve dari negara untuk kepentingan negara. Reserve tersebut antara lain berupa emas, perak, dan valuta asing.

n.  Peranan Bank Sentral dalam Hubungan dengan Economic Development

     Paranan Bank Sentral dalam hubungan dengan pembangunan ekonomimerupakan trend Baru dari Bank Sentral selain dari peran konvensionalnya berupa pengaturan moneter dan penstabilitas nilai tukar. Beberapa contoh dari peran Bank Sentral dalam hubungan dengan pem- bangunan ekonomi adalah :

a) untuk membiayai pembangunan ekonomi;

b) untuk mempromosikan peningkatan produksi, kesempatan kerja

c) dan income masyarakat.

d) untuk memberikan kredit (Iangsung atau tidak Iangsung) kepada sektor pertanian dan industri. 

     Tugas Pengawasan yang diberikan oleh Bank Sentral ( Bank Indonesia )  yang ditetntukan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 1968 dan telah mengalami perubahan terakhir dengan Undang-Undang No 9 Tahun 1969 dan dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomo 13 Tahun 2004 telah dilaihkan pada Otoritas Jasa Keuangan , ditetapkan demikian setelah diundangkannya regulasi pengawasan maka praktis seluruh kegiatan pengawasan diambil alih oleh OJK

E. Pengaturan Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah

1. Pengertian Umum Peraturan Perundang-undangan

Konsep kewenangan negara sebagai tugas kewajiban negara dengan tujuan yang hendak dicapai dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya teori perundang-undangan yang di dalamnya merupakan penjabaran sistem norma yang berisi keharusan dan larangan berintikan keadilan,  Bagir Manan   menjelaskan bahwa beberapa prinsip dalam ajaran tata urutan peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan  perundang-undangan dengan tingkat lebih tinggi.

2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibuat tanpa wewenang (onbevoegd) atau melampaui wewenang (deternement  de pouvoir).

Menurut Bagir Manan, peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atau lingkungan jabatan yang berwenang dan berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum. Peraturan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (ambtsdrager), misalnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Peraturan yang dibuat oleh lingkungan jabatan (organ), secara teoretis, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai Stufenbau des recht atau debierarchy of law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum yang rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi.  

Menurut teori murni tentang hukum, hukum tidak lain dari sistem hukum positif yang dibuat penguasa. Hukum positif ini dapat berupa peraturan perundang-undangan sebagai kaidah umum (general norm) dan kaidah-kaidah yang terjadi karena putusan hakim sebagai kaidah khusus (individual norm). Norma secara umum dibedakan antara norma hukum publik dan norma hukum privat. Tujuan penormaan dalam tata urutan perundangan adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum atas sikap tindak adil dan benar didalam hubungan antara warga masyarakat.

Vander Viles I.C mengemukakan bahwa suatu regulasi perlu memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan yang baik, yaitu beberapa asas penting dalam mewujudkan kepastian hukum antara lain : 

a. Asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori yang berarti peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.

b. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, yaitu peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama.

c. Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generale yang berarti peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengalahkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.

d. Azas Non Retro Actif yang berarti asas yang melarang adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku surut.

Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat sesuai dengan asas-asas hukum yang baik harus dilaksanakan secara konsekuen karena apabila peraturan perundang-undangan yang telah baik tidak dijalankan secara benar, maka hal tersebut akan menyebabkan penguasa bersifat sewenang-wenang, atau apabila dilaksanakan secara apatis akan menjadikan peraturan perundang-undangan itu tidak efektif.  Dan salah satu sifat yang melekat pada peraturan perundang-undangan adalah sifat otoriter dari rumusan-rumusan peraturannya, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk yang lebih jelas, sehingga tidak memerlukan interprestasi. Peraturan yang berkaitan dengan pengurusan dan penyelesaian piutang negara perbankan adalah Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Keuangan Negara dan  Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara.

2. Pengaturan Perbankan dan Bank Milik Negara

a. Eksistensi Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1988

Pengaturan perbankan mengalami perubahan yang cukup prinsipil.  Perubahan dan penyempurnaan pengaturan hukum perbankan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 merupakan landasan perbankan nasional dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas. Di dalamnya diciptakan dengan satu lingkungan industri perbankan, tetapi juga membuat transformasi yang diakibatkan oleh perkembangan industri perbankan dalam kancah perekonomian nasional maupun internasional, sehingga mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dibentuk tindakan langsung yang ditujukan guna mempercepat proses modernisasi sektor industri perbankan yang juga digariskan ketentuan tertib hubungan yang disepakati bersama dan yang diperlukan dalam industri perbankan untuk menjalankan fungsi produktifnya (bandingkan Muhammad Djumhana, 1993 :30).

Pertama kalinya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Jika kita mencermati konsiderans menimbang dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 dapat diketahui dasar pemikiran dan latar belakang penyempurnaan pengaturan hukum perbankan, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992, diantaranya sebagai berikut :

1. Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, maka diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Penyempurnaan pengaturan hukum perbankan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 ini agar lebih sesuai dengan perkembangan dan kebijakan di bidang ekonomi. Sehubungan dengan pertimbangan tersebut, Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain menyatakan bahwa :

Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukan arah yang semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang sekaligus dapat berdampak kurang menguntungkan. Sementara itu, perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor perbankan, sehingga diharapkanakan dapat memperbaiki dan memperkukuh perekonomian nasional. Sektor perbankan yang memiliki potensi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyusaian yang dimaksud. Sehubungan dengan itu,diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual, melainkan juga penyehatan perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, bank-bank itu sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional, sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.

2. Dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan dan jasa, maka diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan. Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 ini agar lebih sesuai dengan perkembangan pengaturan hukum internasional mengenai perdagangan barang dan/atau jasa di era globalisasi.

Sehubungan dengan pertimbangan di atas, Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 sebagai berikut :

“Sejalan dengan perkembangan tersebut, dengan komitmen Indonesia dalam berbagai forum internasional seperti World Trade Organization (WTO), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan Association Of South East Asian Nations (ASEAN) diperlukan berbagai penyesuaian dalam peraturan Perbankan Nasional, termasuk pembukaan akses pasar dan perlakuan nondikriminasi terhadap pihak asing. Upaya liberalisasi di bidang perbankan dilakukan sedemikian rupa, sehingga dapat sekaligus meningkatkan kinerja perbankan nasional. Oleh karena itu, perlu diberikan kesempatan yang lebih besar kepada pihak asing untuk berperan serta dalam memiliki bank nasional, sehingga tetap terjadi kemitraan dengan pihak nasional”.

Dengan demikian dapat disimpulkan, kalau penyempurnaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tersebut dimaksudkan agar peraturan perbankan lebih sesuai dengan perkembangan dan kebijakan di bidang ekonomi dan perdagangan nasional maupun dunia. Selain itu, juga untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Norma Hukum Perbankan.

Penyempurnaan terhadap ketentuan perbankan yang termuat di dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 dilakukan secara substansial yang mencerminkan pendapat masyarakat mengenai perbankan dan program penyehatan perbankan yang telah, sedang dan yang akan dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, antara lain meliputi: 

a. Peralihan kewenangan dalam pemberian izin pendirian bank kepada Bank Indonesia dari Depertemen Keuangan, dengan memberikan kewenangan penetapan oleh Bank Indonesia atas beberapa ketentuan. Selain itu, DPR juga menekankan pentingnya fungsi penyehatan perbankan dapat dilakukan oleh Bank Indonesia.

b. Perlunya konsultasi kepada DPR dalam rangka pembentukan badan khusus yang bertugas melakukan penyehatan perbankan nasional, mengingat adanya peran ABPN dalam pendanaan program penyehatan dan adanya pemberian kewenangan tertentu kepada badan khusus dimaksud. Konsultasi dengan DPR perlu dilakukan untuk menilai apakah suatu keadaan telah layak ditetapkan sebagai keadaan “yang membahayakan perekonomian nasional”. Di samping itu, DPR juga memberikan masukan perlunya program penyehatan perbankan dilakukan dengan memperhatikan kesamaan kedudukan bagi seluruh pihak, dan sejalan dengan itu pelaksanaan program penyehatan harus selalu didasarkan kepada kaidah-kaidah hukum;

c. Peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran ketentuan rahasia bank yang merupakan perubahan yang materiil terhadap konsep awal dan mencerminkan DPR dalam menjamin kerahasiaan mengenai simpanan dan nasbah penyimpan, dengan tujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan nasabah penyimpan pada perbankan nasional;

d. Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dirumuskan dalam pendefinisian Prinsip Syariah;

e. Dalam masalah pendirian dan kepemilikan bank, rekapitalisasi perbankan nasional dapat dilakukan dengan memungkinkan kepemilikan pihak asing sebagai mitra strategis dan pemegang saham bank umum. Oleh karenanya juga diharapkan dapat mendorong efisiensi perbankan nasional;

f. Peranan Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan pemeriksaan terhadap bank yang di dalamnya terdapat keuangan negara;

g. Pendefinisian Lembaga Penjamin Simpanan dan pendapat DPR mengenai bentuk badan hukum yang akan digunakan, di samping dukungan nyata berupa persetujuan DPR bagi pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan;

h. Penegasan mengenai sifat sementara bagi badan khusus penyehatan perbankan nasional yang menunjukkan perlunya dihindarkan duplikasi dalam pembinaan perbankan nasional;

i. Pencantuman mengenai persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dalam perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah bagi perusahaan berskala besar atau berisiko tinggi ;

j. Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman dan pengenaan hukuman yang bersifat minimum dan maksimum (Rachmadi Usman, 2001: 10-12).

Prinsip-prinsip pokok penyempurnaan sistem hukum perbankan nasional tersebut, lebih lanjut dijabarkan yang cakupan substansi atau ruang lingkupnya, meliputi: 

a. Asas, fungsi, dan tujuan perbankan Indonesia;

b. Jenis dan usaha bank;

c. Perizinan, bentuk hukum, dan kepemilikan bank;

d. Pembinaan dan pengawasan terhadap bank;

e. Kepengurusan bank;

f. Penggunaan tenaga asing pada bank;

g. Rahasia bank;

h. Ketentuan  pidana  dan  sanksi  administratif  (Rachmadi Usman 2001:12)

Di samping itu, pengaturan hukum perbankan nasional yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 dilengkapi pula dengan penjelasan umum serta penjelasan pasal demi pasal, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan batang tubuh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang  Nomor 10 tahun 1998.

Penjabarannya dalam Undang-Undang Perbankan yang diubah ada yang secara rinci dan hanya menetapkan asas-asas dan soal-soal pokok dalam garis besarnya saja. Oleh karena itu, substansi pengaturan hukum perbankan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dinilai terlalu sumir, sederhana, umum, singkat dan menetapkan pengecualiannya yang membatasi, sehingga dalam implikasinya akan dapat menimbulkan perbedaan penafsiran ketentuan pelaksanaannya. Hal itu terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ada, sedang sebagian lagi masih perlu ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia.

Dewasa ini kerangka hukum bank berdasarkan Prinsip Syariah telah diatur secara khusus dan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa perlunya aturan spesifik atau khusus dalam suatu undang-undang tersendiri yang mengatur perbankan syariah, berhubung perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional dan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat. Sejalan dengan itu, sesuai dengan tujuan pembangunan nasional indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, maka dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah dengan mengangkatnya ke dalam sistem hukum nasional. Sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, operasionalisasi perbankan syariah berdasar kepada Undang-Undang perbankan umum sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta aturan yang dikeluarkan Bank Indonesia berupa peraturan dan Surat Edaran Bank Indonesia. 

Penyederhanaan sistem perbankan dengan menghilangkan perbedaan fungsi-fungsi operasional bank secara struktural, dan membedakan antara Bank Umum, Bank Pembangunan, Bank Tabungan, Bank Koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kegiatan usaha bank yang dipisahkan berdasarkan fungsinya tersebut sebenarnya sudah tidak tepat karena pada dasarnya semua jenis bank dapat beroperasi sebagai bank umum,kecuali BPR. Oleh karena itu, sistem perbankan Indonesia pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 hanya dikenal 2(dua) jenis bank dilihat dari fungsinya, yaitu Bank Umum dan BPR. Di samping itu, dari sudut operasionalnya pula suatu sistem perbankan yang berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, Prinsip Syariah atau sistem perbankan syariah yang dapat dilakukan dengan baik, oleh Bank Umum maupun BPR. Dengan kata lain, kegiatan usaha Bank Umum dan BPR dapat dikelola secara konvensional  dan/atau  berdasarkan Prinsip Syariah atau bagi hasil.

Selain dilihat dari aspek teori hukum responsif, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan itu dilakukan pada masa-masa tidak normal, sehingga hal tersebut secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap materi dari undang-undang yang bersangkutan. Undang-Undang yang lama  (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992) dibuat pada saat bank-bank berada dalam suasana eforia liberalisasi moneter setelah deregulasi yang bersumber dari Pakto 1988. Paket Deregulasi Oktober 1988 ini sangat memberi kemudahan bagi pertumbuhan bank-bank swasta, sehingga tidak mengherankan bahwa setelah paket deregulasi ini, bank-bank swasta tumbuh bagi jamur dimusim hujan. Perlu dicatat bahwa perkembangan perbankan setelah Pakto 1988 ini sangat pesat, tetapi kurang kontrol, sehingga menimbulkan berbagai masalah dalam praktik, dan prinsip prudential banking sama sekali diabaikan. Akibatnya di sekitar tahun 1991, Bank Duta, Bank Majapahit gagal bayar terhadap nasabahnya dan sempat kolaps karena kejahatan yang dilakukan oleh pimpinan dan sekaligus pemiliknya, meskipun akhirnya bank ini dapat diselamatkan oleh Bank Indonesia. Dan pada tahun 1992 yang paling monumental adalah likuidasi bank Summa yang sangat menghebohkan dunia perbankan karena banyak memakan korban nasabahnya.

Peristiwa likuidasi perbankan lima tahun berikutnya adalah pada tanggal 1 Nopember 1997, pemerintah Republik Indonesia mengumumkan melikuidasi 16 bank swasta, yang akhirnya menimbulkan kasus gagal bayar BLBI, dimana kerugian negara mencapai ratusan trilyun. Hal itu belum dapat diselesaikan sampai sekarang.  

Pada saat kondisi kacau balau, terjadi kesemrawutan kebijakan pemerintah di bidang perbankan dan juga sebagai akibat krisis moneter perekonomian Indonesia, termasuk bisnis perbankan, lahirlah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, sehingga materinya juga campur aduk, dan dua ketentuan-ketentuan Undang-Undang, baik yang lama maupun yang baru tetap berlaku. Perbedaan yang utama Undang-Undang No 10 Tahun 1998 dengan undang-undang yang lama hanyalah mengenai  ketentuan yang mengatur tentang pengakuan bank dengan sistem syariah yang kemudian dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.  Akan tetapi, bila dilihat dari aspek kepemilikan bank umum, baik yang berdasarkan prinsip bagi hasil ataupun non bagi hasil adalah dapat dibedakan sebagai berikut: 

a. Bank Umum Milik Negara

b. Bank Pembangunan Daerah

c. Bank Umum Koperasi

d. Bank Umum Swasta Nasional

e. Bank Umum Asing

f. Bank Campuran

Sebagai Bank Umum, bank-bank milik negara di dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak mendapatkan perlakuan yang istimewa dibandingkan dengan bank-bank umum swasta nasional, kecuali menyangkut pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris Bank. Ditetapkan, bahwa pengangkatan pertama, Direksi dan Dewan Komisaris pada saat pendirian PT Persero dari bank yang bersangkutan dilakukan menteri keuangan selaku pendiri setelah mendapatkan persetujuan presiden. Pengangkatan berikutnya dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham dari calon-calon yang diajukan oleh menteri keuangan selaku pemegang saham setelah mendapatkan persetujuan presiden.

3.  Pengaturan Bank Umum Milik Negara 

Bank Umum Milik Negara didirikan dengan Undang-Undang yang seluruh modalnya merupakan kekayaan negara. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, telah didirikan beberapa Bank Umum milik negara/pemerintah, yaitu :

a. Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang  Nomor 21 Tahun 1960.

b. Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946) yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968.

c. Bank Dagang Negara (BDN) yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1968.

d. Bank Bumi Daya (BBD) yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968. 

e. Bank Tabungan Negara (BTN) yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1968.

f. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968.

g. Bank Ekspor  Impor  Indonesia  (Bank Exim) yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1968.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 bentuk hukum dari bank-bank umum milik negara itu diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan bentuk hukum bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Penyesuaian bentuk hukum Bank Umum milik negara itu menjadi Perusahaan Persero (PT. Persero), dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu :

a. Peraturan Pemerintah  Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Negara Indonesia 1946 menjadi Perusahaan Perseroan (Persero Hukum Bank Negara Indonesia 1946 menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)).

b. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Dagang Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

c. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Negara Indonesia 1946 menjadi Perusahaan Perseroan (Persero Bank Rakyat Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)).

d. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum  Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Negara Indonesia 1946 menjadi Perusahaan Perseroan (Persero Hukum Bank Ekspor Impor  menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)).

e. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian  Bentuk Hukum Bank Bumi Daya  menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank  Tabungan Negara  menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

g. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Pembangunan Indonesia  menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

Kemudian sejak tahun 1999, dari ketujuh Bank Umum milik negara ini, empat bank, yakni Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Bumi Daya dan Bank Pembangunan Indonesia telah menggabungkan diri menjadi PT Bank Mandiri (Persero) yang total aset seluruhnya mencapai Rp. 160,5 triliun. Sedangkan Bank Negara Indonesia 1946,  Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tabungan Negara tetap berdiri sendiri menjadi PT Bank Negara Indonesia 1946 (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), dan PT Bank Tabungan Negara (Persero).

4. Pengaturan Bank Pembangunan Daerah 

Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan Bank Umum Milik Daerah yang didirikan menurut ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, Bank Pembangunan Daerah diwajibkan menyesuaikan bentuk hukumnya menjadi Perusahaan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Penyesuaian bentuk hukum Bank Pembangunan Daerah menjadi perusahaan daerah dilakukan dengan Peraturan Daerah Provinsi masing-masing. Sebagai tindak lanjut penyesuaian bentuk hukum Bank Pembangunan Daerah, lahirlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Peraturan Pendirian Bank Pembangunan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 1992 tentang Perbankan.

F. Peran Dan Wewenang Departemen Keuangan dan Bank Indonesia 

1. Peran dan Wewenang Departemen Keuangan 

Sebagaimana halnya yang terdapat di semua negara, Menteri Keuangan adalah menteri yang memimpin Departemen Keuangan yang merupakan anggota kabinet dari pemerintah dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan keuangan dan fiskal negara yang bersangkutan. Departemen Keuangan merupakan institusi pemerintah yang bertanggung jawab untuk membentuk dan menentukan kebijakan fiskal atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah di dalam mengadakan barang dan jasa untuk keperluan atau kebutuhan negara dan bagaimana cara pemerintah membiayai kebutuhan tersebut. Kebijakan fiskal dilakukan melalui dua sarana, yaitu pajak dan pinjaman, dengan tujuan utama kebijakan fiskal adalah menjaga kestabilan antara public spending dan public borrowing. Selain kebijakan fiskal, Departemen Keuangan juga merupakan bagian sistem keuangan Indonesia karena Departemen Keuangan mewakili pemerintah dalam memberikan perizinan dan melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan. Hal-hal yang terkait dengan lembaga keuangan meliputi struktur maupun operasinya berada di bawah kewenangan Departemen Keuangan. Oleh karena itu, seluruh lembaga keuangan bukan bank sepenuhnya diatur dan diawasi oleh Departemen Keuangan, sementara bank-bank diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia. Sebelum krisis merebak pada tahun 1997-1998, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur bahwa mengenai perizinan seperti pemberian dan pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh Menteri Keuangan, di samping itu juga memiliki peran antara lain :

1.  Kebijakan Penyelesaian Piutang Negara BLBI

Peranan Departemen Keuangan dalam penyelesaian krisis perbankan amat besar yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan. Selain pengaturan dan pengawasan, Departemen Keuangan menentukan dalam penetapan bank-bank yang mendapatkan rekapitalisasi, penentuan besarnya nilai rekapitalisasi bagi masing-masing bank, program penjaminan pemerintah, dan penerbitan obligasi dalam kaitan dengan penyelesaian krisis dimaksud. Dalam pelaksanaannya, Departemen Keuangan membawahi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 

Secara rinci, peranan Departemen Keuangan di dalam penetapan kebijakan perbankan tertuang di dalam Undang-Undang Bank Sentral No. 13 Tahun 1968. Pemerintahdalam hal ini Departemen Keuangan merupakan pimpinan dari Dewan Moneter dan merupakan sekretariat dari Dewan Moneter. Sementara itu, menurut Pasal 16 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat diberikan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Untuk mendapatkan izin usaha, Bank Umum maupun BPR wajib memenuhi persyaratan, baik tentang struktur organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, maupun kelayakan rencana kerja, serta hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan ketentuan-ketentuan lain yang tertuang di dalam peraturan pemerintah.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memisahkan dengan tegas fungsi Bank Sentral dengan pemerintah khususnya dalam pengawasan bank. Departemen Keuangan menetapkan modal minimum untuk mendirikan bank, sementara Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan kepada bank. Dalam kaitannya dengan kondisi bank yang dapat membahayakan kondisi sistem perbankan, Menteri Keuangan dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk melikuidasi bank dimaksud. Tindakan ini dapat dilakukan setelah mendapatkan usul dari Bank Indonesia, setelah melakukan tindakan-tindakan, seperti:

a. pemegang saham menambah permodalan;

b. pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi;

c. bank menghapusbukukan kredit yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban, serta mengambil tindakan-tindakan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila direksi bank tidak mengindahkan permintaan Menteri Keuangan untuk melikuidasi bank, setelah mendengar pertimbangan dari Bank Indonesia, Menteri Keuangan dapat meminta kepada pengadilan untuk melikuidasi bank yang bersangkutan :

   Paska di lahirkannya lembaga pengawas keuangan yaitu Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. 

       Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya.  Hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya UU ini selain pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali dirubah, yakni ;

Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional.

Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.

Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan

Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.

G. Pengalihan Kewenangan Pengawasan Lembaga Keuangan :

     Lahirnya lembaga Otoritas Jasa Keuangan merupakan cetak baru didalam pengaturan (regulasi ) pengawasan terhadap lembaga keuangan di Indonesia, fungsi dan tugas OJK telah diatur didalam Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan . Penataan tersebut diataranya adalah sebagai berikut :

Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.

Agar pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi

1. Tugas Dan Wewenang OJK

     Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:

1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

2.   Struktur Kelemabagaan  OJK

       Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial, yang beranggotakan 9 (sembilan) orang. Kesembilan orang tersebut terdiri dari 7 (tujuh)  orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, 1 (satu) ex-officio dari Bank Indonesia dan 1 (satu) ex-officio dari Kementerian Keuangan. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan . Tugas anggota Dewan Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.  OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

1) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

2) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

3) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

 2.  wewenang:

1) Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi : 

a) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; 

b) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

c) Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank;

d) Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:  manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.

2) Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi : 

a) Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

b) Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;

c) Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK

d) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

e) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

f) Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

g) Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

3) Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi : 

a) Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b) Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c) Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d) Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

e) Melakukan penunjukan pengelola statuter;

f) Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g) Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h) Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.

4.  Hubungan Kelembagaan OJK dengan B.I dan Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS )

     Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank dan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK, akan tetapi tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank dan laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya hasil pemeriksaan.

Jika OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK. OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi







Menteri keuangan

                                                                                                  Menteri perdagangan

Gubernur Bank Indonesia







Gambar 4.1. Posisi Departemen Keuangan era 1968-1998

Pada tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa Dewan Moneter terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua, Menteri Perdagangan sebagai anggota, dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota. Dewan Moneter menetapkan kebijakan moneter dan Bank Indonesia melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Apabila pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, masih terdapat pemisahan yang tegas antara Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, sedangkan pada amandemennya dengan Undang-Undang No. 10/1998 fungsi Menteri Keuangan khususnya di dalam memberikan izin terhadap pendirian bank baru beralih ke pimpinan Bank Indonesia. Peranan Menteri Keuangan menjadi erat dengan keberadaan BPPN sebagaimana di dalam Pasal 37 A. 

H.    Pencegahan Bank Gagal

             Pencegahan bank gagal adalah tindakan secara terus menerus menjaga agar bank tidak  kehilangan kepercayaan publik dan terjaga dari penyelewengan atau moral hazard  . Tindakan ini dapat dilakukan melalui tiga upaya yang harus saling mendukung, yakni adanya manajemen risiko dan tata kelola yang baik atau good corporate governance, disiplin pengaturan atau regulatory discipline dan disiplin pasar atau market discipline. Adanya penerapan manajemen risiko dan tata kelola yang baik dapat membantu bank dapat memastikan arah dan strateginya telah sesuai dan konsistensi dengan yang direncanakan. Hal tersebut dapat mencegah pengelola bank melakukan tindakan yang melampaui derajat risiko yang telah digariskan. Dalam Memorandum of Understanding on operation between the Financial Supervision Authority, central banks, and finance ministry of the European Union on Cross border financial stability sebuah protokol yang mengatur mengenai “cross border banking” di Uni Eropa pada bagian akhir dokumen tersebut, disebutkan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan otoritas keuangan Uni Eropa bila terjadi krisis adalah sebagai berikut :

a. Latar belakang kebijakan (policy background)

b. Cakupan penilaian (scope of the assessment)

c. Prioritas penilaian (prioritisation on the assessment)

d. Faktor-faktor yang memengaruhi (factors influencing the assessment)

e. Skor dampak sistemik (systemic impact score)

f. Rentang skor (range of the score)

g. Dampak penularan (contagion channel)

Semua ini berarti bahwa bilamana terjadi dalam krisis, maka segala macam dipertimbangkan akan diberikan skor, lalu diringkas ke dalam grafik yang disebut sebagai “heat map”. Peran lainnya adalah diperlukan lembaga penjaminan simpanan.

1. Kebijakan Program Penjaminan Pemerintah

Amanat yang dituangkan dalam Keputusan Presiden tanggal 3 September 1997 yang diberikan kepada Menteri Keuangan dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa tanggung jawab pemerintah yang dikepalai oleh presiden dengan Dewan Moneter pelaksanaannya diteruskan pada masa Menteri Keuangan dan Bank Indonesia. Namun, tidak ada prosedur dan mekanisme operasional yang jelas dalam mengatur hubungan kerja antara DPK-EKKU, Dewan Moneter termasuk Bank Indonesia, dan Departemen Keuangan terutama mengenai sistem pengawasan pelaksanaan kebijakan  .

Pada periode Oktober sampai dengan Desember 1997 dalam rangka mengatasi kesulitan ekonomi moneter yang melanda Indonesia termasuk dan tidak terbatas pada restrukturisasi perbankan nasional, IMF ikut berperan aktif dalam menentukan langkah-langkah kebijakan yang ditempuh pemerintah.  Namun usul paket kebijakan yang kemudian diimplementasikan itu justru makin memperburuk kondisi perbankan. 

Selanjutnya, pada tanggal 27 Januari 1998 pemerintah mengeluarkan tiga langkah penyelamatan darurat perbankan sekaligus memberikan komitmen pemerintah untuk membayar ongkos  restrukturisasi  perbankan, yaitu sebagai berikut:

a. Semua deposan dan kreditur bank nasional dijamin pemerintah.

b. Membentuk badan khusus bernama Badan Penyehatan Perbankan Nasional di bawah naungan Menteri Keuangan dengan masa operasi lima tahun. Badan ini selanjutnya bertugas mengambil alih dan melakukan program penyehatan terhadap bank yang bermasalah dan mengelola kredit macet dari bank yang masuk ke dalam program penyehatan.

c. Mengajukan struktur dan pola pengelolaan restrukturisasi korporasi paket kebijakan ini membawa dampak positif. Nilai Rupiah terus menguat menjadi Rp. 10.000 per dolar dan terus menguat. Dana pihak ketiga pun kembali ke sistem perbankan. 

Pada saat yang bersamaan pemerintah pun memutuskan untuk memberikan batasan terhadap tingkat suku bunga deposit (batas maksimum suku bunga penjaminan) untuk meminimalkan moral hazard akibat dikeluarkannya blanket guarantee. Melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/199/KEP/DIR tanggal 12 Februari 1008, 54 bank umum swasta ditempatkan dalam program penyehatan di BPPN, tetapi pada saat itu BPPN belum efektif beroperasional, sehingga 54 bank-bank tersebut baru dapat diserahkan tanggal 4 April 1998.

Krisis moneter dan pencabutan izin usaha enam belas bank pada pertengahan dan akhir tahun 1997 telah menyebabkan merosotnya kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap mata uang rupiah dan perbankan nasional yang ditandai dengan penarikan dana masyarakat secara besar-besaran dari sistem dan tidak diterimanya L/C dari perbankan nasional oleh perbankan luar negeri. Dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menjamin kewajiban pembayaran bank umum bagi nasabah dan kreditur dalam dan luar negeri yang diwujudkan dalam bentuk pengeluaran ketentuan :

a. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Kewajiban Pembayaran Umum; dan 

b. Keputusan Menteri Keuangan No. 26/K/MK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998 tentang Persyaratan dan Tata Cara Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. 

Program penjaminan pemerintah atau blanket guarantee ini dilaksanakan oleh BPPN dan Bank Indonesia sebagaimana didasarkan pada ketentuan Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN NO. 30/270/KEP/DIR dan No. 1/BPPN/1998 tanggal 6 Maret 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Keikutsertaan bank dalam program penjaminan ini bersifat wajib atau compulsary, kecuali bank campuran boleh tidak mengikuti program penjaminan dengan syarat bank asing pemegang saham bank yang bersangkutan telah memberikan jaminan yang sama kepada nasabah atau krediturnya. Peranan Departemen Keuangan dalam hal ini adalah menyediakan dana program penjaminan yang semula berasal dari dana talangan Bank Indonesia kemudian diganti oleh Departemen Keuangan mewakili pemerintah dengan menerbitkan Surat Utang Negara. Jumlah dana sebesar Rp. 53,8 triliun dimuat dalam Surat Utang Negara No. SU-004/MK/1999 tanggal 28 Mei 1999. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, di antaranya member jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkereditan Rakyat.

Pemerintah juga melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan untuk memperbaiki kinerja perbankan dan memperkuat struktur permodalan bank yang menelan biaya luar biasa besar.

Bergulirnya kebijakan blanket guarantee terbukti menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Di sisi lain, kebijakan ini membebani keuangan negara dan menimbulkan moral hazard, yakni insentif bagi banker atau nasabah untuk mengambil risiko yang lebih besar karena adanya penjaminan simpanan .

Munculnya pertimbangan untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat dan meminimalkan dampak negatif blanket guarantee mendorong pemerintah menetapkan secara bertahap pengurangan lingkup penjaminan dan hanya akan memberikan jaminan terhadap simpanan dalam jumlah terbatas (limited guarantee).

Sebagai implementasinya, pada 22 September 2004, ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). LPS dirancang sebagai satu unsur penting dalam jarring pengaman sistem keuangan (financial safety net) yang merupakan praktek terbaik di banyak negara untuk  memelihara sistem perbankan.

LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Fungsi penjaminan diejawantahkan dengan melakukan pembayaran klaim penjaminan aats simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan menunjuk tim likuidasi untuk membereskan aset dan kewajiban  bank  tersebut.

Sementara itu, fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan yang diwujudkan melalui upaya menyelamatkan atau penyehatan bank gagal yang tidak berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik (bank resolution). Keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal tidak berdampak sistemik ditetapkan LPS. Salah satu pertimbangannnya didasarkan pada perhitungan biaya yang lebih rendah (lower cost test) antara menyelamatkan bank tersebut dengan membayar klaim penjaminan.

Selain itu, keputusan untuk menyelamatkan bank gagal yang berdampak sistemik ditetapkan dan diserahkan oleh Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner. LPS selanjutnya bertindak sebagai pelaksana dalam penyelamatan bank gagal yang telah diputuskan berdampak sistemik.

Dalam upaya penyelamatan bank gagal, LPS berwenang mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk RUPS; menguasai, mengelola, dan menjual/mengalihkan aset bank; melakukan penyertaan modal sementara; serta mengalihkan manajemen pada pihak lain. 

LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling lama empat tahun untuk bank tidak berdampak sistemik dan lima tahun untuk bank gagal yang berdampak sistemik. Selanjutnya LPS wajib menjual seluruh saham bank yang tidak berdampak sistemik mulai pada tahun kedua, dan tahun ketiga untuk bank yang berdampak sistemik secara terbuka dan transparan.

Dalam hal LPS telah membayar klaim penjaminan simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya, LPS mempunyai hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan tersebut (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian kewenangan dan hak tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan (recovery rate) bagi LPS sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan dapat terus dijaga.

Keberadaan LPS sejalan dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang bertujuan menciptakan sistem perbankan nasional yang kuat, bertumbuh, dan sehat. Fungsi LPS dalam menjamin simpanan nasabah bank maupun melakukan penyelamatan bank gagal merupakan bagian penting dalam Pilar ke-6 API. Selain itu, peran LPS dalam mendukung stabilitas sistem perbankan berkontribusi mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Sebagian besar negara yang terkena krisis perbankan menerapkan blanket guarantee sebagai upaya untuk merestrukturisasi industri perbankannya dengan cara mempengaruhi sensitivitas risiko bank yang akan memberikan insentif pada pengelolaan bank secara pruden. Di antara empat negara, seperti Indonesia, Thailand, Korea Selatan dan Malaysia yang melaksanakan blanket guarantee pada saat krisis perbankan tahun 1997-1998, Thailand dan Korea Selatan langsung menunjukkan efek yang positif ketika program tersebut diterapkan, sementara Indonesia tidak seketika demikian karena program tersebut baru diterapkan setelah setengah tahun krisis tersebut berlangsung. 

Di Indonesia, masyarakat khususnya nasabah penyimpan dana belum memperoleh kejelasan ketika diumumkan Keputusan Presiden mengenai blanket guerantee, bagian mana-mana saja yang dijamin dan lembaga mana yang akan melaksanakannya, sehingga program penjaminan pemerintah tersebut tidak langsung memperoleh respons yang positif. Hal yang sama terungkap dalam hasil audit investigasi BPK yang mempermasalahkan bahwa BPPN dan Bank Indonesia tidak memanfaatkan program penjaminan dimaksud dalam rangka meng-cover kewajiban bank yang jatuh tempo dan dibiarkan dibayar melalui proses kliring.  Sementara itu, Bank Indonesia dan BPPN mengemukakan bahwa setelah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998, pemerintah belum memiliki ketentuan pelaksanaan, sehingga pembayaran kewajiban bank dilakukan melalui proses kliring.

Uraian tersebut di atas, di samping menunjukkan kelemahan yang ditimbulkan dari dasar kebijakan yang kurang jelas, tetapi juga menandakan kurangnya pemahaman atas kondisi terjadinya dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis serta pemahaman yang kurang luas mengenai mengapa perlu upaya mempertahankan keberadaan dan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran.

            Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 terdapat empat pilihan teknis terhadap bank gagal, yakni, pertama, melalui penanganan bank gagal sistemik dengan melibatkan pemegang saham, kedua, melalui penanganan bank gagal sistemik tanpa melibatkan pemegang saham, ketiga melalui penyelamatan bank gagal tidak sistemik dan keempat, dengan tidak melakukan menyelamatkan pada bank gagal tidak sistemik. Pendefinisi sistemik dan non-sistemik mempunyai arti yang penting dalam teknis penutupan bank gagal terutama dalam hal penyelamatan yang berarti negara melakukan intervensi pada kelangsungan operasional bank gagal tersebut dan dalam pertemuan G-20 hal ini pernah dibahas mengenai pendefinisian dan ukuran dampak dari bank gagal akan tetapi belum juga terdapat kesepahaman pendapat karena hampir semua negara mempunyai pandangan bahwa definisi mengenai sistemik dan non-sistemik masih bersifat relatif karena berdasarkan pada kondisi, sehingga sampai saat ini belum ada penetapan definisi sistemik dan non-sistemik di negara mana pun. Pada dasarnya sebuah sistem yang bersifat kompleks akan memiliki resiko sistemik dimana sebuah kegagalan merembet dan merusak seluruh sistem. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan dalam kasus seperti BLBI dan Bank Century hanyalah mengurangi kompleksitas dari sistem ini. Resiko sistemik tak dapat terdeteksi dan ia muncul akibat interaksi yang tak terduga antara bagian-bagian dalam sebuah sistem. Dalam hal resiko pada sistem keuangan manajemen resiko hanya dapat mengantisipasi masalah keadaan normal dimana prilaku bank-bank lain dapat diprediksi, menurut pandangan  George Soros mengutip pendapat CEO City Bank yang mengatakan:

“Ketika musik berhenti ,dalam kaitan dengan likuiditas ,segala hal akan     menjadi rumit. Namun sepanjang musik berlangsung, Anda harus berdiri dan menari. Kita masih menari”

Pendapat ini menggambarkan keadaan yang berkaitan dengan masalah redit subprime di Amerika, dimana persoalan timbul ketika kredit berkontraksi yang disebabkan likuiditas dikurangi untuk tujuan yang sama.  Dalam keadaan kriris perubahan yang terlampau cepat dapat menyebabkan bank-bank berprilaku diluar kebiasaan. Resiko sistemik dinyatakan kuat bila institusi lain yang secara fundamental kuat tergerus dan terkena dampak signifikan. Dalam keadaan tersebut sirkulasi uang akan mengalami penurunan, sementara setiap bank akan berupaya keras untuk meningkatkan likuiditasnya. Untuk mendapatkan likuiditas, bank mendesak debitur untuk melunasi lebih cepat, dan kondisi tersebut akan diperparah dengan perilaku nasabah mencairkan tabungan karena panik. 

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintah dan Bank Indonesia adalah aspek psikologis pasar pada saat itu. Penutupan 16 bank yang pangsa pasarnya hanya 2,3 persen dari total aset perbankan ternyata mengakibatkan dampak berantai yang memicu krisis perbankan. Efek psikologis inilah yang menjadi salah satu alasan Bank Indonesia kembali mengeluarkan kebijakan serupa ketika mem-bailout Bank Century. Dalam penjelasannya Bank Indonesia mengatakan bahwa terdapat lima aspek yang digunakan Bank Indonesia untuk melakukan analisis bank gagal yang dianggap sistemik, yaitu: (1) institusi keuangan, (2) pasar keuangan (3) sistem pembayaran, (4) Sektor riil dan (5) Psikologis pasar.

2. Perbedaan Bail Out Indonesia dengan Amerika Serikat

Persoalan bailout yang menimpa pembuat kebijakan di Indonesia, baik Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dalam kapasitasnya sebagai pejabat sejauh ini adalah tidak terlindungi oleh hukum politik terhadap upaya-upaya kriminilisasi bailout dikarenakan pemahaman terhadap protokol krisis yang disediakan konstitusi tidak dipahami sebagai hak prerogratif presiden sebagai kepala negara. Pemahaman protokol krisis yang diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan pencegahan gejolak dimensi krisis yang berdampak pada kehidupan perekonomian akhirnya membawa malpraktik policy yang masuk pada ranah korupsi. Berbeda dengan pola pencegahan krisis tentang bagaimana negara Amerika Serikat (AS) membuat keputusan untuk bailout beberapa lembaga keuangan pada krisis keuangan tahun 2008, fakta tersebut menunjukan kebijakan  pemerintah AS  dan Pemerintah Indonesi melaksanakan kebijakan bailout mereka sangat berbeda dimana kebijakan tidak bisa dilepaskan dengan kontelasi politik akan tetapi dampak dari kontelasi politik tidak serta merta menimbulkan implikasi perbuatan-perbuatan politik terhadap tindakan penyelematan krisis dapat dinilai sebagai perbuatan-perbuatan melawan  hukum.

a. Kebijakan Bail Out di Indonesia 

Krisis ekonomi dan perbankan tahun 1997/1998 yang memaksa pemerintah menalangi (bailout) Rp. 600 triliun, disusul dengan penutupan 16 bank terlikuidasi, seharusnya tak ada lagi kasus serupa, karena  biaya penyelesaian dan penangannya menajadi beban rakyat yang begitu berat.  Ternyata dalam masa pemerintahan presiden Soesilo Bambang Yudoyono, yaitu pada tahun 2008 kasus serupa terjadi lagi. Kali ini menimpa Bank Century. Waktu itu selain sulit mendapatkan dana untuk memenuhi rasio kecukupan modal (Capital Adequecy Ratio/CAR)-nya yang minus, bank tersebut juga tak memiliki dana untuk pembayaran bunga bagi deposannya. Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) pun turun tangan menyelamatkannya. Dana talangan dikucurkan ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliun melalui Lembaga Penjamin Simpanan. 

Alasan penyelamatan waktu itu, kondisi Bank Century telah memburuk sehingga harus dinyatakan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik. Ujung penyelesaian dana talangan Bank Century hingga kini tak diketahui. Audit investigasi terhadap Bank Century yang hasilnya dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada DPR. Pada Bulan November 2009, menyatakan ada kesalahan prosedur penyelamatan bank tersebut. Bahkan muncul kecurigaan atas proses pengambilan keputusanya dan adanya transaksi tak wajar di Bank century. Akhirnya  penyelidikan dibentuk Panitia Khusus (Pansus) DPR, melalui voting, keluar rekomendasi Pansus DPR yang menyatakan ada kesalahan prosedur dan kecurigaan di balik pengucuran dana talangan itu. Hasil sidang paripuna DPR mendukung hasil kerja Pansus Maret 2010. Dikeluarkanlah Rekomendasi Pansus DPR sebagai berikut :

1) Pansus DPR merekomendasikan agar penyelidikan kasus Bank Century diserahkan kepada penegak hukum, seperti Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK).

2) DPR membentuk pula Tim Pengawas (Timwas) pelaksanaan rekomendasi DPR atas Bank Century tersebut.

            Namun hingga berakhirnya masa tugas Timwas pada Desember 2011, KPK belum menemukan unsur-unsur tindak pidana di balik pengucuran dana talangan tersebut. Masa tugas Timwas DPR pun diperpanjang setahun lagi dan KPK diberi waktu hingga Juli 2012. Akhir Desember 2011 lalu, BPK menyerahkan laporan audit forensik yang dikerjakan BPK sebatas “audit investigasi lanjutan “Banyak yang menilai ,audit tersebut minim fakta baru dan menuding BPK terkooptasi, tudingan tersebut dibantah BPK. Dari 15 temuan yang dilaporkan, hanya tiga temuan baru. Selain aliran dana kepada Budi Mulya sebesar Rp. 1 miliar, PT Media Nusa Perdana sebesar Rp. 100,95 miliar, dan  Hartanto Edi Wibowo sebesar $ US 125 ,000. 

Berdasarkan hasil audit Investigasi BPK November 2008, kasus Bank century  akibat lemah dan tidak tegasnya BI selaku pengawas antara lain: 

1) Keputusan Merger tahun 2001 dengan Bank CIC , Bank Pikko dan Bank Danpac, syarat-syarat marger tak bisa dipenuhi .

2) Marger yang didahului dengan akuisis Bank Danpac dan Bank Pikko serta kepemilikan saham CIC oleh Chinkara – perusahaan berdomisili di Bahama yang saham mayoritasnya dipegang Rafat Ali Rizvi (terpidana dan ststus buron), tak memnuhi persyaran administrasi, yaitu tak adanya laporan keuangan Cinkara tiga tahun terakhir dan tak adanya rekomendasi otoritas moneter negara asal.

3) Sebagi pengawas Bank Indonesia mengizinkan merger meskipun ada pelanggaran, diantaranya berupa surat-surat berharga (SSB) fiktif yang melibatkan Chinkara “seharusnya BI membatalkan persetujuan merger tiga bank tersebut”.

4) Selanjutnya dalam kurun waktu 2005-2008, pengawasan BI lemah dan tidak tegas. Banyak terjadi pelanggaran, diantaranya CAR yang minus 132,5 % pelanggaran batas maksimum pemberian kredit, dan SSB yang tidak bisa dijual karena diterbitkan oleh perusahaan terafiliasi. Akibatnya Bank Century kekuarangan modal , yang seharusnya ditutup oleh pemilik modal. Akan tetapi, Bank Indonesia mendiamkan dengan pelanggaran-pelanggaran tersebut, BI cuma menempatkan Bank Century pada pengawasan insentif. 

5) Diketemukannya benturan kepentingan bisnis antara Budi Mulya sebagai Deputi Bank Indonesia selaku pengawas dengan bank-bank yang diawasinya. Budi Mulya dengan Robert Tantular selaku pemilik Bank Century. Budi Mulya kekurangan dana, sehingga meminjam uang ke Robert Tantular, tetapi tidak ada perjanjian pinjamannya. Sementara di sisi lain, pada periode itu Bank century tengah mengajukan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). Budi Mulya sebagai salah satu pejabat di BI memiliki peranan untuk mengucurkan FPJP itu, sehingga pinjaman itu berpotensi konflik kepentingan.

Kebijakan Pemerintah terhadap bailout Bank Century yang begitu mencekam itu ternyata didahului dengan kebijakan pemerintah untuk merilis satu paket instrumen kebijakan berupa Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) sebagai antisipasi dan payung hukum kebijakan . Ada tiga Perpu yang dikeluarkan yaitu  : 

a) Perpu Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

b) Perpu Nomor 3 tahun 2008 Perubahan mengenai Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Perubahan Lembaga Penjamin Simpanan.

c) Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring pengaman Sistem Keuangan KSSK.

d) Perpu Nomor 2 Tahun 2008 dan Perpu Nomor 3 tahun 2008 disahkan dalam Sidang paripurna DPR pada tanggal 18 Desember 2008. Dengan begitu Bank Indonesia diperbolehkan membantu likuiditas atas jaminan agunan berkualitas dan Lembaga Pejamin Simpanan, dan meningkatkan nilai jaminan simpanan nasabah bank dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar. 

e) Perpu Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan ditolak DPR, meski tidak dalam bahasa yang tegas. DPR meminta pemerintah menyempurnakan melalui RUU JPSK.

f) Jaring Pengaman Sistem Keuangan merupakan mekanisme pengamanan sistem keuangan dari ancaman krisis, yang pencakup pencegahan dan menjaga stablitas sistem keuangan melalui ;

1) Pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran;

2) Penyediaan fasilitas pembiayaan jangka pendek;

3) Program penjamin simpanan;

4) Pencegahan dan penangan krisis.

Tindakan JPSK bisa meliputi penangan kesulitan likuiditas dan/atau maslah solvabilitas bank (atau lembaga keuangan bukan bank) yang berdampak sistemik. Instrumen yang dipakai JPSK meliputi fasilitas pembiayaan darurat dan penambahan modal melalui penyertaan modal sempurna, yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan tingkat ancaman. 

Sumber pendanaan untuk pencegahan dan penangan krisis berasal dari APBN.  Perpu yang dirancang menjadi undang-undang membuat wewenang Menteri keuangan menjadi amat besar – bahkan dinilai melampui wewenang presiden. Alasannya, Perpu itu memang mengaskan adanya lembaga bernama Komite Stabilisasi sistem keuangan (KSSK). Ketuanya adalah Menteri keuangan sedangkan anggotanya adalah Gubernur Bank Indonesia. Menurut Rizal Ramli, bahwa komposisi KSSK itu aneh. Menurut Rizal, komite KSSK yang hanya beranggotakan dua orang itu terlalu sedikit dan berjumlah genap, sehingga sulit membayangkan jika ada perbedaan pendapat di dalamnya. KSSK juga dinilai seperti Dewan Moneter di zaman Orde Baru. Adanya KSSK juga membuat Gubernur Bank Indonesia tidak lagi indepnden, seperti amanat konstitusi. Apalagi dalam Perpu itu ditegaskan bahwa Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat dituntut di muka hukum bila kebijakannya meng-atasnamakan KSSK. Jadi, sebagai lembaga keuangan Superbody. Perdebatan tentang Perpu ini yang diajukan ke DPR sangat kental dengan kepentingan politik, sebelum ditolak DPR, Perpu Nomor 4 Tahun 2008 ini menjadi landasan hukum bagi keputusan KSSK dalam mem-bailout Bank Century.

Menurut Bambang Soesatyo,  uniknya pemerintah menyatakan Perpu itu masih berlaku hingga Rapat Paripurna DPR 29 September 2009, ketika paripurna menyatakan menolak RUU JPSK. Setelah itu, muncul surat presiden kepada DPR tanggal 11 Desember 2009 tentang Pencabutan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Alasan pemerintah ,surat ketua DPR pada tanggal 24 Desember 2008 kepada Presiden republik Indonesia tentang keputusan Sidang paripurna DPR 18 Desember 2008 hanya meminta pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang  Jaring Pengamanan Sistem Keuangan sebelum Januari 2009 . Tidak ada pernyataan apakah Perpu Jaring Pengam Sistem Keuangan disetujui atau tidak menjadi Undang-Undang. Insterprestasi dari isi surat itulah yang menimbulkan beda pendapat dengan Pemerintah. Surat dari Ketua DPR itu berbunyi sebagai berikut: 

“Undang-Undang. Dengan ini kami sampaikan bahwa rapat Paripurna DPR Republik Indonesia, tanggal 18 Desember Menindaklanjuti surat Presiden republik Indonesia Nomor R-63/Pres/10/2008 tanggal 29 Oktober 2008, perihal Rancangan Undang-Undang Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang jaring Pengaman Sistem keuangan menjadi 2008 menyepakati untuk meminta kepda pemerintah agar segera mengajukan RUU tentang JPSK sebelum ytanggal 19 Januari 2009 guna menindaklanjuti sebagaimana mekanisme Dewan yang berlaku”.  

Presiden lalu mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengamanan Sistem Keuangan  (JPSK) Nomor 4 Tahun 2008. Pasal 31 RUU JPSK yang diajukan pemerintah mengusulkan Perpu No. 4 Tahun 2008 baru dinyatakan dicabut apabila RUU disetujui menjadi undang-undang. Pemerintah secara sepihak menganggap perpu itu belum ditolak DPR dan masih terus berlaku. Padahal, ketika tidak disetujui DPR, dasar hukum Perpu sudah hilang.

Perdebatan tentang masa berlaku Perpu ini muncul karena menyangkut dasar hukum KSSK tentang penanganan bank gagal berdampak sistemik. DPR melalui Sidang Paripurna tanggal 29 September 2009 sudah berpendapat bahwa semua kebijakan KSSK atau komite kordinasi terkait penyelematan Bank Century menjadi tidak sah karena sidang 18 desember 2008 tak memberi persetujuan atas Perpu nomor 4 tahun 2008. Perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya bailout Bank Century ini sangat serius masing-masing memiliki legitimasi hukum berdasarkan ruang dan waktu. Pihak Pemerintah mengatakan Keputusan atas Bank Century – yang dilakukan pada tanggal 21 November 2008 sah karena keputusan itu dilakukan pada periode 15 Oktober – 18 Desember 2008, ketika Perpu masih berlaku.  Menurut pendapat BPK dan DPR kebijakan bailout pasca 18 Desember 2008 tidak memiliki dasar hukum (ilegal). Tidak ada yang mengira, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008  akan dipakai sebagai instrumen kebijakan pemerintah untuk menyelematan Bank Century,  dan ternyata bailout sudah dilakukan dengan dua tahapan :

1) Pada tanggal 14 sampai dengan 18 Nopember 2008, Bank Century sudah mendapat bailout dari Bank Indonesia berupa fasilitas Pembiayaan jangka Pendek (FPJP) senilai Rp. 689 miliar. Padahal sebelumnya sejak tanggal 6 Nopember 2008, Bank century  “dalam pengawasan khusus”. Itu artinya Bank Indonesia sudah menempatkan pengawasnya di Bank Century, sehingga BI mempunyai akses untuk memperoleh data mutakhir dari bank tersebut.

2) Pada  tanggal 21 Nopember 2008 pukul 05.30 WIB diadakan rapat tertutup KKSK yang dihadiri oleh Menteri Keuangan (selaku ketua KSSK), Gubernur Bank Indonesia (selaku anggota KSSK) dan sekretaris KSSK (Raden Pardede). Rapat tersebut memutuskan Bank Century sebagai bank gagl yang berdampak sistemik dan menetapkan penanganan Bank Century oleh LPS dengan pernyataan sebagai berikut:

a) Untuk membuat CAR Bank Century menjadi 8 % ,diperlukan dana Rp 632 miliar .

b) Untuk kebutuhan dana likuiditas selama tiga bulan kemudian diperlukan dana sebesar Rp. 459 miliar.

3) Hasil rapat tersebut memutuskan;

a) Menyerahkan penanganan Bank Century yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik kepada Lembaga Penjamin Simpanan.

b) Penanganan bank gagal tersebut dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang lembaga Penjamin Simpanan.

c) Keputusan Rapat tersebut selanjutnya dituangkan dalam keputusan KK No 01/KK.01/2008 tanggal 21 Nopember 2008.

         Kemudian sehari setelah dikeluarkannya keputusan KSSK tersebut pada tanggal 25 Nopember tahun 2008, Menteri keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Budiono melapor kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tatkala mendengar bahwa pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan untuk membantu Bank Century, ia meradang , ia meradang marah   “Apa ? Bantuan ? Kenapa harus dibantu ? Ini Perampokan.....! katanya dengan suara keras.  Bailout untuk itu kurang  lebih Rp 6.760. 000.000.000 (US $ 677.400.000).





b. Bailout di Amerika Serikat

Sebagai perbandingan, pada periode waktu yang sama AS juga menghadapi krisis keuangan. Menurut Richard A. Posner,  krisis keuangan menjadi akut pada pertengahan September 2008, saat kebangkrutan Lehman Brothers, penjualan dan runtuhnya Merrill Lynch, dan berikutnya pengambilalihan pemerintah terhadap Fannie Mae dan Freddie Mac, dan bailout  terhadap American International Group, sebagai  perusahaan asuransi  nasional terbesar, memicu penurunan tajam di pasar saham dan pembekuan kredit di seluruh dunia  .  Pada pertengahan September 2008 George Bush Jr yang saat itu presiden AS, Dia mendesak Kongres untuk menyetujui $ 700.000.000.000 usulan bailout pemerintahannya. Bush memperingatkan warganya bahwa seluruh ekonomi kita berada dalam bahaya .... kita berada di tengah-tengah krisis keuangan yang serius, dan pemerintah federal menanggapi dengan tindakan tegas. Dia mengatakan bagian dari US $ 700 miliar usulan bailout yang dibutuhkan untuk memulihkan kepercayaan di pasar, maka dengan sebuah upaya panik oleh Federal Reserve, Departemen Keuangan, dan Kongres untuk menyelamatkan sistem keuangan terjadi. Upaya ini mencapai puncaknya pada awal Oktober ketika kongres memberlakukan bailout US $ 700 miliar industri perbankan dan mendirikan lembaga  tunggal yang diberikan kewenangan penuh yang diberi nama TARP - Troubled Asset Relief Program. Jadi, berbeda dengan pemerintah Indonesia di bawah payung protokol krisis pemerintah dalam hal ini presiden mengeluarkan regulasi dalam bentuk PERPU, yang kemudian digagalkan oleh DPR. Akan tetapi, di Amerika tindakan pemerintah adalah sangat transparan dalam membeberkan  pelaksanaan kebijakan bailout. Dari awal para pemimpin negara baik itu Presiden maupun Gubernur Bank Sentral (Federal Reserves/ The Fed ) , menginformasikan warga mereka tentang krisis keuangan yang terjadi dan langkah-langkah apa yang diambil untuk memecahkan masalah. Presidennya secara terbuka meminta dukungan politik juga dari pihak oposisi, sehingga Kongres AS bisa segera meloloskan rencana keuangan/ekonominya. Dia juga kemudian secara resmi meminta Kongres untuk persetujuan program penanggulangan krisis. 

Di Negara Amerika Serikat dimana konstitusi tidak menyediakan protokol krisis, mekanisme pencegahannya dilakukan berdasarkan hasil negosiasi pemerintah dengan kongres yang dituangkan dalam komitmen bersama sebagai landasan hukum penanggulangan,  hal ini dapat dilihat pada protokol krisis yang dikeluarkan oleh pemerintah AS yang telah mendapat dukungan dari Kongres , dan di bawah pengawasan Dewan Panel di Kongres - membentuk sebuah badan khusus untuk menanggulangi krisis  dengan Nama Troubled Asset Relief Program (TARP).

TARP diberikan kewenagan untuk menangani Bailout bank dan  menyelamatkan sistem keuangan Amerika dari kehancuran , sementara itu usaha penenaggulangan dilakukan dengan dana yang disediakan oleh pemerintah Amerika serikat Troubled Asset Relief Program (TARP), mendapat kucuran uang sebesar US $ 700 miliar. Bailout yang menggandeng dan memanfaatkan Wall Street di Washington.  Lembaga  ini telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan menghasilkan keuntungan sebesar $ 25 miliar cukup untuk mendanai Securities and Exchange Commission (SEC) selama 20 tahun.  

                                

Gambar 3.1. Skema penanggulangan krisis AS pada 2008

Sumber: Securities New York


Meskipun lembaga TRAP ini dilahirkan pada era pemerintahan Republik akan tetapi  kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Demokrat Presiden Barak Obama. Lembaga TARP   salah satu program adalah dapat menghindari  bencana ekonomi yang lebih besar dengan penggunaan biaya jauh lebih sedikit dari yang dicadangkan .   

TARP  tidak hanya menyediakan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan inti dari krisis. Para pejabat dalam TRAP juga memiliki kewenangan yang kuat sebagai tangan pemerintah untuk  mengambil langkah-langkah luar biasa untuk menjamin kelangsungan hidup dari sistem keuangan, di antaranya adalah “program pembelian modal yang merupakan kunci yang diperlukan untuk menstabilkan sistem keuangan dan ekonomi.” TARP juga mencegah resesi yang lebih dalam, disamping itu TARP  mendorong pelonggaran moneter Federal Reserve, sehingga  pertumbuhan PDB  menjadi 4,7 poin dan penurunan tingkat pengangguran akan menjadi 4,0 persentase lebih tinggi di tahun 2010. Dan, dari segi biaya, TARP pada awalnya, perkiraan berkisar di ratusan miliar dolar dengan Anggaran Kongres yang ditentukan bahwa program ini akan menelan biaya $ 356.000.000.000. Secara signifikan mengurangi biaya-biaya penanggulangan krisis adalah lebih rendah bila dibandingkan dengan penangan krisis keuangan BLBI , ini dikarenakan tidak hanya dari kinerja yang lebih efisien di bawah dewan pengawasan panel Kongres, tetapi juga manajemen Treasury efektif. Antara lain adalah pembiayaan kredit untuk menurunkan biaya melalui pengelolaan aset TARP khususnya, restrukturisasi AIG, Chrysler, dan GM. 

TARP mengelontorkan  dana juga untuk  melakukan tindakan pencegahan kebangkrutan Chrysler dan GM, tanpa bantuan TRAP  pembuat mobil akan kehabisan dana dan kekuarangan dilikuidasi untuk membayar kreditur.  Chrysler dan GM telah direstrukturisasi, membayar kembali dana mereka lebih cepat dari jadwal, dan sebagai jalan menuju pemulihan. TARP telah mencegah yang terburuk dari krisis keuangan. TARP memodifikasi model pengembalian dari seluruh asset bank dalam bentuk jaminan rumah melalui House modification Program  (Hamp)  mempercepat penyitaan lainnya dan meningkatkan pinjaman. Bahkan, bagian dari biaya TARP dengan biaya rendah sebesar  $ 50 miliar untuk merestrukturisasi hipotek dan mencegah 3 sampai 4.000.000 penyitaan rumah.  Dan program ini  telah diturunkan dari waktu ke waktu, dan saat ini hanya 1,5 juta modifikasi percobaan dan 500.000 modifikasi permanen telah dibuat. 

Sejak  diberikanya otorisasi TARP itu, sebanyak 7,1 juta pemilik rumah telah menerima pemberitahuan penyitaan. Hamp berusaha untuk menyelamatkan hipotek melalui pengurangan sementara suku bunga dan pembayaran bulanan. Tetapi meskipun pembayaran yang lebih rendah, banyak pemilik rumah yang masih memungkinkan berisiko gagal bayar. Badan khusus TARP dengan kewenangannya yang represif  akhirnya dapat menyelamatkan perbankan dan perekonomian Rakyat Amerika dari kebangkrutan .

  Tindakan represif diperlukan dalam keadaan krisis keuangan, maka perlu memahami sejarah bailout di Amerika Serikat :   

Pada bulan Agustus tahun 1971, Kongres meloloskan UU Jaminan Pinjaman Darurat, yang dapat memberikan dana untuk setiap badan usaha besar dalam krisis. Lockheed adalah penerima pertama. Kegagalan akan berarti kerugian yang signifikan pekerjaan di California, kerugian bagi GNP dan berdampak pada pertahanan nasional. Dalam lima bulan pertama tahun 1974 bank kehilangan $ 63.600.000. The Federal Reserve melangkah dengan pinjaman $ 1,75 miliar.  Selama 1970-an, New York City menjadi over-diperpanjang dan memasuki periode krisis keuangan. Pada tahun 1975 Presiden Ford menandatangani Kota Pembiayaan Act New York musiman, yang dirilis $ 2,3 miliar pada pinjaman ke kota. Pada tahun 1979 Chrysler menderita kerugian sebesar $ 1,1 miliar. Tahun itu perusahaan meminta bantuan dari pemerintah. Pada tahun 1980 Undang-Undang Jaminan Pinjaman Chrysler disahkan, yang memberikan $ 1,5 miliar dalam bentuk pinjaman untuk menyelamatkan Chrysler dari kebangkrutan. Selain itu, bantuan pemerintah itu harus diimbangi dengan bank-bank AS dan asing. Kemudian kedelapan bank nasional terbesar , Kontinental Illinois telah menderita kerugian yang signifikan setelah membeli $ 1 miliar dalam pinjaman energi dari gagal Penn Square, Bank of Oklahoma. FDIC dan Federal Reserve menyusun rencana untuk menyelamatkan bank yang termasuk mengganti eksekutif puncak bank.  Setelah kegagalan luas tabungan dan lembaga pinjaman, Presiden George HW Bush menandatangani dan Kongres mengesahkan Lembaga Keuangan Pemulihan dan Reformasi Penegakan Undang-Undang tahun 1989. 

Serangan teroris 11 September 2001 melumpuhkan industri finansial sudah bermasalah. Untuk menyelamatkan perusahaan penerbangan, Presiden Bush menandatangani menjadi undang-undang Udara Keselamatan Transportasi dan Stabilisasi Act , yang kompensasi penerbangan untuk landasan wajib pesawat setelah serangan. Tindakan dirilis $ 5 miliar kompensasi dan tambahan $ 10 miliar jaminan pinjaman atau instrumen kredit federal lainnya. JP Morgan Chase dan pemerintah federal diselamatkan Bear Stearns ketika raksasa keuangan mendekati keruntuhan. JP Morgan membeli Bear Stearns untuk $ 236.000.000, Federal Reserve memberikan batas kredit $ 30000000000 untuk memastikan penjualan bisa bergerak maju. Pada 7 September 2008, Fannie dan Freddie pada dasarnya dinasionalisasi: ditempatkan di bawah conservatorship Badan Keuangan Perumahan Federal. Menurut ketentuan penyelamatan tersebut, Departemen Keuangan telah menginvestasikan miliaran untuk menutupi kerugian perusahaan ' . Awalnya, Menteri Keuangan Hank Paulson menempatkan plafon sebesar $ 100 miliar untuk investasi di masing-masing perusahaan. Pada bulan Februari, Tim Geithner mengangkatnya menjadi $ 200 miliar. Uang itu disahkan oleh Perumahan dan Pemulihan Ekonomi Act of 2008. Pada empat kesempatan terpisah, pemerintah telah menawarkan bantuan kepada AIG agar tidak runtuh, meningkat dari semula $ 85000000000 batas kredit dari Federal Reserve untuk $ 180.000.000.000 upaya gabungan antara Treasury ($ 70000000000) dan Fed ($ 110.000.000.000). ($ 40 miliar komitmen Departemen Keuangan juga termasuk dalam total TARP.) Pada akhir September 2008, Kongres menyetujui RUU lebih dari $ 630.000.000.000 belanja, yang termasuk ukuran sebesar $ 25 miliar dalam pinjaman untuk industri otomotif. Ini pinjaman berbunga rendah dimaksudkan untuk membantu industri dalam mendorong untuk membangun lebih hemat bahan bakar, kendaraan ramah lingkungan. Detroit 3 - General Motors, Ford dan Chrysler - akan menjadi penerima manfaat utama. 

Pada bulan Oktober 2008, Kongres meloloskan Stabilisasi Ekonomi Darurat Act, yang disahkan Departemen Keuangan untuk menghabiskan $ 700 miliar untuk memerangi krisis keuangan. Treasury telah membagikan uang melalui sup alfabet program yang berbeda. Berikut penghitungan berjalan perusahaan mendapatkan dana TARP Citigroup menerima investasi melalui TARP $ 25.000.000.000 pada bulan Oktober dan lain $ 20 miliar di bulan November. (Itu $ 45.000.000.000 juga tercakup dalam tarif total TARP.) Bantuan tambahan telah datang dalam bentuk jaminan pemerintah untuk membatasi kerugian dari $ 301.000.000.000 kolam aset beracun. Selain $ 5.000.000.000 komitmen Departemen Keuangan, FDIC telah berkomitmen $ 10 milyar dan Federal Reserve sampai $ 220 miliar Bank of America telah menerima $ 45.000.000.000 melalui TARP, yang mencakup $ 10.000.000.000 awalnya dimaksudkan untuk Merrill Lynch. (Itu $ 45000000000 juga tercakup dalam tarif total TARP). Selain itu, pemerintah telah membuat jaminan untuk membatasi kerugian dari $ 118.000.000.000 kolam aset-aset bermasalah. Selain $ 7.500.000.000 komitmen Departemen Keuangan, FDIC telah berkomitmen $ 2.500.000.000 dan Federal Reserve sampai $ 87.200.000.000.

3. Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) 

Jaring Pengaman Sistem Keuangan merupakan kerangka kerja yang melandasi pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian fasilitas pembiayaan darurat oleh bank sentral (lender of last  resort), serta kebijakan penyelesaian krisis. JPSK pada dasarnya lebih ditujukan untuk pencegahan krisis, namun demikian kerangka kerja ini juga meliputi mekanisme penyelesaian krisis sehingga tidak menimbulkan biaya yang besar kepada perekonomian.  Dengan demikian, sasaran JPSK adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor keuangan dapat berfungsi secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. 

Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam kerangka JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab lembaga terkait yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. Dan ada satu lembaga lagi, yaitu OJK tidak diperankan dalam desain undang-undang tersebut karena lembaga ini merupakan lembaga ambivalensi sistem moneter Indonesia (kursif dari penulis). Pada prinsipnya Departemen Keuangan bertanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan untuk sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah. Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang JPSK yang pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK kelak akan berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan. 

Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1) pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.  Pengaturan dan pengawasan bank yang efektif merupakan jaring pengaman pertama dalam JPSK ( first line of defense ). Mengingat pentingnya fungsi pengawasan dan pengaturan yang efektif, dalam kerangka JPSK telah digariskan guiding principles bahwa pengawasan dan pengaturan terhadap lembaga dan pasar keuangan oleh otoritas terkait harus senantiasa ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, serta harus berpedoman kepada best practices dan standard yang berlaku.  Kebijakan lender of last resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu alat efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu, BI telah merumuskan secara lebih jelas kebijakan the lender of last resort (LLR) dalam kerangka JPSK untuk dalam kondisi normal dan darurat (krisis) mengacu pada best practices. 

Pada prinsipnya, LLR untuk dalam kondisi normal hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven yang memiliki agunan likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR untuk kondisi krisis, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama, dengan tetap mensyaratkan solvensi dan agunan. Dalam hal  mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank Indonesia sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 yang telah disetujui DPR tanggal 15 Januari 2004. Sebagai peraturan pelaksanaan fungsi lender of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Pendanaan FPD bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Pengalaman  di Amerika serikat menunjukkan bahwa FDIC berbeda dengan model  LPS di Indonesia, FDIC  yang memiliki kekuasaan tunggal  merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di Amerika yang dapat mengadili perjanjian-perjanjian kredit bank yang gagal bayar (default) LPS dibentuk sebagai Program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) yang diberlakukan akibat krisis sejak tahun 1998 memang telah berhasil memulihkan.                          

Kebijakan penyelesaian krisis yang efektif dengan menggunakan kerja sama  eksekutif - legislatif ternyata kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan hukum represif gaya US  adalah dijalankan oleh   suatu badan khusus  dalam kerangka lembaga ini krisis dapat ditangani secara cepat tanpa menimbulkan beban yang berat bagi perekonomian.  Desain kelembagaan  JPSK dibentuk  oleh pemerintah  seharusnya hasil kolaborasi antara eksekutif legislatif, yang substansi undang-undangnya mengandung sifat hukum materil dan formil eksistensi kelembagaanya memiliki kewenangan tunggal dalam yang berperan khusus untuk penanggulangan krisis moneter, sehingga lembaga ini memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian, diharapkan krisis dapat ditangani secara efektif, cepat, dan tidak menimbulkan biaya sosial dan biaya ekonomi yang tinggi. Keberadaan  JPSK yang  merupakan hasil kolaborasi pemerintah dan DPR hanya  difokuskan pada penanggulan gagal bayar sistemik, sehingga tentang gagasan kordinasi terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK  hanya diperlukan sebagai alat fungsi informasi data, hasil akhir dari pengolahan data dapat berupa verifikasi atau   falsifikasi.  Model kordinasi pada rancangan JPSK tidak sejalan dengan proliferasi kekuasaan moneter, setelah dikembangbiakan kemudian disatukan lagi menjadi kekuasan structural. Hal ini rentan terhadap intervensi KPK. Belajar dari negara lain untuk  menyelesaikan bank gagal berdampak sistemik setidaknya mengacu pada manajemen modern yang digagas oleh Raine, desain JPSK minimal mengintroduksi prinsip doing it (the justice), yaitu All together, dimana pemerintah dan lembaga legislatif, membentuk badan. Better artinya suatu lembaga khusus yang memiliki kekuasaan otoriter menyidik dan mengadili dengan biaya yang efektif dan efisien (cost effectively and efficiently).  Dengan pola ini terhindar dari paradigm proliferasi,  yaitu “semakin banyak semakin baik”. Dengan demikian bentuk kebijakan bersama antara Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner LPS dalam bentuk Forum Stabilitas Sistem Keuangan sebagai wadah koordinasi bagi BI, Depkeu dan LPS  bertujuan  memelihara stabilitas sistem keuangan perlu ditiadakan.

Menurut peneliti lembaga yang akan datang model KSSK adalah semestinya merupakan pola penegakan hukum respresif yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang dimana struktur dan komposisi kelembagaan memiliki kekuasaan tunggal sebagai suatu badan khusus. 















BAB VIII

SISTEM LEMBAGA KEUANGAN INDONESIA


A. PENGERTIAN

      Sistem keuangan pada dasarnya adalah tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran terutama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa di bidang keuangan oleh lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga penunjang lainnya. Sistem keuangan Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu sistem perbankan dan sistem lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan yang masuk dalam sistem perbankan, yaitu lembaga keuangan yang berdasarkan peraturan perundangan dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Karena lembaga keuangan ini dapat menerima simpanan dari masyarakat, maka juga disebut depository financial institutions, yang terdiri atas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Adapun lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga keuangan selain dari bank yang dalam kegiatan usahanya tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Lembaga keuangan bukan bank disebut non depository financial institutions Sistem keuangan dapat didefinisikan secara berbeda tergantung kepada apa yang hendak ditekankan. Apabila kita ingin melihatnya dari sudut moneter, sistem keuangan didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas sistem moneter dan di luar sistem moneter. Sistem moneter terdiri atas otoritas moneter, yang mempunyai kemampuan untuk menciptakan uang primer, dan bank-bank pencipta uang giral, sedangkan lembaga-lembaga keuangan lainnya termasuk dalam kelompok di luar sistem moneter Penjelasan yang lain memberikan penekanan pada pembedaan lembaga keuangan menjadi dua, yaitu pertama, lembaga keuangan bank (bank financial intermediary) dan kedua, lembaga keuangan bukan bank (non bank financial intermediary) (Achwan, Harry Tjahjono dan Totok Subjakto, 1993: 2). Lembaga-lembaga keuangan bank merupakan bagian dari sistem moneter, sedangkan lembaga-lembaga keuangan lainnya berada di luar sistem moneter.

Pendapat lainnya memberikan cakupan pada sistem keuangan yang lebih luas dan jelas, karena mendefinisikan sistem keuangan sebagai suatu sistem yang terdiri atas:

1. Lembaga-lembaga keuangan yang merupakan lembaga-lembaga intermediasi yang menghubungkan unit yang surplus dan unit yang defisit dalam suatu ekonomi.

2. Instrumen-instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tersebut, dan

3. Pasar tempat instrumen-instrumen tersebut diperdagangkan (Achwan, Harry Tjahjono dan Totok Subjakto, 1993: 3).

Pada dasarnya sistem keuangan Indonesia, terdiri atas:

1. Sistem moneter;

2. Sistem perbankan;

3. Sistem lembaga keuangan bukan bank; dan

4. Sistem lembaga pembiayaan (bandingkan Dahlan Siamat, 1993: 45 dan Sunaryo, 2008: 9).

Secara ringkas sistem keuangan Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 2.1 berikut ini.














Gambar 2.1 Bagan sistem keuangan Indonesia


Sistem keuangan memainkan peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan perekonomian suatu negara secara berkelanjutan dan seimbang. Sistem keuangan berfungsi sebagai fasilitator perdagangan domestik dan internasional, memobilisasi simpanan menjadi berbagai instrumen investasi dan menjadi perantara anatara penabung dan investor. Stabilitas dan pengembangan sistem keuangan sangat penting agar masyarakat meyakini bahwa sistem keuangan Indonesia aman, stabil, dan dapat memenuhi kebutuhan pengguna jasa keuangan (Bank Indonesia, 2008: 2004).

Sistem keuangan Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan perbankan, Departemen Keuangan sebagai otoritas Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Lembaga Pembiayaan dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sebagai otoritas pengawas pasar modal.

Semula, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank berada di tangan Menteri keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Namun, kini dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menjadi berada pada Pimpinan Bank Indonesia, sehingga Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Dengan sendirinya tidak terjadi lagi dualisme selaku pemegang otoritas perbankan. Sementara lembaga keuangan lainnya, otoritas yang memberi izin usaha, membina dan mengawasinya berada pada Menteri Keuangan. Khusus untuk pengawasan lembaga pembiayaan, kecuali perusahaan modal ventura, dilakukan oleh Departemen Keuangan dibantu oleh Bank Indonesia. Akan tetapi dengan lahirnya UUBI tugas mengawasi bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang. Namun sepanjang lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dimaksud belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Artinya untuk masa mendatang, otoritas yang member izin dan membina dipisahkan dari otoritas yang mengawasi bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.



B. SISTEM MONETER INDONESIA

Sistem keuangan Indonesia terdiri atas sistem moneter dan sistem lembaga keuangan bukan bank, yang dijalankan oleh otoritas moneter, perbankan dan lembaga keuangan bukan bank serta lembaga pembiayaan. Sistem moneter terdiri atas bank-bank dan lembaga keuangan pencipta uang giral. 

Fungsi pokok dari sistem moneter ini, yaitu:

1. Menyelenggarakan mekanisme lalu lintas pembayaran yang efisien;

2. Melakukan fungsi intermediasi antara unit defisit (ultimate borrower) dengan unit surplus (ultimate lender); dan

3. Menjaga kestabilan tingkat bunga yang dilakukan oleh otoritas moneter (Dahlan Siamat, 1995: 45).

Fungsi-fungsi tersebut merupakan satu kesatuan, artinya fungsi tersebut pada prinsipnya dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena yang satu tidak dapat dilaksanakan tanpa dibantu yang lain. Di samping itu, otoritas moneter melakukan fungsi pengeluaran uang kertas dan logam, menciptakan uang primer (reserve money), mengawasi sistem moneter dan mengelola cadangan devisa (Dahlan Siamat, 1995: 45-46).

Penciptaan uang giral dan uang kuasi oleh bank-bank dapat dilakukan karena sebagian besar jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan disalurkan kembali kepada masyarakat berupa kredit setelah sebelumnya dikurangi dengan sejumlah alat-alat likuid yang terdiri atas uang kas dan saldo giro pada Bank Sentral dalam rangka memenuhi ketentuan likuiditas wajib minimum. Selanjutnya, jumlah kredit yang diberikan tersebut akan masuk kembali ke bank-bank sebagai uang simpanan. Simpanan tersebut setelah dikurangi likuiditas wajib dipinjamkan kembali kepada nasabah debitur. Dari transaksi tersebut akan menciptakan suatu efek multiply di mana uang disimpan pertama akan berlipat sampai dengan jumlah tertentu  

Bank Indonesia, selaku otoritas moneter dan perbankan mempunyai wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Di samping itu, Bank Indonesia dapat membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort. Sementara itu, hanya Bank Umum saja yang diperkenankan menghimpun simpanan dalam bentuk giro. Oleh karena itulah, Bank Umum dikatakan sebagai bank yang menciptakan uang giral.


C. SISTEM PERBANKAN NASIONAL

Sistem perbankan mengalami perubahan yang cukup prinsipil terutama setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, yang memang sudah sangat tidak memadai lagi menampung permasalahan dan kompleksitas yang timbul dari industry perbankan sejalan dengan pesatnya perkembangan sector perbankan mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap jasa-jasa perbankan di samping kuatnya pengaruh arus globalisasi. Di samping itu, dari sisi pelaksanaan kebijakan moneter dan perbankan, agar dapat lebih efektif maka undang-undang perbankan dituntut untuk selalu akomodatif (bandingkan Dahlan Siamat, 200: 23).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebgaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah menyederhanakan sistem perbankan dengan menghilangkan perbedaan fungsi-fungsi operasional bank secara struktural sebgaimana diatur dalam Undang-Undang Nomnor 14 Tahun 1967 yang membedakan antara Bank Umum, Bank Pembangunan, Bank tabungan, Bank Koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kegiatan usaha bank yang dipisahkan berdasarkan fungsinya tersebut sebenarnya sudah tidak tepat karena pada dasarnya semua jenis bank dapat beroperasi sebagai Bank Umum, kecuali BPR. Oleh karena itu, sistem perbankan Indonesia pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 hanya dikenal 2 (dua) jenis bank dilihat dari fungsinya, yaitu Bank Umum dan BPR. Di samping itu dari sudut operasionalnya diperkenankan pula suatu sistem perbankan yang berdasarkan Prinsip Bagi hasil, Prinsip Syariah atau Sistem perbankan Syariah yang dapat dilakukan, baik oleh Bank Umum maupun BPR. Dengan kata lain, kegiatan usaha Bank Umum dan BPR dapat dikelola secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah atau bagi hasil  

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, operasionalisasi perbankan nasional dapat didasarkan kepada “sistem bunga” (konvensional) dan/atau “sistem syariah” (prinsip syariah), yang kepengelolaannya bisa dilaksanakan oleh bank konvensional atau bank syariah, apakah itu Bank Umum ataukah Bank Perkreditan Rakyat. Khusus Bank Umum konvensional diperkenankan menganut dual banking system sekaligus. Ketentuan ini dilarang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi hasil.

Lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah ini telah menambah semarak khasanah hukum dan mempertegas visi kehidupan perbankan Indonesia. Karena sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam, maka kehadiran bank berdasarkanm prinsip syariah yang notabene dilandasi unsur-unsur syariat Islam, benar-benar seperti gayung bersambut (Munir Fuady, 1999: 167).

Bank pemerintah yang didirikan dengan undang-undang tersendiri yang sebelumnya telah ditentukan masing-masing misi dan tugasnya untuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi tertentu yang diatur dalam undang-undang pendiriannya sudah tidak lagi diberlakukan. Sejak memasuki era deregulasi pada prinsipnya tugas dan misi khusus yang diemban oleh masing-masing bank pemerintah tersebut dapat dikatakan sudah tidak lagi efektif atau sudah ditinggalkan dan beralih kepada orientasi pasar dan keuntungan, sehingga dengan demikian persaingan antar bank pemerintah tidak dapat terhindari  

1. Bank Umum

Dilihat dari segi kepemilikannya, Bank Umum dapat dibedakan lebih lanjut sebagai berikut:

a. Bank Umum Milik Negara.

b. Bank Pembangunan Daerah.

c. Bank Umum Koperasi.

d. Bank Umum Swasta Nasional.

e. Bank Umum Asing.

f. Bank Campuran.


a. Bank Umum Milik Negara

Bank Umum Milik Negara didirikan dengan undang-undang di mana seluruh modalnya merupakan kekayaan negara. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, telah didirikan beberapa Bank Umum milik Negara/pemerintah, yaitu:

1) Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 tahun 1960;

2) Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968;

3) Bank Dagang Negara (BDN), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1968;

4) Bank Bumi Daya, yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968;

5) Bank Tabungan Negara (BTN), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1968;

6) Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968;

7) Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1968;

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, bentuk hukum dari Bank-Bank Umum milik negara itu diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan bentuk hukum bank yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Penyesuaian bentuk hukum Bank Umum milik negara itu menjadi Perusahaan Persero (PT Persero) dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Negara Indonesia 1946 menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

2) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Dagang Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

3) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Rakyat Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

4) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Ekspor Impor Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

5) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Bumi Daya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Tabungan Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

7) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Pembangunan Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

Kemudian sejak tahun 1999, dari ketujuh Bank Umum milik negara ini, empat bank, yakni Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Bumi Daya, dan Bank Pembangunan Indonesia telah menggabungkan diri menjadi PT. Bank Mandiri (persero), yang total aset seluruhnya hampir mencapai Rp. 160,5 triliun. Sedangkan Bank Negara Indonesia 1946, Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tabungan Negara tetap berdiri sendiri menjadi PT Bank Negara Indonesia 1946 (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), dan PT Bank Tabungan Negara (Persero). Dahulu terdengar kabar kalau Bank Tabungan Negara akan diakuisisi oleh Bank Negara Indonesia 1946. Penggabungan atau pendirian PT Bank Mandiri (Persero) tersebut merupakan salah satu pelaksanaan butir Letter of Intent antara pemerintah dengan IMF beberapa waktu lalu.

Kegiatan usaha yang dijalankan bank-bank plat merah ini adalah menjalankan usaha di bidang perbankan dalam arti yang seluas-luasnya dan usaha-usaha lainnya yang menunjang kegiatan usahanya sebagai Bank Umum. Bank-bank plat merah ini dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak mendapat perlakuan yang istimewa dibandingkan dengan Bank-bank Umum swasta nasional, kecuali menyangkut pengangkatan Direksi dan dewan Komisaris Bank. Ditetapkan, bahwa pengangkatan yang pertama, Direksi dan Dewan Komisaris pada saat pendirian PT Persero dari bank yang bersangkutan dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pendiri setelah dapat persetujuan Presiden. Pengangkatan berikutnya dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham dari calon-calon yang dijukan oleh Menteri Keuangan selaku pemegang saham setelah mendapat persetujuan Presiden.

b. Bank Pembangunan Daerah

Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan Bank Umum milik Daerah yang didirikan menurut ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, BPD diwajibkan pula untuk menyesuaikan bentuk hukumnya menjadi Perusahaan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan daerah. Penyesuaian bentuk hukum BPD menjadi Perusahaan daerah dilakukan dengan Peraturan Daerah Provinsi (dahulu Daerah Tingkat I) masing-masing. Kini di setiap provinsi di Indonesia telah berdiri BPD.

Sebagai tindak lanjut penyesuaian bentuk hukum BPD, lahirlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Peraturan Pendirian Bank Pembangunan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.


c. Bank Umum koperasi

Bank Umum Koperasi adalah bank yang modalnya berasala dari simpanan anggota atau badan hukum koperasi. Pendiriannya selain mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, juga mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Saat ini hanya ada satu bank Umum yang berbentuk hukum koperasi, yang kemudian mengganti bentuk hukumnya menjadi PT, yakni PT. Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin).


d. Bank Umum Swasta Nasional

Bank Umum Swasta Nasional adalah bank yang didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Bentuk hukum Bank Umum swasta nasional ini pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas. Bank Umum swasta nasional ini dapat menjadi ban devisa (foreign exchange bank) setelah bank yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat sebagai bank devisa antara lain:

1) bank yang tergolong sehat dan selebihnya sekurang-kurangnya tergolong cukup sehat;

2) jumlah modal bank menurut perhitungan kebutuhan modal yang cukup (capital adequacy) tergolong sehat dan selebihnya sekurang-kurangnya cukup sehat;

3) volume usaha bank minimal mencapai jumlah tertentu;

4) kemampuan memobilisasi dana pihak ketiga bank minimal mencapai jumlah tertentu;

5) memiliki tenaga kerja yang ahli dan berpengalaman dalam bidang valuta asing;

6) penunjukan sebagai bank devisa dilakukan oleh Bank Indonesia dan dapat dicabut kembali apabila tingkat kesehatan bank devisa menurun menjadi kurang sehat atau tidak sehat, dan tidak dapat ditingkatkan menjadi cukup sehat.


e. Bank Umum Asing (Bank Asing)

Bank asing adalah bank yang didirikan dan dimiliki warga negara asing dan /atau badan hukum asing sebagai cabang, cabang pembantu, dan perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri. Sebelum paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto, 1988), bank asing hanya boleh membuka cabangnya di Jakarta saja, baru kemudian diperkenankan pula membuka Kantor Cabang Pembantu, baik di Jakarta maupun di enam kota besar lainnya di luar Jakarta, yakni Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Ujungpandang.

Bank asing yang boleh membuka Kantor Cabang Pembantunya hanyalah bank asing yang telah ada dan tergolong sehat termasuk permodalannya. Setelah 12 bulan sejak dibukanya Kantor Cabang Pembantunya, posisi kredit ekspor dari Kantor Cabang Pembantu tersebut harus mencapai sekurang-kurangnya 50% dari kredit yang diberikan.

Kini pembukaan kantor bank asing izinnya diberikan pimpinan Bank Indonesia dengan memperhatikan:

1) Tingkat kesehatan bank;

2) Persaingan yang sehat antar bank; dan

3) Tingkat kejenuhan jumlah kantor bank dalam suatu wilayah tertentu serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.

Seiring dengan itu, bank asing diperkenankan menyelenggarakan tabungan sesuai dengan prosedur yang berlaku.


f. Bank Campuran

Bank campuran (joint venture bank) adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimilki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri. Pendirian dan kepemilikan bank campuran tersebut dilandasi oleh kemitraan antara pihak asing dengan pihak nasional.

Sebelumnya dengan Pakto 1988, dibuka kemungkinan untuk mendirikan bank campuran dengan syarat didirikan bersama oleh satu atau lebih bank nasional Indonesia dan satu atau lebih bank asing di luar negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan di Indonesia. Sasaran yang hendak dicapai dalam pendirian bank campuran adalah untuk peningkatan ekspor non migas, karenanya bank campuran tersebut setelah 12 bulan sejak didirikan harus menunjukkan posisi ekspor mencapai sekurang-kurangnya 50% dari kredit yang diberikannya. Bank campuran tersebut dapat memilih tempat kedudukan di salah satu dari kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Ujung Pandang dan Denpasar.

Kegiatan operasional bank campuran ini umumnya hanya melakukan wholesale atau corporate banking, yaitu kegiatan yang hanya melayani nasabah-nasabah relatif besar saja. Di samping itu, nasabah-nasabah mereka umumnya nasabah yang telah memiliki hubungan bisnis dengan bank partner asing di negara asal atau negara asing lain. Bank campuran tersebut melakukan fungsi sebnagai sumber informasi terutama bagi partner asing di samping menjalankan fungsi pengawasan atau usaha nasabah yang bersangkutan (Dahlan Siamat, 1995: 55).


2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Perbankan di banyak negara pada umumnya tidak ditujukan untuk melayani masyarakat kecil. Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program pendidikan, falsafah perusahaan, manajemen dan sistem administrasi, cara dan prosedur pelayannya, semua ditujukan untuk melayani orang-orang yang mapan dan berada. Namun di Indonesia, sudah sejak lama ada sejenis bank yang khusus melayani masyarakat kecil, yaitu BPR. Tugasnya memberikan bantuan dana di pasar-pasar dan di desa-desa. Selain itu, tugasnya menghimpun dana tabungan masyarakat berupa deposito berjangka  

Dengan dikeluarkannya Pakto 1988, di Indonesia terdapat dua jenis BPR, yaitu BPR gaya lama (BPR yang telah memperoleh izin sebelum Pakto 1988), dan BPR gaya baru (BPR yang memperoleh izin usaha setelah Pakto 1988). BPR gaya lama ini terdiri atas Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari, Lembaga Perkreditan Desa, Badan Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan, Kredit Usaha Rakyat Kecil, Lembaga Perkreditan Kecamatan, Bank Karya Produksi Desa dan lembaga-lembaga lain yang dipersamakan dengan itu. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, status dan tugas dari BPR gaya lama ditetapkan dalam undang-undang. Namun sambil menunggu dikeluarkannya undang-undang dimaksud, pengaturannya diadakan dalam Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1988 tentang Bank Perkreditan Rakyat. Disebutkan bahwa bank-bank desa sebagaimana di atas semuanya menjadi Bank Perkreditan Rakyat.

Dasar hukum pendirian BPR gaya lama ini adalah Staatsblad. Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur masing-masing Provinsi. Pemilikannya bisa Pemerintah Daerah atau masyarakat setempat. Adapun bentuk hukumnya berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, Koperasi atau Maskapai Andil Indonesia, namun beberapa di antaranya bahkan masih belum memiliki bentuk hukum .

BPR gaya lama ini tetap dapat melanjutkan usahanya di tempat semula dengan ketentuan tidak diperkenankan menerima simpanan dalam bentuk giro, tidak diizinkan pindah tempat ke luar wilayah Kecamatan tempat kedudukannya, tidak diperkenankan membuka Kantor Cabang dan tidak perlu menyesuaikan modalnya dengan modal minimum BPR gaya baru. Di samping itu, BPR gaya lama ini dapat meningkatkan kemampuannya dengan diberi keleluasaan untuk melakukan merger dengan Bank Umum dan Bank Pembangunan atau merger antar-BPR gaya lama untuk ditingkatkan menjadi Bank Umum.

BPR gaya baru hanya dapat dapat didirikan dan menjalankan usaha di Kecamatan dan di desa-desa di luar ibukota Negara, ibukota provinsi dan ibukota kota/kabupaten. Kemudian BPR gaya baru boleh pula membuka cabang di kecamatan tempat kedudukan bank yang bersangkutan atau kantor lain di kecamatan lain yang berbatasan dengan kecamatan tempat kedudukan bank yang bersangkutan. Bentuk hukum BPR gaya baru ini bisa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi. Usahanya dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan. Pemberian kreditnya terutama diperuntukkan bagi pengusaha kecil dan/atau masyarakat pedesaan. 

Sama halnya dengan BPR gaya lama, BPR gaya baru juga dapat melakukan merger dengan bank lain, yakni Bank Umum atau Bank Pembangunan yang memenuhi persyaratan untuk membuka kantor cabang. Peleburan atau penggabungan usaha antar-BPR untuk ditingkatkan menjadi Bank Umum atau Bank Pembangunan dengan maksud agar satu atau lebih di antaranya akan menjadi Kantor Cabang atau jenis kantor lainnya, hanya dapat dilakukan dengan memenuhi syarat pendirian Bank Umum dan Bank Pembangunan baru bagi masing-masing BPR gaya baru.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, bank-bank desa dan yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan undang-undang dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini mengingat lembaga-lembaga dimaksud telah tumbuh dan berkembang dari lingkungan masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat Indonesia, maka keberadaan lembaga dimaksud tetap diakui. Karenanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan kejelasan status dari lembaga-lembaga keuangan desa dimaksud. Untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam pembinaan dan pengawasan, maka dengan Peraturan Pemerintah telah ditetapkan persyaratan dan tata cara pemberian status lembaga-lembaga dimaksud sebagai bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat.

Secara ringkas sistem perbankan nasional dalam konteks sistem keuangan Indonesia dapat dibagankan seperti 







Gambar  berikut ini:








 







Gambar Bagan sistem perbankan nasional


D. SISTEM LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK

Pada prinsipnya lembaga-lembaga keuangan bukan bank tidak dapat digolongkan ke dalam sistem moneter dan perbankan. Oleh karena itu, lembaga keuangan bukan bank ini sering pula disebut sebagai lembaga keuangan sektor nonmoneter (nonmonetary sector) (Dahlan Siamat, 1995: 60).

Dalam perkembangan sistem keuangan Indonesia pernah dikenal suatu jenis lembaga keuangan yang disebut lembaga keuangan yang disebut Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) (Nonbank Financial Institution)  

Pada tahun 1970, demi kelancaran pembangunan, pemerintah memberi kesempatan usaha kepada lembaga-lembaga keuangan yang menghimpun dan menyalurkan dana-dana jangka menengah dan panjang, terutama dengan jalan mengeluarkan kertas berharga serta yang dapat mengembangkan pasar uang dan modal. Untuk itulah pada tanggal 7 Desember 1970, dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-792/MK/IV/12/1972 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-38/MK/IV/1/1972 dan keputusan Menteri Keuangan Nomor 280/MK.01/1989, yang mengatur mengenai persyaratan dan perizinan Lembaga Keuangan.

Dinyatakan bahwa LKBB adalah semua badan usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan, secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana, terutama dengan mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkannya kepada masyarakat, terutama guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Dalam pengertian ini tidak termasuk sebagai “lembaga keuangan” ialah lembaga-lembaga perbankan, lembaga-lembaga perasuransian dan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang ditur dalam peraturan perundang-undangan lain. Dapat disimpulkan bahwa LKBB adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkannya kepada masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini LKBB tidak diperkenankan menerima dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, baik itu berupa giro, tabungan maupun deposito. Namun, berdasarkan kebijakan Pakto 27, 1988, LKBB dapat menerbitkan sertifikat deposito sebagai sumber dana dan dapat mendirikan kantor-kantor cabang di daerah-daerah. Pada dasarnya pendirian LKBB ini dimaksudkan untuk mendorong pengembangan pasar uang dan pasar modal serta menyalurkan pembiayaan kepada perusahaan. Dengan demikian kegiatan usaha LKBB, terutama dalam menghjimpun dana dengan cara menerbitkan surat berharga, termasuk menerbitkan sertifikat deposito, dan tidak diperkenankan menerima simpanan, baik dalam bentuk giro, deposito maupun tabungan, dan selanjutnya disalurkan kembali kepada masyarakat untuk membiayai pembangunan, investasi, perumahan, dan lain-lain di bidang keuangan.

Ditinjau dari kegiatan usaha LKBB, adanya spesialisasi, tersedianya alternatif pembiayaan dan peranannya dalam pengembangan pasar uang dan modal merupakan aspek kekuatan. Namun dalam perkembangannya, dengan diperkenankannya LKBB memobilisasi dana melalui penerbitan sertifikat deposito dan memberikan kredit, telah menimbulkan tumpang tindih dalam kegiatan usaha perbankan dan menujukkan bahwa spesialisasi LKBB sulit diterapkan dengan baik (Achwan, Harry Tjahjono dan Totok Subjakto, 1993: 24-25).

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, LKBB yang telah memiliki izin usaha dapat menyesuaikan usahanya sebagai bank paling lambat satu tahun setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 berlaku, dalam menyesuaikan kegiatan usahanya tersebut, LKBB dapat memilih menjadi Bank Umum devisa atau Bank Umum bukan devisa dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang berlaku untuknya.

Dengan status baru tersebut, LKBB diharapkan dapat lebih meningkatkan daya saingnya di masa-masa mendatang. Sebagian besar LKBB memilih menjadi Bank Umum. Sementara itu spesialisasi kegiatan lembaga pembiayaan, seperti yang berlaku saat ini tetap dipertahankan. Di samping perbankan dan lembaga pembiayaan, masih terdapat badan asuransi dan lembaga keuangan lainnya. Keberadaan lembaga ini juga merupakan alternatif sumber pembiayaan. Oleh karena itu, keberadaan kelompok lembaga ini juga tetap dipertahankan. Penajaman kegiatan lembaga keuangan ini diharapkan pula dapat mendukung bekerjanya mekanisme pasar uang dan modal secara lebih sempurna, mendorong terciptanya berbagai jenis lembaga keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mendorong persaingan yang sehat dan wajar. Semua itu akan dapat menunjang pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan mendorong perkembangan perbankan yang sehat (Achwan, Harry Tjahjono dan Totok Subjakto, 1993: 25-26).

Sistem lembaga-lembaga keuangan bukan bank meliputi usaha perasuransian, pegadaian, dana pensiun, pasar modal, dan perusahaan penjaminan. Pembinaan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan bukan bank dilakukan oleh Kementerian Keuangan c.q. Menteri Keuangan yang memiliki otoritas tunggal terhadap masalah yang menyangkut perizinan, pembinaan, dan pengawasan operasional dari lembaga-lembaga keuangan bukan bank.

Secara ringkas sistem lembaga-lembaga keuangan bukan bank tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2.3 berikut.

















Gambar  Sistem lembaga keuangan bukan bank

Mengingat kegiatan utama dari lembaga keuangan adalah menghimpun dana, maka perbedaan antara bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilihat melalui kegiatan utama mereka. Perbedaan kedua bentuk lembaga keuangan ini digambarkan dalam tabel berikut ini   

Tabel 2.1 Perbedaan Bentuk Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank

Kegiatan Lembaga Keuangan

Bank Bukan Bank

Penghimpunan Dana Secara langsung berupa simpanan dana masyarakat (tabungan, giro, deposito) Hanya secara tidak langsung dari masyarakat (terutama melalui kertas berharga dan bisa juga dari penyertaan, pinjaman/kredit dari lembaga lain)

Secara tidak langsung dari masyarakat (kertas berharga, penyertaan, pinjaman/kredit dari lembaga lain)

Penyaluran dana Untuk tujuan modal kerja, investasi, konsumsi Terutama untuk tujuan investasi

Kepada badan usaha dan individu Terutama kepada badan usaha

Untuk jangka pendek, menengah, dan panjang Terutama untuk jangka menegah dan panjang


1. Perusahaan Asuransi dan Reasuransi


     Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka terdapat salah satu perangkat hukum bagi industri perasuransian yang merupakan salah satu unsur lembaga keuangan di Indonesia, yang diharapkan dapat berperan dalam menanggulangi risiko yang dihadapi oleh anggota masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu lembaga penghimpun dana masyarakat.

Pada prinsipnya perusahaan perasuransian mempunyai kegiatan usaha memberikan perlindungan bagi pemegang polis (tertanggung) terhadap risiko atau peristiwa yang mungkin akan terjadi yang tidak pasti. Perusahaan perasuransian inilah yang bertindak sebagai penanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung atas resiko yang terjadi karena:

a. kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan; atau

b. tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

c. untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungjawabkan.

Asuransi pada dasarnya dapat memberi manfaat bagi tertanggung (insured) antara lain:

a. rasa aman dan perlindungan. Dengan memiliki polis asuransi, maka tertanggung akan terhindar dari kerugian-kerugian yang mungkin timbul;

b. pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil. Semakin besar kemungkinan terjadinya suatu kerugian dan semakin besar kerugian yang mungkin ditimbulkannya makin besar pula premi pertanggungannya;

c. polis asuransi dapat dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit;

d. berfungsi sebagai tabungan dan sumber pendapatan;

e. alat penyebaran resiko. Dengan asuransi resiko, kerugian dapat disebarkan kepada penanggung;

f. membantu meningkatkan kegiatan usaha. Tertanggung akan melakukan investasi atas suatu bidang usaha apabila investasi tersebut dapat ditutup oleh asuransi. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi resiko. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, jenis usaha perusahaan asuransi meliputi:

1. Usaha asuransi

a. asuransi kerugian

b. asuransi jiwa

c. asuransi sosial

d. reasuransi

2. Usaha penunjang

a. pialang asuransi

b. pialang reasuransi

c. agen asuransi

d. penilai kerugian asuransi

e. konsultan aktuaria

Setiap pihak yang hendak melakukan usaha perasuransian wajib mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan program asuransi social. Izin usaha perasuransian akan diberikan oleh Menteri Keuangan apabila semua persyaratan telah dipenuhi oleh perusahaan perasuransian yang bersangkutan.

2. Perusahan Umum Pegadaian

Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian (pawn shop) merupakan lembaga keuangan (milik negara) yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan usaha menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai dalam rangka membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah. Di samping itu, keberadaan Perum Pegadaian juga turut mencegah atau menghindarkan masyarakat dari ijon, pegadaian gelap, praktek riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.

Adapun usaha yang diselenggrakan Perum Pegadaian meliputi:

a. Penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai;

b. Penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelajaran jasa sertifikasi logam mulia dan batu perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah dan menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.

Sementara itu visi Perum Pegadaian adalah ikut membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah melalui kegiatan utama berupa penyaluran kredit gadai dan melakukan usaha lain yang menguntungkan. Adapun sifat usaha dari Perum Pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum (public service) dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Oleh karena itu, penyaluran uang pinjaman yang diselenggarakan Perum Pegadaian tersebut dilakukan dengan cara yang mudah, cepat, aman dan hemat.

Bisnis gadai melembaga pertama kali di Indonesia sejak masa VOC membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai (Ari Agung Nugraha, 2004: 1). Pemerintah penjajahan Belanda VOC mendirikan Bank Van Leening, yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai, lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746. Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda (1811-1816), Bank Van Leening milik pemerintah dibubarkan, dan masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari Pemerintah Daerah setempat (licentie stelsel), Namun metode tersebut berdampak buruk, pemegang lisensi menjalankan praktik rentenir atau lintah darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris). Oleh karena itu, metode licentie stelsel diganti menjadi pacth stelsel, yaitu pendirian pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayarakan pajak yang tinggi kepada pemerintah. .

Pada saat Belanda berkuasa kembali, pola atau metode pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang sama, di mana pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan culture stelsel di mana dalam kajian tentang pegadaian, saran yang dikemukakan sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad Nomor 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha pegadaian merupakan monopoli pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi, Jawa Barat (Perum Pegadaian, 2005: 1).

Pada masa pendudukan Jepang, gedung kantor pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di Jalan Kramat Raya 162 dipindahkan ke Jalan Kramat Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang, baik dari sisi kebijakan maupun struktur organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam bahasa Jepang disebut Sitji Eigeikyuku, Pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama M. Saubari .

Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, kantor Jawatan Pegadaian setempat pindah ke Karang Anyar, Kebumen, karena situasi perang yang kian terus memanas. Agresi militer Belanda yang kedua memaksa kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang. Selanjutnya pasca perang kemerdekaan kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta, dan Pegadaian kembali dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam masa ini Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (Perum) hingga kini . 

Seiring dengan perubahan status hukum menjadi Perum, Perum Pegadaian telah melakukan berbagai inovasi produk serta memperluas pelayanan sesuai dengan motonya yang bunyinya “mengatasi masalah tanpa masalah”. Selain memberikan jasa pinjaman atas dasar hukum gadai sebagai usaha utama, Perum Pegadaian juga memberikan jasa taksiran untuk perhiasan dan jasa titipan barang serta surat-surat berharga, serta menyediakan jasa penjualan emas (gold counter), baik berupa emas perhiasan maupun emas batangan. Di Denpasar, Perum Pegadaian memberikan pelayanan kepada pengrajin perak untuk mendapatlan bahan baku perak setengah jadi kualitas standar.

Beberapa inovasi produk yang diluncurkan oleh Perum Pegadaian, yaitu sebagai berikut.

a. Gadai gabah

Program Gadai Gabah atau Program Kredit Tunda Jual Komoditas Pertanian ini diluncurkan atas landasan pemikiran bahwa dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual gabah pada saat panen raya. Sasaran utama program ini adalah membantu petani agar bisa menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Petani menggadaikan gabahnya pada musim panen, untuk ditebus dan dijualnya ketika harga gabah kembali normal. Dengan adanya gadai gabah, petani bisa tidak menjual semua gabahnya pada saat  musim panen (harga murah) melainkan menyimpannya dulu di gudang milik agen yang menjadi mitra pegadaian. Petani menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen pada Perum Pegadaian dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah kembali normal, petani dapat menebusnya dengan harga yang sama ketika menggadaikan gabahnya ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5% per bulan. Jika selama batas waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat menebusnya, gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga gabah akan diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan adalah Gabah Kering Giling (GKG). Apabila gabah petani bukan gabah kering giling, maka petani akan dikenakan proses handling yang besarnya Rp. 10 per kg.

b. Kredit Angsuran Fidusia (KREASI) dan Kredit Angsuran Gadai (KRASIDA)

KREASI dan KRASIDA merupakan produk Perum Pegadaian dengan mekanisme penyaluran Kredit Usaha Mikro dan kecil menggunakan skim kredit. KREASI adalah pemberian pinjaman uang yang ditujukan kepada para pengusaha mikro dan kecil dengan menggunakan konstruksi penjaminan kredit atas dasar Fidusia. KRASIDA adalah pemberian pinjaman uang kepada para pengusaha mikro dan kecil dengan menggunakan konstruksi penjaminan kredit atas dasar gadai.

c. Kredit Serba Guna (KRESNA)

KRESNA merupakan pengembangan kredit golongan E yang biasanya dimanfaatkan oleh intern pegawai pegadaian. Sampai saat ini KRESNA baru bisa diambil oleh pegawai pegadaian, di masa datang akan dikembangkan menjadi produk yang bisa dimanfaatkan untuk cicilan kendaraan bermotor. Namun, untuk sementara waktu ini KRESNA hanya ditujukan untuk pemberian pinjaman uang kepada para pegawai Perum Pegadaian dan dilunasi dengan cara mengangsur setiap bulan selama jangka waktu kredit dengan dibebani sewa modal sebesar 1,25% flat per bulan atau 15% per tahun (Abdul Ghofur Anshori, 2006: 45-47).

Dalam rangka memperluas pelayanan, Perum Pegadaian meningkatkan jumlah kantor operasional serta memperkenalkan Unit Pelayanan Keliling (UPK) di beberapa kota guna melayani pengguna jasa gadai yang bertempat tinggal relative jauh dari kantor pegadaian. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan umat Islam, Perum Pegadaian juga mengembangkan usaha pegadaian syariah melalui Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS).


3. Dana Pensiun

Di era tahun 70-an sampai tahun 80-an, terutama masyarakat pedesaan Indonesia berlomba-lomba masuk menjadi pegawai negeri dengan tujuan untuk memperoleh pensiun di masa tuanya. Pensiun merupakan dambaan memperoleh penghasilan setelah berakhir masa kerja seseorang, dan masa itu masyarakat masih berpikir bahwa pada usia menjelang pensiun adalah masa yang sudah tidak produktif lagi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pilihan utama mereka terjun ke dunia kerja adalah pegawai negerilah pada saat itu memberikan kepastian adanya pensiun (Kasmir, 2005: 262).

Jika pada era 70-an sampai 80-an belum banyak perusahaan yang menyediakan dana pensiun bagi karyawannya, maka di era tahun 90-an menjadi sebaliknya. Apalagi setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 yang mengatur tentang dana pensiun. Hampir seluruh perusahaan dewasa ini telah menyelenggarakan dana pensiun bagi karyawannya, baik dikelola sendiri atau lewat lembaga lainnya. Bahkan bagi perusahaan yang tidak menyelenggarakan dana pensiun bagi karyawannya, banyak alternatif pilihan untuk memperoleh pensiun dari lembaga lainnya (Kasmir, 2005: 262).

Kini, pengaturan dana pensiun termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun sebagai dasar penyelenggaraan dana pensiun. Sebelumnya Arbeidfondsen Ordonnantie Staatsblad 1926 Nomor 377 yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 1601s Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, digunakan sebagai dasar pembentukan program pensiun dengan pemupukan dana yang diselenggarakan oleh pemberi kerja. Ketentuan ini memungkinkan pembentukan dana bersama antara pemberi kerja dan karyawan, namun tidak memadai sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Hal tersebut disebabkan tidak adanya ketentuan yang mengatur hak-hak mendasar dalam rangka pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan pensiun, serta mengenai pengelolaan, kepengurusan, pengawasan, dan sebagainya. Di samping itu, kelembagaan yayasan yang dalam praktik dipergunakan sebagai wadah untuk menyelenggarakanprogram pensiun mengandung pula berbagai kelemahan. Di sisi lain, cukup banyak anggota masyarakat yang berstatus pekerja mandiri, yang tidak menjadi karyawan dari orang atau badan lain. Terhadap mereka ini perlu diberikan kesempatan yang sama untuk mempersiapkan diri menghadapi masa purna bakti, sekaligus kesempatan untuk turut menggunakan fasilitas penundaan pajak penghasilan. Oleh karena itu, dibentuklah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Selain itu, kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 ini diharapkan dapat membawa pertumbuhan dana pensiundi Indonesia secara lebih pesat, tertib, dan sehat, sehingga membawa manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. 

Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992, bahwa dana pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun, berupa pembayaran berkala yang dibayarkan kepada peserta. Dari pengertian ini, terlihat bahwa dana pensiun merupakan salah satu pilihan sistem pendanaan dalam membentuk akumulasi dana, yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan penghasilan peserta program pada hari tua. Keyakinan akan adanya kesinambungan penghasilan menimbulkan ketentraman kerja, sehingga akan meningkatkan motivasi kerja karyawan yang merupakan iklim yang kondusif bagi peningkatan produktivitas. Sedangkan dalam dimensi yang lebih luas, akumulasi dana yang terhimpun dari penyelenggaraan program pensiun merupakan salah satu sumber dana yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan nasional yang berlandaskan kemampuan sendiri.

Program pensiun yang merupakan kegiatan usaha dana pensiun terdiri atas:

a. program pensiun manfaat pasti (defined benefit plan), yaitu program pensiun yang manfaatnya ditetapkan dalam peraturan dana pensiun atau program pensiun lain yang merupakan program pensiun iuran pasti.

b. program pensiun iuran pasti (defined contribution plan), yaitu program pensiun yang iurannya ditetapkan dalam peraturan dana pensiun dan seluruh iuran serta hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing peserta sebagai manfaat pensiun.

Penyelenggaraan suatu program pensiun terutama dari sisi pemberi kerja dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek ekonomis dan aspek sosial. Aspek ekonomis dimaksudkan merupakan usaha pemberi kerja untuk menarik atau mempertahankan karyawan perusahaan yang memiliki potensi, cerdas, terampil, dan produktif yang dapat diharapkan untuk meningkatkan atau mengembangkan perusahaan. Aspek sosial berkaitan dengan tanggung jawab sosial pemberi kerja bukan saja kepada karyawannya pada saat karyawan yang bersangkutan tidak lagi mampu bekerja, tapi juga kepada keluarganya pada saat karyawan tersebut meninggal dunia. Kedua aspek tersebut sebenarnya hanya dilihat dari sisi perusahaan (pemberi kerja) (Dahlan Siamat, 1995: 323).

Tujuan penyelenggaraan program pensiun, baik dari kepentingan pemberi kerja maupun karyawan. Tujuan mengadakan suatu program pensiun bagi perusahaan atau pemberi kerja sebagai:

a. kewajiban moral, yaitu perusahaan mempunyai kewajiban moral untuk memberikan rasa aman kepada karyawan pada saat mencapai usia pensiun;

b. loyalitas, yaitu dengan diadakannya program pensiun, karyawan diharapkan akan mempunyai loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap perusahaan;

c. kompetisi pasar tenaga kerja, yaitu dengan memasukkan program pensiun sebagai suatu bagian dari total kompensasi yang diberikan kepada karyawan diharapkan perusahaan akan memiliki daya saing dan nilai lebih dalam usaha mendapatkan karyawan yang berkualitas dan profesional di pasaran tenaga kerja. 

Sementara itu tujuan pengadaan suatu program pensiun bagi karywan atau peserta pensiun adalah:

a. rasa aman karyawan terhadap masa yang akan datang dalam arti mempunyai penghasilan pada saat mencapai usia pensiun;

b. kompensasi yang lebih baik, yaitu karyawan mempunyai tambahan kompensasi meskipun baru bisa dinikmati pada saat mencapai usia pensiun/berhenti bekerja 

Jenis dana pensiun dibedakan atas dua macam, yaitu:

a. Dana Pensiun Pemberi Kerja

Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) adalah dana pensiun yang dibentuk oleh atau badan yang memperkerjakan karyawan selaku pendiri, untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti atau program pensiun iuran pasti, bagi kepentingan sebagian atau seluruh karywannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja.

b. Dana Pensiun Lembaga Keuangan

Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) adalah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti atau program pensiun iuran pasti bagi perorangan, baik karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah dari DPPK bagi karyawan, baik bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.

Sama halnya dengan perusahaan perasuransian, pembinaan dan pengawasan dana pensiun dilakukan oleh Departemen Keuangan, yang meliputi pengelolaan kekayaan dana pensiun dan penyelenggaraan program pensiun, baik dalam segi keuangan maupun teknis operasional.

Iuran dana pensiun merupakan sumber dana pembiayaan domestik yang potensial. Dana pensiun ini mampu meningkatkan kapasitas produksi nasional, terutama melalui investasi di pasar modal. Peningkatan jumlah dana pensiun dalam perekonomian yang sekaligus diikuti oleh meningkatnya peran pasar uang dan pasar modal, akan memberikan banyak bagi berbagai pihak. Manfaat bagi dunia usaha adalah tersedianya pemodal potensial. Di pihak lain pengelola program pensiun memiliki kesempatan meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui keuntungan-keuntungan investasinya. 


4.  Pasar Modal

Pasar modal merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha, termasuk usaha menengah dan kecil untuk pengembangan usahanya dan juga merupakan wahana investasi bagi masyarakat, terutama pemodal kecil dan menengah.

Pasar modal merupakan salah satu sarana yang efektif dalam menggerakkan dana dari masyarakat, untuk selanjutnya disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif. Dana masyarakat yang masuk ke pasar modal merupakan dana jangka panjang. Upaya pemerintah meningkatkan modal dalam perekonomian dapat dilakukan melalui pasar modal. Masyarakat yang memiliki kelebihan dana, baik masyarakat dalam negeri maupun masyarakat luar negeri dapat menginvestasikannya melalui pasar modal. Pasar modal yang telah berkembang memiliki peran sangat penting bagi pembangunan ekonomi suatu Negara. 

Bagi perusahaan, dana masyarakat di pasar modal dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan modal dan membiayai kegiatan operasional perusahaan, sehingga perusahaan dapat mengurangi ketergantungan terhadap sumber pembiayaan dari utang komersial, baik dari dalam negeri (dana pinjaman kepada perbankan dalam negeri) maupun pinjaman komersial dari luar negeri (dana pinjaman dari bank dan lembaga keuangan internasional). Dana yang berasal dari pinjam (utang) komersial ini umumnya berjangka pendek dan tingkat suku bunga pinjamn yang tinggi. Hal ini akan memperberat beban perusahaan apabila ingin memperluas usahanya dengan menggunakan dana (pinjaman komersial) tersebut .

Pembiayaan bagi suatu perusahaan dapat berasal dari dua sumber, yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Sumber pembiayaan internal diperoleh, antara lain dari setoran dana pemilik perusahaan dan sisa laba ditahan (retained earning). Adapun sumber pembiayaan eksternal diperoleh melalui kredit perbankan dan dari lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, seperti pasar modal dan modal ventura. Pilihan sumber pembiayaan yang akan digunakan perusahaan biasanya bergantung dari tingkat kebutuhan dana, kondisi perusahaan, dan kondisi ekonomi makro saat itu dan pada masa yang akan datang .

Pasar modal memiliki dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Dikatakan memiliki fungsi ekonomi, karena pasar modal menyediakan fasilitas yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer). Dengan adanya pasar modal, maka pihak yang mempunyai kelebihan dapat menginvestasikan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari operasi perusahaan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh imbalan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih. 

Perkembangan pasar modal di Indonesia diawali dengan hadirnya bursa efek di Batavia pada tahun 1912 yang dikelola Vereniging voor de Effetenhandel. Selama masa pendudukan jepang, kegiatan pasar modal dihentikan untuk sementara. Baru pada tahun 1952, kegiatan pasar modal dihidupkan kembali sampai dengan tahun 1956. Pada tahun 1977 kegiatan pasar modal dihidupkan kembali oleh pemerintah, dibentuknya Badan Pelaksana Pasar Modal, yang kemudian menjadi Badan Pengawas Pasar Modal.

Dewasa ini pengaturan hukum pasar modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Penetapan “Undang-Undang Darurat tentang Bursa” (lembaran Negara Tahun q1951 Nomor 79) sebagai Undang-Undang (Lembara Negara Tahun 1952 Nomor 67). Penggantian pengaturan hukum pasar modal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengaturan hukum pasar modal sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Darurat tentang Bursa tersebut dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada pada saat itu, karena ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Darurat tentang Bursa dimaksud tidak mengatur hal-hal yang sangat penting dalam kegiatan pasar modal, yaitu kewajiban pihak-pihak dalam suatu penawaran umum untuk memenuhi prinsip keterbukaan, serta terutama ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan kepada masyarakat umum. Selain itu, dengan perkembangan yang sangat pesat di bidang ekonomi, ditambah lagi dengan globalisasi ekonomi, maka sudah saatnya apabila ketentuan-ketentuan tentang kegiatan pasar modal diatur dalam suatu undang-undang yang baru. Juga dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 ini diharapkan pasar modal dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pembanguanan, sehingga sasaran pembangunan di bidang ekonomi dapat tercapai.

Istilah “pasar modal” diperuntukkan sebagai terjemahan istilah Inggris capital market, yakni pasar keuangan yang memperdagangkan instrument dana-dana jangka panjang, seperti saham, obligasi, waran, reksadana, right issue, dan lainnya. Biasanya tempat memperdagangkan dana jangka panjang ini disebut bursa efek. Di bursa efek inilah pemodal mnemperjualbelikan efek yang dimilikinya. Para pemodal perorangan, badan maupun kelembagaan yang mempunyai kelebihan dana dan ingin menginvestasikannya, dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui pasar modal.

Ada perbedaan yang sangat mendasar dari manfaat investasi di pasar modal, misalnya jika kelebihan dana tersebut didepositokan, umumnya berjangka pendek dan sebgai imbalannya pemiliknya memperoleh bunga tetap dengan jangka waktu tertentu. Namun, jika diinvestasikan melalui pasar modal, khususnya saham, di samping memperoleh deviden, pemiliknya juga dapat memperoleh capital gain, yaitu selisih dari nilai kurs pada saat saham tersebut diperjualbelikan. Di samping itu, pemegang saham dapat menentukan arah kebijakan perusahaan. Sebagai pemegang saham mempunyai hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Risiko pemegang saham relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan deposito bila terjadi devaluasi.

Dalam memberikan arti kepada “pasar modal”, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tidak member suatu definisi secara menyeluruh, melainkan lebih menitikberatkan kepada kegiatan dan para pelaku dari suatu pasar modal (bandingkan Munir Fuady, 1991: 11). Karena Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 memberikan arti pasar modal sebagai suatu kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, kelembagaan pasar modal itu meliputi:

1. Instansi yang terkait dengan atau dalam pasar modal:

a. Badan Pengawas Pasar Modal;

b. Bursa Efek;

c. Lembaga Kliring dan Penjaminan;

d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;

e. Reksa Dana.

2. Perusahaan sekuritas/efek:

a. Penjamin/Wakil Penjamin Emisi Efek;

b. Perantara/Wakil Perantara Pedagang Efek;

c. Manajer/Wakil Manajer Investasi;

d. Penasihat Investasi.

3. Lembaga penunjang pasar modal:

a. Kustodian;

b. Biro Administrasi Efek;

c. Wali Amanat;

d. Penanggung.

4. Profesi Penunjang Pasar Modal:

a. Akuntan;

b. Konsultan Hukum;

c. Penilai;

d. Notaris;

e. Profesi lain yang ditetapkan pemerintah.

Tidak ada pasar lain di dunia ini yang begitu banyak macam dan model para pelakunya seperti yang terdapat pada pasar modal. Hal ini mudah dipahami berhubung mobilitas perputaran uang di pasar modal sangat besar jumlahnya. Dalam waktu beberapa detik saja, miliaran dolar dapat ditarik suatu negara lewat wahana pasar modal itu. Ibarat kata obang bijak, di mana ada gula di situ banyak semut, maka berduyun-duyun orang datang ke pasar modal, dengan berbagai peranan yang dimainkannya, atau bahkan mereka datang hanya sekadar berspekulasi dengan nasibnya dengan melakukan investasi di pasar modal tersebut. demikianlah pasar modal telah menjadi tempat investasi, yang dapat menyaingi sektor perbankan atau wadah-wadah investasi konvensional lainnya. Di sana, di pasar modal, orang-orang bermain dengan modal, suatu permainan yang sangat menggairahkan sekaligus mendebarkan .

Dalam menjalankan fungsinya, pasar modal dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Pasar perdana

Pasar perdana adalah penjualan perdana efek atau penjualan efek oleh perusahaan yang menerbitkan efek sebelun efek tersebut dijual melalui bursa efek. Pada pasar perdana, efek dijual dengan harga emisi, sehingga perusahaan yang menerbitkan emisi hanya memperoleh dana dari penjualan tersebut.

b. Pasar sekunder

Pasar sekunder adalah penjualan efek setelah penjualan pada pasar perdana berakhir. Pada pasar sekunder ini harga efek ditentukan berdasarkan kurs efek tersebut.

c. Bursa paralel

Bursa paralel merupakan bursa efek yang ada. Bagi perusahaan yang menrbitkan efek yang akan menjual efeknya melalui bursa dapat dilakukan melalui bursa dapat dilakukan melalui bursa paralel. Bursa paralel merupakan alternatif bagi perusahaan yang go public memperjualbelikan efeknya jika dapat memenuhi syarat yang ditentukan pada bursa efek  

5.  Perusahaan Penjaminan

Perusahaan Penjaminan adalah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Penerima Kredit dan/atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Perusahaan Penjaminan ini merupakan Lembaga Penjaminan, yang pengaturan hukumnya ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan. Pengaturan terhadap Lembaga Penjaminan ini diperlukan karena usaha penjaminan yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan selama ini belum cukup diatur berdasarkan prinsip-prinsip usaha penjaminan yang prudent, transparan, serta memberikan kepastian hukum, dan dalam rangka mendorong kegiatan usaha Lembaga Penjaminan yang diselenggarakan secara efisien, berkesinambungan, serta bermanfaat bagi masyarakat dan perekonomian nasional.

Kegiatan usaha penjaminan dan penjaminan ulang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang. Selain itu, Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang dapat melakukan usaha lain yang mendukung kegiatan usaha Lembaga Penjaminan. Setiap melakukan kegiatan usaha sebagai Lembaga Penjaminan harus memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan. Lembaga Penjaminan berkedudukan di wilayah Republik Indonesia, dengan lingkup wilayah operasional nasional atau provinsi dan dapat mendirikan Kantor Cabang dan Kantor Anak Cabang sesuai lingkup wilayah operasionalnya.

           KMK.01/1991 tentang Kegiatan Usaha Sewa Guna Usaha (Leasing) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Pemerintah bermaksud memberikan kesempatan kepada lembaga pembiayaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembiayaan sebagai salah satu alternatif pilihan sumber pembiayaan pembangunan dalam rangka menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.

Lembaga pembiayaan dikatakan sebagai sumber pembiayaan alternatif, karena di luar lembaga pembiayaan masih banyak lembaga keuangan lain yang dapat member bantuan dana, seperti pegadaian, pasar modal, bank, dan sebagainya. Meskipun demikian, dalam kenyataannya tidak semua pelaku usaha dapat dengan mudah mengakses dana tersebut disebabkan oleh masing-masing lembaga keuangan ini menerapkan ketentuan yang tidak dengan mudah dapat dipenuhi oleh pihak yang membutuhkan dana. Bank yang selama ini sudah dikenal luas oleh masyarakat ternyata tidak mampu memenuhi berbagai keperluan dana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kesulitan masyarakat mengakses dana dari bank ini disebabkan antara lain jangkauan penyebaran kredit bank yang belum merata, keharusan bank menerapkan prinsip prudent banking, keharusan debitur untuk menyerahkan jaminan, dan terbatasnya kemampuan permodalan bank sendiri. Mengingat banyaknya kendala untuk memperoleh dana dari bank ini, lembaga pembiayaan merupakan salah satu sumber dana alternatif yang penting dan potensial yang patut dipertimbangkan .

Di samping berperan sebagai sumber dana alternatif, lembaga pembiayaan juga mempunyai peranan penting dalam hal pembangunan, yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan. Aspirasi dan minat masyarakat dalam pembangunan (ekonomi) ini bisa terwujud jika ada pihak yang memfasilitasinya. Lembaga pembiayaan sebagai sumber pembiayaan dapat memberikan kontribusinya dalam bentuk bantuan dana guna menumbuhkan dan mewujudkan aspirasi dan minat masyarakat tersebut. Dengan bantuan dana dari lembaga pembiayaan ini diharapkan masyarkat (pelaku usaha) dapat mengatasi salah satu faktor krusial yang umum dia alami, yaitu faktor permodalan (Sunaryo, 2008: 3-4).

Ketentuan Lembaga Pembiayaan yang diatur dalam keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998, dianggap tidak memadai lagi dalam rangka upaya meningkatkan peran Lembaga Pembiayaan dalam proses pembangunan, dank arena itu perlu disempurnakan dengan mengganti Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1998 dimaksud dengan ketentuan yang baru sebagaimana termuat dalam peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 mengenai jenis, kegiatan usaha, dan pendirian Lembaga Pembiayaan, serta pembatasan dan pengawasan Lembaga Pembiayaan.

Sebelumnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 dan dalam ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Demikian pula dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana dan/atau barang modal.

Jadi, Lembaga Pembiayaan tersebut merupakan:

a. suatu badan usaha, yaitu perusahaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan;

b. kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjan atau aktivitas dengan cara membiayai pada pihak-pihak atau sektor usaha yang membutuhkan;

c. penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan uang untuk suatu keperluan;

d. barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu atau barang alin, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan sebagainya;

e. tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking), artinya tidak mengambil uang secara langsung, baik dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk dipakai sebagai jaminan utang kepada bank yang menjadi krediturnya .

Menurut Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2009 terdapat tiga jenis Lembaga Pembiayaan, yang meliputi:

a. Perusahaan Pembiayaan (PP), yaitu badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan/atau usaha kartu kredit;

b. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) (PMV), yaitu badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayan (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha;

c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur (PPI), yaitu badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur.

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2009 menetapkan kegiatan usaha yang dapat dilakukan Perusahaan Pembiayaan, meliputi:

a. Sewa Guna Usaha (Leasing), yaitu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran;

b. Anjak Piutang (Factoring), yaitu kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan, berikut pengurusan atas piutang tersebut;

c. Usaha Kartu Kredit (Credit Card), yaitu kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit; dan/atau

d. Pembiayaan Konsumen (consumers finance), yaitu kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.

Kemudian Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 menetapkan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Modal Ventura, meliputi:

a. Penyertaan Saham (equity participation);

b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation)

c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing);

Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) Peraturan Nomor 9 Tahun 2009 menetapkan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, meliputi:

a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur;

b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau

c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur.

Dalam rangka mendukung kegiatan usahanya, ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 memberikan kemungkinan bagi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur untuk melakukan:

a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;

b. Pemberian Jasa Konsultasi (advisory investment);

c. Penyertaan Modal (equity investment);

d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau

e. Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, usaha pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat berharga (securities) tidak lagi menjadi kegiatan usaha Lembaga Pembiayaan.

Dengan demikian, tampak kegiatan usaha Lembaga Pembiayaan, yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur jauh berbeda dengan kegiatan usaha bank. Pemerintah telah menyediakan alternative pilihan sumber dana pembiayaan pembangunan lainnya, tidak hanya mengandalkan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. 

Secara ringkas sistem lembaga pembiayaan dalam perspektif sistem keuangan Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 2.4 berikut ini.








Gambar 2.4 Sistem lembaga pembiayaan

Meskipun sama-sama sebagai sebagai lembaga keuangan, nama di antara lembaga pembiayan dan lembaga perbankan tampak terdapat perbedaan. 

sebagaimana dalam Tabel 2.2 berikut ini.


Tabel 2.2 Perbedaan Lembaga Pembiayaan dengan Lembaga Perbankan

Karakter Lembaga Keuangan

Lembaga Pembiayaan Lembaga Perbankan

Dasar Hukum Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, kemudian ditidaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 yang telah beberapa kali diubah, kemudian dicabut dan diperbarui dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tengang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang –Undang Nomor 10 Tahun 1998



Kegiatan Usaha Satu bidang usaha tertentu saja dengan memberikan pembiayaan tertentu sebagai investasi dunia usaha maupun barang modal sebagai modal kerja dunia usaha. Memberikan jasa simpanan, pinjaman dan jas perbankan lainnya.

Penghimpunan Dana Tidak diperkenankan menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan, terkecuali menerbitkan surat sanggup bayar (promissory note). Dapat secara langsung menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito berjangka atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Penyaluran Dana Tidak diperkenankan untuk menjalankan usaha dengan memberikan kredit secara langsung dan memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain. Menjalankan kegiatan usaha memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

Jaminan Utang Dalam menjalankan kegiatan pembiayaan tidak menekankan aspek jaminan (non collateral basis). Dalam memberikan kredit lebih berorientasi kepada jaminan (collateral basis).

Penjamin Dilarang memberikan jaminan dalam segala bentuk apapun kepada pihak lain Dapat bertindak sebagai penjamin dengan memberikan jaminan kepada pihak lain.

Penciptaan Uang Giral Tidak dapat menciptakan uang giral Dapat menciptakan uang giral (giro)

Penerbit Surat Utang Dulu dilarang menerbitkan surat sanggup, kecuali sebagai jaminan atas utang kepada bank yang menjadi krediturnya. Surat sanggup bayar ini tidak dapat dialihkan dan dikuasakan kepada pihak manapun dan wajib dicantumkan kata-kata “tidak dapat dialihkan dan dikuasai kepada pihak manapun”. Sekarang diperkenankan menerbitkan surat sanggup bayar dengan memenuhi prinsip kehati-hatian. Surat sanggup bayar adalah surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya. Dapat menerbitkan surat sanggup pengakuan utang


Penerbit Surat Utang Dulu dilarang menerbitkan surat sanggup, kecuali sebagai jaminan atas utang kepada bank yang menjadi krediturnya. Surat sanggup bayar ini tidak dapat dialihkan dan dikuasakan kepada pihak manapun dan wajib dicantumkan kata-kata “tidak dapat dialihkan dan dikuasai kepada pihak manapun”. Sekarang diperkenankan menerbitkan surat sanggup bayar dengan memenuhi prinsip kehati-hatian. Surat sanggup bayar adalah surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya. Dapat menerbitkan surat sanggup pengakuan utang

Perizinan Kementerian Keuangan Bank Indonesia

Pembinaan dan pengawasan Kementerian Keuangan Bank Indonesia

Otoritas Kementerian Keuangan Bank Indonesia


Sebelumnya dalam ketentuan Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 dan Pasal ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 ditetapkan bahwa Perusahaan Pembiayaan harus berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. Ini berarti untuk dapat melaksanakan usaha di bidang pembiayaan bentuk badan hukum Perusahaan Pembiayaan harus Perseroan Terbatas atau Koperasi. Hal yang sama ditetapkan pula dalam Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, bahwa Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.

Mengenai kepemilikan saham pada Lembaga Pembiayaan diatur dalam Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, bahwa saham Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang berbentuk Perseroan Terbatas dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia; Badan usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia (usaha patungan). Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing ditentukan paling besar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari Modal Disetor.

Sebelumnya dalam Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, kegiatan Lembaga Pembiayaan mendapat pembatasan, yaitu: 

a. Perusahaan Pembiayaan dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan surat sanggup bayar;

b. Dilarang menerbitkan Surat Sanggup Bayar, kecuali hanya sebagai jaminan atas utang kepada Bank yang menjadi krediturnya;

c. Tidak diperkenankan menjalankan usaha dengan memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.

Demikian pula dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 dapat ditemukan pula pembatasan Lembaga Pembiayaan dalam melakukan kegiatan usahanya, yaitu:

a. Lembaga Pembiayaan dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan;

b. Lembaga Pembiayaan dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar dengan memenuhi prinsip kehati-hatian (prudencial principles).

Secara pemegang otoritas pemberi izin usaha Lembaga Pembiayaan berada di tangan Kementerian Keuangan c.q. Menteri Keuangan. Demikian pula pengawasan dan pembinaan atas Lembaga Pembiayaan dilakukan oleh Kementerian Keuangan c.q. Menteri Keuangan. Hal ini ditegaskan dalam ketetntuan Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2009, bahwa ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan, tata cara pendirian perusahaan dan pelaksanaan kegiatan usaha diatur oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya ditegaskan pula dalam ketentuan Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2009 yang menetapkan, bahwa Menteri Keuangan melakukan pengawasan dan pembinaan atas Lembaga Pembiayaan. Jadi jelas, bahwa pemegang potoritas pemberi izin, pengawasan dan pembinaan atas Lembaga Pembiayaan berada di tangan Kementerian Keuangan c.q. Menteri Keuangan.

Sebelumnya pembinaan dan pengawasan izin usaha Perusahaan Pembiayaan, kecuali Peusahaan Modal Ventura, dilakukanoleh Kementerian Keuangan dengan dibantu Bank Indonesia. Sehubungan dengan itu, dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 607/KMK.017/1995 dan Nomor 28/9/KEP/GBI telah ditetapkan ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan Perusahaan Pembiayaan oleh Bank Indonesia.

Adapun hal yang diaturnya dalam Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 607/KMK.017/1995 dan Nomor 28/9/KEP/GBI sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pengwasan Perusahaan Pembiayaan yang melakukan satu atau lebih kegiatan sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit dan pembiayaan konsumen dilakukan oleh Kementerian Keuangan dengan dibantu oleh Bank Indonesia. Ruang lingkup pengawasan Perusahaan Pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi pengawasan terhadap:

a. penarikan pinjaman luar negeri;

b. penyaluran pinjaman yang bersumber dari kredit perbankanpenerbitan surat sanggup bayar (promissory note);

c. kualitas aktiva produktif;

d. kebenaran dan kelengkapan laporan.

2. Pengawasan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pengawasan secara langsung hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan hasil analisis pengawasan secara tidak langsung dan/atau informasi lainnya ditemukan indikasi bahwa laporan Perusahaan Pembiayaan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Pengawasan secara langsung dimaksud dapat dilakukan setelah terlebih dahulu memberitahukan kepada Menteri Keuangan.

3. Hasil pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud di atas dilaporkan oleh Bank Indonesia kepada Menteri Keuangan, yang sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai:

a. tingkat kepatuhan Perusahaan Pembiayaan dalam melaksanakan ketentuan ditetapkan;

b. pelanggaran yang dilakukan Perusahaan Pembiayaan;

c. dampak pelanggaran terhadap aspek moneter dan terhadap perkembangan kegiatan Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan;

d. kualitas aktiva produktif.

Dahulu sumber dana Perusahaan Pembiayaan berasal dari modal (sendiri) (networth), pinjaman, penjualan obligasi, dan pinjaman subordinasi yang diterima dari mitra asingnya (untuk perusahaan patungan). Pinjaman, terutama berasal dari perbankan, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 606/KMK.017/1995 antara lain diatur mengenai pinjaman yang diterima dan penyertaan Perusahaan Pembiayaan yang melakukan satu atau lebih kegiatan sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen, yaitu (1) jumlah pinjaman bagi setiap Perusahaan Pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya 15 kali jumlah modal sendiri Perusahaan Pembiayaan setelah dikurangi penyertaan. Dari jumlah pinjaman dimaksud, jumlah pinjaman luar negeri ditetapkan setingi-tingginya 5 kali jumlah modal sendiri Perusahaan Pembiayaan setelah dikurangi penyertaan; dan (2) penyertaan modal hanya dapat dilakukan pada perusahaan di sektor keuangan. Penyertaan modal pada setiap perusahaan tersebut tidak boleh melebihi 25% dari modal disetor perusahaan yang bersangkutan. Jumlah seluruh penyertaan modal Perusahaan Pembiayaan itu tidak boleh melebihi 40% dari jumlah modal sendiri Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.






BAB VII

SEJARAH DAN KONDISI PERBANKAN

DI INDONESIA


A. SEJARAH PERBANKAN DI INDONESIA

1. Perbankan Jaman Penjajahan Belanda

Kehadiran VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) di bumi Indonesia berpengaruh pada berdirinya pembiayaan dan perbankan.Sebagai bank pertama, dapat dicatat kehadiran Nederlandsche Handel Maatschappij di tahun 1824. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda mendirikan De Javasche Bank pada tanggal 10 Oktober 1828, di mana kehadirannya memberikan nuansa baru, karena beberapa tugas di bidang moneter yang selama ini ditangani oleh pemerintah, misalnya mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas, menyimpan dan menguasai dana-dana devisa, obligasi negara, dilimpahkan kepada bank tersebut. Bahkan pada tahun 1909 bank tersebut dikukuhkan sebagai pusat kliring.Fungsi yang diembannya tidak berbeda dengan kegiatan usaha Bank Umum atau komersial, sehingga bank tersebut turut serta dalam persaingan antar bank.

Peranan ganda De Javasche Bank sebagai Bank Sirkulasi dan Bank Umum, memperlihatkan sifat yang dualistik dan mengundang kritik dari bank-bank lainnya. Kritik tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Dengan bunga yang lebih rendah daripada bank-bank lain, maka De Javasche Bank dengan mudah menarik nasabah yang terbaik.

b. Persaingan oleh suatu badan (De Javasche Bank) yang karena tugasnya dapat memiliki data-data bank lain, sehingga dianggap hal ini tidak wajar.

Sebuah bank swasta lain yang berdiri seiring dengan berkembangnya perkebunan adalah NV. Escompto Bank pada tahun 1857, dan bergerak di bidang pembiayaan untuk perdagangan luar negeri bagi ekspor hasil-hasil perkebunan. Beberapa bank yang kemudian didirikan untuk memenuhi kebutuhan perdagangan, adalah:

a. Tahun 1895 di Purwokerto, dibentuk Bank Priyayi untuk melayani kebutuhan masyarakat. tahun 1896 diubah namanya menjadi “Purwokertosche Spaar, Hulp En Credietbank”.

b. Tahun 1898 di Garut, didirikan “Volksbank”, dan di tahun yang sama pula atas kerjasama pemerintah Hindia Belanda dan Jawatan Pos, di bandung dibentuk sebuah bank tabungan yang diberi nama “Post Spaartbank”.

Sedangkan yang bertujuan melayani masyarakat kecil berdasarkan Instruksi Pemerintah dibentuk Lembaga Kas Sentral di pedesaan pada tahun 1912. Pada saat terjadi kondisi krisis ekonomi dunia, dilakukanlah peleburan antara Lembaga Kas Sentral dengan beberapa Volksbank, dan kemudian dikenal sebagai: “De Algemene Volks-Credietbank (AVB)”, pada tanggal 19 Februari 1934.

Pengusaha-pengusaha turut serta pula mendirikan bank swasta, di antaranya:

a. Di Semarang, pengusaha Oei Tiong Ham mendirikan NV. Banks Verebiging Oei Tiong  Ham;

b. Di Surabaya, beberapa pengusaha dan politisi ternama, Dr. Sutomo, Samsi dan Ir. Anwari mendirikan Bank Nasional Indonesia.

Demikian pula, Bank Abuan Saudagar di Bukit Tinggi dan Bank Bumi di Jakarta.

Tidak semua bank yang didirikan dapat terus bertahan hingga masa kemerdekaan.Pada umumnya hilang karena pengelolaan yang tidak profesional.Sedangkan yang memiliki kecakapan di dalam pengelolaan dapat terus bertahan.

Bank-bank yang dapat bertahan tercatat:

a. Bank Tabungan Himpunan 1906 dan Bank Tabungan Belanda NISP yang saat ini singkatannya masih dipergunakan, tetapi merupakan singkatan dari dari: Nilai Inti Sari Penyimpan di Bandung;

b. PT. Bank Kesawan (Penerus NV. Handels Mij Ching Hwa Shangyeh) di Medan;

c. PT. Bank Jakarta (Penerus NV. Bank Batavia) di Jakarta;

d. Bank Nasional di Bukit Tinggi.

Meningkatnya perdagangan dengan Negara-negara Eropa dan Amerika, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda memberikan peluang bank-bank devisa asing untuk mendirikan kantor cabangnya di Indonesia, yaitu: The Chartered Bank of India, The Overseas Chinese Banking Corporation, The Bank of China dengan politik pintu terbuka.

2. Perbankan Pada Penjajahan Jepang

Pendudukan Jepang dari tahun 1942-1945 merupakan masa suram bagi perbankan Indonesia, di mana pemerintah Jepang memaksa bank agar menyediakan biaya untuk keperluan perang. Usaha ini dilakukan dengan menutup bank-bank yang ada dengan likuidatornya adalah Nanpo Kaihatsu Kinko, sebuah bank sirkulasi yang berkantor pusat di Tokyo. Hanya ada satu bank yang diperkenankan, yaitu Algemene Volkscediet Bank (AVB) dan diganti namanya menjadi Syomin Ginko.

Pada tanggal 1 April 1945, Nanpo Kaihatsu Kinko membuka empat kantor cabang di pulau Jawa dan Sumatera. Upaya yang dilakukannya adalah propaganda untuk menabung.Akan tetapi, propaganda tersebut tidak memberikan dampak yang positif walaupun telah dilakukan pemaksaan.Tidak banyak yang dapat dicatat tentang perkembangan perbankan di masa pendudukan Jepang.

3. Perbankan Jaman Indonesia Merdeka

Di awal kemerdekaan Republik Indonesia, terdapat gagasan untuk mendirikan suatu Bank Sirkulasi dalam Sidang Dewan Menteri pada tanggal 19 September 1945.Penugasan ini dibebankan kepada RM. Margono Djojohadikusumo.Usaha merealisasikannya dialkukan dengan mendirikan “Pusat Bank Indonesia” dengan akta notaris RM. Soerojo di Jakarta pada tanggal 14 Oktober 1945. Madal awal sebesar Rp. 340.000 berupa uang Jepang yang diperoleh dari dana revolusi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 1946, pemerintah mendirikan Bank Negara Indonesia 1946 pada tanggal 5 Juli 1946, yang kemudian hari lebih dikenal sebagai BNI 1946.

Misi yang diemban oleh Bank Negara Indonesia, dapat dilihat di dalam tujuan didirikannya bank tersebut, sebagaimana tercantum pada pasal 2 Perpu No. 2 tahun 1946, yaitu:

“Dengan nama Bank Negara Indonesia didirikan sebuah bank kepunyaan Republik Indonesia, untuk:

a. Mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas bank dengan harga yang tetap menurut keperluan masyarakat terhadap alat penukaran;

b. Memperbaiki peredaran alat pembayaran lain;

c. Memenuhi kredit masyarakat dan umumnya supaya dapat bekerja untuk kepentingan umum”.

Sehubungan dengan tugas yang tercantum dalam butir 1, BNI mengatur peredaran uang Republik Indonesia (ORI – Oeang Repoeblik Indonesia) sebagai uang kertas pemerintah, di samping menarik uang pada masa pendudukan Jepang dan menggantikannnya dengan ORI tersebut. Tugas ini dilaksanakan oleh AA.Maramis sebagai menteri keuangan pada saat itu. Karena sulitnya sarana transportasi pada saat itu untuk mengangkut ORI dari pusat ke daerah, maka sebagai jalan keluar diterbitkan ORI setempat oleh Pemerintah Daerah, di antaranya ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Poelaoe Soematera), ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Aceh), serta ORITA (Oeang  Repoeblik Indonesia Tapanoeli). Masa berlaku ORI tiga tahun lima bulan, setelah itu ditarik dari peredaran dan diganti dengan uang DJavasche Bank.

Pada tanggal 22 Februari 1946, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1946, didirikan Bank Rakyat Indonesia (BRI)  yang merupakan hasil perubahan dan melanjutkan kegiatan Algemene Volkscrediet Bank beserta cabang-cabangnya yang tersebar di seluruh Indonesia.

Usaha dari bank tersebut ditegaskan dalam pasal 3 akta pendiriannya, yaitu:

“Memberikan pinjaman kepada rakyat, menerima uang simpanan, menjalankan tugas-tugas Bank Umum dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh pemerintah.Karena tugasnya tersebut, BRI sebagai bank yang oleh pemerintah ditujukan untuk langsung berhubungan dengan rakyat”.

Selain pendirian bank-bank pemerintah, perkembangan Bank Swasta Nasional di beberapa daerah cukup menggembirakan, antara lain didirikan :

i. Bank Surakarta MAI di Solo pada tahun 1945;

ii. Bank Dagang Nasional di Medan pada tahun 1946;

iii. Indonesia Banking Corporation (IBC) yang kemudian bernama Bank Amerta di Yogyakarta pada tahun 1947;

iv. NV. Bank Sulawesi di Manado pada tahun 1946;

v. NV. Bank Perniagaan Indonesia di Jakarta pada tahun 1948;

vi. NV. Bank Timur di Semarang pada tahun 1949;

vii. NV. Bank Dagang Indonesia di Banjarmasin pada tahun 1949;

viii. NV. Banking and Trading Corporation di Samarinda pada tahun 1950.

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia belum memiliki Bank Sentral yang terlepas dari tugas dan peranannya sebagai Bank Umum.Oleh karenanya, diperlukan suatu Bank Sentral yang terlepas dari tugas-tugas Bank Umum. Hal ini dirasakan penting, seperti tertuang dalam pasal 110 UUD RIS (UUDS 1949) yang menyebutkan:

“Ada suatu Bank Sentral untuk Indonesia, penunjukkan Bank Sentral dan mengenai susunan serta wewenangnya diatur dengan undang-undang”.

a) Perbankan Dalam Pemerintah Orde Lama

Awal perbankan di masa pemerintahan Orde Lama dimulai dengan peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag pada tahun 1949. Pihak Indonesia diwakili oleh Mohamad Hatta dan Sultan Hamid, sedangkan pihak Belanda diwakili oleh J. H. Van Dresso.Konferensi ini memutuskan untuk menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pihak Indonesia menginginkan agar BNI bertindak sebagai Bank Sentral, tetapi usul ini tidak diterima, sehingga RIS harus menerima De Javasche Bank sebagai Bank Sentral yang berhak mengedarkan uang kertas, artiunya bertindak sebagai Bank Sirkulasi di Indonesia. Fungsi lainnya adalah membiayai perusahaan Belanda di Indonesia.Hal ini menyebabkan posisi bank tersebut menjadi sangat lemah meskipun kedudukannya sebagai Bank Sirkulasi negara Indonesia.Tindakan cepat dilakukan pemerintah setelah RIS membubarkan diri dan menjadi negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950. Pada 30 April 1951, Menteri Keuangan Yusuf Wibisono mengatakan bahwa pemerintah Republik Indonesia hendak menasionalisasikan De Javasche Bank, dan selanjutnya direalisasikan dengan UU. No. 24 tanggal 15 Desember 1951.36)

36) M. Dawam Rahardjo, et.al, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, Cetakan Pertama, Jakarta, Pustaka LP3ES, hlm. 59-61. Gagasan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank dilontarkan pertama kali dalam muktamar Partai Masyumi bulan Desember 1949, dan kemudian diusulkan kepada parlemen pada tanggal 28 Mei 1951.

Proses selanjutnya adalah pengambilalihan saham De Javasche Bank dilakukan di bursa saham Belanda dan berhasil dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia sebesar 97% saham dengan harga 20% di atas nominal (120%). Proses pembelian itu berjalan lancer dengan harga nominal Rp. 8,95 juta.

Sementara itu, di Indonesia dilakukan pembentukan Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang dipimpin oleh Mr. Soediono, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, sebagai ketua merangkap anggota. Anggota panitia terdiri dari Soetikno Selamet, Dr. R.M. Soemitro Djojohadikusumo, TRB Sabaruddin, Drs. A. Qudt dan Drs. Kouw Bian Tie. Tugas panitia adalah mengajukan usul-usul mengenai langkah-langkah nasionalisasi, mengajukan Rancangan Undang-Undang Nasionalisasi dan merancang undang-undang baru tentang Bank Sentral.

Setelah melakukan nasionalisasi, maka UU De Javasche Bank (de Javasche Bankwet) tahun 1922 diganti dengan UU. No. 11/1953 Tanggal 29 Mei 1953, yaitu UU Pokok Bank Indonesia, sehingga nama De Javasche Bank berubah menjadi Bank Indonesia. Sifat dualistik Bank Indonesia mewarnai keberadaan lembaga ini, di mana selain sebagai Bank Sentral, Bank Indonesia juga merangkap sebagai Bank Umum.Lembaga perbankan mengalami kekalutan seiring dengan kondisi yang dialami oleh perekonomian Indonesia. Salah satu hal yang merupakan kekurangan pemerintahan Orde Lama adalah kebiasaan mengabaikan Undang-Undang. Sebagai contoh adalah pelaksanaan pasal 36 ayat 2 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, yang menyatakan:

“Segala ketentuandalam pasal 13 yang mengenai pekerjaan bank di lapangan lain daripada fungsi sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya diserahkan kepada bank-bank lain yang akan ditunjuk dengan Undang-Undang selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 1953”.

Ternyata ketentuan tersebut hampir selama lima belas tahun tidak pernah dilaksanakan, padahal ketentuan ini menyangkut prinsip yang penting dalam menghapuskan sifat dualistik Bank Sentral. Ketidaklaziman lainnya di dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut adalah menyangkut pembentukan kantor di Luar Negeri oleh Bank Sentral Indonesia. Pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa:

“Bank Sentral dapat mempunyai perwakilan dan koresponden-koresponden di luar negeri”.

Menurut Margono Djojohadikusumo, tidak ada Bank Sentral uang mempunyai perwakilan di luar negaranya sendiri, mereka hanyalah mempunyai koresponden saja. Koresponden adalah hanya perantara saja, sedangkan perwakilan mempunyai wewenang yang lebih luas, bahkan dalam beberapa hal dapat melakukan aktifitas yang mirip kantor cabang dari bank yang diwakilinya. 37)

Kondisi demikian membuat iklim perbankan menjadi tidak sehat. Walaupun demikian beberapa Bank Swasta didirikan, antara lain:

1) Bank Umum Nasional, didirikan pada tanggal 2 September 1952;

2) Bank Persatuan Dagang Indonesia, didirikan pada tanggal 1 Januari 1955;

3) Bank Dagang Nasional Indonesia, didirikan pada tanggal 1 Desember 1955.

37) Margono Djojohadikusumo, Memurnikan Perbankan nasional Kita, Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia, edisi redaksi ekonomi Harian Kompas, Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia, 1981, hlm. 45.

Pada tahun 1957, dimulailah politik konfrontasi terhadap Belanda melalui Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk merebut Irian Barat pada tahun 1958. Hal ini mengakibatkan:

1) Terdapat eksodus orang-orang Belanda meninggalakan Indonesia, termasuk tenaga pimpinan dan staf perbankan, sehingga terjadi kekosongan tenaga-tenaga ahli;

2) Pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk di dalamnya usaha menasionalisasi bank-bank Belanda, yaitu Escompta Bank yang dijadikan Bank Dagang Negara (BDN) dengan Undang-Undang No. 13/Prp/1960, Nederlandsche Handelmaatschappij (NHM) yang dijadikan Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dengan Undang-Undang No. 41/Prp/1960 dan Nederlandsche Handels Bank (NHB) yang dijadikan Bank Umum Negara dan kelak berubah menjadi Bank Bumi Daya dengan PP No. 39 tahun 1969.

Berdasarkan Penetapan Presiden No. 17 tahun 1965, Bank Indonesia bersama-sama dengan bank Koperasi Tani dan nelayan, Bank Negara Indonesia, Bank Umum Negara dan bank Tabungan Negara dilebur ke dalam bank tuinggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI).

Selanjutnya dengan Surat Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral No. KEP 65/UBS/65, bank-bank tersebut di atas menjalankan usaha-usahanya masing-masing dengan nama: BNI unit I, unit II, unit IV dan unit V.

Bank pemerintah yang “lolos” dari pengintegrasian adalah Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO). Kedua bank tersebut tidak ikut serta terlebur, disebabkan:

Pertama, berkat peranan J.D. Massie yang menduduki jabatan Direktur Utama sekaligus Menteri Keuangan, mengenai ketidaksetujuannya terhadap peleburan tersebut karena akan memiliki dampak membingungkan terhadap koresponden-koresponden bank di luar negeri. Karena alasan tersebut dipandang masuk akal, maka Presiden Soekarno menerima usulan tersebut.Sedangkan yang telah terlanjur tetap dilaksanakan sesuain dengan kesepakatannya dengan Menteri Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia, yang pada waktu itu dijabat oleh Jusuf Muda Dalam.

Kedua, karena di dalam undang-undang pembentukan bank itu sendiri diatur bahwa pengelolaannya diletakkan di bawah pimpinan suatu Dewan Pembangunan, pimpinan Menteri Pertama Urusan Pembangunan dengan anggota banyak menteri dan dipimpin oleh pengawas harian yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur bank Indonesia sebagai anggota.

Sampai tahun 1966, kegiatan industry perbankan mengalami kemerosotan yang cukup drastis dengan laju pertumbuhannya hanya 2 %.Bank berusaha hidup dengan berbagai upaya, dengan mengenkan biaya-biaya administrasi di samping bunga kredit yang resmi. Di samping itu terdapat kecenderungan lain, yaitu praktek bank di dalam bank. Pemilik-pemilik bank lebih berupaya untuk membiayai kepentingan untuk kelompoknya sendiri.

b) Perbankan Dalam Pemerintah Orde Baru

Babak baru kehidupan perbankan, dimulai dengan berakhirnya pemerintahan Orde Lama.Sebagai pelaksanaan ketetntuan yang tercantum dalam pasal 55 Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966, yang menegaskan:

“Dalam rangka pengamanan keuangan Negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan tata perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Bank Sentral”.

Maka setelah itu dikeluarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tantang Pokok-Pokok Perbankan, dan Undang-Undang No. 13 tahun 1968 tentang bank Sentral untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953.

Kedua Undang-Undang tersebut merupakan pilar untuk pembinaan dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perbankan dalam menjalankan fungsinya secara sehat, wajar, efisien, dan memungkinkan perbankan Indonesia melakukan penyesuaian yang diperlukan sesuai dengan perkembangan norma-norma perbankan internasional  .

Perkembangan bank dalam pemerintahan Ore baru, dibagi dalam tiga tahap utama, yaitu:

1) Tahap stabilisasi dan rehabilitasi (1966-1969)

2) Periode pembangunan (1970-1982)

3) Periode deregulasi (1983-1997)

4) Periode Krisis Ekonomi mulai (1997-kini)

1) Tahap Stabilisasi dan Rehabilitasi (1966-1969)

Perkembangan yang berarti untuk melaksanakan stabilisasi di dalam tahap ini adalah dengan lahirnya kedua Undang-Undang yang menjadi landasan pokok yang penting bagi perbankan, yaitu

(a) Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.

(b) Undang-undang No. 13/1968 tentang Bank Sentral, yang menggantikan Undang-Undang Bank Sentral 1953.

Landasan pokok yang memberikan arahan penting kepada dunia perbankan, yang merupakan materi di dalam UU. No. 14/1967 adalah:

(a) Tata perbankan harus merupakan suatu sistem yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di Indonesia, serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter pemerintah di bidang perbankan;

(b) Memobilisasi dan mengembangkan seluruh potensi nasional yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan asas-asas demokrasi ekonomi;

(c) Membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut di atas bagi kepentingan ekonomi rakyat.

Sedangkan Undang-Undang No. 13/1968 mulai memilah kembali peranan Bank Sentral dan Bank Umum Pemerintah dengan dasar hukumnya pasal 51, yang menetapkan:

Ayat 1: “Segala hak dan kewajiban serta kekayaan dan perlengkapan Bank negara Indonesia Unit I sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Presiden Nomor 17 tahun 1965, beralih menjadi hak dan kewajiban serta kekayaan dan perlengkapan dari Bank.

Ayat 2” “Segala hak dan kewajiban serta kekayaan dan perlengkapan dari Bank Negara Indonesia Unit II, III, IV dan V sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Presiden Nomor 17 tahun 1965, beralih menjadi hak, kewajiban serta kekayaan dan perlengkapan dari Bank-bank Negara yang masing-masing akan dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri.

Berdasarkan ketentuan pasal 51 ayat 1 dan 2 di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:

(a) BNI Unit 1 dipisahkan kembali dari bank tunggal dan didirikan sebuah Bank Sentral di Indonesia dengan nama “Bank Indonesia”;

(b) Sifat dualistis dari Bank Sentral ditiadakan, sehingga kegiatan kegiatan bank Umum tidak dijalankan lagi;

(c) BNI Unit II, II, IV, V dipisahkan kembali dan kemudian didirikan bank-bank negara baru dengan undang-undang tersendiri, yaitu:

Bank Rakyat Indonesia berdasarkan UU. No. 21/1968 dan Bank Ekspor Impor Indonesia berdasarkan UU. No. 22/1968, berasal dari BNI Unit II;

Bank Negara Indonesia(BNI) 1946, berdasarkan UU. No. 17/1968 berasal dari BNI Unit III;

Bank Bumi Daya, berdasarkan UU. No. 19/1968 berasal dari BNI Unit IV;

Bank Tabungan Negara, berdasarkan UU. No. 20/1968 berasal dari BNI Unit V.

Sedangkan bank pemerintah yang tidak dilebur, yaitu Bank Dagang Negara diperbaharui dengan UU.No. 18/1968.serangkaian keputusan dan Undang-Undang yang dikeluarkan dalam periode itu, mampu melahirkan suatu landasan kebijaksanaan nasional tentang pngaturan perbankan di Indonesia.

Sejalan dengan usaha-usaha tersebut, secara sistematis dilakukan rehabilitasi sistem perbankan sesuai dengan pasar. Tujuan utamanya adalah untuk menghentikan inflasi dengan pengendalian fiskal dan moneter yang ketat, akan tetapi dapat menumbuhkan system perbankan yang mampu berperan secara aktif dalam pembangunan sebagai perantara keuangan.

Rehabilitasi sistem perbankan telah berlangsung dalam suatu suasana moneter yang relatif bebas dari tekanan eksternal yang keras. Anggaran negara seimbang, sementara cadangan devisa terjaga konstan dengan bantuan luar negeri.

Bank-bank pemerintah pada umumnya mengalami kesulitan pada masa hiper inflasi.Sesudah sistem perbankan diatur kembali pada tahun 1968, bank-bank pemerintah mengalami perkembangan pesat.

Peranan bank swasta nasional dalam perekonomian Indonesia pada periode ini sangat terbatas dan banyak bank yang mengalami masalah, sehingga beberapa bank melakukan penggabungan (merger), di antaranya Bank Niaga, Panin bank dan Bank Central Asia.

Selain itu, bank-bank asing mulai diperkenankan beroperasi dan banyak bergerak di bidang ekspor-impor. Sedangkan kegiatan usahanya dibatasi di Jakarta dan berupa kantor cabang. 


2) Periode Pembangunan (1970-1982)

Setelah gejolak-gejolak perkembangan ekonomi secara umum dapat dikendalikan dengan mantap, kebijaksanaan moneter dengan pasti diarahkan untuk mencapai stabilitas moneter dan meningkatkan ekspor. Hal ini sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai dalam pelita I sampai dengan III, sebagai arah kebijaksanaan pembangunan, dan  perbankan pemerintah merupakan sarana yang penting untuk menyalurkan dana-dana pemerintah. Bentuknya berupa kredit-kredit kecil, seperti KIK (Kredit Investasi Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) dan Kredit Kelayakan.Tjuan pemberian kredit tersebut untuk membantu pengusaha-pengusaha kecil, dengan suku bunga yang sangat ringan.

Di samping itu, untuk menjaga tekanan inflasi, mulai tahun 1973 Bank Indonesia memberlakukan Pagu Krdit, yaitu suatu pembatasan pertumbuhan kuantitatif kredit bank.

Pada tahun 1974, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan tentang berlakunya pasar uang di Jakarta, sehingga bank yang memiliki kelebihan atau kekurangan dana, dapat secara bebas melakukan transaksi berupa mentransfer atau meminta dana terhadap bank lain. Suku bunga diperjanjikan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.Transaksi ini biasanya dilakukan setelah akhir kliring, di mana bank-bank dapat mengetahui apakah posisi akhirnya mengalami saldo negatif (kalah kliring), sehingga harus segera untuk ditutup.

Adapun jenis-jenis piranti yang dipergunakan dapat berupa warkat niaga (commercial papers), surat promes atau aksep dan wesel.

Pasar uang dapat dijadikan tempat bagi Bank Indonesia untuk mempengaruhi perkembangan dana dan kredit perbankan.

Bank Indonesia dapat memantau perkembangan suku bunga di pasar uang dan dipertimbangkan perlu atau tidaknya untuk mempengaruhinya.

Penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dimaksudkan untuk menampung kelebihan dana dari bank-bank yang tidak dapat disalurkan, dan untuk selanjutnya ditanamkan dalam piranti ini. Hal ini mengakibatkan dana berkurang dan suku bunga dapat meningkat kembali.

Berbagai kebijaksanaan moneter di atas diharapkan menjadi landasan bagi pembangunan ekonomi dan perbankan pada periode mendatang.

3) Periode Deregulasi(1983-1997)

Pada periode 1983 sampai sekarang disebut dengan periode deregulasi.Karena dalam periode ini banyak sekali kebijaksanaan baru yang dapat dikatakan sebagai perkembangan positif di dunia perbankan Indonesia.

Perkembangan moneter dan perbankan selama periode ini, dibagi dalam dua bagian, yaitu: sebelum Pakto 1988 dan sesudah Pakto 1988.

(a) Sebelum Pakto 1988

Perkembangan di bidang perbankan mengalami suatu perubahan yang cukup mendasar, dengan dikeluarkannya kebijaksanaan 1 Juni 1983 mengenai penghapusan pagu kredit yang telah berlaku sejak April 1974.

Kebijaksanaan itu untuk mengurangi ketergantungan bank-bank pada Bank Indonesia, dan meningkatkan mobilisasi dana dari masyarakat. Dengan memberikan kebebasan terhadap bank-bank dalam menentukan suku bunga, baik dalam pemupukan dana dari masyarakat maupun penyaluran kredit.  Kebijaksanaan tersebut kemudian dilengkapi dengan deregulasi baru melalui Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988, yang isinya mengenai kemudahan pembukaan dan pemberian ijin kantor cabang. Selain itu, BUMN diperkenankan menyimpan dana di bank swasta yang meiliki kriteria menjalankan usaha bank dengan prinsip-prinsip yang benar. Melalui Paket Oktober 1988 ini, terjadi perubahan struktural di dalam kelembagaan perbankan, di mana perluasan jaringan perbankan semakin pesat, sehingga kompetisi di antara bank-bank makin ketat.



     Setelah Pakto 1988

Dalam perkembangannya Pakto 1988 mengalami beberapa penyempurnaan dalam rangka penyesuaian dengan kondisi dan perkembangan moneter, serta perbankan di Indonesia. Adapun peraturan penyempurnaan itu adalah:

(1) Ketentuan-ketentuan lanjutan Pakto 1988 tanggal 25 Maret 1989;

(2) Ketentuan-ketentuan penegasan pelaksanaan Pakto 1988 tanggal 29 April 1989 dan ketentuan kredit ekspor tanggal 2 Mei 1989;

(3) Ketentuan-ketentuan lanjutan Pakto 1988 tanggal 16 September 1989 dan ketentuan tentang bea materai atas Cek dan Bilyet Giro tanggal 6 Oktober 1989;

(4) Ketentuan-ketentuan lanjutan Pakto 1988 tentang tabungan, deposito, sertifikat deposito serta kantor BPR dan bank asing tanggal 1 Desember 1989 (Pakdes);

(5) Ketentuan-ketentuan lanjutan Pakto 1988 tentang penyempurnaan sistem perkreditan tanggal 29 Januari 1990 (Pakjan).

(6) Ketentuan-ketentuan lanjutan Pakto 1988 tentang penyempurnaan, pengawasan dan pembinaan bank tanggal 28 Februari 1991 (Paktri);

(7) Paket penyempurnaan Pakto 1988 tentang pinjaman komersial Luar Negeri, PDN, swap dan kredit dalam valuta asing tanggal 20 November 1991.

Paket Januari, merupakan paket besar yang ketiga setelah Paket juni 1983 dan Paket Oktober 1988, yang berisi pengurangan secara bertahap kredit likuiditas Bank Indonesia, yang merupakan salah satu sumber dana utama dari kalangan perbankan. Selain itu, Paket Januari juga mengatur kewajiban bank-bank untuk menyalurkan kreditnya sebesar 20 % kepada pengusaha lemah (kecil), yaitu : pengusaha yang asetnya di bawah Rp. 600 juta.

Paket terakhir sebelum berlakunya UU. No. 7/1992 adalah Paket November 1991 mengenai prudential banking (asas kehati-hatian perbankan), dan pemenuhan CAR (Capital Adequacy Ratio), yaitu perbandingan antar modal sendiri dengan aset tertimbang menurut resiko, sebesar 5 % pada tanggal 31 Maret 1992, 7 % pada tanggal 31 April 1993 dan 8 % pada tanggal 31 Desember 1993. Secara keseluruhan paket ini isinya sebagian besar merupakan penyempurnaan, pengawasan dan pembinaan bank.Tujuannya adalah untuk membuat sektor perbankan Indonesia dapat bersaing di pasar internasional.Oleh karenanya diperlukan langkah-langkah penyesuaian terhadap kebijaksanaan tersebut dengan melakukan konsolidasi agar dapat memenuhi persyaratan, khususnya mengenai tingkat kesehatan bank dan Capital Adequacy Ratio (CAR).Puncak dari periode ini adalah dengan diberlakukannya UU.No. 7/1992 tentang Perbankan pada tanggal 25 Maret 1992 yang menggantikan UU.No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.

Tujuan pergantian dan penyempurnaan peraturan perbankan dengan yang lebih sesuai pada kondisi ini adalah dalam rangka mendukung kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan pembangunan, dan juga agar mampu menampung tuntutan jasa perbankan.

Adapun langkah-langkah yang ditempuh, antara lain:

(1) Penyederhanaan jenis bank menjadi Bank Umum dan Bank Prekreditan Rakyat, serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan perbankan yang dapat diselenggarakan;

(2) Persyaratan pokok untuk mendirikan bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan terarah;

(3) Peningkatan perlindungan dana masyarakat dipercayakan pada lembaga perbankan melalui prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank;

(4) Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan;

(5) Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan di bidang perbankan secara sehat dan bertanggung jawab, sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan kepentingan masyarakat luas.

4) Periode Krisis Ekonomi Mulai (1997-kini)

Krisis Indonesia dimulai dengan tertekannya nilai tukar rupiah yang kemudian mejnadi krisis moneter, dan setelah meluas dan mendalam berkembang menjadi krisis total, menyangkut hamper semua aspek kehidupan masyarakat. Proses ini terjadi dengan cepat, meluas dan mendalam, jauh melampaui perkiraan kebanyakan orang, termasuk para ahli.

Dalam periode krisis ekonomi, terdapat perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Hal yang signifikan dalam undang-undang di atas adalah tercantumnya Pasal 37 A tentang pendirian sebuah lembaga yang berfungsi untuk melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang sakit.Badan dimaksud adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bersifat sementara.

Selain itu diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia merupakan langkah yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan dan dinamika perekonomian nasional dan internasional. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terhadap Bank Indonesia untuk menanggulangi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan sasaran terkendalinya nilai kurs rupiah pada tingkat yang wajar. Hal ini sesuai dengan amanat Bab IV huruf A butir 1 a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, sebagaimana amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia tersebut diharuskan membangun sistem kelembagaan yang kuat dan independen dalam  mengelola dan mendayagunakan devisa. Dalam rangka pengelolaan  keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia sebagai bank sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lainnya, serta kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan.


B. KONDISI PERBANKAN DI INDONESIA

Dari pemaparan sejarah perbankan, dapat ditarik kesimpulan tentang kondisi-kondisi yang ada dalam periode tersebut, sebagai berikut:

1. Sebelum deregulasi

Beberapa hal yang dapat dicatat bahwa:

a. Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia.

Sampai dengan tahun 1960-an peraturan yang mengatur tentang perbankan hanya Undang-Undang No. 13 tahun 1968, dan tidak diatur secara jelas tentang perbankan melainkan lebih cenderung mempertegas kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia perbankan.

b. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu.

KLBI bukan diperuntuk mengatasi kesulitan likuiditas melainkan diberikan untuk tujuan ekspansif.KLBI ini disalurkan oleh bank-bank pemerintah kepada debitur.Biaya bunganya sangat rendah, sehingga menguntungkan bank penerima KLBI. Dampak bagi bank yang tidak menerima KLBI akan sangat dirugikan karena diperlakukan secara tidak adil.

c. Bank banyak menanggung program-program pemerintah.

Banyaknya campur tangan pemerintah dalam program atau proyek pemerintah menjadikan keputusan-keputusan yang diambil tidak cenderung untuk efisiensi usaha. Contoh pembukaan kantor cabang di suatu daerah lebih cenderung karena pemerintah memiliki kepentingan di sana.

d. Instrumen pasar uang yang terbatas.

Persoalan yang dihadapi bank pada saat kelebihan atau kekurangan dana. Cara-cara konvensional bank dengan menarik simpanan masyarakat ataupun menyalurkan dalam bentuk kredit tidak seketika dapat dilakukan walaupun dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan.Salah satunya harus dengan transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Pada masa itu, Bank Indonesia belum secara aktif, mendiskontokan berbagai macam surat berharga jangka pendek dan pasar uang pada waktu itu belum mengenal adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sehingga instrumen pasar uang menjadi terbatas.

e. Jumlah bank swasta yang relatif sedikit.

Pada masa itu, jumlah bank swasta relatif sedikit dan umumnya kecil-kecil.Perbankan didominasi oleh bank-bank pemerintah.

f. Sedikit muncul bank baru.

Dominasi bank pemerintah yang sangat kuat dengan segala fasilitas dan kemudahaannya menyebabkan sulit sekali bagi bank swasta baru untuk masuk dalam persaingan apalagi untuk berkembang menjadi bank yang besar.

g. Persaingan antar bank yang tidak ketat.

Kemudahan-kemudahan yang diperoleh bank pemerintah baik dari menghimpun dan menyalurkan dana. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anggaran-anggran dari pusat dan daerah harus dikelola oleh bank-bank pemerintah, sehingga untuk memperoleh dana tidak diperlukan usaha yang serius. Di sisi penyaluran dana pun demikian, di mana menyalurkan dana melalui program-program pemerintah untuk proyek-proyek tertentu. Sehingga dengan demikian nasabah debitur diperoleh dengan mudah.

h. Posisi tawar-menawar (bargaining position) bank relatif lebih kuat daripada nasabah.

Bank pemerintah pada masa itu seolah-olah tidak membutuhkan nasabah, melainkan nasabahlah yang membutuhkan bank. Banyaknya program-program pemerintah yang disalurkan ke bank pemerintah menyebabkan nasabah datang untuk memperoleh fasilitas penyaluran dana dari pemerintah. Selain itu, bank merasa tidak memerlukan dana dari masyarakat, sehingga keperluan dana dimintakan dari pemerintah.

i. Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit.

Karena bank merasakan tidak terlalu membutuhkan nasabah, maka bank tidak merasa perlu juga untuk memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya.Pelayanan yang diberikan cenderung rumit dan birokrasi.

j. Bank bukan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan meminjam dana.

Sehubungan dengan prosedur yang rumit dan posisi nasabah yang lemah dibandingkan dengan bank, masyarakat kurang tertarik untuk berhubungan dengan bank.masyarakat kecil lebih senang berhubungan dengan pegadaian dan rentenir untuk memperoleh pinjaman. Sedangkan untuk menyimpan kekayaan cenderung disimpan dalam bentuk barang seperti logam mulia, tanah dan kendaraan.

k. Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah.

Secara umum, hal-hal di atas menyebabkan sangat rendahnya mobilisasi dana dari masyarakat luas yang masuk ke perbankan dan juga sebaliknya arus dana dari perbankan yang disalurkan kepada masyarakat luas juga sangat rendah.


2. Setelah deregulasi

Pengertian “Deregulasi” menurut Kamus Besar  Bahasa Indonesia 42) adalah:

“kegiatan atau proses penghapusan pembatasan dan peraturan”

Bandingkan dengan Black’s Law Dictionary :

Deregulation adalah:

“Reduction of government regulation of business to permit freer market and competition”.

Meskipun istilah yang digunakan adalah “deregulasi”, namun tidak berarti bahwa perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau pengaturan di dunia perbankan. Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan pengaturan pada bidang-bidang 

tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat untuk diartikan sebagai perubahan-perubahan yang 

dimotori oleh otoritas moneter untuk meningkatkan kinerja dunia perbankan dan pada akhirnya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja di sektor riil.

Dua paket deregulasi yang sangat penting bagi dunia perbankan adalah:

a. Paket 1 Juni 1983 berisi tentang:

1) Penghaspusan pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrument pengendali jumlah uang beredar (JUB);

2) Pengurangan KLBI kecuali untuk sektor-sektor tertentu;

3) Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk sektor-sektor tertentu.

b. Paket 28 Oktober 1988 berisi tentang:

1) Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi:

a) Kemudahan pembukaan kantor bank

(1) Bank pemerintah, Bank Pembangunan Daerah, Bank Swasta Nasional, dan Bank Koperasi dapat membuka cabang di seluruh Indonesia.

(2) Pembukaan kantor cabang pembantu cukup dilakukan dengan memberitahu Bank Indonesia.

b) Kejelasan aturan pendirian bank swasta.

(1) Modal disetor bank umum minimal Rp. 10 miliar.

(2) Modal disetor BPR minimal Rp. 50 juta.

(3) BPR dapat ditingkatkan menjadi bank umum.

(4) BPR dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan.

(5) Membuka kemungkinan untuk mendirikan bank campuran antara bank nasional dan bank asing.

(6) Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito dan tanpa perlu ijin.

(7) Semua bank dapat menyelenggarakan Tabanas dan tabungan lain.

c) Efisiensi lembaga keuangan, meliputi:

(1) BUMN dan BUMD bukan bank dapat menempatkan sampai dengan 50 % penempatan dananya pada bank nasional manapun.

(2) Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bagi bank dan lembaga keuangan bukan bank.

d) Pengendalian kebijakan moneter meliputi:

(1) Likuiditas wajib minimum perbankan dan lembaga keuangan bank diturunkan dari 15 % menjadi 2 % dari jumlah dana pihak ketiga.

(2) SBI dan SBPU yang semula hanya berjangka waktu 7 hari, sekarang ditambah dengan berjangka waktu sampai dengan 6 bulan.

(3) Batas maksimum pinjman antar bank ditiadakan.

e) Pengembangan pasar modal, meliputi:

(1) Bunga deposito berjangka dan sertifikat deposito dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 % agar dunia perbankan mendapatkan perlakuan yang sama dengan pasar modal.

(2) Penangguhan pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga tabungan.

(3) Perluasan modal bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilakukan dengan penjualan saham baru melalui pasar modal di samping peningkatan penyertaan oleh pemegang saham.

Ciri-ciri yang tampak pada masa perbankan dalam kondisi sesudah deregulasi adalah:

1) Peraturan yang memberikan kepastian hukum.

Berbagai paket deregulasi dan khususnya setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan menyebabkan meningkatnya kepastian hukum yang berkaitan dengan usaha perbankan.

2) Jumlah bank swasta bertambah banyak.

Dengan adanya regulasi yang memberikan kepastian hukum dan semakin mudahnya prosedur pendirian bank menyebabkan banyak bermunculan bank swasta baru untuk ikut dalam persaingan perbankan di Indonesia.

3) Tingkat persaingan bank yang semakin kuat.

Kebijakan yang semula bersifat diskriminatif mulai berkurang, antara lain munculnya kebijakan-kebijakan:

(a) Pemberian KLBI untuk non kesulitan likuiditas semakin dikurangi.

(b) Bank lebih leluasa menetukan sector-sektor yang ingin dikembangkan.

(c) BUMN bebas menyalurkan 50% dari penempatan dana ke semua bank nasional.

(d) Bunga bebas ditentukan oleh masing-masing bank.

Kebijakan-kebijakan ini meyebabkan tingkat persaingan bank menjadi kompetitif.

4) Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).

Bank semakin banyak mempunyai penghimpunan dana, tidak hanya penghjimpunan dana melalui tabungan – giro – deposito serta penyaluran dana melalui kredit saja. hal ini menyebabkan kegiatan perbankan menjadi lebih luwes terhadap perubahan situasi, yaitu terutama pada saat kelebihan maupun kekurangan dana.

5) Kepercayaan masyarakat pada bank meningkat.

Adanya peraturan yang jelas tentang perbankan dan juga termasuk penerapan aturan tentang kesehatan dan rahasia bank menyebabkan peningkatan cukup besar dalam tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank. Masyarakat menjadi lebih merasa aman dan menguntungkan untuk menyimpan maupun meminjam dana di bank.

6) Mobilisasi dana melalui sektor perbankan yang semkain besar.

Serangkaian ciri-ciri di atas secara umum menyebabkan semakin tingginya mobilisasi dana masyarakat luas melalui sektor perbankan. Sektor perbankan mempunyai peran yang semakin besar dalam penghimpunan dana dari masyarakat luas dan menyalurkannya untuk tujuan-tujuan yang produktif demi semakin kuatnya sektor riil.

c. Saat Krisis Ekonomi Mulai tahun 1997

Kondisi Perbankan semasa dikeluarkannya paket deregulasi menampakkan bahwa sektor perbankan telah mampu meningkatkan kinerja ekonomi makro Indonesia.Peningkatan ini tidak cukup lama dan terhenti sejak krisis melanda di akhir tahun 1997. Krisis ekonomi yang pada awalnya dipandang sebagai krisis moneter ini banyak menyebabkan perubahan dalam kondisi perbankan di Indonesia, sehingga kondisi saat ini sebagai berikut:

1) Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastis.

Beberapa permasalahan yang menjadikan tingkat kepercayaan menurun adalah kemampuan bank dalam melaksanakan fungsi-fungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana lemah, banyaknya pelanggaran aturan perbankan tentang tingkat kesehatan bank, kesulitan likuiditas, dililit kredit macet dan penutupan bank.

2) Sebagian besar bank berada dalam keadaan tidak sehat.

Pelanggaran yang paling menonjol adalah tidak terpenuhinya Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK/Legal Lending Limit). Sebelumnya bank-bank relatif dapat mencukupi CAR, sehingga Bank Indonesia mengeluarkan peraturan tentang peningkatan CAR secara bertahap sejak September 1995 dalam waktu 6 tahun menjadi 12%. Tetapi kondisi saat ini, banyak bank yang CAR-nya negatif hingga ratusan persen.Pelanggaran BMPK dikarenakan banyaknya kemudahan pendirian bank, menyebabkan bank-bank tersebut didirikan untuk memenuhi kepentingan grup usahanya.Sehingga dikenal adanya pinjaman ke grup.Sistem pinjaman dalam satu grup dikenal dengan istilah One Obligor Concept.

3) Adanya “negative spread”.

Kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap perbankan serta kebijakan uang ketat oleh otoritas moneter melalui kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menyebabkan perbankan tidak mempunyai alternative lain untuk menghimpun dana selain menaikkan suku bunga simpanan. Upaya menghimpun dana dengan menaikkan suku bunga simpanan semakin mendesak karena bank kesulitan likuiditas akibat proporsi kredit bermasalah semakin besar. Akibat bank tidak dapat menaikkan suku bunga pinjaman di atas suku bunga simpanan yang sudah tinggi (sampai di atas 50%), maka bank tidak akan dapat menyalurkan dananya ke masyarakat, karena tidak ada usaha apapun dalam kondisi krisis yang mampu mengembalikan biaya dana yang terlalu tinggi. Dengan terpaksa, bank menaikkan suku bunga pinjaman, tapi masih lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga simpanan agar bank tetap dapat eksis dalam penyaluran pinjaman yang telah dilakukan. Konsekuensi dari kebijakan ini terjadi negative spread, di mana bank harus menanggung rugi dalam kegiatan usaha menghimpun dan menyalurkan dana.

4) Munculnya peraturan perundang-undangan baru.

Dengan banyaknya terjadi pelanggaran serta kinerja perbankan nasional yang sangat buruk pada masa itu, di mana dipandang salah satu penyebabnya adalah bank sentral yang tidak independen dan lemahnya peraturan mengenai perbankan di Indonesia. Beberapa peraturan dibuat oleh pemerintah dan DPR untuk lebih menjamin independensi bank sentral dan lebih menjamin kegiatan usaha bank. Peraturan-peraturan baru tersebut di antaranya:

a) Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

b) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

c) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum.

d) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah.

e) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat.

f) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.

g) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/37/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan di Luar Negeri.

h) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/50/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.

i) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum.

j) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/52/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat.

k) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum.

l) Surat Keputusan Direksi BI No. 32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat.

5) Jumlah bank menurun.

Kondisi sektor riil yang sangat lemah, proporsi kredit bermasalah yang semakin besar dan likuiditas yang semakin rendah menyebabkan kondisi bank yang makin lama makin sulit untuk meneruskan kegiatan usahanya. Bank Indonesia tidak mempunyai alternatif lain untuk mengatasi masalah ini salain dengan melakukan penutupan usaha bank dengan berbagai macam istilah antara lain likuidasi, pembekuan operasi, penghentian kliring dan pembekuan kegiatan usaha. 














BAB IV

BANK SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN DAN INDUSTRI

1. Pengantar           

     Pembahasan dimulai dari Teori Bank secara umum dilanjutkan dengan Kelembagaan Bank menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan diperbandingkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

A. Pengertian Kelembagaan Bank

1. Pengertian Bank menurut beberapa literatur adalah

Black’s Law Dictionary:

“A bank is an institution, usually incorporated, whose business it is to receive money on deposit, cash checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer, known as bank notes. American commercial banks fall into two main categories; state chartered banks and federally chartered national banks”. 


Stuart Verryn dalam bukunya Bank Politik, mengatakan:


“Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral”.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, mengatakan:

“Bank  adalah Lembaga Keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu-lintas pembayaran dan peredaran uang.

Sedangkan Lembaga Keuangan adalah semua badan yang melalui kegiatan-kegiatannya dibidang keuangan, menarik uang dari dan menyalurkan ke dalam masyarakat” .

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, mengatakan:

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuksimpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, mengatakan:

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannyakepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

2. Funsi Bank Sebagai Lembaga Keuangan

Berdasarkan definisi di atas, fungsi  dari bank dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

a. Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana-dana masyarakat atau penerima kredit. Dalam pengertian ini bank menerima dana-dana yang berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito berjangka dan rekening giro. Dengan ini dapat dikatakan bahwa bank melaksanakan operasi perkreditan secara aktif.

b. Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam bentuk kredit atau sebagai lembaga pemberi kredit. Dengan ini dapat dikatakan bahwa bank melaksanakan operasi perkreditan secara aktif.

c. Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang.

Reed, Cotter, Gill, Smith , mengatakan bahwa perbankan, khususnya bank-bank komersial (bank umum) mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah pemberian jasa-jasa yang semakin luas, meliputi pelayanan dalam mekanisme pembayaran (transfer of funds), menerima tabungan, memberikan kredit, pelayanan dalam fasilitas pembiayaan perdagangan luar negeri, 


penyimpanan barang-barang berharga, dan jasa-jasa yang diberikan dalam bentuk pengamanan dan pengawasan harta milik (trust service). Selanjutnya fungsi terakhir yang dilaksanakan dengan membentuk suatu trust department yang secara umum berfungsi sebagai berikut:

1. Bertindak sebagai pelaksana (executor) dalam pengaturan dan pengawasan harta benda atau milik perorangan yang telah meninggal dunia, sepanjang orang tersebut membuat surat wasiat dan menyerahkan atau memercayakan pelaksanaannya kepada bank;

2. Memberikan berbagai macam jasa kepada perusahaan-perusahaan, seperti pelaksanaan rencana-rencana pensiun dan pembagian keuntungan;

3. Bertindak sebagai wali dalam kaitannya dengan penerbitan berbagai obligasi;

4. Mengelola dana-dana yang dikumpulkan oleh pemerintah.

Dari uraian di atas, bahwa bank mengemban tugas sebagai:

1. Agent of development  yang berkaitan dengan pengumpulan dana dan penyaluran kredit dari dan/atau kepada pihak ketiga

2. Agent of trust, yang berkaitan dengan pelayanan atau jasa-jasa yang diberikan baik kepada perorangan maupun kelompok usaha atau perusahaan.

B. JENIS-JENIS KELEMBAGAAN BANK

1. Kelembagaan Bank menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan  adalah:

a. Bank Umum adalah:

“Bank Umum ialah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk giro dan deposito dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek”.

b. Bank Tabungan adalah:

“Bank Tabungan ialah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk tabungan dan dalam usahanya terutama memperbungakan dananya dalam kertas berharga”.

c. Bank Pembangunan adalah:

“Bank Pembangunan ialah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang dibidang pembangunan”.

Sedangkan dalam operasionalnya, usaha bank yang dilakukan oleh Bank Umum, Bank Tabungan dan bank Pembangunan  sebagai berikut:

Bank Umum melakukan usaha:

1. Bank Umum memindahkan uang, baik dengan pemberitahuan secara telegram maupun dengan surat, ataupun dengan jalan memberikan wesel- tunjuk diantara sesama kantornya; penarikan atas saldo kredit yang ada pada koresponden dilakukan secara telegram atau dengan wesel-tunjuk atau dengan cek;

2. Bank Umum menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran, menjalankan perintah untuk pemindahan uang, menerima pembayaran dari tagihan atas kertas berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antara fihak ketiga;

3. Bank Umum mendiskonto :

a. surat wesel dan surat order dengan dua penanggung-jawab atau lebih secara solider dan dengan masa berlaku yang tidak lebih lama dari pada kebiasaan dalam perdagangan;

b. surat wesel dan kertas dagang yang lain yang tidak lebih lama masa berlakunya daripada kebiasaan dalam perdagangan baik yang ditarik dengan jaminan surat kredit, maupun dengan jaminan dokumen- pengangkutan;

c. kertas perbendaharaan atas badan Negara;

d. surat hutang dengan pelunasan dalam enam dan selama diskontannya turut bertanggung-jawab secara solider;

e. mandat dan/atau surat perintah membayar atas kas Negara untuk rendemen lelang.

4. Bank Umum membeli dan menjual :

a. wesel yang diakseptasi oleh bank yang waktu berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan;

b. kertas perbendaharaan atas beban negara;

c. surat hutang yang tercatat pada suatu bursa efek yang resmi atas beban Negara atau bunganya atau pelunasannya dijamin oleh negara.

5. Bank umum membeli dan menjual cek, surat wesel, kertas dagang yang lain dan pembayaran dengan surat dan telegram, yang masa berlakunya sekedar berlaku atas hal ini, tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan, dan adanya jaminan yang lazim berlaku untuk hal itu.

6. Bank Umum membeli kredit terutama dengan tanggungan efek, hasil bumi barang, juga dengan tanggungan dokumen pengangkutan dan dokumen penyimpanan atau cedul yang mewakili barang itu ; begitu juga dengan tanggungan kertas berharga termaksud pada ayat (3) dan ayat (5) pasal ini, yang mewakili barang itu.

7. Bank Umum memberi jaminan bank (bank guarantee) dengan tanggungan yang cukup.

8. Bank Umum menyewakan tempat menyimpan barang-barang berharga.

9. Bank Umum menjalankan usaha lain lazim dilakukan oleh suatu Bank Umum.

Dalam beberapa hal, Bank Umum:

1. Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga

2. Pada penyitaan barang-tetap atau hasil bumi, barang, efek atau tanggungan lain, yang terikat kepada bank, sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap bank, maka bank boleh membeli seluruh atau sebagian dari barang tetap atau hasil bumi, barang efek atau tanggungan yang lain untuk dijadikan uang kembali secepat- cepatnya.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b, Bank Umum diperkenankan memberikan kredit jangka menengah hanya untuk tujuan bidang produksi.Jumlah kredit itu diberikan menurut perbandingan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4. Bank Umum dapat memberikan kredit jangka panjang dan/atau turut serta dalam perusahaan dengan persetujuan dan dengan syarat-syarat yang akan ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Bank tabungan melakukan usaha:

1. Bank Tabungan terutama memperbungakan hanya dalam kertas berharga yang solid;

2. Bank Tabungan dapat memberikan kredit yang pelaksanaannya dilakukan menurut bimbingan oleh Bank Indonesia;

3. Jumlah kredit termaksud dalam pasal 26 ayat (2) hanya boleh diberikan sampai suatu jumlah menurut perbandingan dengan seluruh simpanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Bank Pembangunan melakukan usaha:

1. Bank Pembangunan diperkenankan mengadakan penyertaan modal dalam perusahaan dengan persetujuan dan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

2. Bank Indonesia memberikan bimbingan kepada Bank Pembangunan dalam usahanya menarik dana-dana jangka panjang;

3. Bank Pembangunan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang;

4. Bank Pembangunan diperkenankan mempergunakan simpanan gironya untuk pemberian kredit jangka pendek.Jumlah kredit tersebut hanya boleh diberikan sampai suatu jumlah menurut perbandingan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mengingat tujuan daripada Bank Pembangunan.


2. Kelembagaan Bank menurut Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Perubahan-perubahan dalam kelembagaan perbankan sangat mendasar dikarenakan fungsinya yang strategis  dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, maka terhadap lembaga perbankan perlu dilaksanakan berbagai pembinaan dan pengwasan yang efektif agar lembaga perbankan mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar dan mampu menghadapi persaingan global.

Persaingan global menuntut agar perbankan nasional tanggap dan dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Oleh karenanya, perbankan nasional perlu 

1. ditata dalam struktur kelembagaan yang lebih lugas, dengan landasan yang lebih luas, dan lebihjelas ruang geraknya;

2. diberi kesempatan untuk memperluas jangkauan pelayanannya di segala penjuru tanah air, baikpelayanan sebagai perbankan umum yang menjangkau semua lapisan 

masyarakat maupunperbankan perkreditan rakyat yang pelayanannya diperuntukkan bagi golongan ekonomilemah/pengusaha kecil,

3. diperkuat dengan landasan hukum yang dibutuhkan bagi terselenggaranya pembinaan danpengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perbankan dalam menjalankan fungsinyasecara sehat, wajar dan efisien, sekaligus memungkinkan perbankan Indonesia melakukanpenyesuaian yang diperlukan sejalan dengan berkembangnya norma-norma perbankan internasional.


Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan tata perbankan dan sejalan dengan komitmen Indonesia dalam berbagai forum Internasional seperti World Trade Organization (APEC) dan Association of South East Asian Nations (ASEAN), diperlukan berbagai penyesuaian dalam peraturan perbankan nasional termasuk akses pasar dan perlakuan non diskriminatif terhadap pihak asing. Upaya liberalisasi di bidang perbankan dilakukan sedemikian rupa, sehingga dapat meningkatkan kinerja perbankan nasional .


Untuk melaksanakan penyempurnaan tata perbankan di Indonesia ditempuh langkah-langkah  sebagai berikut:

1. Penyederhanaan jenis bank, menjadi jenis Bank Umum dan jenis Bank Perkreditan Rakyat, serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya;

2. Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuanpelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan terarah;

3. Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankanmelalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatanbank;

4. Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan;

5. Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan di bidang perbankan secara sehatdan bertanggung jawab, sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikankepentingan masyarakat luas.

Adapun lembaga perbankan yang diperkenankan beroperasi, terdiri atas:

1. Bank Umum , adalah:

“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan PrinsipSyariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

2. Bank Perkreditan Rakyat 31), adalah:

“Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkanPrinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

Sedangkan dalam operasionalnya, usaha bank yang dapat dilakukan oleh Bank Umum dan bank Perkreditan Rakyat, sebagai berikut:

1. Usaha Bank Umum meliputi 32):

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

b. memberikan kredit;

c. menerbitkan surat pengakuan hutang;

d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya :

1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

2. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

5. Obligasi;

6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;

f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;

g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;

j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;

l. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;

m. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuanyang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;

n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan denganUndang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana yang diuraikan di atas, Bank Umum dapat pula melakukan usaha , sebagai berikut:

a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

2. Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

b. memberikan kredit;

c. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;

d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain.

Sedangkan bentuk usaha yang dilarang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat 35) meliputi:

a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;

b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;

c. melakukan penyertaan modal;

d. melakukan usaha perasuransian;

e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

C. Bank  sebagai lembaga perantara (intermediasi) dalam sistem keuangan

1. Bank Sebagai Lembaga Perantara (Intermediasi)

Lembaga keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank mempunyai peran yang penting bagi aktivitas perekonomian. Peran strategis bank dan lembaga keuangan bukan bank tersebut sebagai wahana yang mampu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisian kea rah peningkatan taraf hidup rakyat. Bank dan lembaga keuangan bukan bank merupakan perantara keuangan (financial intermediaries) sebagai prasarana pendukung yang amat vital untuk menunjang kelancaran perekonomian.

Bank dan lembaga keuangan bukan bank pada dasarnya mempunyai fungsi mentransfer dana-dana (loanable funds) dari penabung atau unit surplus (lenders) kepada peminjam (borrowers) atau unit defisit. Dana-dana tersebut dialokasikan dengan negosiasi antara pemilik dana dan pemakai dana melalui pasar uang dan pasar modal.

Produk yang ditransaksikan dapat berupa sekuritas primer (saham, obligasi, promes dan sebagainya) serta sekuritas sekunder (giro, tabungan, deposito, polis, program pensiun, saham dan sebagainya).Sekuritas sekunder ini diterbitkan oleh bank dan lembaga keuangan bukan bank ditawarkan kepada unit surplus. Unit surplus akan menerima pendapatan, misalnya pendapatan bunga dari bank dan lembaga keuangan bukan bank tersebut. Dana yang dihimpun dari unit surplus disalurkan kembali kepada unit defisit dan unit defisit akan membayar biaya bunga kepada bank dan lembaga keuangan bukan bank yang menyalurkan dana tersebut.

Bagan di bawah ini:




                     Unit                         Fundbank dan       Fund Unit

Defisit          lembaga keuangan Surplus

(Borrowers) income bukan bank       income (Lenders)


2. Peranan Bank Dalam Sistem Keuangan

Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan mempunyai peran yang penting dalam sistem keuangan:

a. Pengalihan aset (aset transmutation)

Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan memberikan pinjaman kepada pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Sumber dana tersebut diperoleh dari pemilik dana, yaitu dari unit surplus yang jangka waktunya dapat diatur sesuai dengan keinginan pemilik dana. Dalam hal ini bank dan lembaga keuangan bukan bank telah berperan sebagai pengalih aset dari unit surplus (lender) kepada unit defisit (borrowers).

b. Transaksi (transaction)

Bank dan lembaga keuangan bukan bank memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku binis untuk melakukan transaksi barang dan jasa.Produk-produk yang dikeluarkan oleh Bank dan lembaga keuangan bukan bank (giro, tabungan, deposito dan sebagainya) merupakan pengganti dari uang dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran.

c. Likuiditas (liquidity)

Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk produk-produk berupa giro, deposito, tabungan dan sebagainya. Produk-produk tersebut masing-masing mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda-beda. Untuk kepentingan likuiditas pemilik dana, mereka dapat menempatkan dananya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.

d. Efisiensi (efficiency)

Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat menurunkan biaya transaksi dengan jangkauan pelayanannya. Peranan Bank dan lembaga keuangan bukan bank sebagai broker adalah mempertemukan pemilik dan pengguna dana. Lembaga keuangan memperlancar dan mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan.


D. Jenis-Jenis Bank 

1. Jenis Bank Menurut Bentuk Badan Usaha

Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dan/atau menyalurkan dana dari atau ke masyarakat harus memperoleh ijin usaha terlebih dahulu sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Bank Indonesia.

Untuk memperoleh ijin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat, suatu lembaga keuangan wajib memenuhi persyaratan mengenal:

a. Susunan organisasi dan permodalan.

b. Permodalan.

c. Kepemilikan.

d. Keahlian di bidang perbankan.

e. Kelayakan rencana kerja.

Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:

a. Perseroan Terbatas.

b. Koperasi.

c. Perusahaan Daerah.

Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa:

a. Perusahaan Daerah

b. Koperasi.

c. Perseroan Terbatas, atau

d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2. Jenis Bank Menurut Kepemilikan

Ditinjau dari segi kepemilikan maksudnya adalah personil atau lembaga yang memiliki bank.Kepemilikan ini dapat dilihat adri akta pendirian dan penguasaan saham yang dimiliki bank yang bersangkutan.

Terbagi atas:

a. Bank Milik Pemerintah

Dalam akta pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki pula oleh pemerintah.

Contoh bank milik pemerintah, antara lain: Bank Negara Indonesia 46, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia. Sedangkan bank milik pemerintah daerah (pemda) terdapat di daerah tingkat I dan tingkat II masing-masing propinsi, contoh: BPD DKI Jakarta, BPD Jawa Barat, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur dan sebagainya.

b. Bank Milik Swasta Nasional

Untuk kategori bank jenis ini, seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki oleh swasta nasional serta akta pendiriannya didirikan oleh swasta pula.

Contoh bank milik swasta nasional, antara lain: Bank Central Asia, Bank Danamon, Bank Lippo, Bank Niaga, Bank Bali, dan sebagainya.

c. Bank Milik Koperasi

Kepemilikan saham-saham bank untuk kategori ini dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi. Sebagai contoh: Bank Umum Koperasi Indonesia.

d. Bank Milik Asing

Kategori Bank jenis ini, merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing.Dengan demikian, jelas bahwa kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Contoh bank asing antara lain: ABN AMRO bank, Deutsche Bank, American Express Bank, Bank of America dan sebagainya.

e. Bank Milik Campuran

Kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional.Kepemilikan sahamnya tergantung dari posisi tawar dari para pihak yang mendirikan bank tersebut, bisa pihak asing atau pihak swasta nasional.contoh bank campuran, antara lain: Sumitomo Niaga Bank, Bank Merincorp, Sanwa Indonesia Bank, dan Mitsubishi Buana Bank.

3. Jenis Bank Menurut Status

Kedudukan atau status menunjukkan ukuran kemampuan bank dalam melayani masyarakat, baik dari segi jumlah produk, modal maupun kualitas pelayanannya.Oleh karena itu, untuk memperoleh status tersebut diperlukan penilaian-penilaian dengan kriteria tertentu. Status bank yang dimaksud adalah:

a. Bank Devisa

Merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri atau yang brhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan.Misalnya, transfer ke luar negeri, inkaso ke luar negeri, pembukaan dan pembayaran letter of credit atau L/C dan transaksi lainnya. Persyaratan untuk menjadi bank devisa ini ditentukan oleh Bank Indonesia.

b. Bank Non Devisa

Merupakan bank yang belum mempunyai ijin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi seperti halnya bank devisa. Jadi, bank non devisa merupakan kebalikan daripada bank devisa, di mana transaksi yang dilakukan masih dalam batas-batas negara.


4. Jenis Bank Menurut Cara Menentukan Harga

kategori jenis bank ini dilihat dari segi atau caranyanya menentukan harga, terbagi atas dua kelompok, yaitu:

a. Bank Berdasarkan Prinsip Konvensional

Sebagian besar bank di Indonesia merupakan jenis bank yang konvensional. Metode yang digunakan adalah menetapkan bunga tertentu baik untuk simpanan maupun kredit.penentuan ini dikenal dengan spread based. Apabila suku bunga simpanan lebih tinggi dari pinjaman, dikenal dengan istilah negative spread. selain itu untuk jasa-jasa tertentu, menetapkan biaya-biaya dalam nominal atau persentase tertentu. Sistem biaya ini dikenal dengan istilah fee based.

b. Bank Berdasarkan Prinsip Syariah

bank sejenis ini belum lama beroperasi di Indonesia sedangkan untuk Negara-negara di Timur Tengah telah dikenal secara lama. Bank dengan prinsip syariah ini aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya. Dalam penentuan harga bagi bank dengan Prinsip Syariah dikenal dengan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, prinsip penyertaan modal, jual beli barang dengan memperoleh keuntungan, pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan dan pilhan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain

5. Jenis Bank Menurut Target Pasar

Sebagian bank memfokuskan pelayanan dan transaksinya pada jenis nasabah tertentu.Dengan spesialisasi ini diharapkan bank dapat lebih menguasai karakteristik dari nasabahnya, sehingga kegiatan usahanya dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi.

Kegiatannya dapat lebih efisien, antara lain karena:

a. Pelayanan, jasa-jasa dan iklan yang diberikan oleh bank lebih sesuai dengan karakteristik nasabah;

b. Proporsi kredit bermasalah lebih sedikit;

c. Manajemen dan karyawan lebih terbiasa dan berpengalaman berinteraksi dengan nasabahnya.

Bank berdasarkan target pasar dapat digolongkan menjadi:

a. Retail Bank

Bank yang memfokuskan pelayanan dan transaksi kepada nasabah-nasabah retail. Yang dimaksud dengan retail adalah nasabah-nasabah individual, perusahaan dan lembaga lain yang skalanya kecil.

b. Corporate Bank

Bank yang memfokuskan pelayanan dan transaksi kepada nasabah-nasabah yang berskala besar.Umumnya nasabah besar berbentuk korporasi, maka disebut corporate bank.Walaupun namanya corporate bukan berarti hanya perusahaan, tetapi juga perorangan.Pelayanan dan jasa-jasa juga diberikan secara terkait dengan direksi, karyawan secara individual.

c. Retail – Corporate Bank

Selain yang disebutkan di atas, terdapat pula bank yang tidak memfokuskan pada skala tertentu saja, tetapi memberikan pelayanan baik kepada nasabah retail dan juga corporate.

Bank jenis ini tidak menspesifikan pada skala tertentu, tetapi melihat peluang, baik di antara kedua skala tersebut dapat dimasuki oleh bank jenis ini.

E.  Aspek-Aspek Yuridis Pendirian Bank Umum

1. Perijinan Pendirian Bank

Perijinan pendirian bank diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Disebutkan bahwa pada prinsipnya, di Indonesia, setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai Bank Umum atau bank Perkreditan Rakyat dari pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Kewajiban untuk memperoleh ijin usaha sebagai bank Umum atas Bank Perkreditan rakyat adalah karena kegiatan menghimpun dana dari masyarakat, oleh siapapun, pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi karena kegiatan ini terkait dengan kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank. Namun, dalam praktek di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam simpanan, misalnya yang dilakukan di kantor pos, dana pensiun ataupun perusahaan asuransi. kegiatan-kegiatan lembaga tersebut tidak tercakup sebagai kegiatan usaha perbankan, dan diatur dengan undang-undang tersendiri.

Dalam memberikan ijin usaha sebagai Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia memperhatikan:

a. Pemenuhan persyaratan tentang:

i. Susunan organisasi dan kepengurusan;

ii. Permodalan;

iii. Kepemilikan;

iv. Keahlian di bidang perbankan;

v. Kelayakan kerja.

b. Tingkat persaingan yang sehat antar bank.

Tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional.

Khususnya bagi Bank Perkreditan Rakyat, untuk mendapatkan ijin usaha, di samping syarat-syarta sebagaimana dimaksud di atas, wajib pula untuk memenuhi persyaratan tentang tempat kedudukan kantor pusat Bank Perkreditan Rakyat di kecamatan, yakni kecamatan di luar kabupaten/kotamadya, ibukota propinsi atau ibukota negara.

Persyaratan ini dimaksudkan agar Bank Perkreditan Rakyat tetap dapat berfungsi sebagai penunjang pembangunan dan modernisasi di daerah pedesaan.Walaupun demikian, untuk menunjang peningkatan pembangunan yang lebih merata, khusus di ibukota kabupaten, kotamadya, pemerintah daerah setempat dapat mendirikan Bank Perkreditan Rakyat.

2. Pembukaan Kantor Cabang Bank

Kantor cabang adalah kantor bank yang secra langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas yang menunjukkan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya.

Pembukaan kantor cabang Bank Umum dan kantor cabang perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan ijin pimpinan Bank Indonesia. Sedangkan pembukaan kantor di bawah kantor cabang bank Umum hanya dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia. Kantor di bawah kantor cabang itu antara lain mencakup kantor cabang pembantu dan kantor kas. Untuk penyediaan layanan jasa perbankan, dimungkinkan pula jenis kantor lain di bawah kantor cabang, misalnya tempat pembayaran (payment point), kas mobil, anjungan tunai mandiri (ATM).

Demikian pula, pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan ijin pimpinan Bank Indonesia. Bank Indonesia dalam memberikan ijin pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat, selain memperhatikan pemenuhan persyaratan pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, juga wajib memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Sedangkan pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat tidak memerlukan ijin dari pimpinan Bank Indonesia. Rencana pembukaan kantor dimaksud wajib terlebih dahulu dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Persyaratan dan tata cara perijinan bank serta persyaratan dan dan tata cara pembukaan kantor bank, lebih lanjut diatur dalam:

a. Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum.

b. Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah.

c. Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat.

d. Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.


3. Pembukaan Bank Yang Berkedudukan di Luar Negeri

Pembukaan kantor-kantor cabang pembantu dan kantor-kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan ijin pimpinan Bank Indonesia. bank yang berkedudukan di luar negeri adalah bank yang didirikan berdasarkan hukum asing dan berkantor pusat di luar negeri. Dengan demikian bank tersebut tunduk pada hukum di tempat bank itu didirikan. Bank Indonesia dalam memberikan ijin pembukaan jenis kantor-kantor dimaksud, selain memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat kejenuhan jumlah kantor bank dalam suatu wilayah tertentu serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.

Sedangkan pembukaan kantor di bawah cabang pembantu dari bank yang berkedudukan di luar negeri tersebut, wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor bank yang berkedudukan di luar negeri diatur lebih lanjut di dalam:

a. Peraturan Pemeintah Nomor 24 tahun 1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan kantor Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan di Luar Negeri, dan kemudian dijabarkan lagi dalam

b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/37/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan di Luar Negeri.

Hal-hal pokok yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah:

a. Bank yang berkedudukan di luar negeri yang dapat membuka kantor di Indonesia adalah bank yang:

1) Mempunyai peringkat dan reputasi baik berdasarkan hasil penelitian lembaga pemeringkat internasional terkemuka;

2) Memiliki total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia bagi kantor cabang, atau memiliki total aset yang termasuk 300 (tiga ratus) besar dunia bagi kantor perwakilan.

3) Menempatkan dana usaha dalam valuta rupiah atau dalam valuta asing dengan nilai sekurang-kurangnya setara dengan Rp. 3.000.000.000.000,- (tiga triliun rupiah);

b. Dalam memberikan ijin pembukaan kantor-kantor bank yang berkedudukan di luar negeri tersebut, Bank Indonesia selain memperhatikan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan juga memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat kejenuhan jumlah kantor bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Selain itu, juga Bank Indonesia akan mewancarai calon pimpinan kantor cabang atau pimpinan kantor perwakilan;

c. Bentuk hukum dari kantor cabang dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya, dan dalam melakukan kegiatannya di Indonesia tunduk pada seluruh ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;

d. Kantor perwakilan dilarang melakukan kegiatan usaha bank sebagaimana diatur dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang-Undang Perbankan yang diubah;

e. Kantor perwakilan wajib menyampaikan laporan kepada bank Indonesia tentang debitur yang menerima pinjaman dan/atau memperoleh garansi bank dari kantor pusat/kantor cabangnya di luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

f. Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap kantor perwakilan untuk memastikan kepatuhannya terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;

g. Anggota pimpinan kantor cabang atau pimpinan kantor perwakilan dapat terdiri dari Warga Negara Indonesia dan/atau Warga Negara Asing yang wajib memenuhi persyaratan tertentu; memiliki pengetahuan mengenai Indonesia; terutama mengenai ekonomi, bahasa dan budaya; dan memperoleh persetujuan dari bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya;

h. Kantor cabang atau kantor perwakilan wajib melaporkan rencana merger atau konsolidasi kantor pusatnya kepada bank Indonesia termasuk rencana tindakan yang akan diambil oleh kantor perwakilannya di Indonesia. Pelaksanaan merger atau konsolidasi tersebut wajib diumumkan dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor cabang atau kantor perwakilan;

i. Penutupan kantor cabang pembantu atau kantor perwakilan hanya dapat dilakukan dengan ijin direksi Bank Indonesia dengan mengajukan permohonan disertai dengan alas an penutupan dan langkah-langkah serta bukti-bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah maupun pihak lainnya. Sedangkan penutupan kantor cabang mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pencabutan ijin usaha, pembubaran dan likuidasi bank;

j. Kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor di bawah kantor cabang pembantu atau kantor perwakilan wajib tunduk pada ketentuan perbankan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

k. Pembukaan kantor cabang atau kantor cabangnya yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain mengikuti ketentuan-ketentuan di atas, juga wajib mengikuti ketentuan yang mengatur tenatng bank umum berdasarkan Prinsip Syariah.




BAB

MERGER, AKUISISI DAN KONSOLIDASI BANK


A. Pengertian Merger, Akuisisi Dan Konsolidasi Bank


 Semboyan Small is Beautifu  tidak demikian yang berlaku dalam dunia bisnis perbankan. Sebab dalam dunia bisnis perbankan karena membawa amanah dari masyarakat berhubung yang dipertaruhkan adalah dana dari masyarakat, maka banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu bank. Di antaranya persyaratan kecukupan modal. Karena itu dapat dikatakan bahwa semakin besar bank tersebut akan semakin baik. Big is beautiful adalah memamang merupakan ungkapan yang tepat buat dunia perbankan. Untuk dapat menjadi besar, antara lain dilakukan dengan perbuatan hukum yang sering disebut dengan Merger dan Akuisisi.

Ada sasaran tertentu yang ingin dicapai dengan merger dan akuisisi ini. Misalnya, dengan melakukan merger dan akuisisi ini, suatu kelompok usa tidak perlu membesarkan suatu perusahaan dari keci, sehingga menjadi besar, tetapi cukup membeli perusahaan yang sudahbesar atau sedang berjalan.

Akan tetapi, banyak pula yang pesimis melihat perkembangan merger dan akuisisi akhir-akhir ini, sehingga secara skeptic mereka beranggapan bahwa merger dan akuisisi yang terjadi saat ini tidak lain dari refleksi dari “Masyarakat Kasino”: (Casino Society).

Ada beberapa faktor yang mesti diperimbangkan ketika akan melakukan merger, akuisisi dan konsolidasi, yaitu sebagai berikut : 

1. Jenis produk atau hasil usaha yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan target.

2. Harga.

3. Penjualan atau Bagian Pasar. 

4. Pendapatan atau Perkembangan Penjualan.

5. Return on Investment atau Return on Assets.

6. Tingkat Disertifikasi Target.

7. Komplementaris Produk Target.

8. Manajemen target tetap atau tidak.

9. Budaya Perusahaan Target sesuai atau tidak.

10. Apakah Perusahaan target memiliki paten.

11. Apakah Perusahaan target meiliki R & D.

12. Lokasi Perusahaan target bagaimana ?

Dalam teori dan praktek perkembangan bisnis secara garis besarnya, ada beberapa istilah dari merger dan akuisisi ini yang masing-masing merupakan variasi daripadanya. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengertian Merger

Dengan istilah merger ini dimaksudkan adalah sebagai suatu “fusi” atau “absorpsi” dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas menggunakan istilah “penggabungan” untuk pengertian merger ini.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa dalam hal ini, fusi atau absorpsi tersebut dilakukan oleh suatu subjek yang kurang penting dengan subjek lain yang lebih penting. Subjek yang kurang penting tersebut kemudian membubarkjan diri (Black, Herry Campbell,  1968 :1140).

Dengan demikian merger perusahaan berarti dua perusahaan melakukan fusi, di mana salah satu di antaranya akan lenyap (dibubarkan). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam skema berikut ini :

                                           Skema Merger Perusahaan

A B

Keterangan:

A : Perusahaan yang melakukan merger.

B : Perusahaan target merger.

    : Perusahaan yang lenyap (dibubarkan).


2. Pengertian Akuisisi

Secara umum dapat dikatakan bahwa akuisisi adalah perbuatan memiliki harta benda tertentu.Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas menggunakan istilah “pengambilalihan” untuk pengertian akuisisi ini.

Adapun yang dimaksudkan akuisisi dalam hubungannya dengan perusahaan adalah suatu pengambilalihan kepentingan pengontrol (controlling interest) dalam perusahaan lain 

Karena dengan kata “akuisisi” mengandung makna “memiliki” atau “mengambil alih” (Take Over), maka untuk dapat dikatakan akuisisi perusahaan dalam arti pengambilalihan saham, pengambilalihan mana mestilah paling tidak pengambilalihnya dapat menjadi pemegang suara yang paling besar, sehingga dapat memutus sendiri tanpa ikut campur pihak pemegang saham lain, misalnya dengan mayoritas biasa (Simple Majority), yaitu minimal 51% dari sluruh saham perusahaan yang diambil alih.

Berbeda dengan merger, maka pada kasus akuisisi, tidak ada perusahaan yang melebur ke perusahaan lainnya. Jadi, setelah terjadi akuisisi, maka kedua perusahaan masih tetap exist, hanya kepemilikannya yang telah berubah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut :

Akuisisi Perusahaan

                A B

Keterangan:

A : Perusahaan pengakuisisi.

B : Perusahaan target akuisisi (yang diakuisisi oleh perusahaan A).

A dan B tetap exist setelah akuisisi terjadi.


3. Pengertian Konsolidasi

Undang-Undang tentang Perseroan terbatas menggunakan istilah “peleburan” untuk pengertian konsolidasi inikurang popular dalam praktek dan kurang banyak diminati orang.Konsolidasi perusahaan terjadi jika sebuah perusahaan baru dibenuk untuk mengambil alih net asset dari dua perusahaan lainnya yang telah dikombinasi.  

Karena itu, sebenarnya yang dimaksud dengan konsolidasi tidak lain dari suatu proses di mana dua atau lebih perusahaan meleburkan diri, dan dalam proses tersebut juga dibentuk suatu perusahaan baru, yang mengambil alih aset-aset dan mengasumsi (mengambil alih) kewajiban dari kedua atau lebih perusahaan yang meleburkan diri tersebut.

Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa konsolidasi perusahaan terjadi jika :

yang di dalamnya itu telah dilebur dua maskapai atau lebih lebih yang sama pentinganya menjadi satu maskapai yang seluruhnya baru, dengan tidak adanya maskapai-maskapai yang semula hidup terus. Istilah ini (konsolidasi) sering juga sebagai gantinya amalgation.  

Proses konsoliadsi perusahaan dapat dilihat dari skema berikut ini :

Konsolidasi Perusahaan

A B


 C

Keterangan Diagram:

A dan B : Perusahaan yang akan dikombinasi.

      C     : Perusahaan baru sebagai hasil dari proses kombinasi.

: Perusahaan yang dilkuidasi dalam proses konsolidasi.


B. MERGER BANK

1. Mengapa Bank Melakukan Merger

Sebenarnya alasan utama mengapa bank-bank melakukan merger adalah sama saja dengan alasan merger untuk perusahaan-perusahaan lainnya, yaitu untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Karena, untuk merger ini berlaku rumus 2 + 2 = 5.Kelebihan satu point ini disebabkan adanya tambahan sinergi dari perusahaan-perusahaan yang merger tersebut.

Hanya saja, bagi suatu bank sangat besar tuntutan untuk memperbaiki sinergi tersebut berhubung bank yang mengelola dana masyarakat sangat dituntut untuk berhati-hati (prudent banking) dalam melakukan bisnisnya. Agar terpenuhinya prudent banking ini, Bank Sentral perlu mengawasi secara ketat jalannya bisnis perbankan untuk masing-masing bank. Antaralain dengan pembebanan beberapa kewajiban dan kriteria yang harus selalu dipenuhi oleh pihak bank.

Untuk menjaga bank agar selalu sehat ditetapkanlah kriteria-kriteria tertentu. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau sering juga disebut dengan Legal Lending Limit (3L), yaitu larangan memberi kredit untuk perusahaan-perusahaan terafiliasi (satu kelompok)dengan bank tersebut) melenihi batas maksimum yang telah ditetapkan, yang saat ini batas maksimum tersebut adalah 20% dari modal setor.

b. Capital, Assets, Management, earnings dan Liquidity (CAMEL) yang dalam hal ini dihitung dalam persentase.

c. Kecukupan Penyertaan Modal Minimum atau yang sering disebut Capital Adequate ratio (CAR), yang terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, yaitu dari 8% (dihitung dari AMTR = aktiva tertimbang menurut ratio) dan terus dinaikkan. Misalnya, ada ketentuandari Bank Indonesia yang mengharuskan bank devisa mencapai CAR 12% di tahun 2001.

d. Pebandingan Pinjaman terhadap Simpanan atau yang sering isebut dengan Loan to Deposit ratio (LDR), yang dalam hal ini ditetapkan 110%.

e. Kualitas Aktiva Produktif (KAP).

f. Posisi Devisa Netto (PDN).

g. Margin Trading Limits (MTL), yaitu adanya batasan tertentu (ceiling) dalam hal bank melakukan kegiatan margin trading.

h. Kewjiban modal setor menjadi 50 miliar rupiah bagi bank umum non devisa dan 150 miliar rupiah bagi bank devisa.

i. Kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) atau Reserve Requirement (RR) sebesar 5% dari total dana pihak ketiga yang dihimpun.

j. Margin Pendapatan Bunga Bersih (NIM).

k. Return on Average Assets (ROA).

l. Return on Average Equity (RAE).

m. Debt to Equity Ratio (DER).

n. Kemampuan untuk melunasi hutang (WCR = Working Capital ratio).

Dari berbagai kriteria, kewajiban dan larangan terhadap bank seperti tersebut di atas, maka jelas kelihatan bahwa tidak mudah untuk suatu bank untuk mendapat penilaian sehat dari Bank Sentral. Karena itu, agar kewajiban-kewajiban tersebut dapat dicapainya, salah satu upaya adalah dengan melakukan merger satu sama lain.

Hanya saja perlu diingat bahwa dalam kenyataannya tidak selamanya bank yang merger itu adalah bank yang tidak sehat.Banyak juga bank-bank yang sehat bahkan bank besar melakukan merger agar menjadi lebih besar lagi atau agar dapat membentuk sinergi.

Karena itu, dilihat dari segi tujuannya, maka terdapat dua macam merger bank, yaitu :

a. Merger dalam rangka roscue program, yakni merger dengan atau antara bank yang kurang/tidak sehat, dan

b. Merger dalam rangka improving business, merger antara bank-bank yang sehat.

Beberapa hambatan yang mungkin diketemukan dalam melakukan merger bank, antara lain sebagai berikut :

a. Negosiasi yang alot di antara dua bank yang akan merger tersebut untuk menemukan apa yang disebut win-win solution.

b. Management Style antara bank-bank yang akan merger tersebut yang berbeda satu sama lain.

c. Corporate culture yang berbeda.

d. Merit system (penggajian dan insentif) yang berbeda.

e. Bargaining untuk mendapatkan posisi-posisi bagus dan komposisi kepemilikan saham pada bank yang survive.


2. Dasar Hukum untuk Merger Bank

Dalam sistem hukum Indonesia, tentang merger ini diatur oleh peraturan perundang-undangan tertentu yang merupakan dasar hukumnya. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah (a) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 tahun 1995 (b) Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992, yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998, (c) Perundang-undangan di bidang perbankan selain Undang-Undang Perbankan,(d) KUH Perdata tentang perjanjian,(e) Beberapa peraturan khusus sehubungan dengan Status Khusus dari Perusahaan/bank yang akan Merger,(f) Beberapa peraturan khusus yang berkaitan dengan hal-hal khusus dalam merger.

Berikut ini akan ditinjau satu per satu dari masing-masing dasar hukum tersebut :


a. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 tahun 1995 dan Peraturan Pelaksanaannya


Sebagaimana diketahui bahwa salah satu andalan dari Undang-Undang Perseroan Terbatas yang tidak dimiliki oleh pasal-pasal tentang Perseroan Terbatas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah diaturnya mengenai merger, akuisisi dan konsolidasi dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas tersebut.

Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 5 tahun 1995 tersebut mengatur tentang merger, akuisisi dan konsolidasi mulai dari Pasal 102 sampai dengan Pasal 109 plus pasal 76 mengenai quorum dan voting dalam rapat Umum Pemegang Saham untuk merger, akuisisi dan konsolidasi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang tentang Perseroan terbatas mengaturnya sebagai berikut :


Pasal 102

(1) Satu perseroan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perseroan yang telah ada atau meleburkan diri dengan perseroan lain dan meInbentuk perseroan baru.

(2) Rencana penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) dituangkan dalam Rancangan Penggabungan atau Peleburan yang disusun bersama oleh Direksi dari perseroan yang akan melakukan penggabungan atau peleburan, yang memuat sekurang-kurangnya  :

a. nama perseroan yang akan melakukan penggabungan atau peleburan;

b. alasan serta penjelasan masing-masing Direksi perseroan yang akan melakukan penggabungan atau peleburan dan persyaratan penggabungan atau peleburan;

c. tata cara konversi saham dari masing-masing perseroan yang akan melakukan penggabungan atau peleburan terhadap saham perseroan hasil penggabungan atau peleburan;

d. rancangan perubahan Anggaran Dasar perseroan hasil penggabungan apabila ada, atau rancangan Akta Pendirian perseroan baru hasil peleburan;

e. neraca, perhitungan laba rugi yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari semua perseroan yang akan melakukan penggabungan atau peleburan; dan

f. hal-hal lain yang perlu diketahui oleh pemegang saham masing-masing perseroan.

(3) Penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila Rancangan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disetujui oleh RUPS masing-masing perseroan.


Pasal 104

(1) Perbuatan hukum penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan

a. kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan; dan

b. kepentinganmasyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

(2) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar. 


Pasal 105

(1) Keputusan RUPS mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan sah apabila diarnbil sesuai dengan ketentuan Pasal 74 ayat (I) dan Pasal 76.

(2) Direksi wajib mengumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian mengenai rencana penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.


Pasal 106

(1) Rancangan Penggabungan perseroan yang telah mendapat persetujuan RUPS dilampirkan pada permohonan perubahan Anggaran Dasar perseroan untuk mendapatkan persetujuan Menteri (Kehakiman)sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).

(2) Rancangan Penggabungan perseroan yang telah mendapat persetujuan RUPS baik yang tidak disertai perubahan Anggaran Dasar maupun yang disertai perubahan Anggaran Dasar dilaporkan kepada Menteri(Kehakiman)sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).

(3) Rancangan Peleburan perseroan yang telah mendapat persetujuan RUPS dilampirkan pada permohonan pengesahan Akta Pendirian perseroan hasil peleburan untuk mendapat pengesahan Menteri Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6).

(4) Rancangan Pengambilalihan Perseroan yang telah mendapat persetujuan RUPS dilaporkan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 berlaku pula bagi penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Perseroan.


Pasal 107

(1) Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan, maka perseroan yang menggabungkan diri atau meleburkan diri menjadi bubar.

(2) Pembubaran perseroan sebagaimana diinaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi.

(3) Dalam hal pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak didahului dengan likuidasi,maka:

a. aktiva dan pasiva perseroan yang digabungkan atau yang meleburkan diri, beralih karena hukum kepada perseroan hasil penggabungan atau peleburan; dan

b. pemegang saham perseroan yang digabungkan atau yang meleburkan diri menjadi pernegang saharn perseroan hasil penggabungan atau peleburan.


Pasal 108

(1) Direksi perseroan hasil penggabungan atau peleburan wajib mengumumkan hasil penggabungan atau peleburan tersebut dalam 2 (dua) surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penggabungan, atau peleburan selesai dilakukan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)berlaku pula terhadap Direksi perseroan yang melakukan pengambilalihan sebagairnana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1).


Pasal 109

Ketentuan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengarnbilalihan perseroan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Di samping itu, pada tanggal 24 Februari 1998, telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 yang mengejawantahkan ketentuan-ketentuan dalam undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1988 tersebut hanya khusus mengatur merger, akuisisi dan konsolidasi bagi perusahaan di mana merger dan konsolidasi tersebut tidak dilakukan tindakan likuidasi terlebih dahulu. Sebab menurut Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, merger dan konsolidasi dapat dilakukan dengan atau tanpa terlebih dahulu dilakukan tindakan likuidasi.

Syarat-syarat dari merger, akuisisi dan konsolidasi dari perusahaan menurut Peraturan Pemerintah No. 27 tersebut pada prinsipnya sama seperti yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perseroan terbatas No. 1 tahun 1995. Syarat-syarat tersebut terdapat dalam BAB II dari Peraturan Pemerintah No. 27 tersebut, yang selengkapnya berbunyi :

BAB II

SYARAT-SYARAT PENGGABUNGAN, PELEBURAN,

DAN PENGAMBILALIHAN

Pasal 4

(1) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan  :

a. kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan yang bersangkutan; 

b. kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

(2) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar. 

(3) Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan Rapat Umum Pemegang Saham mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan harga yang wajar sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. 

(4) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak menghentikan proses pelaksanaan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. 


Pasal 5

Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan juga harus memperhatikan kepentingan kreditur.

Pasal 6


(1) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. 

(2) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. 

(3) Bagi Perseroan Terbuka, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai, maka syarat kehadiran dan pengambilan keputusan ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 


b. Undang-undang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998

Dalam Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 terdapat satu pasal yang mengatur tentang merger, akuisisi dan konsolidasi, yaitu Pasal 28. Pasal 28 beserta penjelasannya ini menentukan :

Pasal 28


(1) Merger dan konsolidasi antar bank, serta akuisisi bank wajib terlebih dahulu mendapat izin Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan atas pasal 28 ayat 1

Dalam melakukan merger, konsolidasi dan akuisisi, wajib dihindarkan timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.Demikian pula merger, konsolidasi, dan akuisisi yang dilakukan, tidak boleh merugikan kepentingan para nasabah.

c. Perundang-undangan di bidang perbankan

Ada beberapa perundang-undangan di bidang perbankan yang khusus mengatur atau mengatur juga tentang merger ini, antara lain sebagai berikut :

1. Peraturan Pemerintah tentang Bank Umum

Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan terhadap Undang-Undang Perbankan tersebut.salah satu di antaranya adalah Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum. Ketentuan yang berkenaan dengan merger yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 70 ini adalah sebagai berikut :


Pasal 15

(1) Merger atau konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.

(2) Merger atau konsolidasi dapat dilakukan oleh Bank Umum dengan : 

a. Bank Umum lainnya; dan/atau

b. Bank Perkreditan Rakyat.

(3) Merger atau konsolidasi bagi bank umum milik negara hanya dapat dilakukan semata-mata untuk mengatasi masalah kesehatan Bank Perkreditan Rakyat yang bersangkutan.


Pasal 16

Merger atau konsolidasi antara Bank Umum dengan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, hanya dapat dilakukan semata-mata untuk mengatasi masalah kesehatan Bank Perkreditan Rakyat yang bersangkutan.

Pasal 17

Merger atau konsolidasi antar bank hanya dapat dilakukan dengan ketentuan :

a. salah satu Bank Umum memenuhi persyaratan membuka kantor cabang;

b. telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham bagi bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas atau rapat anggota bagi bank yang berbentuk hukum Koperasi atau rapat sejenis bagi bank yang berbentuk hukum lainnya;

c. tingkat kesehatan bank hasil merger atau konsolidasi sekurang-kurangnya cukup sehat;

d. segala hak dan kewajiban bank yang melakukan merger atau konsolidasi beralih dan menjadi tanggung jawab bank hasil merger atau konsolidasi;

e. pada saat terjadinya merger atau konsolidasi jumlah aktiva bank hasil merger atau konsolidasi tersebut tidak melebihi 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah aktiva (asset) seluruh Bank Umum di Indonesia.



Pasal 18

Permohonan untuk memperoleh izin merger atau konsolidasi diajukan kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia denngan melampirkan :

a. notulen rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi bank yang bersangkutan;

b. rancangan akta jual beli saham bank yang akan merger atau rancangan akta perjanjian merger atau konsep surat perjanjian konsolidasi dan penetapan status dari bank-bank yang akan dikonsolidasi;

c. rancangan anggaran dasar dari bank hasil merger atau konsolidasi;

d. rencana susunan pengurus dan pemegang saham bank hasil merger atau konsolidasi.

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara, merger, konsolidasi dan akuisisi diatur oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.


2. SK Menkeu No. 222/KMK.017/1993.

Sebagai tindak lanjut dari pengaturan otoritas di bidang perbankan terhadap merger, akuisisi dan konsolidasi ini, maka pemerintah c.q. Menteri Keuangan RI telah pula mengaturnya lewat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 222/KMK.017/1993 tentang Persyaratan dan tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, tanggal 26 Februari 1993.

Yang berhubungan dengan merger, pada pokoknya Kepmenkeu No. 222 ini mengatur hal-hal sebagai berikut :

(1) Pengertian merger.

Dalam hal ini ditentukan bahwa yang dimaksud dengan merger (penggabungan usaha) adalah penggabungan dari dua bank atau lebih dengan tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank sementara satu bank (bank-bank) lainnya dilikuidasi. Bandingkan dengan Pasal 107 ayat (1) dan (2) dari undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa dalam hal terjadinya penggabungan atau peleburan, maka perusahaan yang menggabungkan/meleburkan diri menjadi bubar, dan pembubaran dimaksud dapat dilakukan dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi. 

(2) Bank yang merger.

Merger (dan juga konsolidasi) dapat dilakukan antara :

(a) antar Bank Umum.

(b) antara Bank Umum dengan Bank Perkreditan Rakyat.

(c) antar Bank Perkreditan Rakyat.

(3) Perizinan untuk merger bank

Dikenal ada dua macam izin untuk merger, yaitu :

a. Izin Prinsip (dalam rangka persiapan merger).

b. Izin Merger (dalam rangka penggabungan dan pencabutan izin usaha bank yang dilikuidasi).

Permohonan untuk memperoleh izin prinsip diajukan dengan lampiran-lampiran sebagai berikut :

a. Notulen Rapat Umum Pemegang Saham.

b. Rancangan akta jual beli saham yang akan melakukan merger.

c. Rancangan akta perjanjian merger.

d. Rancangan perubahan anggaran dasar dari bank hasil merger.

e. Proyeksi neraca dan perhitungan laba/rugi gabungan bank hasil merger.

Sementara itu, dalam mengajukan permohonan izin merger (izin tetap), maka dokumen-dokumen yang harus dilampirkan adalah sebagai berikut :

a. Perubahan anggaran dasar yang telah disahkan (maksudnya disetujui) oleh Menteri Kehakiman (jadi terlebih dahulu harus diurus persetujuan Menteri Kehakiman sebelum mengajukan izin merger).

b. Akta jual beli saham bank yang melakukan merger (jadi jual beli saham harus terlebih dahulu ditandatangani sebelum diajukan permohonan izin merger).

c. Akta perjanjian merger (jadi terlebih dahulu harus ditandatangani akata perjanjian merger sebelum diajukan permohonan izin merger).

d. Neraca dan perhitungan laba/rugi dari bank hasil merger.



d. KUH Perdata tentang Perjanjian

Bagaimanapun juga, hubungan hukum yang terdapat dalam deal merger sebenarnya tidak lain dari suatu “perjanjian”. Karena itu ketentuan hukum tentang perjanjian atau secara lebih luas adalah tentang perikatan seperti yang terdapat dalam buku ke-III dari KUH Perdata tetap berlaku.

Ada dua macam ketentuan dalam KUH Perdata khususnya buku ke-III yang berlaku terhadap suatu merger, yaitu sebagai berikut :

(a) Ketentuan tentang perikatan pada umumnya.

Dalam KUH Perdata tidak diatur secara khusus mengenai perjanjian merger ini.Jadi, tidak ada satu pasal yang berbicara tentang perjanjian merger. Akan tetapi, dalam KUH Perdata tersebut vide vuku ke-III terdapat ketentuan umum tentang perikatan yang diberlakukan terhadap setiap jenis perjanjian, termasuk perjanjian merger. Ketentuan umum mengenai perikatan ini diatur mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456.

Demikianlah, maka ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, misalnya mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, kekuatan berlakunya perjanjian, akibat hukum dari perjanjian, macam-macam perjanjian, hapusnya perikatan, semuanya berlaku untuk suatu perjanjian merger.

(b) Ketentuan tentang perjanjian jual beli

Dalam suatu deal merger antar perusahaan seringkali (walau tidak selamanya) dalam teknis pelaksanaan diperlukan juga adanya jual beli saham. Itu sebabnya dalam pasal 11 dari Keputusan Menteri Keuangan No.222/KMK.017/1993 tentang Persyaratan dan tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, ditentukan bahwa salah satu dokumen yang harus dilampirkan dalam mengajukan permohonan untuk memperoleh izin merger (izin tetap) di samping akta perjanjian merger adalah akta jual beli saham.

Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk suatu perjanjian jual beli termasuk untuk jual beli saham, di samping berlaku untuk ketentuan umum tentang perikatan yang terdapat di bagian awal dari buku ke-III KUH Perdata sebagaimana telah disebutkan di atas, maka berlaku pula ketentuan khusus mengenai jual beli yang terdapat mulai dari Pasal 1457 sampai dengan dan termasuk Pasal 1540 KUH Perdata.

Namun demikian, teknis pelaksanaan merger antara dua perusahaan termasuk merger bank, sering juga dipakai metode inbreng saham bersama-sama dengan atau sebagai gantinya jual beli saham tersebut “Perjanjian Inbreng”.


e. Peraturan khusus sehubungan dengan status khusus dari bank yang akan merger :


1. Peraturan di bidang pasar modal

Jika salah satu atau lebih dari bank yang melakukan merger tersebut merupakan perusahaan terbuka, maka untuk melaksanakan merger tersebut pula diikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.Ketentuan di bidang pasar modal yang harus diikuti adalah berkenaan dengan hal-hal (1) prosedur, (2) keterbukaan informasi, (3) aspek saham dan pasar sekunder, dan (4) aspek perlindungan pemegang saham publik. Agar lebih jelasnya dapat diterangkan sebagai berikut :

(1) Prosedur

Jika terhadap suatu merger terlibat satu atau lebih perusahaan terbuka, maka diperlukan prosedur khusus untuk itu yang agak berbeda dengan prosedur untuk merger perusahaan selain bank.Karena, untuk merger perusahaan terbuka, banyak instansi yang terlibat, mulai dari Departemen Kehakiman, Departemen Keuangan, Bapepam, atau Bank Indonesia.Di antara prosedur khusus yang harus dipenuhi oleh perusahaan merger di mana salah satu atau lebih di antaranya adalah perusahaan terbuka adalah bahwa jika ada pengisuan saham baru, tidak perlu dilakukan prosedur biasa lewat right issue. Jika salah satu atau lebih di antara perusahaan yang akan merger merupakan perusahaan terbuka, maka yang mesti survive “sebaiknya” perusahaan terbuka tersebut. jika bukan perusahaan terbuka yang survive, maka mesti dilakukan juga proses going private. Untuk lebih jelasnya mengenai prosedur untuk merger perusahaan terbuka ini dalam buku ini akan dibahas dalam bagian khusus untuk itu.

(2) Keterbukaan informasi

Sebagaimana kita ketahui bahwa bagi suatu perusahaan terbuka, keterbukaan informasi merupakan masalah yang sangat penting dan merupakan faktor yang sangat dominan dalam pengaturan hukum mengenai pasar modal. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam suatu Perseroan Terbatas terbuka dalam bentuk bank ketika melakukan tindakan merger.

Karena itu, tindakan-tindakan yang bermuara kepada keterbukaan banyak dilakukan dalam merger bank ini, yaitu sebagai berikut :

a. Merger harus disetujui oleh RUPS (ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan terbatas dan pasar Modal).

b. Pengumuman akan dilakukan RUPS harus dilakukan lewat dua surat kabar (ketentuan dalam ketentuan di bidang pasar modal).

c. Pemanggilan RUPS harus dilakukan lewat dua surat kabar (ketentuan di bidang Pasar Modal).

d. Rencana Merger wajib diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS (ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas).

e. Direksi hasil merger wajib mengumumkan hasil merger dalam dua surat kabar paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah merger selesai dilakukan (ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas).

f. Karena tindakan merger termasuk informasi atau tindakan material menurut Pasal 1 ayat (7) dari Undang-Undang Pasar Modal, maka ada kewajiban bagi emiten untuk segera, yaitu paling lambat hari kerja kedua setelah keputusan atau terdapatnya informasi atau fakta material:

(1) melaporkannya kepada Bapepam;

(2) mengumumkan kepada masyarakat.

(3) Aspek saham dan pasar sekunder

Aspek lain yang mesti diperhatikan dalam rangka melakukan merger bank adalah aspek saham dan jual beli saham di pasar sekunder. Banyak yang harus dilakukan dalam hubungan dengan saham itu sendiri. Misalnya, melakukan penukaran saham dengan saham dari perusahaan yang masih eksis, pemusnahan saham lama, dan lain-lain masalah teknis yang berlaku di bursa Efek  di mana saham tersebut diperdagangkan.

(4) Aspek perlindungan pemegang saham publik

Sebagaimana kita ketahui perundang-undangan sangat mewanti-wantiu bahawa dengan dilakukannya merger, maka tidaklah boleh sampai merugikan pihak pemegang saham publik yang umumnya merupakan pemegang saham minoritas dalam perusahaan yang bersangkutan.Banyak ketentuan di bidang pasar modal yang bermuara kearah perlindungan pemegang saham minoritas/publik. Beberapa di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut :

(a) Keharusan Keterbukaan.

(b) Keharusan pemberlakuan asas Super Majority untuk RUPS yang menyetujui merger (menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas).

(c) Hak pemegang saham minority untuk menjual sahamnya dengan harga yang layak (menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas).

(d) RUPS pemegang saham independen jika terjadi benturan kepentingan, misalnya terhadap merger dalam satu grup perusahaan (ketentuan di bidang pasar modal).

(e) Jika dengan merger terjadi penyertaan oleh perusahaan terbuka, maka saham dan aset perusahaan target harus diaudit dan dinilai oleh penilai independen (ketentuan di bidang pasar modal).

(f) Tindakan merger harus diumumkan kepada publik (ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas).

Untuk masalah merger (dan juga konsolidasi) perusahaan public atau emiten, maka telah dikeluarkan Keputusan Ketua Bapepam No. 52/PM/1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten, dengan lampirannya yang dikenal dengan “Peraturan Nomor IX.G.1” Prinsip-prinsip yang diatur dalam peraturan ini tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995.

2. Peraturan di bidang Penanaman Modal Asing

Tentu saja apabila salah satu atau lebih dari perusahaan yang akan merger tersebut adalah perusahaan dalam rangka penanaman modal asing, atau perusahaan penanaman modal dalam negeri, maka perlu juga diperhatikan ketentuan yang berlaku untuk masalah penanaman modal asing tersebut.

Diperlukan izin/laporan tertentu terhadap instansi yang berwenang (instansi terkait dan/atau BKPM dan/atau presiden) jika akibat dari merger maka salah satu atau lebih dari perusahaan PMA atau perusahaan PMDN:

a. Berubah statusnya menjadi perusahaan PMA/PMDN/perusahaan non fasilitas (non PMA/PMDN).

b. Karena merger, perusahaan PMA/PMDN dibubarkan/dilikuidasi.

c. Karena merger, dalam perusahaan PMA/PMDN terjadi perusabahan susunan pemegang saham, perubahan susunan direksi/komisaris, penambahan atau pengurangan direksi/komisaris/pekerja asing.

d. Karena merger, terjadi perubahan-perubahan lainnya dalam perusahaan PMA/PMDN seperti perubahan maksud dsan tujuan, atau perubahan anggaran dasar lainnya.


3. Ketentuan hukum yang berkenaan dengan BUMN

Apabila di antara bank yang melakukan merger tersebut terdapat juga perusahaan BUMN, maka ketentuan yang berkenaan dengan BUMN tersebut juga harus diperhatikan dan diindahkan.

Di antara peraturan mengenai BUMN yang mesti dituruti adalah sebagai berikut :

a. Apakah merger diperbolehkan untuk perusahaan BUMN yang bergerak di bidang yang bersangkutan.

b. Apakah boleh dilakukan merger dengan perusahaan yang bergerak di bidang yang bersangkutan.

c. Apakah merger tersebut sesuai dengan policy di bidang swastanisasi BUMN di bidang yang bersangkutan.

d. Perlu diperhatikan tentang adanya perizinan/pelaporan dari tindakan merger tersebut terhadap instansi terkait/Departemen Keuangan atau bahkan terhadap Presiden RI.


f. Peraturan khusus yang berkaitan dengan kegiatan merger

Karena dengan merger melibatkan berbagai hal sebagai konsekuensinya, maka ada beberapa sektor hukum lain yang akhirnya juga terlibat, yaitu (1) Sektor Hukum tentang Ketenagakerjaan, (2) Sektor Hukum Pertanahan, (3) KUH Perdata tentang Subrograsi, Novasi dan Cessie, dan (4) Ketentuan Hukum yang berhubungan dengan Likuidasi Perusahaan. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Sektor Hukum tentang Ketenagakerjaan

Karena dengan merger bank, badan hukum bank dari dua atau lebih kemudian menjadi satu, seringkali sebagai konsekuensinya para direksi, komisaris dan tenaga kerja yang sudah terlebih dahulu ada diputuskan hubungan kerjanya. Karena itu, ketentuan yang harus diperhatikan adalah (a) Anggaran Dasar Bank yang relevan, (b) Perjanjian Kerja, (c) Kesepakatan Kerja Bersama, dan (d) Peraturan Perusahaan, dan (e) Peraturan Perundangan-undangan di Bidang Ketenagakerjaan. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :

a) Anggaran dasar bank yang relevan

Perlu diperhatikan anggaran dasar perseroan terutama mengenai pemberhentian direksi dan komisarisnya.

b) Perjanjian Kerja

Mesti dilihat apakah ada dibuat perjanjian kerja di antara perusahaan yang relevan dengan tenaga kerja. Jika ada harus dilihat bagaimana cara pemutusan hubungan kerja dengan karyawan yang bersangkutan. Atau jika tidak terjadi pemutusan hubungan kerja, apakah perjanjian kerja tersebut harus diperbaharui sehubungan dengan adanya merger yang bersangkutan.

c) Kesepakatan Kerja Bersama

Jika pernah dibuat kesepakatan kerja bersama, maka harus pula dilihat bagaimanakah tata cara dan konsekuensinya jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Dan perlu pula dipikirkan mengenai pembaharuan Kesepakatan Kerja Bersama sehubungan denganm adanya tindakan merger tersebut.

d) Peraturan Perusahaan

Peraturan Perusahaan adalah juga dokumen yang mesti diperhatikan jika dilakukan merger tersebut.Bagaimanakah  pengaturan jika ada pemutusan hubungan kerja misalnya. Dan apakah perlu peraturan perusahaan tersebut disesuaikan setelah terjadinya merger tersebut.


2. Sektor Hukum Pertanahan

Berhubung dengan adanya tindakan merger (yang tidak didahului oleh likuidasi), maka aset-aset dari perusahaan terutama dari perusahaan yang tidak eksis lagi harus beralih kepada perusahaan yang eksis, maka timbul berbagai konsekuensi dari beralihnya aset tersebut. Sementara bagimerger yang didahului oleh likuidasi, maka jika masih ada sisa aset setelah dilakukan pembagian, maka aset tersebut juga harus dialihkan kepada perusahaan yang tetap eksis, kecuali jika dalam perjanjian merger diperjanjikan lain.

Di antara ketentuan tentang pengalihan aset tersebut yang paling krusial dan paling banyak mengundang masalah adalah peraturan yang berkenaan dengan aset berbentuk barang tidak bergerak (tanah).

Tentang peralihan ha katas tanah ini haruslah didaftarkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 36 dari peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sebagaimana juga ditentukan dalam Pasal 43 dari Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1997 tersebut bahwa Peralihan hak atas tanah, hak pengelolaan, atau hak milik atas satuan rumah susun karena merger atau konsolidasi perusahaan dilakukan sebagai berikut :

(a) Jika merger atau konsolidasi perusahaan tidak didahului dengan likuisdasi perusahaan, dapat didaftarkan akta yang membuktikan terjadinya merger atau konsolidasi perusahaan setelah tindakan merger dan konsolidasi tersebut disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(b) Apabila tindakan merger atau konsolidasi tersebut didahului dengan tindakan likuidasi perusahaan yang tergabung atau melebur, maka akan didaftarkan peralihan haknya berdasarkan pemindahan hak dalam rangka likuidasi yang dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tersebut.

Pasal 37 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tersebut selengkapnya berbunyi :

Pasal 37 ayat (1)

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


3. KUH Perdata tentang subrograsi, novasi dan cessie

Satu lagi bidang hukum yang mesti diwanti-wanti jika dilakukan merger bank adalah ketentuan mengenai subrograsi, novasi, cessie.Ketentuan hukum mengenai hal-hal tersebut diatur dalam KUH Perdata, khususnya Pasal 613 (untuk cessie).Pasal 1400 sampai dengan Pasal 1403 (untuk subrograsi) dan pasal 1413 sampai dengan Pasal 1424 (untuk novasi).

Diperlukan ketentuan hukum yang berkaitan dengan subrograsi, novasi dan cessie, karena dengan merger bank, maka ada kemungkinan tindakan-tindakan hukum tersebut harus dilakukan.

Memang dengan merger yang tidak didahului oleh likuidasi, menurut Undang-Undang tentang Perseroan terbatas No. 1 tahun 1995 vide Pasal 107 ayat (3), seluruh aktiva, pasiva dan pemegang saham dari bank yang tidak eksis beralih by the operation of law (demi hukum) kepada perusahaan yang tetap eksis, tetapi jika dipilih dengan terlebih dahulu dilakukan likuidasi, maka aktiva dan pasiva dari perusahaan yang tidak eksis tidak otomatis beralih kepada perusahaan yang masih eksis tersebut. untuk mengalihkan benda-benda tertentu, seperti tagihan atau kewajiban tertentu kepada pihak ketiga, maka perlu dilakukan dengan tindakan hukum yang disebut dengan subrograsi, novasi, atau cessie tersebut.

4. Ketentuan hukum mengenai likuidasi perusahaan

Karena ada model merger yang terlebih dahulu didahului oleh tindkan likuidasi, maka mau tidak mau ketentuan hukum mengenai likuidasi harus juga diikuti. Ketentuan hukum tentang likuidasi ini yang harus diperhatikan terdapat dalam :

a. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 tahun 1997.

b. Peraturan perundang-undangan di Bidang Perbankan.

Untuk lebih jelasnya mengenai likuidasi ini, dibahas dalam bagian khusus dari buku ini yang berbicara tentang likuidasi bank.

3. Perjanjian Merger Bank

Perjanjian Merger pada pokoknya berisikan hal-hal sebagai berikut :

- Hal-hal yang biasanya termuat dalam kontrak-kontrak secara umum.

- Laporan kekayaan masing-masing perseroan dalam neraca yang telah diaudit dan disahkan oleh masing-masing Rapat Umum Pemegang Saham.

- Penilaian terhadap masing-masing aset perusahaan yang bersangkutan.

- Satatus masing-masing kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor kas.

- Pengalihan hak, kewajiban dan tanggung jawab dari bank yang melebur kepada bank yang eksis.

- Waktu pelaksanaan merger dan tanggal dibubarkan Perseroan Terbatas asal.

- Status pegawai-pegawai bank yang melebur, biasanya langsung beralih menjadi pegawai perusahaan yang eksis.

- Siapa-siapa direksi dan komisaris bank yang eksis.

- Siapa-siapa (mungkin panitia) yang akan menyelesaikan proses pelaksanaan merger sampai tuntas.

- Sampai berapa peningkatan modal dari bank yang eksis.

- Bagaimana penyetoran saham baru dari bank yang eksis (biasanya lewat inbreng saham-saham bank yang melebur).

- Perubahan anggaran dasar dari Perseroan Terbatas yang tetap eksis.


4. Prosedur Hukum untuk Merger Bank

Terhadap merger bank perlu dibedakan antara prosedur yang berlaku untuk bank-bank biasa (non-public) dengan bank-bank yang merupakan Perseroan terbatas terbuka, yaitu bank-bank yang telah Go Public atau pun bank-bank yang telah mendaftarkan diri sebagai perusahaan publik.

a. Prosedur merger bank biasa (non-public)

Pada prinsipnya prosedur yang harus ditempuh oleh bank-bank biasa (non-public) untuk dapat melakukan merger secara berurutan adalah sebagai berikut:

1. Penjajakan oleh kedua perusahaan tentang kemungkinan melakukan merger.

2. Langkah-langkah persiapan oleh kedua bank untuk pelaksanaan merger.

3. Direksi dari kedua bank membuat proposal untuk merger.

4. Proposal merger tersebut dituangkan dalam rancangan merger.

5. Pengumuman rencana merger dalam dua surat kabar selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham (vide Pasal 105 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Sementara bagi perusahaan publik, pengumuman tersebut haruslah 28 hari sebelum dilakukan RUPS, setelah sebelumnya diberitahukan tentang rencana merger kepada Bapepam, dan disertai dengan peredaran Circulair Letter kepada pemegang saham yang berisikan keterangan tentang merger dan pendapat pihak independen (akuntan, lawyer, dan appraiser).

6. Membuat Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing bank yang akan merger, dengan agenda antara lain pemberian persetujuan kepada masing-masing direksi bank (atau dapat juga ditunjuk tim khusus) untuk melakukan merger, untuk bank yang akan eksis setelah merger tersebut. 

7. Masing-masing bank menunjukkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam proses pelaksanaan merger (seperti, lawyer, akuntan, penilai, notaris, konsultan pajak, dan lain-lain. Jika untuk perusahaan publik, penunjukkan ini haruslah lebih awal).

8. Lawyer mulai mendiskusikan skema dan prosedur yang dibutuhkan.

9. Lawyer mulai melakukan legal audit spesial untuk masing-masing bank yang akan merger (jika untuk perusahaan terbuka, hal ini dilakukan lebih awal berhubung hasilnya sudah harus dilampirkan pada circulair letter). 

10. Akuntan mulai menelitipembukuan dan neraca masing-masing bank yang akan merger tersebut (jika untuk perusahaan terbuka, hal ini dilakukan lebih awal) .

11. Penilai (jika dianggap perlu) mulai dilakukan penilaian-penilaian terhadap aset-aset dari masing-masing bank yang akan merger tersebut (jika untuk perusahaan terbuka dilakukan lebih awal).

12. Konsultan manajemen (jika diperlukan) atau pihak intern bank mulai menelaah manajemen masing-masing bank target.

13. Mulai ditetapkan langkah-langkah strategis  dalam rangka pelaksanaan merger tersebut.

14. Lawyer mulai membuat draft perjanjian merger.

15. Dibuat rancangan perubahan anggaran dasar dari perusahaan yang eksis.

16. Dibuat RUPS dari perusahaan yang eksis dalam rangka perubahan anggaran dasar (jika anggaran dasarnya diubah, misalnya dengan adanya peningkatan modal). 

17. Pengajuan izin prinsip.

18. Setelah izin prinsip diberikan, dibuat Rapat Umum Pemegang Saham gabungan untuk membahas dan menyetujui akta merger.

19. Akta merger ditandatangani.

20. Pengajuan permohonan persetujuan perubahan anggaran  dasar kepada Menteri Kehakiman.

21. Perubahan anggaran dasar diperoleh persetujuannya dari Menteri Kehakiman.

22. Pendaftaran perubahan anggaran dasar kedalam Daftar Perusahaan.

23. Pengumuman perubahan anggaran dasar kedalam Tambahan Berita Negara.

24. Pengajuan permohonan izin merger (izin tetap).

25. Izin merger diperoleh.

26. Pengalihan izin-izin (jika ada) dari bank yang akan bubar kepada bank yang eksis.

27. Pengalihan aktiva dan pasiva (jika ada) dari bank yang akan bubar kepada bank yang eksis. 

28. Pengumuman hasil merger kedalam dua surat kabar harian paling lambat 30 hari sejak merger selesai dilakukan (Pasal 108 Undang-Undang Perseroan Terbatas).

29. Bank yang bubar mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk menyetujui pembubaran bank tersebut dan penunjukan tim likuidasi (jika ada likuidasi/pemberesan).

30. Pendaftaran likuidasi/pembubaran bank tersebut kedalam daftar perusahaan.

31. Pengumuman pembubaran bank dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

32. Pengumuman pembubaran dalam surat kabar agar kreditur dan nasabah mengetahuinya. 

33. Mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk menerima hasil likuidasi  dan pembubaran tim likuidasi serta pembebasan tanggung jawab tim likuidasi.

34. Penyelesaian tugas tim likuidator dilaporkan ke Departemen Kehakiman.

35. Bank yang eksis mengajukan izin-izin baru (jika diperlukan).


b. Prosedur merger bank yang merupakan perusahaan terbuka

Pada prinsipnya prosedur yang harus ditempuh oleh bank sebagai perusahaan terbuka hapir sama dengan prosedur jika bank tersebut bukan perusahaan terbuka seperti telah disebutkan di atas. Hanya ada beberapa perbedaan di sana-sini berhubung cukup ketatnya pegaturan yang berlaku bagi suatu perusahaan terbuka dari ketentuan perundang-undangan dibidang pasar modal.Beberapa perbedaandan kekhasandari prosedur merger bank yang merupakan suatu perusahaan terbuka adalah sebagai berikut :

1. Persetujuan dari Bapepam

Di samping memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan, bagi bank yang akan merger khususnya jika terlibat perusahaan terbuka, maka persetujuan Bapepam mesti diperoleh juga. Sebab selaku lembaga pengawas.Bapepam dapat melarang dilakukannya merger, terutama jika hal tersebut dapat merugikan pemegang saham publik.

2. Laporan kejadian penting

Tidak dapat disangkal bahwa merger, akuisisi dan konsolidasi merupakan perbuatan yang termasuk kejadian penting yang mesti dilaporkan kepada Bapepam dan diumumkan kepada masyarakat.Untuk itu, ada ketentuan khusus mengatur tentang kejadian penting ini.

3. Penilaian perusahaan oleh pihak independen

Perusahaan target merger/akuisisi/konsolidasi haruslah dinilai oleh pihak independen, yakni harus ada penilaian harga saham, penilaian aset, legal audit, neraca, dan sebagainya.Apabila tindakan konsolidasi yang diambil, maka menurut peraturan di bidang pasar modal, harus pula dilakukan studi kelayakan terhadap perusahaan baru tersebut.

4. Prosedur pengumuman dan pemanggilan RUPS yang berbeda

Sebagaimana kita ketahui pula bahwa dalam rangka memenuhi unsur disclosure, maka sebelum RUPS suatu perusahaan terbuka dilakukan, ada prosedur khusus untuk pemanggilan RUPS, yakni harus dilakukan pengumuman akan diadakan RUPS lewat dua surat kabar, dan kemudian harus pula dipanggil RUPS juga lewat dua surat kabar. Selanjutnya hasil RUPS juga harus diumumkan lewat dua surat kabar kepada publik.

5. RUPS bagi para pemegang saham yang independen

Apabila transaksi merger, akuisisi atau konsolidasi termasuk ke dalam kategori transaksi berbenturan kepentingan, di mana salah satu atau kedua-duanya perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbuka, maka ada prosedur khusus untuk mengadakan RUPS.Dalam hal ini harus terlebih dahulu dilakukan RUPS pemegang saham independen, sebelum dilakukan RUPS bagi seluruh pemegang saham.Contoh transaksi merger, akuisisi atau konsolidasi yang berbenturan kepentingan adalah jika transaksi tersebut dilakukan oleh bank-bnank yang masih tergolong dalam satu grup perusahaan.

6. Perusahaan terbuka yang eksis

Jika terjadi merger antara perusahaan terbuka dan perusahaan biasa (tidak terbuka), maka secara umum yang harus eksis “sebaiknya” perusahaan terbuka, sungguhpun tidak terdapat ketegasan tentang hal tersebut dalam peraturan perundang-undangan. Jika yang eksis bukan perusahaan terbuka, maka mesti dilakukan proses going private.

7. Tidak perlu right issue

Jika dengan merger perlu pengambilan saham dalam portepel dari perusahaan yang eksis, pengeluaran saham yang portepel tidak perlu dilakukan dengan prosedur penerbitan right issue.

C. AKUISISI BANK

1. Mengapa Bank Melakukan Akuisisi

Mengapa bank melakukan akuisisi, atau mengapa suatu bank diakuisisi. Hal ini dikarenakan oleh adanya faktor-faktor yang menguntungkan baik bagi pihak yang mengakuisisi, tindakan akuisisi bank tersebut menimbulkan keuntungan-keuntungan sebagai berikut :

a. Dapat segera memiliki bank yang sudah relatif besar tanpa harus terlebih dahulu membuat dan membesarkannya.

b. Tidak perlu repot-repot mengurus perizinan pendirian bank baru.

c. Langsung diambil alih sistem yang sudah berjalan, tanpa perlu pengadaan alat-alat perlengkapan baru, tenaga kerja baru dan sebagainya.

Sementara bagi bank yang diakuisisi, akuisisi bank tersebut mengandung manfaat sebagai berikut :

(1) Memperoleh suntikan dana bagi bank yang kekurangan dana.

(2) Bila pemilik lama menginginkan cash, dapat diatur untuk itu.

(3) Image bank tersebut akan terangkat jika pihak yang mengakuisisinya punya nama dalam masyarakat.


2. Dasar Hukum untuk Akuisisi Bank

Hampir sama dengan merger bank, maka akuisisi bank juga mempunyai dasar hukum berupa (a) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995 dan peraturan pelaksanaannya, (b) Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992, yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, (c) Perundang-undangan di bidang perbankan selain Undang-undang Perbankan, dan (d) ketentuan lain-lainnya.

Berikut ini akan ditinjau satu per satu dari masing-masing dasar hukum tersebut :

a. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995 dan Peraturan Pelaksanaannya

Selain dari pasal-pasal Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 tahun 1995 yang mengatur mengenai akuisisi sekaligus dengan mengatur juga tentang merger dan konsolidasi sebagaimana tersebut ketika membahas tentang merger di atas, maka ada pasal dari Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mengatur secara khusus mengenai akuisisi, yaitu pasal 103 Undang-Undang Perseroan terbatas, yang menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 103

(1) Pengambilalihan perseroan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.

(2) Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan melalui pengambilalihan seluruh atau sebagian besar saham yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.

(3) Dalam hal pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

a. Rencana pengambilalihan dituangkan dalam Rancangan Pengambilalihan yang disusun oleh direksi perseroan yang akan mengambil alih dan yang akan diambil alih, yang memuat sekurang-kurangnya :

1) namaperseroan yang mengambilalih dan yang diambil alih; dan

2) alasan serta penjelasan Direksi masing-masing perseroan mengenai persyaratan serta tata cara pengambilalihan saham perseroan yang diambil alih.

b. Pengambilalihan dilakukan dengan persetujuan RUPS masing-masing atas Rancangan Pengambilalihannya yang diajukan oleh Direksi masing-masing perseroan.

(4) Dalam hal pengambilalihan dilakukan oleh badan hukum yang bukan perseroan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

a. Rencana pengambilalihan dituangkan dalam Rancangan Pengambilalihan yang disusun oleh Direksi perseroan yang akan diambil alih dan Badan Pengurus badan hukum yang bukan perseroan yang akan mengambil alih, yang memuat sekurang-kurangnya :

1) nama perseroan yang akan diambil alih dan orang perseorangan yang akan mengambil alih; dan

2) alasan serta penjelasan Direksi perseroan yang akan diambilalih dan badan hukum yang bukan perseroan yang akan mengambil alih mengenai persyaratan serta tata cara pengambilalihan saham perseroan yang diambil alih.

b. Pengambilalihan dilakukan dengan persetujuan RUPS perseroan yang diambil alih dan persetujuan anggota atau Badan Pengurus dari badan hukum yang bukan perseroan yang mengambil alih.

(5) Dalam hal pengambilalihan dilakukan orang perseorangan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

a. Rencana pengambilalihan dituangkan dalam Rancangan Pengambilalihan yang disusun oleh direksi perseroan yang akan diambil alih dan orang perseorangan yang akan mengambil alih, yang memuat sekurang-kurangnya :

1) nama perseroan yang akan diambil alih dan orang perseorangan yang akan mengambil alih; dan

2) alasan serta penjelasan direksi perseroan yang akan diambil alih mengenai persyaratan dan tata cara pengambilalihan saham.

b. Pengambilalihan dilakukan dengan persetujuan RUPS perseroan yang akan diambil alih atas Rancangan yang diajukan Direksi perseroan yang akan diambil alih dan orang perseorangan yang akan mengambil alih.

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak membatasi badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan lain langsung dari pemegang saham.

Pasal 106 ayat 4

Rancangan Pengambilalihan Perseroan yang telah mendapat persetujuan RUPS dilaporkan kepada Menteri Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dari Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Di samping itu, pada tanggal 24 Februari 1998, telah pula diterbitkan Peraturan pemerintah no. 27 tahun 1998 yang mengejawantahkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1998 tersebut hanya khusus mengatur merger, akuisisi dan konsolidasi bagi perusahaan di mana merger dan konsolidasi tersebut tidak dilakukan tindakan likuidasi terlebih dahulu. Sebab menurut Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, merger dan konsolidasi dapat dilakukan dengan atau tanpa terlebih dahulu dilakukan tindakan likuidasi.

Syarat-syarat dari merger, akuisisi dan konsolidasi dari perusahaan menurut Peraturan Pemerintah No. 27 tersebut pada prinsipnya sama seperti yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995. Syarat-syarat tersebut terdapat dalam bab II dari Peraturan Pemerintah No. 27 tersebut, yang selengkapnya berbunyi:

BAB II

SYARAT-SYARAT PENGGABUNGAN, PELEBURAN,

DAN PENGAMBILALIHAN

Pasal 4

(1) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan :

a. kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan yang bersangkutan;

b. kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. 

(2) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar. 

(3) Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan Rapat Umum Pemegang Saham mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan harga yang wajar sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. 

(4) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak menghentikan proses pelaksanaan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.  

Pasal 5

Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan juga  harus memperhatikan kepentingan 

kreditur. 




Pasal 6

(1) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. 

(2) Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. 

(3) Bagi Perseroan Terbuka, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai, maka syarat kehadiran dan pengambilan keputusan ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 


b. Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,

Menurut sistem Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992, maka dalam hubungan dengan akuisisi bank perlu terlebih dahulu diperbedakan antara pengertian “Perubahan Kepemilikan” vide pasal 27 dengan pengertian “Akuisisi” vide Pasal 28.

Pasal 27 dan pasal 28 dari Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992 menyatakan :

Pasal 27

Perubahan kepemilikan bank wajib :

a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26;

b. dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Pasal 28

(1) Merger, konsolidasi dan akuisisi bank wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah “akuisisi” yang dimaksudkan adalah “pengambilalihan kepemilikan” terhadap suatu bank. Dalam hal ini oleh Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 1992 tentang Bank Umum disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan akuisisi, sehingga berlaku ketentuan perbankan tentang akuisisi adalah penguasaan saham sehingga menjadi lebih dari setengah saham yang ada (simple majority).

Dengan demikian, jika poenguasaan saham tidak sampai menjadi simple majority, menurut perundang-undangan di bidang perbankan belum dianggap sebaga akuisisi bank vide pasal 28 Undang-Undang Perbankan, melainkan hanya merupakan perubahan kepemilikan bank, sehingga tunduk kepada hukum mengenai perubahan kepemilikan tersebut, vide Pasal 27 Undang-Undang Perbankan.

c. Peraturan-peraturan di bidang perbankan

(1) Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992

Dalam Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 mengenai Bank Umum di samping terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang merger, konsolidasi dan akuisisi sekaligus seperti telah disebutkan ketika membahas mengenai merger di atas, terdapat satu pasal yang khusus mengatur tentang akuisisi, yaitu Pasal 19 yang menentukan sebagai berikut :

Pasal 19

Akuisisi bank umum yang dilakukan oleh bank umum maupun pihak lain wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia, apabila akuisisi tersebut mengakibatkan penguasaan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) saham Bank Umum yang diambil alih.

(2) Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017/1993 tentang Persyartan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank.

Dalam hubungan dengan akuisisi bank, Kepmenkeu No. 222 ini pada pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut :

1) Pengertian Akuisisi

Dalam hal ini hanya ditentukan bahwa yang dimaksud dengan akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank.

2) Bank yang Diakuisisi

Akuisisi dapat dilakukan terhadap :

(a) Bank Umum.

(b) Bank Perkreditan Rakyat.

3) Perizinan untuk Akuisisi Bank

Izin terhadap akuisisi bank yang disebut dengan “Izin Akuisisi” diberikan pimpinan Bank Indonesia. Untuk memperoleh izin akuisisi, berlaku ketentuan sebagai berikut :

1) Permohonan untuk mendapatkan izin akuisisi diajukan oleh pihak yang mengakuisisi dan direksi bank yang diakuisisi kepada Pimpinan Bank Indonesia.

2) Permohonan tersebut harus melampirkan hal-hal sebagai berikut :

a) Jika pihak yang mengakuisisi itu perorangan, maka diperlukan identitas pihak yang mengakuisisi, seperti kartu tanda penduduk atau paspor, sementara jika pihak pengakuisisi adalah pihak badan hukum, perlu dilampirkan anggaran dasar dan neraca terakhir.

b) Rancangan akta jual beli dalam rangka akuisisi.

c) Komposisi pemegang saham bank setelah diakuisisi.

d) Nomor Pokok Wajib Pajak.


d. Ketentuanlain-lainnya

Ketentuan- ketentuan lainnya yang berlaku untuk merger seperti yang telah diuraikan di atas, seperti ketentuan mengenai pasar modal, penanaman modal asing, BUMN, KUH Perdata dan beberapa ketentuan khusus lainnya berlaku juga untuk tindakan akuisisi secara mutatis mutandis.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah adanya ketentuan dalam perundang-undangan di bidang pasar modal yang menyatakan bahwa apabila akuisisi tersebut (dalam hal ini akuisisi saham) dilakukan terhadap perusahaan terbuka, haruslah dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

(a) Harus dilakukan lewat pasar modal, sungguhpun biasanya juga dilakukan dengan semacam “pengikatan” jual beli saham sebelum akuisisi tersebut dilakukan.

(b) Pada prinsipnya harus dilakukan lewat mekanisme khusus untuk itu, yaitu apa yang disebut dengan “Tender Offer.”


3. Prosedur Hukum untuk Akuisisi Bank

Seperti halnya untuk merger bank, maka terhadap akuisisi bank perlu dibedakan antara prosedur yang berlaku untuk bank-bank biasa (non public) dengan bank-bank yang merupakan Perseroan terbatas terbuka, yaitu bank-bank yang telah Go Public ataupun bank-bank yang telah mendaftarkan dirinya sebagai perusahaan publik.

a. Prosedur akuisisi bank biasa (non public)

Pada prinsipnya prosedur yang harus ditempuh oleh bank-bank biasa (non public) untuk dapat melakukan merger secara berurutan adalah sebagai berikut :

1. Penjajakan kedua bank tentang kemungkinan melakukan akuisisi.

2. Langkah-langkah persiapan oleh kedua bank untuk pelaksanaan akuisisi.

3. Direksi dari bank pengakuisisi membuat proposal untuk akuisisi.

4. Proposal akuisisi tersebut dituangkan dalam rancangan akuisisi.

5. Pengumuman rencana akuisisi dalam dua surat kabar selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham (vide Pasal 105 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas). 

6. Membuat Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing bank yang akanmelakukan akuisisi dengan agenda antara lain pemberian persetujuan kepada masing-masing direksi bank (atau dapat juga ditunjuk tim khusus) untuk melakukan akuisisi. Untukbank yang akandiakuisisijuga poersetujuan pemegang saham untuk pernyertaan ke dalam saham portepel dan/atau peningkatan modal, sementara jika akuisisi dilakukan langsung dengan membeli saham adalah untuk menyetujui pengalihan saham kepada pihak pengakuisisi. 

7. Pihak bank pengakuisisi menunjukkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam proses pelaksanaan akuisisi (seperti lawyer, akuntan, penilai, notaris, konsultan pajak, dan lain-lain).

8. Lawyer mulai mendiskusikan skema dan prosedur yang dibutuhkan.

9. Lawyer mulai melakukan legal audit spesial untuk masing-masing bank yang akandiakuisisi. 

10. Akuntan mulai meneliti pembukuan dan neraca bank yang akan diakuisisi.

11. Penilai (jika dianggap perlu) mulai dilakukan penilaian-penilaian terhadap aset-aset dari bank yang akandiakuisisi tersebut.

12. Konsultan manajemen (jika diperlukan) atau pihak intern bank pengakuisisi mulai menelaah manajemen dari bank targetakuisisi.

13. Mulai ditetapkan langkah-langkah strategis  dalam rangka pelaksanaan akuisisi tersebut.

14. Lawyer mulai membuat draft perjanjian akuisisi atau perjanjian pembelian saham.

15. Dibuat rancangan perubahan anggaran dasar oleh bank target akuisisijika anggaran dasarnya diubah, misalnya dengan adanya peningkatan modal.

16. Pengajuan izin prinsip.

17. Setelah izin prinsip diberikan, dibuat Rapat Umum Pemegang Saham gabungan untuk membahas dan menyetujui akta akuisisi, atau jika akuisisi langsung dengan membeli saham dari pemegang saham, hanya pihak bank pengakuisisi yang akan membuat RUPS untuk menyetujui dan membahas akata akuisisi tersebut.

18. Akta akuisisi ditandatangani.

19. Pengajuan permohonan persetujuan perubahan anggaran  dasardari perusahaan target akuisisi kepada Menteri Kehakimanjika ada perubahan anggaran dasar, dan pelaporan atas rancangan akuisisi kepada Menteri Kehakiman (Pasal 106 ayat (4) Undang-undang Perseroan Terbatas).

20. Perubahan anggaran dasar diperoleh persetujuannya dari Menteri Kehakiman.

21. Pendaftaran perubahan anggaran dasar kedalam Daftar Perusahaan.

22. Pengumuman perubahan anggaran dasar kedalam Tambahan Berita Negara.

23. Pengajuan permohonan izin akuisisi (izin tetap).

24. Izin akuisisi diperoleh.

25. Penyelesaian proses pelaksanaan akuisisi.

Catatan : prosedur di atas berlaku untuk akuisisi saham. Apabila yang dipilih adalah akuisisi aset, maka prosedurnya lebih sederhana.

b. Prosedur akuisisi bank yang merupakan perusahaan terbuka

Sama seperti merger, pada prinsipnya prosedur yang harus ditempuh oleh bank sebagai perusahaan terbuka hampir sama dengan prosedur jika bank tersebut buka perusahaan terbuka seperti telah disebutkan di atas. Hanya ada perbedaan di sana sini berhubung cukup ketatnya pengaturan yang berlaku bagi suatu perusahaan terbuka dari ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Beberapa perbedaan dan kekhasan dari prosedur akuisisi bank merupakan suatu perushan terbuka adalah sebagai berikut :

1. Persetujuan dari Bapepam

Di samping memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan, bagi bank yang akanmelakukan akuisisi atau yang akan diakuisisi, khususnya jika terlibat perusahaan terbuka, maka persetujuan Bapepam mesti diperoleh juga. Sebab, selaku lembaga pengawas.Bapepam dapat melarang dilakukannya akuisisi, terutama jika hal tersebut dapat merugikan pemegang saham publik.

2. Laporan kejadian penting

Tidak dapat disangkal bahwa seperti juga untuk dan konsolidasi, maka akuisisi merupakan perbuatan yang termasuk kategori kejadian penting yang mesti dilaporkan kepada Bapepam dan diumumkan kepada masyarakat.Untuk itu, ada ketentuan yang khusus mengatur tentang kejadian penting ini.

3. Penilaian perusahaan oleh pihak independen

Perusahaan target merger/akuisisi/konsolidasi haruslah dinilai oleh pihak-pihak independen, yakni harus ada penilaian harga saham, penilaian aset, legal audit, neraca, dan sebagainya.

4. Prosedur pengumuman dan pemanggilan RUPS yang berbeda

Untuk suatu akuisisi yang melibatkan prusahaan terbuka,maka RUPS dari perusahaan terbuka tersebut dalam rangka memenuhi unsur disclosureharuslah diikuti peraturan yang berlaku di pasar modal. Yakni sebelum RUPS suatu perusahaan terbuka dilakukan, ada prosedur khusus untuk pemanggilan RUPS, yakni harus dilakukanpengumuman akan diadakan RUPS lewat dua surat kabar, dan kemudian harus pula dipanggil RUPS juga lewat dua surat kabar. Selanjutnya hasil RUPS juga harus diumumkan lewat dua surat kabar kepada publik.

5. RUPS bagi para pemegang saham yang independen

Jika akuisisi termasuk dalam kategori transaksi berbenturan kepentingan, di mana salah satu atau kedua-duanya perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbuka, maka ada prosedur khusus untuk mengadakan RUPS.Dalam hal ini, harus terlebih dahulu dilakukan RUPS pemegang saham independen, sebelum dilakukan RUPS bagi seluruh pemegang saham.Contoh transaksi merger, akuisisi atau konsolidasi yang berbenturan kepentingan adalah jika transaksi tersebut dilakukan oleh bank-bnank yang masih tergolong dalam satu grup perusahaan.


6. Keharusan tender offer

Karena pada inti dari akuisisi saham adalah jual beli saham, maka ada ketentuan khusus tentang jual beli saham perusahaan terbuka yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni jual beli saham tersebut harus dilakukan lewat mekanisme yang disebut Tender Offer.

Menurut Pasal 83 dari Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, maka setiap pihak yang melakukan penawaran tender wajib mengikuti ketentuan mengenai keterbukaan, kewajaran, dan pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam.

Penjelasan atas Pasal 83 tersebut memberi arti kepada penawaran tender sebagai penawaran melalui media massa untuk memperoleh efek yang bersifat ekuitas dengan cara pembelian atau pertukaran dengan efek lainnya.

Selanjutnya, dalam lampiran dari keputusan Bapepam No. 85/PM/1996, maka penawaran tender wajib dilakukan jika dilakukan pembelian saham sehingga pemilikannya mencapai 20% (dua puluh persen) atau lebih dari seluruh saham perusahaan yang telah ditempatkan dan disetor penuh, dengan tujuan untuk “mengendalikan” (kecuali dapat dibuktikan sebaliknya).

Menurut Pasal 19 dari Peraturan pemerintah No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum ditentukan bahwa akuisisi bank umum yang dilakukan oleh bank umum maupun pihak lainnya wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia, apabila akuisisi tersebut mengakibatkan “penguasaan” lebih dari 50% (lima puluh persen saham) bank umum yang diambil alih tersebut. Jadi, Peraturan Pemerintah No. 70 ini tidak menyebut-nyebut tentang istilah “pengendalian.”

Sementara itu, seperti telah pernah dijelaskan bahwa Pasal 103 ayat (2) dari Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995 menentukan bahwa pengambilalihan perseroan dapat dilakukan melalui pengambilalihan seluruh atau sebagian besar saham yang dapat mengakibatkan beralihnya “pengendalian” terhadap perseroan tersebut.

Sedangkan penjelasan atas Pasal 84 Undang-Undang pasar Modal No. 8 Tahun 1995 menentukan bahwa pelaksanaan ketentuan mengenai akuisisi oleh ketentuan di bidang pasar modal dengan mewajibkan dilakukannya “pelaporan” dan “keterbukaan” tidak mengurangi ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Dengan demikian, Undang-Undang Perseroan Terbatas tentang akuisisi tidak dikesampuingkan berlakunya oleh Undang-Undang Pasar Modal.

D. KONSOLIDASI BANK

1. Mengapa Bank Melakukan Konsolidasi

Tindakan konsolidasi atau yang sering juga disebut “peleburan” perusahaan sebenarnya merupakan tindakan yang sangat tidak popular dalam praktek.Sehingga sehari-hari hampir tidak pernah terdengar adanya tindakan konsolidasi tersebut.mengapa tindakan konsolidasi ini tidak popular jika dibandingkan dengan merger karena dengan konsolidasi tersebut menyebabkan harus dibuatnya perusahaan baru dengan izin-izin baru, administrasi baru dan pembentukan image perusahaan yang baru pula. Ini akan tidak ekonomis dari segi tenaga, waktu dan biaya. Sementara denmgan merger masih ada satu perusahaan lama yang masih eksis, dan dengan tindakan akuisisi kedua-duanya perusahaan (perusahaan pengakuisisi dan perusahaan yang diakuisisi) bahkan masih akan tetap eksis.

2. Dasar Hukum untuk Konsolidasi bank

Apa yang merupakan dasar hukum bagi merger bank seperti yang telah diuraikan di depan seperti ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Pasar Modal, KUH Perdata, ketentuan perbankan, PMA, BUMN, dan beberapa peraturan khusus, pada prinsipnya berlaku juga bagi tindakan konsolidasi ini secara mutatis mutandis.

3. Prosedur Hukum untuk Konsolidasi Bank

a. Prosedur konsolidasi bank biasa (non public)

Pada prinsipnya prosedur yang harus ditempuh oleh bank-bank biasa (non public) untuk dapat melakukan konsolidasi secara berurutan adalah sebagai berikut :

1. Penjajakan oleh kedua perusahaan tentang kemungkinan melakukan konsolidasi.

2. Langkah-langkah persiapan oleh kedua bank untuk pelaksanaan konsolidasi.

3. Direksi dari kedua bank membuat proposal untuk konsolidasi.

4. Proposal konsolidasi tersebut dituangkan dalam rancangan konsolidasi.

5. Pengumuman rencana konsolidasi dalam dua surat kabar selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham (vide Pasal 105 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas).Prosedur akan berbeda jika ada perusahaan terbuka yang dikonsolidasi(pengumuman 28 (dua puluh delapan) hari sebelum RUPS, setelah pemberitahuan ke Bapepam, dan pengedaran Circulair Letter.

6. Membuat Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing bank yang akankonsolidasi dengan agenda antara lain pemberian persetujuan kepada masing-masing direksi bank (atau dapat juga ditunjuk tim khusus) untuk melakukan konsolidasi.

7. Masing-masing bank menunjukkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam proses pelaksanaan konsolidasi (seperti, lawyer, akuntan, penilai, notaris, konsultan pajak, dan lain-lain. Jika untuk perusahaan terbuka hal ini dilakukan lebih awal berhubung pendapatnya telah dimuat dalam circulair letter).

8. Lawyer mulai mendiskusikan skema dan prosedur yang dibutuhkan.

9. Lawyer mulai melakukan legal audit spesial untuk masing-masing bank yang akanmelakukan konsolidasi.

10. Akuntan mulai menelitipembukuan dan neraca masing-masing bank yang akanmelakukan konsolidasi tersebut.

11. Penilai (jika dianggap perlu) mulai dilakukan penilaian-penilaian terhadap aset-aset dari masing-masing bank yang akan melakukan konsolidasi tersebut.

12. Konsultan manajemen (jika diperlukan) atau pihak intern bank mulai menelaah manajemen masing-masing bank yang melakukan konsolidasi.

13. Mulai ditetapkan langkah-langkah strategis  dalam rangka pelaksanaan konsolidasitersebut.

14. Lawyer mulai membuat draft perjanjian konsolidasi.

15. Dibuat rancangan akta pendirian dari bank baru yang akan dibentuk.

16. Pengajuan izin prinsip.

17. Setelah izin prinsip diberikan, dibuat Rapat Umum Pemegang Saham gabungan untuk membahas dan menyetujui akta konsolidasi (jika diperlukan).

18. Akta konsolidasi ditandatangani.

19. Akta pendirian dari bank baru ditandatangani di depan notaris.

20. Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian dari bank baru kepada Menteri Kehakiman.

21. Akta pendirian perusahaan baru diperoleh pengesahannya dari Menteri Kehakiman.

22. Pendaftaran akta pendirian perusahaan baru kedalam Daftar Perusahaan.

23. Pengumuman anggaran dasarperusahaan baru kedalam Berita Negara.

24. Pengajuan permohonan izin konsolidasi (izin tetap).

25. Izin konsolidasi diperoleh dari Menteri Keuangan.

26. Pengalihan izin-izin dari bank yang akan bubar kepada bank yang baru dibentuk.

27. Pengalihan aktiva dan pasiva dari bank-bank yang akan bubar kepada bank yang baru dibentuk (jika ada). 

28. Pengumuman hasil konsolidasi kedalam dua surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak konsolidasiselesai dilakukan (Pasal 108 Undang-Undang Perseroan Terbatas).

29. Jika diperlukan, bank-bank yang bubar mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk menyetujui pembubaran bank tersebut dan penunjukan tim likuidasi (jika ada likuidasi/pemberesan).

30. Pendaftaran likuidasi/pembubaran bank-bank tersebut kedalam daftar perusahaan.

31. Pengumuman pembubaran bank-bank tersebut dalamTambahan Berita Negara Republik Indonesia.

32. Pengumuman pembubaranbank-bank dalam surat kabar agar kreditur dan nasabah mengetahuinya. 

33. Mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk menerima hasil likuidasi  dan pembubaran tim likuidasi serta pembebasan tanggung jawab tim likuidasi.

34. Penyelesaian tugas tim likuidator dilaporkan ke Departemen Kehakiman.

35. Pengajuan izin-izin baru terhadap bank yang baru dibentuk.


b. Konsolidasi bank yang merupakan perusahaan terbuka

Sama seperti untuk merger bank, maka pada prinsipnya prosedur yang harus ditempuh oleh bank sebagai perusahaan terbuka untuk suatu tindakan konsolidasi perusahaan hamper sama dengan prosedur jika bank tersebut bukan perusahaan terbuka seperti telah disebutkan di atas .hanya ada perbedaan di sana sini berhubung cukup ketatnya pengaturan yang berlaku bagi suatu perusahaan terbuka dari ketentuan perundangan-undangan di bidang pasar modal.

Beberapa perbedaan dan kekhasan dari prosedur akuisisi bank yang merupakan suatu perushaan terbuka adalah mirip-mirip dengan apa yang berlaku juga terhadap merger yang telah terlebih dahulu dijelaskan. Karena itu, pembahasan mengenai hal tersebut dalam bagian merger berlaku juga untuk akuisisi bank secara mutatis-mutandis.

Sama seperti untuk merger bank, beberapa perbedaan di sana-sini untuk konsolidasi perbankan adalah karena cukup ketatnya pengaturan yang berlaku bagi perusahaan terbatas terbuka.


E. LIKUIDASI BANK BERMASALAH

1. Likuidasi Bank Bermasalah

Atas desakan International Monetary fund (IMF), maka pada tanggal 1 November 1997, pemerintah Indonesia dengan resmi menutup 16 (enam belas) bank yang dianggap bermasalah, dan diperintahkan untuk dilikuidasi. Keputusan Menteri Keuangan tersebut jelas seperti petir di siang bolong. Perintah penutupan (likuidasi) keenam belas bank tersebut dilakukan sekaligus oleh Menteri Kehakiman dalam keputusannya masing-masing tertanggal 1 November 1997, yaitu sebagai berikut :

1) No. 524/KMK.017/1997 untuk Bank Pinaesaan.

2) No. 525/KMK.017/1997 untuk Bank Industri.

3) No. 526/KMK.017/1997 untuk Anrico Bank Ltd.

4) No. 527/KMK.017/1997 untuk Astria Raya Bank.

5) No. 528/KMK.017/1997 untuk Bank Andromeda.

6) No. 529/KMK.017/1997 untuk Bank Harapan Sentosa.

7) No. 530/KMK.017/1997 untuk Bank Guna Internasional.

8) No. 531/KMK.017/1997 untuk Sejahtera Bank Umum.

9) No. 532/KMK.017/1997 untuk Bank Umum Majapahit Jaya.

10) No. 533/KMK.017/1997 untuk Bank Jakarta.

11) No. 534/KMK.017/1997 untuk Bank Kosagraha Semesta.

12) No. 535/KMK.017/1997 untuk Bank Mataram Dhanaarta.

13) No. 536/KMK.017/1997 untuk South East Asia Bank.

14) No. 537/KMK.017/1997 untuk Bank Pasific.

15) No. 538/KMK.017/1997 untuk Bank Dwipa Semesta.

16) No. 539/KMK.017/1997 untuk Bank Citrahasta Dhanamanunggal.

Terhadap nasabah keenam belas bank tersebut diberikan talangan oleh Bank Indonesia, yakni mengembalikan secara penuh (oleh Bank Indonesia) atas tabungan/deposito dan giro untuk jumlah sampai dengan 20 juta rupiah. Pengembalian uang nasabah tersebut dilakukan lewat tiga bank pemerintah yang ditunjuk, yaitu Bank Dagang Negara, Bank Rakyat Indonesia dan Bank BNI.

Sebelum perintah penutupan keenam belas bank tersebut, yang kali ini dilakukan sangat mendadak itu, beberapa tahun sebelumnya pemerintah secara kontroversial juga pernah menutup bank bermasalah, yaitu Bank Summa di sekitar tahun 1993. Dalam hal ini, kepada nasabah yang mempunyai uangnya di bank tersebut dalam bentuk deposito, giro maupun tabungan dibayar sampai dengan 10 juta rupiah.

Tidak khayal lagi, bahwa perintah likuidasi terhadap bank-bank bermasalah tersebut merupakan anti klimaks dari langkah liberalisasi perbankan dengan Pakto 1988.

2. Dasar Hukum Likuidasi Bank

Ada beberapa dasar hukum yang dipakai sebagai landasan bagi likuidasi suatu bank, yaitu sebagai berikut:

(a) Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992 yang telah Diubah dengan Undang-Undang no. 10 Tahun 1998.

Pasal 52 dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tersebut yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 52

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini atau pimpinan Bank Indonesia dapatmencabut izin usaha bank yang bersangkutan.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain adalah :

(a) Denda uang;

(b) Teguran tertulis;

(c) Penurunan Tingkat Kesehatan Bank;

(d) Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;

(e) Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;

(f) Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai RUPS atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;

(g) Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

(3) Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia.


(b) Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996, tanggal 3 Desember 1996 tentang Ketentuan dan tata cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank

Pasal 2 ayat (5) dari PP No.68 tersebut menyatakan sebagai berikut :

Pasal 2 ayat 5

Bank Indonesia mengusulkan pencabutan izin usaha bank kepada Menteri Keuangan, apabila menurut penilaian Bank Indonesia tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat mengatasi kesulitan bank yang bersangkutan atau keadaan bank yang bersangkutan membahayakan sistem perbankan.

Pasal 3


(1) Pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.

(2) Pencabutan izin usaha bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada bank yang bersangkutan dan diumumkan dalam surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas.

(3) Dalam hal bank yang dicabut izin usahanya memiliki kantor di luar negeri, maka Bank Indonesia memberitahukan kepada otoritas yang berwenang di negara tempat kantor tersebut berada.

(c) Peraturan perundang-undangan lainnya

Masih ada ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya yang perlu juga diperhatikan yang mengatur masalah likuidasi ini, misalnya undang-undang yang mengatur tentang Bank Sentral.Di samping itu, masih ada peraturan perundang-undangan lain pada tingkat di bawah undang-undang yang mengatur tentang likuidasi bank ini.Misalnya keputusan Menteri Keuangan mengenai hal yang bersangkutan.

(d) Peraturan di luar bidang perbankan

Karena badan hukum bank dapat berupa Perseroan Terbatas (BUMN atau swasta) atau koperasi, jangan lupa bnahwa perlu juga diperhatikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan yang bersangkutan dengan masing-masingbentuk badan hukum tersebut yang berkaitan dengan likuidasi, yaitu yang terdapat dalam :

(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995 dan peraturan pelaksanaannya.

(2) Perundang-undangnya yang mengatur tentang BUMN jika bank tersebut berbentuk BUMN.

(3) Perundang-undangan di bidang koperasi, jika bank tersebut bentuk koperasi.

(4) Peraturan di bidang Pasar Modal, jika bank tersebut merupakan Perseroan Terbatas Terbuka.


3. Pihak-Pihak yang Dirugikan oleh Likuidasi Bank

Sudah barang tentu tindakan likuidasi bank tersebut membutuhkan banyak korban. Antara lain adalah pihak-pihak sebagai berikut :

- Nasabah

- Karyawan

- Kreditur

- Pengguna Jasa Bank

- Para Pemegang Saham

- Direksi dan Komisaris









BAB IX

PRAKTEK  PEMBERIAN KREDIT BANK


A. Analisis Kredit.

1. Pengertian Analisis Kredit.

Analisis kredit adalah kajian yang dilakukan untuk mengetahui kelayakan dari suatu permasalahan kredit.Melalui hasil analisis kreditnya, dapat diketahui apakah usaha nasabah layak (feasible) dan marketable (hasil usaha dapat dipasarkan), dan profitable (menguntungkan), serta dapat dilunasi tepat waktu.

Analisis kredit dilakukan oleh account officer dari suatu bank dan account officer tersebut dari sisi level jabatannya merupakan level seksi atau bagian, atau bahkan dapat pula berupa committee (tim) yang ditugaskan untuk menganalisis permohonan kredit. Analisis kredit ini dilakukan dengan tujuan agar kredit yang diberikan mencapai sasaran, yaitu aman. Artinya kredit tersebut harus diterima kembali pengembaliannya secara tertib, teratur dan tepat waktu, sesuain dengan perjanjian antar bank dengan  nasabah sebagai penerima dan pemakai kredit. Selain itu, dengan tujuan terarah, artinya kredit yang diberikan tersebut akan digunakan untuk tujuan seperti yang dimaksud dalam permohonan kredit dan sesuai dengan peraturan dan kesepakatan ketika disyaratkan dalam akad kredit.

Untuk mewujudkan hal di atas perlu dilakukan persiapan kredit, yaitu dengan mengumpulkan informasi dan data untuk bahan analisis.Kualitas hasil analisis tergantung pada kualitas SDM, data yang diperoleh dan teknik analisis.

Seorang account officer dituntut memiliki keahlian dan keterampilan, baik teknis maupun operasional serta memiliki penguasaan pengetahuan yang bersifat teoritis. Seorang yang baik telah terbiasa dengan berbagai barang yang lazim digunakan untuk menganalisis dan mengetahui tentang cara-cara menganalisis, memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek ekonomi, keuangan, manajemen, hukum, teknis, serta meiliki wawasan yang luas mengenai prinsip-prinsip perkreditan.

Kualitas data yang digunakan untuk menganalisis harus dijamin akurat., mutakhir dan dapat dipercaya. Untuk itu, account officer perlu melakukan penyidikan (investigasi) atau penelitian ke lokasi atau pemeriksaan setempat atau dapat pula menggunakan bantuan konsultan yang ahli pada bidangnya, sehingga akan diperoleh kesimpulan yang tepat dan mendalam.

Teknik analisis dilakukan secara cermat dan teliti dengan senantiasa  memerhatikan atau berpedoman pada ketentuan yang berlaku yang mencakup analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Penilaian setiap permohonan kredit sangat tergantung pada faktor-faktor seperti jenis usaha, sektor ekonomi, tujuan penggunaan kredit, jumlah kredit. Prinsip dasar dalam menganalisis kredit yang lazim dikenal dengan “Prinsip 6 C’s”, yaitu Character, Capacity, Capiutal, Collateral, Condition  of  Economicdan Contrains”. 6 C’s credit analysis ini dilakukan dengan meneliti aspek-aspek yang terdapat di dalam kegiatan usaha nasabah seperti aspek manajemen, marketing, teknis, dan keuangan.

2.  Tujuan Analisis Kredit

Tujuan utama analisis permohonan kredit adalah untuk memperoleh keyakinan apakah nasabah mempunyai kemauan dan kemampuan memenuhi kewajibannya kepada bank secara tertib, baik pembayaran pokok pinjaman maupun bunganya, sesuai dengan kesepakatan dengan bank.Dalam pemberian kredit kepada nasabah, bank menghadapi risiko, yaitu tidak kembalinya uang yang dipinjamkan kepada nasabah.Oleh karena itu, keadaan dan perkembangan nasabah harus diikuti secara terus-menerus mulai saat kredit diberikan samapai kredit lunas.Dalam menganalisis kredit, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah keamauan dan kemampuan nasabah itu untuk memenuhi kewajibannya. Faktor lain yang harus diperhatikan ialah perekonomian atau aktivitas usaha pada umummnya (ekonomi makro dan AMDAL). Mengingat risiko tidak kembalinya kredit selalu ada, maka setiap kredit harus disertai jaminan yang cukup sesuai dengan yang ada. Semuanya tadi akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab ini. Dalam menganalisis kredit harus mencakup penilaian kuantitatif maupun kualitatif karena analisis yang diikuti dengan kuantitatif akan member kejelasan bagi pembuat keputusan. Walaupun demikian, di dalam analisis mungkin yang dipakai hanya salah satu saja, misalnya karakter dinilai secara kualitatif saja, tetapi masalah-masalah keuangan, produksi, pemasaran, dan jaminan harus dinilai baik saecara kualitatif maupun kuantitatif, tetapi jika tidak memungkinkan cukup secara kualitatif saja.

Hal-hal yang perlu dipraktikkan dalam penyelesaian kredit nasabah, terlebih dahulu harus terpenuhinya prinsip 6 C’s credit analysis, yaitu sebagai berikut:

1) Character

Character adalah keadaan watak/sifat dari nasabah, baik dalam kehidupan pribadi maupun lingkungan usaha.Kegunaan dari penilaian terhadap karakter ini adalah untuk mengetahui samapai sejauh mana itikad/kemauan nasabah untuk memenuhi kewajibannya (willingness to pay) sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan.

Suatu pemberian kredit didasari atas dasar kepercayaan yang berasaln dari pihak bank bahwa si peminjam mempunyai moral, watak maupun sifat-sifat pribadi yang positif dan kooperatif.Di samping itu, peminjam mempunyai rasa tanggung jawab, baik dalam kehidupan pribadi sebagai manusia, kehidupannya sebagai anggota masyarakat ataupun dalam menjalankan kegiatan usahanya. Karakter ini merupakan faktor yang dominan sebab walaupun calon nasabah tersebut cukup mampu untuk menyelesaikan utangnya, tetapi kalau tidak mempunyai itikad baik  tentu akan membawa berbagai kesulitan bagi bank di kemudian hari. Dalam dunia white collar crime, ciri-ciri seseorang yang mempunyai bakat kriminal justru di luar dugaan kita semua. Ciri-ciri tersebut antara lain digambarkan di antaranya:

a. orang yang pandai bergaul;

b. orang yang cerdas;

c. orang yang mempunyai motivasi tinggi serta suka menghadapi tantangan;

d. umur relatif muda sampai dengan 45 tahun.

Sebagai alat untuk memperoleh gambaran tentang karakter dari calon nasabah tersebut, dapat ditempuh melalui upaya antara lain:

a. meneliti riwayat hidup calon nasabah;

b. meneliti reputasi calon nasabah tersebut di lingkungan usahanya;

c. memintabank to bank information;

d. mencariinformasi kepada asosiasi-asosiasi usaha di mana calon nasabah suka berjudi;

e. mencariinformasi apakah calon nasabah memiliki hobi berfoya-foya.

Dalam wawancara dengan calon nasabah, ketika menilai karakter seseorang, perlu diperhatikan nilai-nilai yang terdapat dalam dirinya. Adapun nilai (value) yang perlu diamati adalah:

a. social value;

b. theoretical value;

c. esthetical value;

d. economical value;

e. religious value;

f. political value.

Seorang calon nasbah yang mempunyai value yang sangat dominan di bidang economical value dan political value aka nada kecenderungan mempunyai itikad/karakter calon nasabah mempunyai nilai-nilai (values) yang berimbang dalam diri pribadinya.

2) Capital

Capital adalah jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon nasabah. Semakin besar modal sendiri dalam perusahaan, tentu semakin tinggi kesungguhan calon nasabah dalam menjalankan usahanya dan bank akan merasa lebih yakin dalam memberikan kredit. Kemampuan modal sendiri akan merupakan benteng yang kuat agar tidak mudah mendapat goncangan dari luar, misalnya jika terjadi kenaikan suku bunga, komposisi modal sendiri ini perlu ditingkatkan. Penilaian atas besarnya modal sendiri merupakan hal yang penting mengingat kredit bank hanya sebagai tambahan pembiayan dan bukan untuk membiayai seluruh modal yang diperlukan.

Modal sendiri juga diperlukan bank sebagai alat kesungguhan dan tanggung jawab nasabah dalam menjalankan usahanya karena ikut menanggung resiko terhadap gagalnya usaha.Dalam praktik, kemampuan capital ini dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban untuk menyediakan self-financing, yang sebaiknya jumlahnya lebih besar dari kredit yang dimintakan kepada bank.Bentuk dari self-financing ini tidak selalu harus berupa uang tunai, namun juga dalam bentuk barang modal seperti tanah, bangunan, mesin-mesin.Besar kecilnya capital ini dapat dilihat dari neraca perusahaan, yaitu pada komponen “owner equity”, laba yang ditahan, dan lain-lain.Untuk perorangan, dapat dilihat dari daftar kekayaan yang bersangkutan setelah dikurangi utang-utangnya.


3) Capacity 

Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan.Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui/mengukur sampai sejauh mana calon nasabah mampu untuk mengembalikan atau melunasi utang-utangnya (ability to pay) secara tepat waktu dari usaha yang diperolehnya.

Pengukuran capcity tersebut dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan berikut ini.

a. Pendekatan historis, yaitu menilai past performance, apakah menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu.

b. Pendekatan finasial, yaitu menilai latar belakang pendidikan para pengurus. Hal ini sangat penting untuk perusahaan-perusahaan yang menghendaki keahlian teknologi tinggi atau perusahaan yang memerlukan profesionalisme tinggi seperti rumah sakit, biro konsultan , dan lain-lain.

c. Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon nasabah mempunyai kapasitas untuk mewakili badan usaha yang dimilikinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank.

d. Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam meminpin perusahaan.

e. Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan calon nasabah mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan/mesin-mesin, administrasi, dan keuangan, industrial relation sampai pada kemampuan merebut pasar.


4) Collateral

Collateral adalah barang-barang yang diserahkan nasabah sebagai agunan terhadap kredit yang diterimanya.Collateral tersebut harus dinilai oleh bank untuk mengetahui sejauh mana risiko kewajiban finansial nasabah kepada bank.Penilaian terhadap jaminan ini meliputi jenis, lokasi, bukti kepemilikan, dan status hukumnya.

Pada hakikatnya bentuk collateral tidak hanya berbentuk kebendaan, tetapi juga collateral yang tidak berwujud seperti jaminan pribadi (borgtocht), letter of guarantee, letter of comfort, rekomendasi, dan avalis.Penilaian terhadap collateral ini dapat ditinjau dari dua segi sebagai berikut.

a) Segi ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang akan diagunkan.

b) Segi yuridis, yaitu apakah jaminan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis untuk dipakai sebagai jaminan.

Risiko pemberian kredit dapat dikurangi sebagaian atau seluruhnaya dengan meinta collateral yang baik kepada nasabah.


5) Condition of Economy

Condition of Economy, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat yang kemungkinannya mempengaruhi kelancaran perusahaan calon debitur. Untuk mendapat gambaran mengenai hal tersebut, perlu diadakan penelitian mengenai hal-hal antara lain:

a. keadaan konjungtur;

b. peraturan-peraturan pemerintah;

c. situasi politik, dan perekonomian dunia;

d. keadaan lain yang mempengaruhi pemasaran.

Kondisi ekonomi yang perlu disoroti mencakup hal-hal sebagai berikut:

Pemasaran : Kebutuhan, daya beli masyarakat, luas pasar, perubahan mode, bentuk persaingan, peranan barang substitusi, dan lain-lain.

Teknis produksi          : Perkembangan teknologi, tersedianya bahan baku, cara penjualan dengan sistem tunai atau kredit.

Peraturan pemerintah : Kemungkinan pengaruhnya terhadap produk yang dihasilkan, misalnya   larangan peredaran jenis obat tertentu.   

6) Constraint

Constraint adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis untuk dilaksanakan pada tempat tertentu, misalknannya pendirian suatu usaha pompa bensin yang disekitarnya banyak bengkel las atau pembakaran batu bata.

Dari keenam prinsip di atas, yang paling perlu mendapatkan perhatian account officer adalah character, dan apabila prinsip ini tidak terpenuhi, prinsip lainnya tidak berarti. Dengan perkataan lain, permohonannya harus ditolak.


B.  Akta –Akta Perjanjian Kredit

I .   Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan 

Dalam membuat perjanjian kredit, antara bank dengan nasabahnya, Bank Indonesia mengatur harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis Sangat penting  karena sebagai salah satu Alat pembuktian , disamping sebagai alat bukti tertulis,  perjanjian dapat dikatakan sebagai  Pacta Sunt Servanda.

Pacta Sunt Servanda artinya adalah apa yang disepakati oleh para pihak dalam perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak sebaimana layaknya undang-undang. 

 Dalam Hukum Kontrak , suatu perjanjian harus lah memenuhi Azas Kebebsan Berkontrak.  Azas Kebebasan Berkontrak  adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menetukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menetukan isi perjanjian, dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.  

 Dalam membuat perjanjian diberikan hak  kepada para pihak menentukan sendiri isi perjanjian. Pengertian ini mengandung makna bahwa  baik orang ataupun badan hukum , bila akan mengadakan perjanjian diberikan suatu kebebasan,untuk mengatur dirinya sendiri secara bebas apa yang ingin dituangkan dalam perikatannya, dan yang dapat mengakomodir kepentingan kedua belah pihak, kepentingan utamanya  adalah mendapat keuntungan serta menghindari kerugian .

Bahwa oleh karena hukum menghendaki adanya kepastian dan perlindungan hukum,   agar kepentingan para pihak melakukan  hubungan hukum terjamin keabsahannya , maka diperlukanlah lembaga litigasi, yang tugas pokoknya adalah untuk   pengesahan , pendaftaran, dan otentiksitas ( format ,bentuk, isi  perjanjian  ) , hal ini diperlukan agar perjanjian tidak semata-mata , dijadikan sebagai  alat bukti tertulis saja ,akan tetapi juga dapat menjadi alat bukti yang  memiliki kekuatan pembuktian  mutlak ( Absolut ), Untuk keperluan semacam ini diperlukanlah pejabat umum yang diangkat oleh Negara.  

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris , bahwa Pejabat umum tersebut adalah Notaris. Sedangkan  keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), diatur dalam pasal 1 ayat ( 1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah  ( PJ PPAT ) :

“ PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Satuan Rumah Susun “

Perbuatan hukum tersebut mengenai ; Jual Beli, tukar menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan ( inbreng ),pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas hak milik, pemberian hak tanggungan dan surat kuasa membebankan hak tanggungan. 

Dengan memperhatikan ketentuan diatas , maka dalam membuat perjanjian  , ada dua  bentuk akta   yang masing-masing mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda :

1. Akta Dibawah Tangan .

2. Akta Otentik.

Pengertian akta Dibawah Tangan ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang bebas, tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat Umum ,dan apabila ditanggali dan ditandatangani ,maka akta itu sebagai alat bukti tertulis.( Pasal 1869 dan Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ). Kelemahan Akta yang dibuat ini adalah  akata ini kemungkinan akan timbulnya perselisihan dalam hal :

a. yaitu mengenai Tanggal jatuh tempo perjanjian atau tanggal penandatanganan perjanjian .

b. terjadi pengikaran tandatangan perjanjian. 

Untuk mencegah hal-hal seperti tersebut diatas , yang perlu diperhatikan bagi para petugas bank,  sebaiknya akta dibawah tangan  dilakukan suatu ligitasi melalui Notaris dengan meminta :

1. Waarmeeken , yaitu pencatatan akta dibawah tangan  , yang di dalam praktek sering disebut  dengan istilah di Warmiking 

2. Legalisasi , adalah pengesahan tanda tangan , yaitu  penandatanganan akta dibawah tangan  dilakukan dihadapan Notaris .

Akta Otentik

         Pengertian Akta Otentik dalam KUHPerdata buku ke empat tentang pembuktian dan kadaluwarsa Bab kedua tentang pembuktian,pasal 1868 menyatakan bahwa suata akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibuat dihadapan  pejabat Umum yang berwenang untuk itu ,ditempat dimana akta akan dibuat.

Jadi unsur-unsur akta otentik ialah :

1. Bentuknya ditentukan oleh Undang-undang.

2. Di buat oleh atau dihadapan Pejabat umum yang berwenang untuk itu.

3. Di tempat dimana akta akan dibuat.

Siapa yang dimaksud  pejabat umum didalam pasal 1888 KHUPerdata tersebut. Jo Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 didalam pasal 1 tentang ketentuan umum butir 1 menyebutkan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang ini. 

Perbedaan yang menonjol antara Akta otentik dengan akta dibawah tangan adalah bahwa akta otentik yaitu adanya  kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sendiri  sebagai akta otentik yang dalam bahasa latin nya : “  Acta Publica Probant Sese Ipsa “   kekuatan pembuktian semacam ini pada akta dibawah tangan tidak ada.

C.  Aspek Hukum Perjanjian Kredit

Dalam proses pemberian kredit aspek hukum memegang peranan yang penting. Artinya, pemberian kredit melahirkan suatu hubungan hukum dengan segala konsekuensi yuridis yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank selaku kreditur apabila hal-hal yang mendasar terabaikan. Kebenaran dan keabsahan subjek hukum  maupun objek hukum merupakan persyaratan utama, dimana untuk mendapatkan kebenaran dan keabsahan ini dapat dilakukan dengan meneliti/menganalisis secara mendalam atas semua data yang diperlukan. Termasuk di dalamnya segala macam jenis perjanjian yang mendahului setiap pelepasan kredit oleh Bank.

Kredit yang berasal dari bahasa Latin “ Creditus “  yang merupakan bentuk dari Past Particple dari kata “ Credere “ yang berarti to Trust , dalam bahasa Indonesia diartikan  “kepercayaan”, Maka  bila Kata Kredit berarti  “ Kepercayaan “  dalam perspektif hukum, antara lain dapat  mengandung arti :

1. bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang terlebih dahulu dibuatkan suatu perjanjian (hukum perjanjian) tidaklah berarti bank tidak percaya kepada nasabahnya, tetapi perjanjian(kredit) tersebut sengaja dibuat sebagai suatu alat bukti (hukum pembuktian) bagi para pihak apabila terjadi perselisihan di kemudian hari.

2. bahwa perjanjian kredit yang dibuat antara bank dan nasabahnya adalah sarana untuk menuangkan segala macam jenis kesepakatan dan persyaratan kredit yang ada, termasuk cara-cara pembayaran bagi nasabahnya dalam melaksanakan prestasinya.

Dengan demikian, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari uraian tersebut di atas, antara lain adalah:

1. bahwa aspek hukum memegang peranan yang penting dalam setiap pemberian kredit karena melahirkan suatu hubungan hukum dengan segala konsekuensi yuridis yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank selaku kreditur apabila hal-hal yang mendasar terabaikan.

2. bahwa dalam setiap proses pemberian kredit, terlebih dahulu haruslah diadakan penelitian/analisis yang mendalam dari berbagai aspeknya, termasuk aspek-aspek hukum tentunya.

1. Masalah Hukum

            Permasalahan yang timbul di kemudian hari, sebagai akibat kurang dapat perhatian pentinganya aspek hukum dalam perkreditan. Setelah terjadi gagal bayar dari nasabah, sisi hukum mulai diperhatikan, yang menjadi masalah sejak awal kurang mendapat perhatian, sehingga ketika akan diselesaikan banyak dijumpai kelamahan di sana sini akibatnya mengalami kesulitan dalam penyelesaian. Dapat dikatakan bahwa sekitar 80% bisnis kredit terlibat dengan masalah hukum.

Setiap pemberian kredit akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak yang bersepakatan. Maka, aspek hukum menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam perkreditan.Bank dan nasabah harus mengetahui dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama serta masing-masing pihak tidak mengabaikan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa dalam setiap pemberian kredit, akan timbul hak dan kewajiban. Bank hanya dapat mempertimbangkan pemberian kredit bila pemohon tersebut merupakan pendukung hak dan kewajiban  artinya dapat menerima hak dan dibebankan kewajiban. Subjek hukum dapat terbentuk manusia secara pribadi maupun badan-badan hukum.


1. Manusia sebagai pribadi

Manusia sebagai pribadi/orang mampu dan cakap untuk melakukan suatu tindakan hukum oleh undang-undang ditentukan antara lain:

a. telah dewasa, yaitu mencapai usia 21 tahun atau telah menikah;

b. tidak ditaruh di bawah perwalian;

c. tidak ditaruh di bawah pengampuan (curatele).

Dengan demikian, tidak semua manusia pribadi/orang dapat dikatakan subjek hukum yang cakap. Oleh karena itu, bank hanya akan mempertimbangkan permohonan kredit dari orang/manusia pribadi yang cakap (bekwaam) seperti yang tercantum di atas karena merekalah yang dapat bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya. 

2. Badan hukum

Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan tertentu di dalam hukum dapat memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban seperti seorang manusia.Hal ini merupakan fictie dari manusia pribadi/orang yang merupakan konstruksi hukum.Badan-badan (perkumpulan-perkumpulan) tersebut untuk dapat menjadi”Badan Hukum”, terlebih dahulu harus memiliki persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku.

Unsure yang terpenting dari suatu badan hukum adalah terpisahnya kekayaan pribadi dan kekayaan perusahaan.Artinya, jika perusahaan mengalami kerugian, persero/pemegang saham hanya bertanggung jawab maksimum sebesar penyertaannya di perusahaan.

Contoh dari perusahaan yang berbadan hukum, antara lain perseroan terbatas (PT), perkumpulan koperasi, yayasan, perusahaan daerah dan bank dengan catatan anggaran dasar/akta pendirian perusahaan yang berbadan hukum tersebut dapat bertindak dalam lalu lintas hukum melalui perantaraan pengurusnya. Pihak yang secara sah bertindak mewakili badan hukum dimaksud dapat dilihat dalam anggaran dasar/akta pendirian masing-masing badan hukum.Jadi, hal-hal yang penting diketahui dan dipahamai mengenai subjek hukum dalam hubungannya dengan perkreditan adalah sebagai berikut.

a. Apakah pemohon kredit/nasabah yang bersangkutan Subjek Hukum (orang perorangan atau badan Hukum)? Karena hanya subjek hukumlah yang dapat dipertimbangkan permohonan kreditnya.

b. Bila pemohon kredit/kreditor adalah manusia pribadi, maka perlu diteliti apakah yang bersangkutan dapat bertindak sendiri sesuai dengan ketentuan undang-undang, yaitu:

1) telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah;

2) tidak di bawah pengampuan (curatele).

Kalau pemohon/nasabah adalah perusahaan, maka perlu diteliti perusahaan tersebut apakah merupakan badan hukum atau tidak dan apakah pemohon berwenang mengajukan permohonan kredit sesuai akta anggaran dasar perusahaan.Jika perusahaan tersebut belum/tidak merupakan badan hukum, para pengurus secara pribadi beserta kekayaannya harus bertanggung jawab atas seluruh kewajiban perusahaan.

Di samping perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum, sebagaimana telah diuraikan di atas, perlu juga diketahui contoh perusahaan-perusahaan yang bukan berbadan hukum yang dalam praktik sering mengadakan hubungan dengan bank, antara lain persekutuan perdata, perusahaan perseorangan, firma, dan perseroan komanditer (CV). Pada firma, kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi persero tidak dipisah.Jika perseroan/perusahaan mengalami kerugian, persero bertanggung jawab sebanyak pesertanya pada perseroan ditambah kekayaan pribadinya.Pada perseroan komanditer, terdapat dua macam persero, yaitu persero diam dan persero pelaksana, yaitu pengurus.Persero pelaksana bertanggung jawab penuh atas utang-utang perusahaan termaksud kekayaan pribadinya.Sementara itu, persero diam hanya bertanggung jawab sebesar saham yang dimasukkan dalam perusahaan.Apabila nasabah merupakan suatu perusahaan bukan badan hukum, tanggung jawab atas pelunasan kredit yang diperolehnya merupakan tanggung jawab pribadi para pengurusnya secara tanggung renteng.

3. Status Hukum Perusahaan

1) Pengertian 

Status Hukum Perusahaan perlu diketahui karena erat kaitannya dengan tanggung jawab kredit yang diberikan kepada perusahaan.

Status hukum perusahaan antara lain meliputi:

a. perseroan;

b. perseroan firma;

c. perseroan komanditer;

d. terbatas;

e. yayasan

f. koperasi.


2) Perseroan

Perseroan adalah suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh karenanya.Dalam praktik dikenal perusahaan perseorangan yang pemiliknya satu orang.Orang tersebut bertanggung jawab atas seluruh utang-utangnya.Kekayaan perusahaan dengan pribadi tidak terpisahkan.Kreditor dapat menuntut kekayaan perusahaan dan pribadinya jika perusahaan tersebut dilikuidasi.

3) Perseroan Firma

Perseroan Firma adalah suatu perserikatan yang diadakan untuk menjalankan suatu perusahaan, dibawah nama bersama. Firma harus dengan akta autentik dan di atas pendirian firma harus didaftarkan kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dalam wilayah hukum di mana perseroan berkedsudukan.Tiap anggota perseroan berhak bertindak keluar untuk dan atas naman firma tersebut, kecuali apabila di antara anggota perseroan ada yang dikecualikan.Tanggung jawab persero/peserta adalah secara tanggung renteng dan tidak terbatas.Kreditor dapat emuntut kekayaan perusahaan dan pribadi persero/peserta jika perusahaan dilikuidasi.

4) Perseroan Komanditer

Perseroan Komanditer adalah perseroan dengan cara memasukkan sejumlah uang atau sesuatu barang yang dapat dinilai dengan uang. Setiap persero yang hanya memasukkan sejumlah modal tertentu dinamakan persero diam (Stille Vennoot, Sleeping Partner), sedangkan persero yang juga memimpin perseroan dan bertanggung jawab secara keseluruhan dan tanggung renteng terhadap pihak ketiga disebut persero pelaksana.Persero diam tidak turut serta memimpin, hanya bertanggung jawab sampai sejumlah modal yang telah atau harus dimasukkan dalam perseroan. Dalam hal persero diam turut memimpin atau membiarkan namanya digunakan dalam usaha, tanggung jawabnya sama dengan persero pelaksana, yaitu penyertaannya ditambah dengan kekayaan pribadi dan tanggung renteng.


5) Yayasan 

Beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang yayasan adalah sebagai berikut:

a. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahklan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

b. Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, pengurus, dan pengawas.

c. Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.

d. Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan kepada pembina, pengurus, dan pengawas.

e. Kekayaan yayasan, baik berupa uang, barang maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, pengurus, pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan.

f. Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka menjalankan tugas yayasan.

g. Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiataannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.

h. Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan yayasan.

i. Anggota Pembina, pengurus, dan pengawas yayasan dilarang merangkap sebagai anggota direksi atau pengurus dan anggota dewan komisaris atau pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dengan butir (g) dan (h) di atas.

j. Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal.

k. Pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dengan butir (j) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.

l. Yayasan dapat didirikan dengan surat wasiat.

m. Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dengan butir (k) memperoleh pengesahan dari menteri.

n. Kewenangan menteri dalam memberikan pengesahan akta pendirian yayasan sebagai badan hukum dilaksanakan oleh Kpala kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia atas nama menteri, yang wilayah kerjanya meliputi tepat kedudukan yayasan.

o. Akta pendirian yayasan yang telkah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan anggaran dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

6) Perseroan Terbatas

Perseroan terbatas tidak memakai nama bersama atas nama salah seorang dari perseronya, tetapi dari tujuan perusahaan. Suatu perseroan terbatas harus didirikan dengan akta autentik yang merupakan syarat mutlak untuk pendiriannya.

Sebelum perseroan terbatas tersebut dapat berdiri dengan sah, akta pendiriannya harus disampaikan terlebih dahulu kepada Menteri Hukum dan HAM untuk medapatkan pengesahan, begitu pula untuk setiap perubahan dalam syarat-syarat pendirian dan perpanjangan waktu yang diperlukan pengesahan yang sama. Akta pendirian bersama pengesahan yang telah diperoleh itu harus didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri dalam wilayah hukum di mana perseroan tersebut berkedudukan, kemudian diumumkan dam Berita Negara.

Suatu perseroan terbatas yang telah memenuhi persyaratan undang-undang bersifat badan hukum, sehingga perserikatan yang diadakan oleh perseroan tersebut dengan pihak ketiga menjadi tanggung jawab perseroan tersebut seluruhnya.

Perseroan terbatas yang telah disahkan oleh menteri kehakiman & HAM mempunyai kekayaan sendiri, di mana hak-hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari tanggung jawab anggotanya sebagai perorangan.Pengurus perseroan diangkat dan diberhentikan oleh rapat umum pemegang saham dan mewakili perseroan di luar atau di dalam pengadilan. Persyaratan yang telah ditetapkan oleh undang-undang agar suatu perseroan terbatas bersifat sebagai badan hukum sebagaimana diuraikan di atas adalah:

a. telah ada persetujuan dari departemen Hukum dan HAM atas akta pendirian;

b. didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat;

c. diumumkan dalam perubahan Berita Negara.

Selama ketiga syarat tersebut belum dipenuhi, perseroan terbatas semacam itu belum merupakan badan hukum, sehingga masing-masing anggota pengurus dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi dan tanggung renteng.


7) Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakayat yang berdasarkan asas kekeluargaan.

Syarat-syarat pendirian Koperasi adalah:

a. Didirikan dengan akta notaris;

b. Disahkan oleh pemerintah cq. Departemen Koperasi;

c. Diumumkan dalam tambahan Berita Negara.

8) Badan Usaha Milik Negara

Menurut Undang-Undang No. 19 tahun 2003 (pasal 1), yang dimaksud dengan:

a. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usahayang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaansecara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

b. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yangberbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh ataupaling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara RepublikIndonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

c. Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalahPersero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangandi bidang pasar modal.

d. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruhmodalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untukkemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dansekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

e. Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untukkepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luarpengadilan.

f. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dariAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modalnegara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.

g. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ Perseroyang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenangyang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

D.  Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit sebagai suatu persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain (nasabah) tunduk kepada kaidah-kaidah Hukum Perdata.Dalam Hukum Perdata, khususnya Hukum Perjanjian, dikenal istilah “Sistem terbuka” yang mempunyai arti memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan berbentuk apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan/atau kesusilaan.

Perjanjian kredit yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi nasabah dan bank. Hal ini berarti bahwa perjanjian kredit dimaksud akan “mengikat” nasabah dan bank seperti undang-undang. Untuk sahnya perjanjian kredit diperlukan empat syarat yang akan diuraikan dalam bab perihal “Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Kredit”.

Sehubungan dengan kesahan suatu perjanjian kredit, perlu juga diperhatikan ketentuan aturan bea materai, di mana untuk perjanjian kredit, harus dipenuhi “Bea Materai Kredit”-nya agar surat perjanjian kredit dimaksud dapat dijadikan sebagai suatu bukti tulisan yang sah. Sementara itu untuk lampiran-lampiran dari perjanjian kredit pelru dibubuhi materai stempel dan ditandatangani di atasnya setalh diberi tanggal yang secuai dengan tanggal penandatanganan.

Tanda tangan para pihak merupakan bukti persetujuan para pihak untuk bertanggung jawab di kemudian hari atas segala akibat sesuatu yang telah disetujui.

Persetujuan pinjam-meminjam yang dituangkan dalam surat perjanjian kredit wajib diikuti dengan suatu jaminan.

Jaminan dimaksud dapat berupa hak kebendaan, yang untuk itu diperlukan perjanjian pengikatan jaminan.Pengikatan jaminan ini merupakan perjanjian Accessoir, yaitu bergantung kepada persyaratan perikatan pokok-pokoknya, dalam hal ini perjanjian kredit dimaksud.




3.   Perjanjian Kredit :

             Pasal 1 butir 11 Undang-Undang no 10 tahun 1998 tentang perubahan Atas Undang nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan ditentukan bahwa kredit berdasarkan persetujuan kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain,namun Undang Undang tersebut tidak menentukan lebih lanjut bagaimana bentuk persetujuan pinjam meminjam tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut ,maka  dengan demikian Bank bebas menetukan bentuk perjanjian kreditnya. Ada yang memakai nama Perjanjian kredit ada pula dengan Pengakuan Hutang. Akan tetapi semua perjanjian yang dibuat oleh Bank harus tunduk dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata ( yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan sebab yang halal ) dan Pasal 1754 mengenai Perjanjian Pinjam Meminjam .( yaitu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian ,dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula ).

             Bagaimana dengan Perjanjian Kredit ,sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan diatas.  Kredit ialah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam ( debitur ) untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga ,imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Berdasarkan pengertian diatas maka bank bebas menetukan bentuk perjanjian kreditnya, dalam praktek bank satu dengan bank lainnya kadang berbeda mengenai judul perjanjiannya. Ada bentuk lain yang disebut dengan  Akta Pengakuan Hutang ,dimana perjanjian kredit bank, baik bentuk dan isinya dibuat dihadapan Notaris dan dapat dimintakan Gross Akta, Keperluan pembuatan Akta Pengakuan Hutang ini adalah agar perjanjian hutang memiliki kekuatan eksekusitorial ,karena dalam kepala Akta tersebut terdapat kalimat irah-irah “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KEADILAN YANGMAHA ESA




2.  Pengertian Subjek Hukum Perjanjian Kredit.

       Dalam dunia hukum, subjek huk perbuatan hukum, baik perbuatan sepihak maupun perbuatan dua pihak. Pada dasarnya, subjek hukum terdiri dari manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Namun demikian, melihat pada kenyataan prakteknya, maka dalam hal ini akan di bagi subjek hukum sebagai pihak-pihak (lawan dari bank) dalam suatu perjanjian kredit dan atau bank garansi, yaitu:

1. Perorangan dan perusahaan perorangan.

Badan usaha dan badan hukum

2.1  Badan usaha yang berbadan hukum dan

2. 2.  Badan usaha yang tidak berbadan hukum.


 1. .Perorangan

Apabila calon debiturnya perorangan, harus diingat bahwa oleh hukum ada beberapa orang yang telah dinyatakan tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum (Pasal 1330 KUH Perdata), termasuk melakukan perjanjian hutang piutang tentunya. Golongan orang dimaksud haruslah diwakili atau dalam melakukan perbuatan hukum harus dibantu oleh orang lain. Mereka adalah:

a. Orang yang masih di bawah umur

b. Orang yang tidak sehat pikirannya/gila, pemabuk dan pemboros yaitu mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

c. Orang perempuan dalam status pernikahan

Selebihnya, apabila perorangan yang menjadi debitur bank, pihak bank perlu meminta dan meneliti mengenai keabsahan, kebenaran, dan keaslian segala macam kelengkapan yuridisnya. Adapun kelengkapan yang dimaksud, antara lain adalah:

1. Kartu identitas calon debitur yang masih berlaku dan Kartu Susunan Keluarga.

2. Kartu/surat nikah

3. Surat persetujuan istri.

1.2 Perusahaan Perseorangan

Sebagai mana diketahui bahwa perusahaan perseorangan adalah perusahaan yangh didirikan dan dimiliki hanya seorang pengusaha,yang sampai saat ini belum ada peraturan undang-undangan yang mengatur tata cara pendiriannya. Begitu pun  bentuk perusahaan perseorangan ini secara resmi tidak ada. Namun ,secara umum dalam masyarakat perdangangan ada suatu bentuk perusahaan  perseorangan yang tampak telah di terima oleh masyarakat umum, yaitu Usaha Dagang (UD) atau Perusahaan Dagang (PD). Karena peraturannya belum ada, maka prosedur mendirikan Perusahaan Dagang (PD) ini belum diatur. Namun, dari berbagai ketentuan yang ada, prosedur pendirian perusahaan dagang ini pada umumnya adalah sebagai berikut:

a. Pengusaha atau kuasanya datang ke kantor Notaris untuk meminta diterbitkannya akta pendirian perusahaan dagang, yang pokok-pokok isinya telah ditetapkan oleh pengusaha yang bersangkutan.

b. Akta pendirian tersebut tidak perlu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, juga tidak perlu diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

c. Pengusaha mengusahakan izin usaha dari Kantor Wilayah Departemen Perdagangan setempat berupa Wajib Daftar Perusahaan (WDP) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

d. Pengusaha harus mendaftarkan izin tempat usaha dari Pemerintah Daerah setempat.

e. Pengusaha harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari Dinas Pelayanan Pajak setempat, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

f. Jika perlu, pengusaha mengusahakan izin berdasarkan Undang-Undang Gangguan (Hinderordonantie Staatsblad 1926-226).

2.    Badan Usaha dan Badan Hukum

    Badan usaha yang berbadan hukum yang akan dibahas terbatas pada bentuk hukum yang lazim dan paling sering menjadi debitur bank antara lain :

     2.1   Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan.

 Persyaratan yang perlu diperhatikan dalam akad kredit bila yang mengajukannya Badan Hukum adalah :

-  Akta pendirian yang dibuat Notaris

-  Pengesahan dari Menteri Kehakiman ( Men KUM HAM )

-  Pengesahan dari Dep Koperasi  ( untuk Badan Hukum Koperasi )

- Pendaftaran pada Panitera Pengadilan Negeri dan Pengumuman pada Berita Negara Republik Indonesia.

-  Identitas Direktur & Komisaris

-  Untuk Yayasan & Koperasi Identitas Pengurus.

-   Berita acara Rapat Anggota/Pengurus

-  Berita acara Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS )

-  SIUP & TDP

-  NPWP.

2 2.   Badan usaha yang tidak berbadan hukum

Bentuk-bentuk badan usaha yang tidak berbadan hukum adalah Perseroan Firma, dan Perseroan Komanditer atau CV.

Dokumen-dokumen yang harus dipersiapkan antara lain :

-  KTP Pengurus ( Direktur ) dan Komanditer ( kalau bentuknya CV )

-  Akta Pendirian .

- NPWP

- SIUP & TDP


F. Pengikatan  Jaminan .

     Pada  undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998, tidak disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh calon debitur/debitur seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 1967. Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1967, secara tersurat jelas ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit kepada siapa pun. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan undang-Undang No. 10 Tahun 1998, keharusan adanya jaminan terkandung secara tersirat dalam kalimat “keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur…” makna kalimat tersebut dalam ketentuan  undang-undang ini hanya mencerminkan apa yang disebut dengan “the Colleteral of credit” , yang kemudian didalam praktek bisnis perbankan  ditafsirkan sebagai  agunan /Jaminan.

.Lebih lanjut jaminan atau agunan ini dapat dilihat pada penjelasan Pasal 8 undang-undang tersebut yang menyebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

        Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri ,melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya ( Perjanjian kredit ). Apabila perjanjian pokoknya selesai ,maka perjanjian jaminannya juga selesai , sifat perjanjian yang demikian ini disebut dengan Accessoir yaitu perjanjian yang selalu mengkuti perjanjian pokoknya. Pada dasarnya semua harta benda debitur adalah sebagai jaminan kreditur ( pasal 1131 BW “ Segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun tak bergerak , baik yang sudah ada maupun baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan “  )   dan dengan demikian apabila kreditur  wanprestasi dapat digunakan untuk pelunasan hutang  kelompok ini disebut sebagai kreditur  “ Konkuren “  . sedangkan terhadap beban kredit yang dijamin dengan benda yang dikhususkan sebagai jaminan kredit , kelompok kreditur ini disebut Kreditur Preferen

1. Bentuk-bentuk Pengikatan Jaminan Kredit

Bentuk-bentuk pengikatan jaminan dikelompokkan dalam jaminan perorangan,

jaminan kebendaan untuk benda tetap, benda bergerak dan piutang.

a. Jarninan perorangan.

Jaminan perorangan pengikatan jaminan dilakukan dengan akta penanggungan (borgtocht). Pemberian penanggungan yang dilakukan orang perorangan dinamakan "personal guaranty" sedangkan yang dilakukan oleh perusahaan atau badan hukum dinamakan "company guaranty".Ketentuan tentang penanggungan (borgtocht) diatur dalam buku ketiga tentang perikatan, Bab XVII tentang Penanggungan, Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata.

b.  Jaminan Kebendaan

            Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolute) atas suatu benda teretentu yang menjadi objek jaminan suatu hutang, yang suatu waktu dapat diuangkan bagi pelunasan hutang debitur apabila debitur ingkar janji. Kekayaan tersebut dapat merupakan kekayaan debitur sendiri atau kekayaan orang ketiga yang disendirikan untuk diserahkan sebagai jaminan kredit , yang kemudian dibuat  perjanjian jaminan.

Jaminan kebendaan adalah untuk kepentingan dan keuntungan kreditur ( Bank) , sehingga memberikan hak atau kedudukan istimewa kepada kreditur tersebut,. Kreditur tersebut mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen yang didahulukan dari kreditur lain dalam pengambilan pelunasan piutangnya dari benda obyek jaminan, bahkan dalam kepailitan debitur ia mempunyai kedudukan sebagai kreditur separatis. 

Jaminan kebendaan dengan mempunyai berbagai kelebihan, yaitu sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain sifat absolute dimana setiap orang harus menghormati hak tersebut, memiliki droit de preference, droit de suit, serta asas-asas yang terkandung padanya, seperti asas spesialitas dan publisitas telah memberikan kedudukan dan hak istimewa bagi pemegang hak bagi kreditur ( bank  )

Pengikatan untuk jarninan kebendaan adalah sebagai berikut:



1) Hak Tanggungan

Lembaga Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut: UUHT), disahkan pada tanggal 9 April 1996.

Menurut Pasal 1 ayat (1) definisi Hak Tanggungan adalah:

"Hak jarninan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain."


Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan , yaitu:

a) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 

b) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;

c) Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu;

d) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;

e) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.


Hak Tanggungan memiliki beberapa asas, yaitu:

a) Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan.

Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemu¬kakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Yang dimaksud adalah kreditor yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.

b) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi.

Hak Tanggungan mempunyai sifat yang tidak dapat dibagi¬-bagi, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 UUHT.Maksudnya, Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi (penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHT). Asas ini diambil dari asas yang berlaku bagi Hipotik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1163 KUHPerdata.

Berdasarkan sifatnya yang demikian itu, dengan demikian roya parsial terhadap Hak Tanggungan tidak mungkin dilakukan.

c) Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada.

Menurut Pasal 8 ayat (2) UUHT bahwa kewenangan untukmelakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.

Dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT, dapatditarik kesimpulan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karenanya, hak atas tanah yang baru akan dimiliki oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijamin dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang.

d) Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksud oleh UUHT sebagai "benda-benda yang berkaitan dengan tanah".

Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan bukan saja terbatas kepada benda¬benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (4) UUHT), tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat (5) UUHT).

e) Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari.

Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan Hak Tanggungan dapat membebani pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari. Misalnya benda-benda tersebut baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya), benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman).

Hal ini seperti yang tercantum dalam Pasal 1165 KUHPerdata tentang asas perlekatan, mengatakan bahwa setiap Hipotik meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan.

f) Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian asesor (accessoir).

Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang dinamakan perjanjian induk. Yang dimaksud dengan perjanjian induk adalah perjanjian utang-piutang yang menim¬bulkan utang yang dijamin.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian Hak Tanggungan adalah suatu perjanjian asesor (accessoir).


Dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT berbunyi:

"Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasar¬kan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya."


Pasal 10 ayat (1) berbunyi:

"Bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan."


Pasal 18 ayat (1) UUHT berbunyi:

"Hak tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan."

g) Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada.

Menurut Pasal 3 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk:

1. Utang yang telah ada;

2. Utang yang baru akan ada, tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu;

3. Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbufkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.

Dengan demikian, utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang sudah ada maupun yang belum ada, yaitu yang baru akan ada dikemudian hari, tetapi sudah harus diperjanjikan sebelumnya.

h) Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang.

Pasal 3 ayat (2) UUHT berbunyi:

"Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum".

Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUHT memungkinkan pemberian satu Hak Tanggungan untuk:

1 . Beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan satu perjanjian utang-piutang atau dikenal dengan kredit sindikasi;

2. Beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan beberapa perjanjian utang-piutang bilateral antara masing-masing kreditor dengan debitur yang bersangkutan atau dikenal dengan cross collateral.

i) Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada.

Ketentuan dalam Pasal 7 UUHT menetapkan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Dengan demikian, Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapapun benda itu beralih.

Ketentuan Pasal 7 UUHT merupakan asas yang diambil dari ketentuan yang mengatur tentang Hipotik dalam Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUHPerdata, yang disebut sebagai asas "droit de suite".

j) Di atas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan.

Penegasan dalam UUHT bahwa Hak Tanggungan tidak dapat dilakukan sita, dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.Bila tidak dimuat penegasan seperti itu, dapat menimbulkan perbedaan pendapat yang menyangkut penafsiran atau penemuan hukum.

k) Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang tertentu.

Asas spesialitas yang dianut UUHT terdapat dalam Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) huruf e.


Pasal 8 UUHT berbunyi:

Ayat (1):

"Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan."


Ayat (2):

"Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan."


Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT berbunyi:

"Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan."

Dari uraian pasal-pasal di atas, Pasal 8 UUHT menentukan bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenang¬an untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (Pasal 8 ayat (1) UUHT) dan kewenangan tersebut harus ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan (Pasal 8 ayat (2) UUHT), ketentuan tersebut hanya mungkin terpenuhi apabila objek Hak Tanggungan telah ada dan telah tertentu pula kejelasan tanahnya.

l) Hak Tanggungan wajib didaftarkan.

Asas publisitas Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 13 UUHT.Dalam pasal ini ditentukan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

m) Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu.

Pemberian janji-janji di dalam Hak Tanggungan tercantum dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, seperti yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT'39 yang sifatnya fakultatif, artinya janji-janji tersebut dapat dicantumkan atau tidak.

n) Objek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila debitur cidera janji.

Menurut Pasal 12 UUHT, tidak diperkenankan bagi pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji, sifatnya batal demi hukum.

Larangan pencantuman janji seperti ini adalah untuk melindungi debitur dikarenakan kedudukannya yang lebih lemah diban¬dingkan dengan kreditur agar jangan sampai dirugikan dalam proses perjanjian utang-piutang yang merupakan perjanjian induknya.


o) Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti.

Ketentuan dalam Pasal 6 UUHT memberikan hak kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menjual objek Hak Tang¬gungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Ketentuan dalam Pasal 6 UUHT memberikan hak bagi peme¬gang Hak Tanggungan melakukan parate eksekusi, artinyapemegang Hak Tanggungan tidak perlu bukan saja memperoleh persetujuan, tetapi tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitur. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Ketentuan dalam Pasal 8 UUHT juncto Pasal 25, 33 dan 39 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai atas tanah negara yang menurut sifatnya dapat dipindah-tangankan dan Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dalam Peraturan Pemerintah).


2) H ipotik  ( Jaminan Kapal )

Istilah Hipotik (hypotheek) berasal dari hukum Romawi yaitu hypoteca, artinya adalah penjaminan atau pembebanan.


Hipotik menurut Pasal 1162KUHPerdata adalah:

"Suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan."

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah, disahkan pada tanggal 9April 1996; maka kelembagaan hipotik diberlakukan untuk objek kapal.

Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata, KUHDagang, Undang¬undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Pelayaran, S. 1934 -78 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1985, tata cara pembebanan hipotik atas kapal sebagai berikut:

a) Diadakan perjanjian kredit atau pengakuan hutang (sebagai perjanjian pokok).

b) Diadakan pembebanan hipotik atas kapal (jaminan kredit) dengan ketentuan:

1. Kapal yang akan dibebani hipotik berukuran 20 meter kubik atau lebih.

2. Kapal tersebut adalah kapal Indonesia (pemilik: Warga Negara Indonesia).

3. Kapal tersebut telah didaftar di Kantor Syahbandar setempat. Pendaftaran mana selain berfungsi sebagai tanda nasionalitas Indonesia, juga berfungsi untuk merubah sifat alamiah kapal secara formal (dari benda bergerak menjadi benda tidak bergerak).

Sehingga apabila kapal tersebut belum didaftar, maka masih dalam sifat aslinya sebagai benda bergerak, yang oleh Pasal 1167 KUHPerdata, menegaskan bahwa benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotik.

Dengan pembebanan ini dibuatkanlah akta hipotik kapal yang dilakukan di hadapan pejabat balik nama kapal (overschrijving ambtenaar) di syahbandar, yang kemudian langsung diadakan pendaftaran hipotiknya oleh pejabat syahbandar setempat.

c) Pembebanan hipotik tersebut dibuat harus dengan hadirnya debitur atau pemilik kapal dengan reditur atau bank, dilakukan di Kantor Syahbandar tempat mana kapal tersebut telah terdaftar.



3) Gadai (Pand)

Gadai atau pand merupakan lembaga jaminan kebendaan bagi benda bergerak yang diatur dalam KUHPerdata. Pengertian gadai terdapat dalam Pasal 1150 KUHPerdata, berbunyi:

"Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh orang lain atas namanya dan memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari benda tersebut secara didahulukan daripada kreditur lainnya, dengan kekecualian untuk mendahulul<an biaya lelang, biaya penyelamatan benda setelah digadaikan."


Dari definisi tersebut dapat dilihat beberapa unsur pokok gadai, yaitu:

a. Gadai lahir karena penyerahan kekuasaan atas barang gadai kepada kreditur pemegang gadai;

b. Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitur pemberi gadai atau orang lain atas nama debitur;

c. Barang yang menjadi objek gadai atau barang gadaihanyalah barang bergerak;

d. Kreditur pemegang gadai berhak untuk mengambe pelunasan dari barang gadai lebih dahulu daripad_ kreditur-kreditur lainnya.


Syarat yang utama dalam perjanjian gadai adalah penguasaan benda oleh kreditur (inbezitstelling) dan apabila benda tidak dikuasai ole~ kreditur gadai tersebut batal demi hukum (Pasal 1152 ayat (2 KUHPerdata) dan gadai akan hapus apabila benda objek gadai tersebu¬keluar dari kekuasaan kreditur (Pasal 1152 ayat (3) KUHPerdata), kecualn apabila hilang atau dicuri dari kreditur. Penguasaan benda bergerak oleh kreditur merupakan suatu publikasi kepada umum dan untuk menunjukkan bahwa hak kebendaan berupa gadai atau pand atas benda bergerak tersebut berada dalam tangan kreditur.Sehubungan benda objek jaminan berada dalam tangan kreditur maka kreditur berhak atas ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkannya guna keselamatan benda objek gadai tersebut (Pasal 1157 KU HPerdata).

Perjanjian gadai merupakan perjanjian asesor (accessoir) di mana harus ada perjanjian hutang-piutang sebagai perjanjian pokok atau induknya.

Yang menjadi objek jaminan gadai adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Benda yang tidak berwujud yang dapat menjadi jaminan antara lain adalah surat-surat berharga, saham-saham, obligasi, SBI, SBPU, hak tagih.

4) Fidusia

Secara terminologi, fidusia berasal dari kata "fides" yang berarti "kepercayaan" dan merupakan bentuk lain bagi jaminan atas benda bergerak selain gadai. Fidusia adalah istilah lain bagi lembaga fiduciere eigendom overdracht (FEO) yang berarti penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan.

Lembaga fidusia lahir pertama-tama dari yurisprudensi di Belanda, yaitu dengan dikeluarkannya keputusan oleh Hoge Raad (HR) Belanda tanggal 29 Januari 1929, yang terkenal dengan Bierbrouwerij Arrest.

Adapun pertimbangan hukum dari keputusan Hoge Raad (HR) Belanda yang telah melahirkan suatu lembaga jaminan fidusia adalah:

a) Dengan memperhatikan berbagai ketentuan dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah menentukan bahwa para pihak bermaksud mengadakan perjanjian jaminan atas pinjaman uang sebagai jaminan kebendaan;

Bahwa karenanya maksud para pihak adalah untuk menyerahkan

b) Bahwa karenanya maksud para pihak adalah untuk menyerahkan inventaris sebagai jaminan dan hal ini merupakan daripada perjanjian;

c) Bahwa sebab yang demikian adalah halal;

d) Bahwa perjanjian yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan mengenai gadai juga tidak dengan asas persamarataan kreditur. Tidak bertentangan dengan gadai karena para pihak tidak bermaksud untuk mengadakan perjanjian gadai dan tidak bertentangan dengan persamarataan dari para kreditur karena ketentuan ini hanya berlaku bilamana mengenai barang-barang debitur, sedang dalam hal ini tidak ada barang debitur;

e) Bahwa di sini juga tidak ditemui suatu penyelundupan undang¬-undang;

f) Bahwa perjanjian inipun tidak bertentangan dengan kesusilaan, karena undang-undang memberikan kebebasan sepanjang hal tersebut masih dianggap wajar.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, Hoge Raad (HR) Belanda memutuskan bahwa yang dimaksud oleh para pihak adalah penyerahan hak milik sebagai jaminan dan merupakan titel yang sah.

Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, perjanjian fidusia juga merupakan perjanjian asesor (accessoir) yang tidak mungkin berdiri sendiri tetapi selalu mengikuti perjanjian induk atau pokoknya yaitu perjanjian hutang-piutang.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, tanggal 30 September 1999, pengaturantentang fidusia disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang berkembang.

Hutang yang dijamin dengan lembaga fidusia diatur dalar¬Pasal 1 angka 7.Yang dimaksud dengan hutang dalam hal ini adalah suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakar dalam sejumlah uang, baik secara langsung ataupun secarakontinjen. Karena itu hutang yang dapat dijamin dengan fidusia adalah sebagai berikut:

a) Hutang yang telah ada;

b) Hutang yang akan ada di kemudian hari (kontinjen), tetap telah diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu. Misal- j nya, hutang yang timbul dari pembayaran yang dilakukar oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank;

c) Hutang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saa¬eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untukdipenuhi. Misalnya, hutanr bunga atas perjanjian pokok yang jumlahnya akar ditentukan kemudian.

Objek jaminan fidusia tercantum dalam Pasal 1 ayat (4), Pasa 9, Pasal 10, dan Pasal 20 Undang-undang Nomor 42 Tahur 1999 tentang Fidusia. Benda-benda yang menjadi objek jaminar fidusia adalah sebagai berikut:

a) Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.

b) Dapat benda berwujud.

c) Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang.

d) Benda bergerak.

e) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan.

f) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik.

g) Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

h) Dapat atas satu satuan atau jenis benda.

i) Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda. 

j) Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia. 

k) Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yangmenjadi objek jaminan fidusia.

l) Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek fidusia.

F. Dokumen-Dokumen Kredit 

Di samping perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok dalam setiap transaksi kredit, maka terdapat juga dokumen-dokumen lain yang menyertai, mengikuti atau mendahului perjanjian kredit tersebut. Karena itu, di samping dokumen pokok tersebut, kita dapat memilah-milah berkas dokumen-dokumen lain itu antara lain :

1. Dokumen Pendahuluan

Ada beberapa dokumen yang dibuat sebelum ditandatanganinya suatu perjanjian kredit. Dokumen-dokumen tersebut dapat disebut dengan “Dokumen Pendahuluan”  dan biasanya berisikan data financial atau garis besar data tentang terms dan conditions dari perjanjian kredit yang akan ditandatangani kelak. Dokumen pendahuluan ini sangat bersifat administrative dan biasanya hanya merupakan gentlemen deal saja.

2. Dokumen Jaminan

Ada juga beberapa dokumentasi yang menyertai perjanjian kredit yang dapat kita sebut sebagai “Dokumen Jaminan”.Seluruh dokumen ini secara yuridis by the operation of law (demi hukum) dianggap sebagai dokumen yang “assessoir”.Maksudnya, perjanjian jaminan tersebut merupakan “buntut” dari perjanjian pokok.Sehingga apabila perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit tersebut karena alasan apapun batal atau tidak berlaku secara hukum, maka perjanjian jaminan pun tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.


3. Dokumentasi Legalitas

Ada lagi sejumlah dokumentasi yang dapat kita sebut sebagai “Dokumentasi Legalitas”, yakni yang merupakan dokumen-dokumen “pengaman” yang biasanya non-notarial, dibuat dengan tujuan agar terjaminnya keabsahan dari perjanjian kredit dan pelaksanaannya nanti. Jadi, sejauh mungkin dipastikan bahwa tidak ada hukum atau ketentuan dalam Anggaran Dasar (debitur dan kreditur) yang dilanggar.

4. Dokumen Instrumentalia

Beberapa dokumen yang dibuat dalam hubungan dengan perjanjian kredit hanya bersifat instrumental saja.Karena itu, layaknya disebut “Dokumen Instrumentalia”.Umumnya instrumental dalam hubungan dengan pencairan pinjaman oleh kreditur atau penagihan/pembayaran kembali pinjaman oleh debitur.

Sebagian mengenai jaminandiatur pada bab tersendiri, sedangkan subbab ini hanya menjelaskan macam dan cara pengikatan jaminan tersebut. jaminan yang dapat diikat adalah jaminan berupa benda bergerak dan tak bergerak adalah sebagai berikut.

G. Pengikatan secara Gadai atau Pand

a. Pengertian

Gadai adalah suatu hak kebendaan yang diperoleh seseorang berpiutang (bank) atas suatu benda bergerak milik orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan penguasaan atas bentuk tersebut yang bertujuan untuk mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu daripada kreditor lainnya apabila bentuk tersebut dijual.

Dari definisi di atas secara kongkret dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.

1) Gadai/Pand hanya dapat diadakan atas “benda-benda tidak bergerak”, termasuk surat-surat berharga apabila surat-surat berharga yang menjadi objek gadai diperlukan endosemen atas surat-surat tersebut.

2) Benda yang dibebani gadai/pand harus dikuasai oleh bank.

3) Gadai diadakan harus dengan persetujuan antara bank dengan nasabah pemilikan benda tersebut.

4) Gadai diadakan dimaksudkan untuk menjamin pelunasan kredit bank oleh nasabah.

5) Bank sebagai pemegang gadai berhak terlebih dahulu mendapatkan pelunasan dari kreditor lain apabila barang-barang objek gadai dijual.

6) Bank berhak menahan/menguasai benda-benda yang digadaikan sampai seluruh utang (pokok + bunga + denda-denda, dan biaya lain) dilunasi oleh nasabah.

7) Bank berhak menjual sendiri tanpa melalui kantor lelang benda-benda tersebut apabila diperjanjikan dengan tegas dan hasilnya untuk pelunasan kredit.

8) Bank berhak minta penggantian biaya pemeliharaan benda-benda yang digadaikan kepada nasabah.

9) Akan tetapi, sebaliknya kreditor dapat menuntut bank atas hilangnya atau merosotnya harga benda-benda tersebut apabla hal tersebut terjadi karena kelalaian bank. Oleh karena itu, apabila bank menguasai benda-benda gadai, bank harus menjaga/mengawasi sebaik-baiknya dan mengasuransikan benda-benda tersebut dengan Banker’s Clause untuk menghindari kerugian yang mungkin terjadi.

10) Bank berhak menggadaikan ulang benda-benda yang digadaikan (gadai ulang – her prolongatie).



b. Sifat Pengikatan

Sifat pengikatan tidak disyaratkan dengan akta autentik, tetapi sebaiknya dibuat akta notarisnya agar kekuatan pembuktiannya sempurna, baik terhadap nasabah maupun terhadap pihak ketiga.

c. Surat-surat yang Dikuasai Bank Sehubungan dengan Diadakannya Gadai

Surat-surat yang dikuasai bank sehubungan dengan diadakannya gadai adalah:

1) surat bukti pemilikan asli dari barang-barang yang digadaikan;

2) surat perjanjian gadai itu sendiri;

3) surat kuasa menjaminkan atas nama pemilik barang apabila objek gadai adalah milik pihak ketiga yang dibuat secara notaril;

4) surat kuasa jual yang juga secara notaril, kecuali deposito berjangka atas nama pemohon kredit.

d. Gadai Pand Hapus dalam hal:

1) utang nasabah telah lunas;

2) benda yang dijual menjadi objek gadai dikembalikan kepada pemilik/nasabah;

3) benda yang dijadikan objek gadai menjadi milik bank.


H. Pengikatan secara Fiduciare Eigendoms Overdraft (FEO)

a. Pengertian FEO

FEO ini merupakan suatu bentuk penyimpangan dari gadai/pand dan timbul karena kebutuhan dalam praktik berdasarkan Arrest Hoge Road dengan maksud agar barang-barang yang ijaminkan dapat dikuasai dan dipergunakan oleh nasabah/pemilik barang.FEO adalah suatu perjanjian antara nasabah dan kreditor di mana nasabah menyerahkan hak milik atas barang-barang bergerak kepada kreditor dengan perjanjian bahwa penyerahan tersebut hanya untuk jaminan atas pembayaran kembali uang pinjaman.Dari definisi di atas, secara kongkret dapat dijelaskan antara nasabah dan bank.

1) FEO diadakan atas persetujuan antara nasabah dan bank.

2) FEO hanya dapat diadakan atas barang-baranmg bergerak.

3) Barang-barang sebagai objek FEO tetap dikuasai nasabah berdasarkan kepercayaan.

4) FEO diadakan untuk menjamin pelunasan kredit bank oleh nasabah.

5) Bank berhak menuntut penyerahan barangnya secara fisik dari nasabah.

6) Bank berhak menuntut barangnaya apabila dikuasai pihak lain (bukan nasabah).


b. Sifat Pengikatan

Undang-undang tidak mengatur sifat pengikatannya karena FEO terjadi dalam praktik.Akta pengikatan FEO agar dibuat secara notaril, sedangkan khusus barang-barang yang diikat secara FEO setiap saat dapat diperbarui di bawah tangan yang biasanya menggunakan laporan stok/persediaan.


c. Surat-surat yang Dikuasai bank

Surat-surat yang dikuasai oleh bank adalah:

1) akta pengikat FEO;

2) surat-surat bukti pemilikan asli dari barang-barang objek FEO dalam hal barang-barang tersebut memerlukan tanda bukti pemilikan;

3) Surat kuasa jual atas barang-barang objek FEO yang dibuat secara notariil;

4) Laporan/daftar barang yang telkah diisi dan ditandangani nasabah;

5) Fiduciaire Eigendoms Overdraft (FEO) hapus dalam hal:

a) utang nasabah lunas;

b) barang-barang objek FEO dikuasai nasabah;

c) barang-barang objek FEO musnah.

I. Pengikatan secara Hipotek

1) Khusus Hipotek terhadap kapal

Setelah Surat Kuasa Memasang Hipotek (SKMH) dibuat oleh notaris, maka untuk pemasangan hipotek SKMH itu dengan perjanjian kredit dan berkas-berkas surat kapal dibawa kepada pegawai pendaftaran dan pencatatan balik nama kapal setempat.

2) Setiap Hipotek meliputi segala perbaikan di kemudian hari pada benda yang juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan.

3) Bank berhak mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari para kreditor lain sesuai dengan urutan pemasangan hipoteknya (Hipotek I, II, III, dan seterusnya) apabila barang-barang yang dibebani hipotek dijual.


a. Cara Pengikatan

1) Surat kuasa hipotek (SKMH) dibuat secara notariil.

2) Hipotek dapat diletakkan selain oleh siapa yang berkuasa memindahtangankan barang yang dibebani, yaitu pemilik. Sehubungan dengan itu, bank yang akan membebani suatu barang dengan hipotek harus memiliki surat kuasa memasang hipotek dari pemilik barang.

3) Surat kuasa untuk memasang harus autentik dan hipotek hanya dapat diberikan dengan suatu akta autentik yang didaftarkan pada kantor agraria setempat agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

4) Agar bank dapat menjual barang-barang yang dibebani hipotek, apabila pelunasan kredit oleh nasabah diragukan, perlu adanya klausul kuasa menjual dari pemilik barang yang tercantum dalam SKMH/akta hipotek.

5) Akta hipotek  untuk kapal laut, akta hipotek dibuat oleh syahbandar dan/atau Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

6) Agar bank mendapat pelunasan terlebih dahulu daripada kreditor lainnya, bank harus melaksanakan pemasangan hipotek pertama.

b. Beberapa Klausul dalam Akta Hipotek

Dalam pemberian hipotek, dapat diadakan janji yang bertujuan untuk melindungi kepentingan bank.Janji-janji tersebut harus termuat pula dalam SKMH apabila pembuatan akta hipotek tersebut didahului dengan SKMH. Janji-janji tersebut di antaranya:

1) hak yang memberikan kekuasaan kepada pemegang hipotek/kreditor untuk menjual sendiri (tanpa melalui Pengadilan Negeri) barangnya di muka umum dan mengambil pelunasan utang dari hasil pelelangan tersebut (beding van ein machtige verkoop);

2) tidak akan menyewakan objek hipotek tanpa seizin bank;

3) janji bahwa sertifikat tanah bisa dikembalikan kepada pihak yang melunasi utangnya kepada bank sebagai pemilik jaminan;

4) pembatasan pemilik persil untuk menyewakan persilnya;

5) Beding van nietzoivering, artinya kepada pemegang hipotek pertama diizinkan bahwa pada penjualan barang tidak mungkin hipotek dibersihkan; hal ini hanya berlaku pada jual-beli secara sukarela dan tidak berlaku pada penjualan eksekutorial;

6) Assurantie Beding, yang mana disyaratkan dalam perjanjian hipotek bahwa si pemegang hipotek menerima ganti rugi dari asuransi atas benda yang dihipotekkan, apabila terjadi kerusakan/risiko pada benda tersebut.

I.    Personal/Corporate Guarantee dan Avalis

a. Personal/Corporate Guarantee

Personal/Corporate Guarantee sama dengan istilah jaminan pribadi. Perjanjian dengan pola borgtoht (jaminan pribadi) adalah jaminan pribadi terhadap pembayaran suatu kewajiban/utang di luar penjaminan kewajiban/utang yang timbul karena surat berharga.

Jaminan pribadi tersebut diberikan oleh seseorang sering juga dikenal dengan istilah personal guarantee dan bila diberikan oleh perusahaan sering pula dikenal dengan sebutan corporate guarantee.

Di dalam borgtocht (perorangan maupun perusahaan) dikenal adanya hak istimewa yang diberikan undang-undang kepada penjamin, yaitu hak agar dibuktikan terlebih dahulu bahwa nasabah/nasabah yang dijamin memang benar-benar sudah tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya. Atau dengan kata lain, bila pemberi borgtocht tersebut ditagih untuk memenuhi penjaminannya, tidak secara serta-merta dan otomatis harus memenuhi kewajibannya. Berbeda dengan avalis yang begitu ditagih, yang bersangkutan harus memenuhi kewajiban penjaminannya.

Agar pemberi jaminan pribadi dapat ditagih dan langsung berkewajiban memenuhi penjaminannya, maka dalam surat penjaminannya harus dinyatakan secara tegas bahwa yang bersangkutan melepaskan hak istimewanya tersebut di atas.

Dengan demikian, untuk menjamin suatu kredit tidak dapat dilakukan dengan cara mengaval, tetapi harus dengan cara borgtocht (personal/corporate guarantee).

Dalam hal bank akan menerima borgtocht, hendaknya diperhjatikan hal-hal berikut.

1) Personal/corporate guarantee sebaiknya dibuat dengan akta notaris supaya mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.

2) Diberikan dengan melepaskan hak istimewanya yang dinyatakan secara tegas dalam akta borgtocht tersebut.

3) Utang yang dijam,in jelas identitas dan cara hukumnya serta pasti jumlahnya, demikian pula nilai borgtocht-nya juga harus pasti jumlahnya dan tidak boleh melebihi utang yang dijamin.

4) Bank yakin dengan bonafiditas pemberi borgtocht.


b. Avalis

Aval adalah suatu jaminan yang diberikan oleh pihak ketiga (avalis) terhadap pelunasan pembayaran atas surat berharga (cek, promes) pada saat jatuh tempo surat berharga. Di dalam aval ini, pemilik/pemegang surat berharga dapat langsung meminta pembayaran kepada avalis tanpa adanya keharusan terlebih dahulu meminta pembayaran kepada nasabah karena avalis sama terikatnya dengan pihak yang dijamin.

J.  Harta Gono gini (Harta Bersama) sebagai Jaminan Kredit

a. Ketentuan harta Gono Gini (Harta Bersama)

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 disebutkan ketentuan mengenai harta gono gini suami/istri antara lain sebagai berikut:

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama( Pasal 35 ayat 1).

2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. (Pasal 35 ayat 2)

3) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (pasal 36 ayat 1)

4) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. (pasal 36 ayat 2)

5) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut (pasal 29 ayat 1).

6) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (pasal 29 ayat 2).

7) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (pasal 29 ayat 3).

8) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga (pasal 29 ayat 4).

9) Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing(pasal 37).

Berdasarkan ketentuan di atas, harta yang diperolah selama perkawinan menjadi harta bersama terkecuali ada perjanjian perkawinan secara tertulis yang menyatakan sebaliknya.Terhadap harta bersama, suami atau istri dalam melakukan tindakan hukum harus dengan persetujuan kedua belah pihak dan tidak dapat bertindak sendiri, sedangkan hgarta bawaan suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

K. Harta gono Gini (Harta Bersama) sebagai jaminan Kredit


Berdasarkan ketentuan di atas (butir a), dalam menerima harta bersama sebagai jaminan kredit harus ada persetujuan suami dan/atau istri.Apabila persetujuan tersebut tidak ada, penerimaan/pengikatan sebagai jaminan kredit dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak melalui Pengadilan Negeri.Hal berikut penting diperhatikan ketika menerima harta gono-gini sebagai jaminan kredit.

1) Setiap penerimaan harta gono gini sebagai jaminan kredit harus ada persetujuan kedua belah pihak (suami/istri) tanpa melihat apakah barang-barang tersebut berupa sertifikat/bukti haknya atas nama suami/istri. Harta gono gini ini meliputi harta tidak bergerak maupun harta bergerak seperti kendaraan, perhiasan, dan lain sebagainya.

2) Persetujuan suami/istri di atas harus diserahkan kepada bank untuk setiap penerimaan barang jaminan yang sifatnya pemilikan secara pribadi, kecuali barang jaminan tersebut bukan merupakan harta gono gini.

3) Apabila suami/istri mempunyai lebih dari satu istri, persetujuan tersebut harus diberikan oleh semua istri, baik dalam persetujuan yang dibuat bersama-sama maupun dalam persetujuan secara sendiri-sendiri.

4) Ketentuan butir (1) hingga (3) di atas berlaku juga untuk penjamin bukan nasabah.

5) Persetujuan suami/istri tersebut juga berlaku untuk pemberian jaminan pribadi/borgtocht/personal guarantee.

6) Semua transaksi jual beli/pemindahan hak atas harta gono gini juga harus atas persetujuan suami/istri. Jaminan kredit yang akta jual belinya tidak tercantum persetujuan suami/istri dan belum dilakukan balik nama atas nama pembeli tidak dapat diterima sebagai jaminan kredit.

7) Untuk jaminan atas nama nasabah peroranmgan dan/atau penjamin perorangan yang berstatus janda/duda, perlu diminta juga persetujuan dari anak-anaknya yang sudah dewasa (apabila harta tersebut berupa harta warisan yang belum dibagi/dipecah).

8) Persetujuan suami/istri dan/atau anak-anak yang sudah dewasa seperti dijelaskan pada butir (7) di atas  berlaku pula dalam pemberian SKMH kedua, ketiga, dan seterusnya.

Tata Cara memperoleh Persetujuan Suami/Istri

1) Persetujuan suami/istri untuk menjaminkan harta gono gini perkawinan sebaiknya dilakukan dengan akta notaries di mana suami/istri sekaligus datang ke notaris pada saat dilakukan pengikatan jaminan dan/atau pada waktu pembuatan SKMH/Credit Verband/FEO tanpa perlu dibuatkan akta pesetujuan secara tersendiri.

2) Persetujuan suami/istri dapat juga dibuat secara tersendiri dengan akta notaris di mana suami/istri datang ke notaris, bila istri lebih dari satu, persetujuan dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri.

3) Dalam perstujuan butir 1) dan 2) di atas sekaligus dicantumkan dalam aktanya bahwa mereka adalah istri satu-satunya, sedangkan bila lebih dari satu istri, pernyataan dimaksud tidak perlu dicantumkan.

4) Persetujuan suami/istri untuk pemberian jaminan pribadi/borgtocht/personal guarantee  dapat dituangkan sekaligus dalam akta borgtocht-nya atau dapat dibuat akta persetujuan sendiri.

5) Persetujuan anak-anak ytang sudah dewasa dalam hal nasabah perseorangan dan/atau penjamin perorangan yang berstatus duda/janda tata caranya sama dengan persetujuan suami/istri tersebut di atas.

L.  Pemberian Kuasa

1. Pengertian 

Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan yang dengan persetujuan tersebut, seseorang memberikan kuasa kepada seseorang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pengertian menyelenggarakan suatu urusan adalah melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau menimbulkan suatu akibat hukum. Orang yang telah diberi kuasa (penerima kuasa) melakukan perbuatan hukum tersebut atas nama orang yang member kuasa.

2. Cara pemberian Kuasa

Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum dalam suatu tulisan di bwah tangan bahkan dalam suatu pucuk surat atau lisan. Walaupun pemberian kuasa tak disyaratkan dengan akta autentik/notariil, tetapi sebaiknya apabila bank menerima suatu kuasa dari nasabah atau pihak lain, misalnya kuasa untuk menjual barang jaminan ataupun bila ada pemberian kuasa untuk menjaminkan oleh pihak lain kepada nasabah, pemberian kuasa tersebut dinyatakan dengan akta notaris. Hal tersebut dimaksudkan agar kekuatan pembuktiannya sempurna.


3. Jenis Pemberian kuasa

Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya suatu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segakla kepentingan si pemberi kuasa. Ada tiga jenis pemberian kuasa, yaitu;

a. pemberian kuasa untuk melaksanakan sauatu kepentingan tertentu;

b. pemberian kuasa untuk melaksanakan beberapa kepentingan tertentu;

c. pemberian kuasa secara umum, artinya tidak disebutkan untuk kepentingan tertentu atau pemberian kuasa tersebut untuk segala kepentingan pemberi kuasa.

4. Penggunaan Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi perbuatan pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau untuk meletakkan hipotek di atasnya atau untuk membuat suatu perdamaian, ataupun suatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.

Dari hal di atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa pemberian kuasa oleh pemilik barang kepada nasabah untuk menjaminkan barangnya kepada bank atas fasilitas kredit yang diperoleh harus dinyatakan dengan tegas dalam surat kuasa, bahwa pemberian kuasa yang diberikan itu melaksanakan suatu kepentingan tertentu, misalnya pemberian kuasa untuk menjaminkan, untuk menjual barang jaminan, untuk memasang hipotek pertama, dan sebagainya.

Di dalam pelaksanaan pemberian kuasa tersebut, penerima kuasa berhak untuk menuntut penggantian biaya, pemasangan hipotek, dan lain-lain yang harus diperjanjikan menjadi beban nasabah.


5. Berakhirnya Pemberian Kuasa

Pemberian Kuasa berakhir apabila terjadi hal-hal berikut.

a. Kepentingan yang harus dilaksanakan telah selesai. Pemberi atau penerima kuasa merninggal dunia atau badan hukum bubar dalam hal pemberi dan/atau penerima kuasa perusahaan badan hukum.

b. Pemberi kuasa dicabut kembali oleh pemberi kuasa.

c. Kuasa tersebut dibatalkan/dikembalikan oleh penerima kuasa.

d. Pemberi kuasa atau penerima kuasa pailit atau ditaruh di bawah pengampuan (curatele).

e. Pengangkatan kuasa baru untuk menjalankan urusan yang sama.

Untuk menjaminkan keaman dan kepentingan bank, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa di dalam pemberian kuasa itu, dicantumkan klausul bahwa kuasa ini diberikan dengan tidak dapat dicabut kembali/berakhir dengan alasan apapun maupun berdasarkan undang-undang.

Klausa-klausa yang perlu diperhatikan dalam surat kuasa adalah sebagai berikut.

Apabila pemberian kuasa dicabut oleh pemberi kuasa, saedangkan dalam pemberian kuasa itu ada klausul “tidak dapat dicabut”, pengadilanlah yang akan menentukan masih berlaku atau tidaknya pemberian kuasa tersebut. suatu kuasa dapat dialihkan kepada orang lain bila ada klausa bahwa kuasa tersebut diberikan dengan hak substitusi yang secara tegas disebut surat kuasa tersebut.  Surat kuasa yang diberikan oleh nasabah kepada bank harus ditandatangani oleh orang-orang yang berhak menadatangani perjanjian kredit.Surat kuasa harus dibubuhi meterai dan perlu diperhatikan pembubuhan tanggal yang sesuai di atas meterai tempel yang dimaksud

















BAB 

PENYELESAIAN KREDIT MACET



        Kredit bermasalah merupakan kondisi yang sangat ditakuti oleh setiap pegawai bank karena adanya kredit bermasalah tersebut akan menyebabkan menurunnya pendapatan bank, yang selanjutnya memungkinkan terjadinya penurunan laba. Kondisi kinerja usaha bank yang kurang bagus akan berpengaruh secara menyeluruh terhadap upaya perbaikan kesejahteraan pegawai, pemupukan modal sendiri, pengembangan usaha, dan sebagainya. Oleh karena itu manajemen kredit selalalu berusaha membuat pedoman deteksi dini (early warning system) terhadap setiap perubahan yang terjadi pada kredit nasabah karena kredit menjadi bermasalah tentu melalui suatu proses yang memakan waktu cukup lama (catatan: tidak ada kredit yang tiba-tiba menjadi bermasalah) sehingga manajemen kredit bermasalah harus bersifat antisipatif, proaktif, dan disiplin dalam penanganannya.

Pegawai Bank khususnya yang menanangani bagian kredit  harus ingat bahwa yang namanya  debitur itu adalah orang yang menggunakan setengah dari kecerdikannya untuk memperoleh kredit, sedangkan setengahnya lagi digunakan untuk mengelak membayar angsuran kredit. Praktis tidak tersisa lagi kecerdikanya untuk berbisnis.

Dan biasanya ingatan kreditor jauh lebih baik dari ingatan debitur “ The Creditor has a better memory than the debetor “ , karena itu debitor gampang melupa-lupakan kewajibanya terhadap kreditur membayar hutangnya. ( Munir Fuadi 2002 ; 03 )

Atas dasar pemahaman filosofi inilah untuk menjaga debetor untuk membayar hutangnya maka salah satu fungsi hukum dalam penanganan kredit macet dengan upaya-upaya paksa.

2. Penyelamatan Kredit Bermasalah

Rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan dalam upaya penyelamatan kredit bermasalah jika diperkirakan prospek usaha masih baik adalah dengan cara 3 R, yaitu 

a. Penjadwalan kembali (Reschedulling), yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktunya yang meliputi :

perubahan grace periode;

perubahan jadwal pembayaran;

perubahan jadwal waktu ;

perubahan jumlah angsuran;

b. Persyaratan kembali (Reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat kredit atau persyaratan lainnya, sepanjang tidak menyangkut maksimum saldo kredit, yang meliputi rescheduling dan atau :

perubahan tingkat suku bunga/denda;

perubahan cara perhitungan tingkat suku bunga;

keringanan bunga/denda;

perubahan/penggantian kepemilikan/pengurus;

perubahan /penggantian nama dan atau status perusahaan;

perubahan/penggantian nasabah/novasi;

perubahan/penggantian agunan.

c. Penataan kembali (Restructuring), yaitu perubahan-perubahan syarat-syarat kredit yang meliputi reschedulling, reconditioning dan atau :

penambahan dana bank (suplesi kredit);

konversi seluruh atau sebagian tunggakan bungan menjadi pokok kredit baru;

perubahan jenis fasilitas kredit termasuk konversi pinjaman dalam valuta asing atau sebaliknya;

konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan;

Upaya penyelamatan dengan cara 3 R tersebut di atas dapat dilakukan apabila masih memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :

Debitur menunjukkan itikad yang positif untuk bekerja sama (kooperatif) terhadap upaya penyelamatan yang akan dijalankan.

Usaha debitur masih berjalan dan mempunyai prospek yang bagus.

Debitur masih mampu untuk membayar kewajiban dan jadwalnya.

Debitur masih mampu membayar bunga berjalan.

Adanya kemampuan dan prospek usaha debitur untuk pulih kembali.

Posisi bank akan menjadi lebih baik.

c. Penyelesaian Kredit Bermasalah

Selanjutnya bila usaha penyelamatan dengan 3 R tersebut tidak berhasil dilakukan, harus segera dilakukan upaya penyelesaian agar bank tidak mengalami kerugian dengan cara berikut :


d. Penyelesaian kredit bermasalah secara damai dengan cara :

pemberian keringanan bunga untuk kredit kolekbilitas diragukan dan macet dengan pembayaran lunas ataupun angsuran, yang dalam putusan persetujuan penyelesaian kredit bermasalah dengan keringanan bunga, harus dicantumkan syarat batal dan kembali pada kewajiban sesuai surat utang apabila kewajiban yang telah dijadwalkan tidak dipenuhi dengan tertib;  

penjualan agunan di bawah tangan, yaitu penyelamatan kredit secara damai dengan penjualan agunan di bawah tangan;

penjualan sebagian atau seluruh harta kekayaan debitur atau barang agunan;

penebusan sebagian atau seluruh barang agunan oleh debitur atau pemilik barang agunan.

d. Penyelesaian kredit bermasalah melalui saluran hukum

Apabila upaya penyelamatan/penyelesaian secara damai sudah diupayakan secara maksimal dan belum memberikan hasil atau nasabah tidak menunjukkan itikad baiknya (good will) dalam menyelesaikan kreditnya, penyelesaiannya ditempuh melalui saluran hukum.Penyelesaian melalui saluran hukum harus didasarkan kepada keyakinan bahwa posisi bank secara yuridis kuat dan beban biaya legitasi yang ringan.

Penyelesaian kredit bermasalah melalui saluran hukum dapat dilakukan dengan cara :

penyelesaian kredit melalui Pengadilan negeri;

penyerahan pengurusan kredit macet kepada BUPLN/PUPN;

penyerahan penyelesaian kredit macet melalui kejaksaan;

penyelesaian kredit dengan pengajuan klaim asurans

Kredit macet adalah keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Keadaan yang demikian dalam hukum  perdata disebut wanprestasi/ingkar janji. Ukuran mengenai kemacetan atau tidak macet adalah ditentukan oleh pihak bank sendiri, namun apabila terjadi kemacetan atau debitur tidak sama sekali beritikad untuk membayar lunas hutangnya maka ada beberapa cara penyelesaian: ( Gatot Suparmono 1998, hal 131 )

Penyelesaian diluar Pengadilan

Yaitu melalui perjanjian perdamaian hal ini dibenarkan oleh Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Alternative Dispute Resolution  ( ADR ) / yaitu meneganai Alternative sengketa Umum , dalam pasal 6nya dikatakan bahwa pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul diantara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak.(  Prof Dr Acmad Hasan , MH  Th 2009 hal 5 ) 

Bentuk tertulis ini dapat berupa sebuah perjanjian yang dibuat sebelum terjadi persengketaan diantara kedua belah pihak yang dalam hukum disebut pactum de compromittendo, dimana pihak debitur menyerahkan sepenuhnya atas penyelesaian kredit macet tersebut kepada kreditur dan debitur kemudian membuat suatu perjanjian penyerahan jaminan untuk sebagai kompensasi atas hutang-hutangnya.(  Dr Johanes Ibrahim ,SH .MH  2004 halm 138 ) 

Rumusan Perjanjian Penyelesaian Pinjaman

Perjanjian penyelesaian kredit berdasarkan perdamaian, merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak melalui jalur  non eksekusi. Salah satu rumusan perjanjian penyelesaian kredit yang dibuat secara dibawah tangan seperti tertuang di bawah ini: 

Contoh akta terlampir.


Penyelesaian melalui Parate Eksekusi

Setelah dibuatnya perjanjian tersebut di atas pada umumnya penerapan doktrin Parate Eksekusi ini tidak perlu dijalankan , akan tetapi apabila debitur tidak juga mau menyelesaiakan perdamaian yang dapat melunasi hutangnya maka akan ditempuh eksekusi, dengan menerapkan doktrin Parate Ekxecutie

Parate eksekusi  adalah Eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang Hak Jaminan ( Hak Tanggungan , Fiducia ) tanpa melalui bantuan dan campur tangan Pengadilan Negeri, melainkan hanya berdasarkan bantuan Kantor Lelang Negara saja.

Bahwa dengan demikain pelaksanaan Parate Executie ( Pasal 6 Undang –Undang no 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan AtasTanah Beserta Benda-benda Yang berkaitan Atas Tanah  Jo Pasal 15  Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Fiducia ) merupakan cara termudah dan sederhana bagi kreditor ( bank ) untuk memperoleh kembali piutangnya, mana kala debitur cedera janji dibandingkan dengan eksekusi yang melalui bantuan atau campur tangan Pengadilan Negeri.

B.   Cara-Cara Penyelesian 

Penyelesaian kredit oleh nasabah tertentu tidak selalu dengan pembayaran/pelunasan oleh nasabah sendiri, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini.

1. Novasi/Pembaruan Utang

Novasi terjadi dengan tiga cara, yaitu:

a. apabila seorang terhadap kreditornya mengadakan suatu perikatan baru sebagai ganti perikatan yang lama karena adanya perikatan baru menjadi hapus;

b. apabila nasabah semula digantikan oleh/dengan nasabah baru dan nasabah lama dibebaskan dari utangnya (expromisie);

c. apabila dengan suatu perjanjian yang baru, kreditor (lama) digantikan dengan kreditor baru dan nasabah dibebaskan dari utangnya oleh kreditor baru.

Novasi/pembaruan utang harus dinyatkan dengan tegas dalam suatu perjanjian, sehingga tidak mungkin terjadi sesuatu karena anggapan saja.

Perjanjian novasi tidak disyaratkan harus dengan akta autentik, tetapi sebaiknya dengan akta autentik, terutama novasi karena adanya penggantian nasabah.

Contoh-contoh novasi adalah sebagai berikut:

a. Adanya perjanjian kredit yang baru untuk nasabah yang sama, di mana perjanjian kredit yang baru menghapuskan perjanjian yang lama sebagai bukti adanya utang nasabah.

b. Kedudukan A sebagai nasabah terhadap bank sebagai kreditor digantikan oleh nasabah (yang baru) B dan kepada A dinyatakan tidak berutang lagi kepada bank.

c. A (nasabah) berutang kepada B (kreditor). C menggantikan kedudukan B sebagai kreditor.

Untuk itu dibuat perjanjian antara A, B dan C, sehingga hak menagih beralih dari B ke C dan A dibebaskan dari kewajibannya terhadap B.


2. Subrogasi/Penggantian Kreditor

Subrogasi terjadi apabila ada penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang mengadakan pembayaran.

Kongkretnya adalah sebagai berikut:

a. Bank/kreditor menerima pembayaran dari pihak ketiga dan pihak ketiga itu mewnggantikan semua hak yang dipunyai bank/kreditor terhadap nasabah. Penggantian itu/subrogasi harus dinyatakan dengan tegas/dengan suatu perjanjian dan dilakukan pada sat pembayaran oleh pihak ketiga tersebut.

b. Nasabah meminjam sejumlah uang kepada pihak ketiga untuk melunasi kreditnya dan pihak ketiga tersebut menggantikan hak-hak dari bank/kreditor. Subrogasi demikian baru sah apabila, baik perjanjian pinjaman uang maupun tanda pelunasan, dibuat dengan akta autentik dan baru diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang tersebut.

Hal yang penting bagi bank dengan adanya subrogasi ialah adanya pelunasan kredit, baik oleh pihak ketiga maupun oleh nasabah sendiri dan yang digunakan untuk pelunasan adalah peminjaman dari pihak ketiga.


3. Cessie Piutang

Cessie piutang adalah penyerahan piutang oleh nasabah kepada bank dengan akta autentik atau di bawah tangan yang dapat digunakan oleh bank sebagai salah satu cara pelunasan kredit nasabah.

Utang nasabah belum dapat dikatakan lunas selama tagihan terhadap pihak ketiga belum direalisasi.

Syarat-syarat cessie adalah:

a. bentuk akta autentik atau di bawah tangan, tetapi sebaiknya dibuat autentik;

b. kepastian jumlah piutang harus ditentukan tegas;

c. bukti/dasar piutang;

d. tanggal penagihan;

e. pemberitahuan; atau

f. persetujuan/pengakuan nasabah asal/tertagih secara tertulis.

Untuk surat-surat berharga atas unjuk dilakukan dengan penyerahan surat dimaksud. Sementara itu, untuk surat-surat atas nama dilakukan dengan penyerahan suratnya disertai endosemen.

Pengikatan cessie piutang sebaiknya dibuatkan dengan suatu akta notaris dengan membuat hal-hal sebagai berikut.

a. Piutang-piutang tersebut hanya dapat diperhitungkan setelah hasil penagihan dipenuhi.

b. Bank tidak bertanggung jawab atas piutang-piutang yang tidak dapat ditagih dengan alas an apapun.

c. Daftar piutang tersebut harus diusahakan untuk diadakan spesifikasi selengkapnya seperti nama yang berutang, jumlah piutang, dan lain-lain.

d. Harus dimintakan persetujuan dari si berutang bahwa yang bersangkutan akan melakukan pembayaran hanya kepada bank.

e. Harus diteliti dan benar adanya dasar hukum yang kuat dari piutang yang akan di-cessie-kan dan jumlahnya harus pasti.

f. Sebelum akta cessie ditandatangani, perlu dibuat akta notaris perjanjian penyelesaian utang antara bank dengan nasabah-nasabah yang dalam satu pasalnya atau klausulnya menyeburkan cessie piutang tersebut. Hasilnya baru diperhitungkan untuk menyelesaikan utang nasabah-nasabah apabila hasil tagihan benar-benar telah secara efektif masuk dalam rekening nasabah-nasabah yang ada dalam administrasi bank.

g. Akta cessie diusahakan notariil dan harus ditandatangani oleh bank, nasabah-nasabah, dan disetujui serta ditandatangani oleh tertagih.


4. Kompensasi/Perjumpaan Utang

Kompensasi/perjumpaan utang adalah suatu keadaan di mana dua orang saling berutang satu sama lain, sehingga antara mereka terjadi suatu perjumpaan dengan mana utang-utang antara mereka tersebut dihapuskan. Misalnya, A berutang kepada bank Rp. 50 juta karena suatu pinjman uang. Namun, sebalinya A menjual barang-barang seharga Rp. 20 juta kepada bank sebagai kompensai. Utang A dengan sendirinya berkurang  Rp. 20 juta.

C.  Kepailitan

1. pengertian

Kepailitan adalah suatu keadaan di mana seorang nasabah telkah berhenti membayar utang-utangnya yang harus dinyatakan dengan putusan hakim Pengadilan Negeri.

Keadaan pailit dapat diminta oleh nasabah sendiri oleh seorang atau lebih kreditornya atau oleh kejaksaan dalam hal kasus pidana.

Maksud dan tujuan seorang nasabah dinyatakan dalam keadaan pailit (atau diadakan peraturan kepailitan) ialah untuk mencegah para kreditornya berebutan dalam penagihan utang-utangnya.

Hal yang perlu dilaksanakan oleh bank apabila mengetahui dari berita Negara atau surat-surat kabar dan/atau surat penagihan dari Pengadilan Negeri (Relaas) bahwa:

a. adanya penyitaan oleh Pengadilan Negeri.

b. Adanya barang yang dijaminkan oleh nasabah pailit.

c. Adanya permohonan/keputusan pailit atas nasabah ialah: “Bank segera menghubungi Pengadilan Negeri dan/atau Balai Harta Peninggalan setempat dan memberitahukan atau mengajukan klaim bank atas nasabah yang bersangkutan. Hal tersebut perlu dilakukan agar bank juga dapat memperoleh pelunasan utang/pembayaran utang nasabah dari hasil penjualan barang-barang/kekayaan si nasabah pailit.”


2. Beberapa istilah yang Timbul dengan Adanya Pernyataan Pailit

a. Hakim Komisaris

Pada saat seorang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri, maka diangkatlah seorang Hakim Komisaris yang bertindak sebagai pengawas dalam penyelesaian kepailitan nasabah tersebut serta mengawasi juga agar kepailitan berjalan dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

b. Balai harta Peninggalan (BHP)

BHP adalah badan yang bertindak sebagai kurator (curatrice) dalam kepailitan nasabah dan melaksanakan tindakan-tindakan pengurusan (behhersdaden) dalam hal diperlukan tindakan-tindakan penerusan perusahaan nasabah jika ada.

c. Accord

Accord (perdamaian) adalah suatu rencana penyelesaian kepailitan yang diajukan oleh nasabah kepada para kreditor, yang harus disahkan oleh Pengadilan Negeri (homologatie accord).

d. Insolventie

Bila dalam rapat verifikasi tidak diajukan suatu accord atau suatu accord telah diajukan oleh nasabah dalam keadaan pailit, tetapi ditolak rapat verifikasi, boedel (harta) dengan sendirinya berada dalam keadaan insolventie (artinya keadaan si berutang sudah sungguh pailit atau tidak mampu mambayar utangnya).

e. Likuidasi

Sebagai akibat keadaan insolventie tersebut, maka oleh Balai Harta Peninggalan boedel kemudian dijual di depan umum. Dari hasil poenjualan ini, setelah dikeluarkan ongkos-ongkos yang diperlukan, maka dibuatkan suatu daftar pembagian di mana ditentukan bagian yang dapat diterima dari hasil penjualan oleh masing-masing kreditor.Isi daftar pembagian ini harus disahkan oleh Pengadilan Negeri.

f. Rapat Verifikasi

Rapat verifikasi adalah pertemuan-pertemuan yang diadakan antara para kreditor, nasabah, dan Hakim Komisaris di bawah pimpinan Pengadilan Negeri untuk memelihara dan memisahkan piutang-piutang (melakukan verifikasi) dan untuk mendapatkan daftar pembagian (Uitdelingslijst).

g. Boedel Pailit

Harta terpailit, baik yang sudah maupun yang akan diperoleh, akan diperhitungkan untuk pemenuhan utang/kewajiban terpailit.

h. Daftar Pembagian (Uitdelingslijst)

Daftar pembagian adalah salah satu daftar yang ditetapkan dalam rapat verifikasi dalam suatu keadaan pailit atau pada suatu accord, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai masing-masing jumlah yang dibagikan kepada para kreditor.

i. Dicabut/berakhirnya kepailitan

Kepailitan berakhir/dicabut karena; 

a) kekurangan hasil-hasil;

b) adanya homologatie accord (perdamaian yang telah disahkan oleh pengadilan);

c) sesudah daftar pembagian diperoleh kekuatan mengikat dari Pengadilan Negeri.


A. Penyitaan (Beslag)

1. Pengertian

Penyitaan atau beslag adalah tindakan hukum yang dilakukan atau dilaksanakan oleh yang berwenang (antara lain pengadilan, BUPLN, polisi, kejaksaan) atas barang-barang seseorang dengan tujuan untuk menjamin hak-hak atau piutang-piutang seorang penggugat (dalam perkara perdata) atau untuk mendapatkan suatu bukti (dalam perkara pidana).

2. Jenis-jenis Penyitaan

a. Penyitaan Revendicatoir

Penyitaan revendicatoir adalah penyitaan atas suatu barang yang dilaksanakan atas permintaan pemilik barang tersebut yang berada pada kekuasaan orang lain, sebelum dan/atau dalam rangka pemilik tersebut mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri untuk mendapatkan kembali barang miliknya.

Hal seperti ini dapat terjadi atas barang-barang jaminan kredit, yang ternyata barang jaminan kredit merupakan milik pihak ketiga yang dijaminkan nasabah kepada bank tanpa persetujuan yang tegas/pasti dari pihak pemiliknya.

Untuk itu, perlu diperhatikan surat kuasa menjaminkan dari pemiliknya kepada nasabah apabila barang jaminan merupakan milik pihak ketiga.

b. Penyitaan Conservatoir

Penyitaan Conservatoir adalah penyitaan atas barang dengan tujuan agar barang-barang tersebut tidak dihilangkan selama perkara yang bersangkutan sedang berlangsung. Hal tersebut dapat diajukan oleh bank apabila ada dugaan barang-barang jaminan yang dikuasai nasabah akan disembunyikan, dipindahtangankan ataupun lain-lain perbuatan dengan maksud untuk menarik barang-barang tersebut dari kekuasaan kreditor/bank.

c. Penyitaan Executorial

Penyitaan executorial adalah penyitaan atas suatu barang sebagai pendahuluan suatu eksekusi/suatu pelaksanaan keputusan kepailitan yang telah memperoleh kekuatan hukum/pasti dengan tujuan agar barang-barang tersebut kemudian akan dilelang di depan umum.

d. Rijden Beslag

Rijden beslag adalah penyitaan atas kendaraan yang meskipun perkaranya masih berlangsung dan kendaraan dalam keadaan disita, tetapi boleh digunakan oleh pemiliknya.Misalnya, kendaraan nasabah disita sehubungan perkara penyelesaian kreditnya, tetapi kendaraan tersebut masih dapat digunakan oleh nasabah.

3. Perlawanan (Verzet)

Perlawanan (verzet) adalah suatu upaya yang diajukan kepada Pengadilan Negeri untuk memperthankan suatu hak. Tuntutan perlawanan demikian dimajukan dan diperiksa dengan cara yang sama seperti cara bagi gugatan biasa.

Perlawanan (verzet) diajukan kepada pihak-pihak berikut.

a. Keputusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan dengan tanpa hadirnya tergugat, walaupun untuk itu tergugat telah dipanggil dengan sempurna.

b. Penyitaan oleh yang terkena sita dengan alasan tertentu, misalnya karena yang disita untuk sementara itu telah memenuhi keputusan.

c. Penyitaan oleh pihak ketiga dengan alasan:

1) barang yang terkena sita adalah miliknya;

2) kepentingan pihak ketiga tersebut dirugikan.

Bagi bank terutama yang sering terjadi dan harus dilakukan adalah perlawanan b di atas, misalnya karena suatu hal hingga barang jaminan nasabah-nasabah disita dan akan dilelang oleh pengadilan/BUPLN melalui Kantor Lelang Negara.

Dalam hal bank mengetahui hal demikian dari iklan atau suatu berita lain, hendaknya bank segera mengambil langkah-langkah berikut.

a. Bila nasabah belum diserahkan kepada BUPLN, bank mengajukan surat permohonan pembatalan penyitaan dan/atau penundaan pelelangan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan sebelum perlawanan (derden verzet/perlawanan pihak ketiga) diajukan dengan disertai data yang mendukung bahwa barang yang disita masih menjadi milik bank.

b. Bila nasabah telah diserahkan kepada BUPLN, bank menghubungi BUPLN untuk segera mengambil langkah-langkah pengamanan.


B. PUPN/BUPLN

1. Pengertian

a. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)

Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) adalah suatu panitia inter-departemental yang terdiri dari wakil-wakil dari Departemen Keuangan, Kejaksaan, Bank Indonesia dan pemerintah daerah tingkat I, yang mempunyai tugas:

1) membahas pengurusan piutang negara, yaitu utang kepada negara yang harus dibayar kepada instansi pemerintah/badan-badan usaha negara yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik negara, baik pusat maupun daerah.

2) melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang atau kredit-krdit yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah/badan-badan usaha Negara/bank-bank pemerintah baik di pusat maupun daerah.

b. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) adalah badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan pengurusan piutang Negara dan lelang, baik yang berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan tugas PUPN maupun pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan Menteri keuangan dan peraturan perundangan yang berlaku.



2. Wewenang dan Fungsi

a. PUPN dalam melaksanakan tugasnya mempunyai wewenang:

1) mengurus piutang negara yang telah macet;

2) menerbitkan pernyataan bersama;

3) menerbitkan surat keputusan penetapan jumlah piutang negara;

4) menerbitkan surat paksa;

5) menerbitkan surat perintah penyitaan;

6) menerbitkan surat perintah penjualan barang sitaan;

7) menerbitkan surat perintah pengangkatan sita;

8) menerbitkan surat keputusan pernyataan lunas piutang negara;

9) menerbitkan surat penetapan piutang negara yang untuk sementara tidak dapat ditagih;

10) menerbitkan surat perintah penyanderaan

b. BUPLN dalam melaksanakan tugasnya berfungsi di antaranya:

1) merumuskan kebijakan teknis dan pembinaan di bidang pengurusan piutang negara dan lelang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2) merumuskan rencana dan pelaksanaan registrasi, verifikasi, poembukuan, penetapan, penagihan, dan/atau eksekusi terhadap pengurusan piutang negara;

3) merumuskan rencana dan pelaksanaan pelelangan serta penggalian potensi lelang;

4) memberikan pertimbangan mengenai usul penghapusan piutang negara berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

5) menangani teknis yuridis dan operasional atas pelaksanaan tugas BUPLN sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Perbedaan PUPN dan BUPLN


PUPN BUPLN

1. Suatu panitia yang beranggotakan sebanyak 5 atau 6 orang

2. Menerima honorarium

3. Membuat keputusan yang bersifat yuridis seperti:

a. serah terima piutang

b. penerbitan pernyataan bersama

c. penerbitan surat perintah sita 1. suatu badan yang berada di bawah Departemen Keuangan

2. menerima gaji sebagai Pegawai Negeri Sipil

3. pelaksanaanpemanggilan nasabah, penyitaan, dan pelaksaan tugas administrasi


Butir 3 di atas dianalogikan dengan suatu penyerahan penyelesaian kredit macet kepada pengadilan negeri.PUPN adalah Majleis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara kredit macet tersebut, sedangkan BUPLN adalah panitera yang melaksanakan perintah/putusan majelis hakim dimaksud.Dengan demikian, hubungan hukum yang terjadi sehubungan dengan penyerahan pengurusan suatu piutang oleh bank adalah antara bank dengan PUPN, bukan dengan BUPLN.





BAB 

PENYELESAIAN  KREDIT BERMASALAH 

PASKA  PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 

( Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX /2011 )

I. Eksistensi Subjek hukum dan Hak Konstitusi

      Pada akhir September 2012  Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelesain piutang kredit macet bank badan usaha milik negara ( BUMN )dapat dilakukan secara langsung atau bernegoisasi dengan debitor tidak perlu lagi penyelesian piutang itu melalui PUPN, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh tujuh debitor PT BNI ( Persero )  uji materi ini terhadap pasal 4 , pasal 8 dan Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara  ( PUPN ) menyatakan bahwa piutang Badan Usaha Milik Negara adalah bukan piutang negara. Putusan MK  bukan hanya sebagai titik tolak ,tetapi juga sebagai tonggak petunjuk telah melampui hak konstitusi rakyat, dan juga menimbulkan konsekuensi serius  tentang “ makna “  dan hakekat “  piutang negaran perbankan.

     Putusan Mahkamah Konstitusi  tersebut telah menempatkan “ makna” (signifikansi) Piutang negara perbankan ( bank BUMN )  pada jaringan makna yang ia bentangkan sendiri.   Menurut pendapat Gertz ,  Jika kita ingin melakukan apa yang ingin dilakukan oleh subjek hukum (para debitor bank “pesero “ BUMN ), yaitu ingin menjelaskan keberadaanya /eksistensinya ( sebagai debitor bank BUMN ), seharusnya harus menggambarkan apa yang dimaksud oleh undang-undang, bukan dengan apa yang sebenarnya terjadi pada subjek hukum ( debitor ) . 

    Apa yang sebenarnya terjadi pada debitor ( Pemohon hak uji materi ) dengan apa yang sebenarnya dimaksud undang-undang , adalah dua variabel “ keberadaan hukum ( eksistensi ) pemohon dan keberadaan hukum ( eksistensi )  undang-undang yang dapat menuntun kearah pemahaman “makna “   prinsip –prinsip umum peraturan per undang-undangan. Prinsip-prinsip ini menggambarkan sebuah karakter undang-undang. Misanya  Undang-Undang yang lebih kuat   , undang-undang yang lebih lemah, undang-undang yang bersifat khusus, undang-undang yang bersifat umum, undang-undang yang lama  dan undang yang baru. Menurut Vander Viles L.C bahwa suatu regulasi /putusan uji materi perlu memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan yang baik, yaitu berupa asas penting dalam mewujudkan kepastian hukum antara laian :

1. Lex Superiori Derogat Legi Inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya mengalahkan peraturan perundang-undangan lebih rendah.

2. Lex Posteriori Derogat Legi Priori, peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama.

3. Lex Specialis Derogat Legi generali , peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengalahkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.     


II.  Eksistensi dan Prinsip Peraturan Perundang-undangan.

       Eksistensi  sebagai debitor bank milik negara , adalah keberadaan ( pemohon ) dalam ruang dan waktu norma itu berlaku. Yaitu ketika dia berstatus sebagai debtor bank  BUMN , bukan debitor pada umumnya. Persoalan yang diajukan oleh debitor adalah bahwa pemohon ( debitor Bank BUMN )  mendapat perlakuan yang berbeda ( diskriminatif ), mengenai Restrukturisasi dan Penghapusan hutang,  yang ia bandingkan ketika eksistensi / keberadaannya sebagai debitur bank milik perorangan/swasta. Restrukturisasi dan Haircut Bank BUMN diatur melalui  Kebijakan Pemerintah sedangkan  Restrukturisasi dan Haircut Bank Non BUMN melalui kebijaksanaan masing-masing bank. Inilah pemicu adanya pelanggaran hak konstitusi para debitor bank BUMN sebagaimana hak konstitusinya yang diberikan dalam pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945 .  

 Dalam batas Penalaran yang wajar  dua Eksistensi ( debitor Bank BUMN dan Non BUMN ) yang berlainan dalam status yang sama ( sama-sama debitor ) mendapat perlakuan berbeda perihal restrukturisasi dan Haircut, bilapun ada upaya perlakuan  hak konstitusi yang sama, tapi karena  keberadaan yang berbeda ,  Siapa yang dapat disalahkan ;  norma ataukah keberadaan orang itu.

a. Eksistensi sebagai debitor  Bank milik Negara dan  eksistensinya sebagai debitor Bank milik swasta , adalah  fakta yang tak terbantahkan,  adagium hukum mengatakan  “ Res Ipsa Loquitor “  faktanya telah berbicara sendiri.  Contoh lainnya tentang  fakta yang tak terbantahkan   yaitu : frasa  “ Pegawai “ ,  pegawai negeri dan pegawai swasta walapun kedua-duanya pegawai , tapi eksistensinya berbeda , keberlakuan hukumnya berbeda , masing-masing tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku khusus, Bila  pegawai negara diberi gaji ke 13 , selaanjutnya ada tujuh orang  pegawai swasta mengajukan permohonan ke pada Mahkamah Konstitusi  dengan dalaih adanya perlakuan yang berbeda / diskriminasi , apakah dapat dikatakan  bahwa hak konstitusinya dilanggar sebagaimana hak konstitusinya yang ditetapkan dalam pasal 28 D ayat (1) yang menyebutkan “ setiap orang berhak atas pengakuan,jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.  

b. Hak konstitusi pasal 28 D  UUD 1945 , yang disebutkan diatas , dimaksudkan oleh konstitusi  dalam kapasitas sebagai orang dan keberadaaanya (eksistensi)  didalam hukum  . yang tidak bisa dilepaskan dari asas hukum  Res Ipsa Loquitor  , adalah  fakta tentang  “eksistensi kehidupan” yang harus dipahami oleh para pembuat undang-undang.  Demikian halnya dengan badan usaha milik negara  ( BUMN ) badan ini dilahirkan dan didirikan  oleh Negara,   sedangkan badan usaha milik perorangan dilahirkan  dan didirikan oleh orang-orang ,  ditinjau dari  Hak kepemilikan dan hak  waris atas harta kekayaannya satu sama lainnya berbeda. Hak kepemilikan dan hak waris atas harta kekayaan BUMN adalah Rakyat Negara Republik Indonesia ,  berbeda jauh  dengan hak kepemilikan dan hak waris atas harta kekayaan  badan usaha milik swasta yang dimiliki oleh perorangan.  Keberadaan (eksistensi )   kedua subjek itu  adalah sebuah fakta hukum yang tidak terbantahkan. 

c. Membaca pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji meteril Undang-Undang Nomor 49 tahun 1960 sebagai berikut :

“  Menimbang bahwa berdasrkan uraian diatas ,dalam penyelesian piutang  bank BUMN ,masih terdapat dua aturan yang masih berlaku  yaitu UU Nomor 49 /    1960 dan UU Nomor 1 /2004 jucto UU BUMN dan UU PT,sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi . Demikian juga dengan adanya ketentuan penyerahan piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan diserahkan ke PUPN, menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitor bank BUMN dan debitor Bank selain BUMN sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang terkandung dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Selain itu berdasarkan prinsip bahwa undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama  ( lex posteriori derogat legi priori ) dan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah ( Lex superioriderogat legi inferiori ).


d. Pertimbangan hukum yang diurakan diatas ada dua prinsip undang-undang yang diterapkan akan tapi tidak taat asas  :1

1. Lex posteriori derogat legi priori  , diterapkan pada eksistensi Undang- Undang yag bersifat khusus yaitu UU No 49 /Prp/ 1960 terhadap  Undang-Undang Yang berlaku umum seperti UU PT , UU Keuangan Negara , UU BUMN dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara.

2. Lex Superiori derogat legi inferiori , diterapkan pada eksistensi undang-undang yang berlaku umum yaitu UU nomor 1 /2004 terhadap peraturan dibawah undang-undang yaitu berlakunya Peraturan Pemerint ah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengahapusan Piutang Negara /Daerah sebagaimana telah diubah dengan peraturan pemerintah Nomor 33/Tahun 2006, tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sepanjang menujuk pelaksanaan UU nomor 49/prp/tahun 1960.

Sinkronisasi penerapan prinsip perundang-undangan tersebut diatas menunjukan Putusan Mahkamah Konstituri   tidak taat azas.  

Prinsip bahwa Undang-Undang yang khusus menghapuskan undang-undang yang berlaku umum yaitu Penegakan hukum penyelesian piutang negara dilakukan oleh suatu  badan khusus ( PUPN ) tidak bisa disetarakan  dengan prinsip undang-undang Undang-Undang yang baru menghapuskan  undang-Undang yang lama. UU BUMN, UU Perbendaharaan Negara.UU Perseroan Terbatas. UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas , memang Undang-Undang Baru , tetapi masuk dalam  rumpun undang-undang yang bersifat umum,sedangkan  Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang PUPN memeang benar undang-undangnya adalah undag-undang lama, akan tetapi undang-undang ini masuk dalam rumpun undang-undang bersifat khusus. Penalaran hukum ( ratio juridis ) nya prinsip undang “ Lex Posteriori Derogat Legi Priori “ bisa digunakan  apabila Undang-Undang yang sifatnya sama ( bersifat khusus ) yaitu UU PUPN ini dilakukan amandemen dengan undang-undang yang memiliki karakter sama ( bersifat khusus ).   

 III.    Makna  “frasa “

           Amar Putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :

1. Frasa “atau Badan-badan Negara” yang dimaksud dalam Pasal 8 peraturan ini “dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960,  tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124 ) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 ) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Frasa “atau Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 ) adalah bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.

4. Frasa “atau Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 ) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

5. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 ) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

6. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor terhadap 

7. Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 ) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8. Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124 ) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 Makna “ frasa-frasa “ diatas  adalah  penegasan  “ integritas “ negara terhadap harta kekayaan negara yang berupa “ uang “  yang berada dan dikelola oleh badan-badan tersebut diatas adalah  sebagai  perlindungan hak konstitusi rakyat terhadap kegunaan dan manfaat pengelolaannya , yaitu untuk kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan para debitornya, akan tetapi  Mahkamah Konstitusi justru menafsirkan sebaliknya,   fakta empiris   yang tak terbantahkan itu , menurut Mahkamah Konstitusi adalah bertentangan dengan  konstitusi.  

Penegaskan tentang  “integritas “ negara atas  kekayaanya,  baik yang berada di badan-badan/badan-badan negara atau  baik secara langsung dan tidak langsung dikuasai negara  . adalah  pasal –pasal yang paling ditakuti  oleh debitor bank BUMN . Konsekwensi apa  yang terjadi pada pemohon  dengan apa yang dimaksud oleh undang-undang, bukan suatu sintesa dua varibel yang dapat menggambarkan secara mendalam telah terjadi pelanggaran hak konstitusinya sebagai warga negara telah dirugikan. 

Timbulnya diskriminasi hukum dalam kausus uji materi ini adalah persoalan karena keberadaan hukum pemohon sebagai debitor Bank BUMN medapat perlakuan yang berbeda  dengan keberadaan hukum  warga negara lainya sebagai debetor Bank Milik Swasta.   sebagaimaa diatur oleh  pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 ,yaitu : setiap orang berhak atas pengakuan ,jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum , dengan argumennya  yang sangat bagus  (argumen  poin 42 )  , sebagai berikut 

“ bahwa demi terpenuhinya hak konstitusi para pemohon dan para debitor lainya agar mendapat perlakuan yang sama ,serta kepentingan masyarakat dunia yag berhubungan langsung dengan perbankan dalam hal ini bank BUMN , yang sudah terpuruk karena krisis moneter/ekonomi yang mungkin jumlahnya mencapai ratusan ribu, dan demi bangkitnya kembali perekonomian nasional ,demi terciptanya lapangan kerja baru, demi menggeliatnya dunia usaha serta  demi  adanya pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan nasonal maupun pendapatan negara dari sektor pajak , juga agar bank-bank  BUMN  ( bank Badan Usaha Milik Negara ) dapat mempunyai kebebasan dalam hal penanganan piutang perseronya  guna menyelesiakan piutang bermasalahnya. Faktor  penghambatnya   adalah pasal 4, pasal 8, pasal 10, pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49/Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara ( PUPN ).  Sehingga para pemohon ( debitur BUMN  ) berkeyakinan kalau  frasa –frasa yang dimaksudkan didalam pasal-pasal  itu dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan tidak mengikat debitor Bank BUMN , akan memulihkan hutangnya melalui retrukturisasi  atau  dengan  penghapusan hutang ( hair cut ). Menurut asumsi para pemohon  ( para debitor  Bank BUMN ) kalau itu dilakukan oleh bank BUMN , niscaya  ekonomi Indonesia akan bagkit,  dapat membuka lapangan pekerjaan baru, menggeliatnya dunia usaha dan meningkatkan pendapatan nasional  ?  alahualam .


IV . Sistem Penegakan Hukum Piutang Negara.

Undang-Undang Nomor 49/Prp tahun 1960 adalah sebagai suatu sistem penegakan hukum yang  mengakui suatu badan khusus ( PUPN ),  Identik dengan badan khusus lainya seperti KPK,  konsep hukum dilahirkannya badan khusus ini (PUPN )  berpegang pada prinsip undang-undang yang bersifat “ lex spesialis “, dalam kontek penegakan hukum piutang negara .   Penagihan hutang-hutang tak tertagih dari badan-badan /badan-badan negara yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara, membutuhkan instrumen tindakan hukum yang dapat melakukan penyelesaian  secara efektif dan efisien.   Dalam kajian hukum responsif  menurut pendapat Philippe Nonet -Selznick , instrumen tindakan hukum untuk  dapat melakukan penyelesian secara efektif dan efisien , dapat ditempuh melalaui :

1. Tindakan  hukum represif ( dibuat suatu undang-undang yang bersifat khusus yang mengandung unsur  hukum materil dan hukum formil, dan penyelesiannya melalaui badan khusus ) .

2. Tindakan hukum otonom atau prosedural,  yaitu semua penyelesaian hutang tak     tertagih harus melalaui pengadilan .

3.   Tindakan hukum responsif  yaitu dengan cara bernegoisasi atau dinegoissasikan kembali seperti Restrukturisasi/ Hair Cut melalui kebijaksanaan yang berlaku dimasing-masing bank . 

Akan tetapi  pilihan tindakan - tindakan hukum itu menurut Nonet  tergantung pada konteks , dan kondisi negara . Ketika kondisi negara dihadapkan pada kredit macet dan kasusu gagal bayar  pada bank BUMN berpotensi merugikan negara, maka yang diperlukan oleh pemerintah adalah sebuah badan khusus yag dapat menyelesiakan secara efektif dan efisien. 

 Jadi Konteks “ makna “  frasa-frasa  , yang terdapat dalam undang-undang nomor 49 /Prp 1960 , yaitu dalam konteks tindakan hukum yang efektif dan efisienn  terhadap perbuatan-perbuatan hukum yag berpotensi  merugikan keuangan negara. sehingga persoalan Restrukturisai dan Penghapusan hutang , tidak dapat dilepaskan dari konteks perbuatan hukum yang berpotensi merugikan negara. Maka dikeluarkanlah  kebijakan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaiman telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara /Daerah .


IV.  Diskripsi Putusan Mahkamah Konstitusi. 

Mengutip pendapat Geertzs   sebagai  “deskripsi yang mendalam “ ( thick description ) kita tidak boleh menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi tapi apa yang dimaksudkan oleh orang ( undang-undang ) dengan apa yang terjadi. ( lihat Geertzs dalam Thick Description -Toward an Interpretative Theory of Culture) .  Contoh tentang Piutang negara didalam undang-undang nomor 49 tahun 1960 ( undang-undang bersifat khusus ) dimaksudkan adalah piutang negara perbankan dan non perbankan.Yang satu tak memliki arti apa-apa, kecuali bank milik negara yang lain memiliki arti banyak ( Piutang Pertamina, Piutang  PLN , Piutang Telkom dll ). Adalah penting untuk diperhatikan bahwa ketika kita berbicara tentang “ makna “ terhadap suatu frase , menurut pendapat Geertz, sebagian besar orang teringat pada sesuatu yang sangat pribadi – suatu ide didalam ketentuan perundag-undangan, tidak ada yang  betul-betul selera pribadi, . Oleh karena itu ,kita harus memahami bahwa piutang negara perbankan adalah konteks “makna “ perundang-undangan yang harus dipahami bersama sebagai undang-undang yang bersifat khusus, bukan sesuatu yang sangat pribadi yang akhirnya merubah “ makna “    

   Tujuan-tujuan yang berkaitan dengan  apa yang terjadi pada debitor  bank BNI sebelum dan sesudah  putusan MK, tidak bisa merubah fakta yang tak terbantahkan  bahwa kedudukan hukum Para pemohon Uji materi adalah  Debitur Bank Milik Negara  bu kan debitor Bank Milik Swasta,  secara fisik semata adalah debitor bank, tetapi bila kita perhatikan secara detail perbuatan hukumnya . Pemohon adalah debitor bank BUMN  , maka   sebagai penghutang pada bank milik negara.   tunduk pada prinsip-prinsip hukum piutang negara  ( lex specialis ),  sedangkan Undang-Undang Perbankan ,Undang-Undang  Perbendaharaan Negara,  dan undang-undang BUMN adalah prinsip –prinsip  hukum yang berlaku  umum. 

Persepsi bahwa badan usaha milik negara /BUMN  adalah perusahaan  negara.   analogi hukumnya juga harus mengatakan bahwa  piutang badan usaha milik negara adalah piutang Negara , merupakan dua persepsi yang sudah eksis dan merupakan fakta yang tidak terbatahkan  ( Res Ipsa Luqitor ).  Ketika persolaan dua persepsi kata “ negara “ ,  pada Badan Usaha Milik Negara dan  piutang negara disintesakan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas ,   menghasilkan sintesa hukum bahwa penegakan hukum penyelesian piutang negara yang merupakan Lex Specialis -  harus tunduk pada badan hukum Perseroan Terbatas  yang merupakan prinsip hukum yang berlaku umum ( lex generali ) , konsep  penalaran hukum ini  tidak masuk akal.   ( lihat pertimbangan MK dalam putusan ini )

Piutang BUMN menjadi bukan Piutang Negara. adalah analogi hukum    menyimpang dari konsep-konsep kebenaran hukum, dan telah melampui kesimpulan  fakta data empiris. ( lihat Barry Bames dan David Bloor “ Relativisme ,Rationalisme and Sociology of Knowledge ).  Misalnya data empiris bahwa uang negara adalah uang rakyat, maka dimanapun dan bagaimanapun keberadaan uang itu, harus dianggap sebagai uang rakyat. Fungsi Uang negara adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat  adalah doktrin konstitusi , maka ketika di kelola melalui BUMN tidak berarti uang negara berubah menjadi bukan uang negara.  bila terjadi kerugian pada BUMN , rakyat jugalah yang ikut menangung beban itu  ?  Kalau kita mengamati data empiris lainnya yaitu  piutang negara tak tertagih /kredit macet dari para debitur  Bank  BUMN  sebagian besar sangat berpotensi merugikan negara, dan  ternyata jumlahnya lebih besar bila dibandingkan dengan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi ( lihat data harian kompas tanggal 22/10-2012 utang yang hapus buku Rp 90 triliun  ,  kredit bermasalah Bank Pesero Th 2012 sebasar Rp 767,5 Triliun , belum termasuk kredit likuiditas dari Bank Indonesia /kasus BLBI yang sampai sekarang belum dapat diselesikan ) . Kerugian negara yang begitu besar  bahkan   APBD pun tidak akan bisa menyamainya,  semua itu disebabkan oleh perbuatan para debitor bank BUMN  yang gagal bayar .

Data empiris ini telah menunjukan bahwa rakyat dan negara sesungguhnya tidak memiliki hutang apa-apa pada petualangan para debitor , bahwa hutang tumbuh karena reaksi debitor terhadap hutangnya yang ada didalam bank milik negara dan bahwa debitor adalah penghutang negara hanyalah karena ia berhutang pada bank negara sehinga ia harus diatur oleh hukum piutang negara yang kuat karena sebab –akibat yang kuat  Oleh karena itu hakim harus menerapkan doktrin Res ipsa Loquitor atau The thing speak for itself  ( fakta telah berbicara sendiri ) . akan tetapi dibalik semua itu  Mahkamah konstitusi  justru  menyatakan bahwa piutang BUMN bukan piutang negara, putusan ini sangat menguntungkan debitor, dan mencedarai hak konstitusi rakyat , suatu pandangan yang jelas-jelas bertentangan dengan konsep keadilan atau prinsip tidak ada orang yang boleh mengambil keuntungan  dari kesalahannnya sendiri. 

              Darai sisi lainnya  dapat dicermati bagaimana eksistensi kredit macet dari debitor bank “pesero “ , selama ini dalam sistem neraca perbankan , ternyata berdasarkan data –data perbankan  kredit macet  dipisahkan dari neraca bank  ( off balance sheed ) , debitur-debitor yang gagal bayar / atau debitor nakal / debitor yang ngemplang utang dibiarkan tak tersentuh, dan debitor ini lambat laun dilupakan , ujung-ujungnya yaitu  penghapusan hutang, namun prosedur penghapusan utang dalam jumlah besar memerlukan persetujuan menteri atau bahkan  Presiden dan DPR . Inilah sisi gelap kasus gagal bayar pada bank milik negara , baik debitor dan kreditor terjebak pada integritas. Satu sisi pihak kreditur melakukan tindakan penyelamatan supaya uangnya kembali disisi lain pihak debitor ingin selamat tidak bayar hutang .

          Jebakan integritas inilah yang kemudian oleh para debitor Bank Negara Indonesia   dibawa kepada Mahkamah Konstitusi , mencoba untuk  mengusik integritas negara dengan dalih uji materi terhadap pasal 4, pasal 8, dan pasal 12 Undang-Undang Nomor 49/Prp Tahun 1960 , dan diatas telah dijelaskan  bahwa pasal-pasal yang diujikan itu adalah pasal-pasal  tentang penegasan integritas negara .

      Konklusi Mahkamah Konstitusi  melepaskan   ” integeritas “  negara dari apa yang terjadi pada para debitor BUMN , dengan apa yang dimaksud undang-undang , sehingga diputuskan  PUPN tidak berwenang menagih piutang Bank BUMN, termasuk penyelesian piutang macet yang merupakan kewenangan korporasi,  disadari atau tidak Mahkamah Konstitusi telah memberikan cahaya terang dari sisi gelap hutang debitor, bagaimana tidak dengan melenyapkan integritas negara terhadap kedudukan  piutang bank BUMN , maka  bank akan dengan mudah mengahapuskan hutang para debitor , karena piutang bank BUMN  bukan bagian dari pengawasan negara.

V. Prinsip Hukum Piutang Negara .

         Ditinjau dari aspek hukum penyelesian kredit /piutang negara perbankan  ,  Mahkamah Konstitusi mengabaikan asas sub-ordinasi , kredit macet bank BUMN  berbeda dengan penyelesian kredit macet non bank BUMN ,  Penyelesian kredit macet pada Bank BUMN  tunduk pada prinsip-prinsip hukum piutang negara antara lain prinsip  sub-ordinasi dimana kedudukan kreditur /negara lebih kuat dari pada debitor , maka dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Piutang BUMN bukan piutang negara, prinsip hukum ini telah bergeser menjadi sebaliknya, dimana debitor mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditor, dampaknya adalah  para debitor bank BUMN dapat menggunakan hak-haknya dalam segala hal akan tetapi hanya satu hal dalam menjalankan kewajibanya yaitu tidak bayar hutang,  Pengabaian prinsip hukum menimbulkan beberapa dampak hukum penyelesian kredit macet :

1.   Penyelesian kredit macet bank -bank  BUMN akan diselesikan berdasarkan selera managemen bank masing-masing , dan model penyelesaian dengan cara   pengahapusan hutang  ( write off ) menjadi idola , dahulu model penyelesian pengahapusan hutang adalah model yang paling menakutkan karena dapat dikatagorikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi .

2. Dan seiring dengan sosialisai  putusan Mahkamah Konstitusi oleh para bankir plat merah pada para debitornya,   gerak laju kegembiraan pengemplang utang tak akan terelakan dan akan  merembes diluar wilayah hukum, seperti konspirasi penghapusan hutang, dan konfigurasi ekonomi-politik yang mengahsilkan praktek-praktek transaksional, karena penyelesian kredit macet berdasarkan kebijaksanaan masing-masing bank BUMN , kebijaksanaan sangat lengket dengan psikologis pribadinya.   Berbeda jauh dengan “ kebijakan “  produk hukumnya dibawah pengawasan /kontrol  wakil –wakil rakyat  di Dewan Perwakilan Rakyat.   

VI  . Hakekat Piutang Negara.          

Persoalan yang kedua adalah tentang   “ hakekat “  ada dua perspektif yang berbeda antara BUMN dan Piutang Negara, karena putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan piutang BUMN adalah bukan Piutang negara, hakekat juridis  ini  memunculkan perspektivisve norma yang tidak fair ( adil ), terhadap hak milik negara . Karena pada hakekatnya milik negara  adalah  milik rakyat, sedangkan yang jadi gagasan  Mahkamah Konstitusi adalah adanya species norma hukum tersendiri yang terpisah antara negara dan rakyatnya, demikian juga antara  uang negara yang dijadikan modal BUMN menjadi  bukan uang milik negara. Hasil sintesa yang dilakukan oleh Mahkama Konstitusi  terhadap  norma keuangan negara dan norma perseroan adalah  menghasilkan norma baru yaitu  piutang BUMN bukan piutang negara . Sintesa ini telah mengubur “ hakekat BUMN,  yang semula  Badan Usaha Milik Negara adalah perusahaan milik rakyat berubah menjadi perusahaan bukan milik negara ( rakyat ).  Sintesa hukum semacam inimenurut Van Vallon Hoven adalah sintesa  hukum yang paling mengerikan atau berbahaya yang orang dapat bayangkan karena telah memusnahkan makna dari “ hakekat “. ( Hetakeligste en verwaandste jurisdische maaksel dat met zich den kenkan).

VII.   Kedudukan Hukum Badan Usaha Milik Negara 

        Pembahasan mengenai perundang-undangan BUMN agar mampu menjelaskan kedudukan hukumnya, sebagai badan hukum publik,  maka ditinjau dari aspek hukum perseroan kedudukan pemegang saham pengendali pada perusahaan negara berbeda dengan perseroan terbatas non perusahaan negara, didalam perusahaan negara adalah  kekuasaan dan kedaulatan penuh dari pemegang sahamnya, yakni Negara.  Kalau di lihat  dari aspek  politik antara BUMN dan pemegang sahamnya menurut pendapat Robert Fabrikant merupakan gabungan yang aneh, yaitu unsur-unsur perusahaan dengan unsur-unsur politik. Kesulitan-kesulitan konseptual yang terangkum dalam badan hukum ini ,  menimbulkan perbedaan pendapat dari  sisi prespektif hukumnya, karena hubungan ini terjadi dalam masalah kebijakan dan korporasi, alat pengukuran yang dipakai tidak selalu sama untuk menentukan masih adakah unsur hukum publik pada BUMN.

Pandangan hukum bisnis sangat berbeda  dengan pandangan politik hukum  ,  dari sisi hukum bisnis ia melihat dari prespektif harta kekayaan yang dipisahkan atau disendirikan sebagai modal, pandangan ini tidak bedanya dengan perorangan yang ingin mendirikan badan usaha, yang diharuskan menyendirikan modalnya lepas dari kekayaan induknya sehingga menimbulkan perbedaan pandangan terhadap sistem “ pengawasan “.Penilaian hukum bisnis dianalogikan terhadap bagaimana perusahaan yang dikelola dengan sistem GCG,  dapat  menjamin para manajer perusahaan itu melindungi kepentingan para pemilik sahamnya, sedangkan dari sisi politik hukum bagaimana kepentingan negara  itu dapat dilindungi  dengan kelola GCG yaitu  rakyat sebagai pemilik kekayaan yang dipisahkan ( rakyat Indonesia ).  

Karena pola yang digunakan bagi perusahaan Negara diambil dari hukum perseroan yang menyangkut perusahaan swasta. Penerapan konsep-konsep ini pada perusahaan-perusahaan Negara, membedakan dua masalah yang merupakan rangka dasar bagian ini :

a. Standar  hukum yang digunakan .

b. Pengangkatan Direksi  

Masalah pertama, standar hukum terutama adalah masalah isi yaitu yang berhubungan dengan ukuran yang digunakan untuk menilai penampilan perusahaan. Masalah kedua, pengangkatan direksi , pada hakekatnya adalah masalah prosedur dalam mana ditinjau cara-cara pemerintah mengawasi dan memimpin perusahaan negara, dan yang kedua adalah pengangkatan direksi adalah kewenangan pemerintah .

Masalah – masalah  tersebut tidak sepenuhnya berlainan dari segi konseptual, karena pembenaran pengawasan negara tampaknya sebagian berakar dalam bentuk tindak-tanduk yang mungkin amat penting bagi suatu perusahaan negara. Misalnya, Perusahaan Negara  menghasilkan “laba” atau dengan sesuatu cara memberikan sumbangan penting bagi kesejahteraan nasional, sekalipun demikian , dapat dianggap “lalai” kurang bertanggung jawab bila manajer-manajernya menolak mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada pemerintah ataupun tidak menjalankan petunjuk-petunjuk pemerintah. 

Perusahaan Negara yang tidak mengindahkan  kebijakan pemerintah , tidak dapat dibebaskan dari tugasnya untuk patuh pada pengawasan pemerintah, sekalipun sikap keras kepala itu mungkin akan membantunya untuk lebih efisien dari sudut bisnis.  Hal ini  yang membedakan antara perseroan dengan persero.  Pandangan yang berorientasi pada hukum privat   berusaha membenarkan  “perbuatan melawan hukum  “ dalam persero oleh manager atau  karyawan , bahwa sikap  tidak mengindahkannya kebijaksanaan pemerintah adalah karena  para manajernya sendiri merasa  lebih mampu daripada  pemerintahan. 

Dalam pandangan politik hukum,  tidak peduli bagaimanapun “berhasilnya” perusahaan tersebut menurut standar bisnis konvensional,  suatu Perusahaan Negara yang telah diberikan otonomi untuk memajukan kepentingannya sendiri  tetap harus hormat terhadap kekuasaan pemerintah,  Hal ini diperlukan jangan sampai  menimbulkan ketidak harmonisan tertentu dalam kalangan badan-badan usaha milik negara ,sehingga akan mengurangi kemampuan pemerintah untuk mengerahkan sumber umum guna mencapai pembangunan ekonomi yang seimbang.

Standar hukum pembentukannya  

Suatu Perusahaan Umum dirumuskan sebagai badan hukum yang didirikan biasanya oleh dan atas persetujuan badan legislatif dan selalu oleh kekuasaan sah yang ditugaskan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu. Demi kepentingan nasional, fungsi-fungsi tersebut dibatasi pada bidang-bidang yang secara komparatif terbatas dan tunduk pada pengawasan tertentu dan dari eksekutif, sedangkan perusahaan itu secara yuridis tetap merupakan badan bebas yang tidak langsung bertanggungjawab  

Sekalipun bentuk hukum badan ini berbeda dari negara satu dengan yang lainnya, perusahaan-perusahaan Negara di negara berkembang mungkin mempunyai ciri yang paling menonjol sebagai lembaga yang dimiliki negara, yang mempunyai bentuk hukum yang serupa dengan perusahaan swasta . 

Pemerintah menanamkan modal untuk digunakan bagi pembangunan ekonomi.Dengan demikian lembaga yang dijadikan alat untuk memungkinkan negara memisahkan dan menumpuk sumber-sumbernya dengan efisien, mempertinggi kemampuan produksi nasional.

Meningkatnya penggunaan bentuk perusahaan oleh negara dalam mempercepat pembangunan ekonomi, mencerminkan pengakuan mereka terhadap peranan penting yang dimainkan oleh perusahaan-perusahaan dalam mengangkat aspek ekonomi rakyat  ke tahap kesejahteraan . Namun dalam memberikan sumbangan perusahaan negara  yang menjalankan kebijaksanaan dan menunjukan sifat-sifat yang menimbulkan tanda tanya : Apakah agar dapat “berhasil” perusahaan-perusahaan negara dituntut mencurahkan kegiatan-kegiatannya ke arah mencari laba dan tidak untuk “kepentingan umum.” Sama fungsinya  dengan perusahaan swasta, dimana  merasa perlu mengumpulkan sejumlah besar sumber keuntungan  yang mungkin diperlukan dan menguntungkan bagi perusahaan , namun kegunaannya bagi  kepentingan rakyat sangat tidak jelas. Dalam perekomian kapitalis maksud mula-mula membentuk suatu perusahaan adalah untuk memungkinkan sekelompok perorangan “menyatukan modal dalam rangka mendirikan perusahaan bisnis serta berusaha secara terpisah dan lepas dari harta dan tanah mereka lainnya. Ini berarti tidak membebankan harta tetapnya yang lain guna memenuhi kewajiban-kewajiban hutangnya yang timbul dalam bisnis tersebut.   , bagi perusahaan berbdan hukum privat ini ,   menjalankan usaha-usahanya dalam bidang-bidang yang hanya memberikan keuntungan pada dirinya sendiri, karena keuntungan bagi perusahaan , juga merupakan keuntungan bagi para pemegang saham. . Karena keuntungan tersebut diserahkan dalam bentuk dividen atau kenaikan nilai saham, “kepentingan umum” itu sendiri tidaklah menjadi urusan langsung perusahaan. Namun diakui bahwa kepentingan umum dilayani oleh kegiatan perusahaan yang bebas karena persaingan pasar akan memaksa perusahaan terus menerus melampaui kepentingan dirinya sendiri. Filsafat ekonomi klasik yakin bahwa suatu “tangan yang gaib” akan menjamin bahwa dorongan bersama terhadap kegiatan perusahaan akan menambah kesejahteraan umum. Adalah suatu penemuan yang relatif baru, bahwa persaingan itu sendiri tidaklah menjamin bahwa kegiatan perusahaan melayani kepentingan umum.Dan semakin terbukti bahwa kegiatan perusahaan bukan hanya mungkin bertentangan dengan “kepentingan umum” melainkan para manajer perusahaan kerapkali berusaha untuk melindungi kepentingan-kepentingan pribadi dan kepentingan perusahaan yang tidak menguntungkan para pemegang saham.

Perbedaan pendapat  disekitar pokok-pokok pertentangan antara layanan terhadap perusahaan, terhadap para pemegang sahamnya dan layanan pada “kepentingan umum” adalah sangat berbeda-beda  bagi setiap perusahaan swasta , rumusannya sesuai dengan  standar-standar penampilan dan para direkturnya.

Konsep ortodoks yang merupakan konsep hukum murni, tentang perusahaan sebagai suatu pribadi “buatan” dengan identitas diri sendiri memberikan bagi perusahaan kemudahan untuk mengabaikan tanggungjawab sosial.Sulitlah menuntut perilaku badan hukum agar sesuai dengan nilai-nilai sosial pribadi alamiah, karena suatu perusahaan bukanlah “bintang sosial”.

Apabila suatu perusahaan memiliki identitas yang berlainan dengan para pemegang sahamnya, diperlukan banyak pemikiran bagi seorang pemegang saham untuk membebaskan diri dari tanggung jawab untuk tindakan perusahaan. Karena perusahaan besar cenderung “diatur” oleh para pemiliknya yang memandang diri mereka sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan non-pribadi yang jelas memiliki nada a-moral. 

Sikap masa bodoh para pemegang saham  pada perusahaan swasta atas kegiatan perusahaan semakin bertambah dengan adanya pasar-pasar saham yang besar, yang memudahkan para pemegang saham melepaskan kepentingan pemilikannya di perusahaan dengan menjual sahamnya bila ia tidak puas dengan keputusan-keputusan pimpinan perusahaan. Karena pemegang saham biasanya (tidak) dibebani risiko-risiko pemilikan juga karena mereka “ sama sekali bukan pemilik.” pengawasan atas perusahaan-perusahaan swasta  tergantung pada pemilik saja tetapi juga  pada mereka yang paling terkena akibat kegiatan perusahaan, yaitu para pemegang saham.

Bahwa perusahaan-perusahaan swasta harus bertanggung jawab kepada sekelompok orang yang lebih besar daripada para pemilik sahamnya, juga mencerminkan kekhawatiran bahwa para pemilik saham cenderung merupakan peserta-peserta yang acuh tak acuh, tidak diorganisasi, dan tidak efektif dalam manajemen perusahaan.

Adanya pemilikan saham yang terlalu tersebar dalam perusahaan-perusahaan besar memungkinkan para pemegang saham mengendalikan pimpinan perusahaan.Dan karena para pemegang saham swasta hanya memikirkan keuntungan, tidaklah wajar beranggapan bahwa mereka mau mengorbankan keuntungan demi kepentingan umum.Lebih jauh lagi, perusahaan-perusahaan swasta besar mempunyai pengaruh menekan pada para pemegang saham mereka; karena itu, perlu dijamin bahwa mereka yang terkena akibat kegiatan perusahaan sebaliknya mempunyai pengaruh menekan bagi para pembuatan keputusan perusahaan.

Anggapan, bahwa pemegang saham “menguasai” perusahaan mereka semakin tambah mengemuka dengan adanya kenyataan yang dikemukakan tadi, bahwa “hubungan mereka dengan perusahaan menjadi semakin mudah diputuskan dengan adanya industri pasar saham dan makelar saham. Karena alasan-alasan ini, para manajer perusahaan diharuskan untuk tidak melihat segi keuntungan saja sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan bisnis.

Ringkasnya, pikiran untuk mengusahakan laba sebesar-besarnya, penguasaan pasar dan tanggung jawab pemegang , demi standar mencapai kesejahteraan para pemilik pemilik pemegang saham , sedangkan pandangan lain dari harus disingkirkan  seperti : demi   kesejahteraan masyarakat “kepentingan umum.” , karena   “penampilan bisnis perusahaan harus dinilai dengan ukuran sejauh mana ia telah membantu kemajuan yang telah disepakati bersama menuju sasaran-sasaran rakyat  tidak perlu dipikirkan lagi  .

Terjalinnya pertimbangan-pertimbangan pragmatis diatas, untuk meninjau kembali ukuran-ukuran tradisional/ atau paradoks dengan pandangan hukum bisnis  dalam menilai penampilan perusahaan negara disamakan denganprinsip perusahaan swasta, adalah bahwa ... “ perusahaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemegang sahamnya  di mana eksistensi serta kelangsungan hidupnya berasal dari pemegang sahamnya . Karena itu harus tunduk pada hukum privat .”   tapi akan berbeda bila  pada saat memuncaknya ketidakpuasan umum dari ketidakberhasilan sosial ,  maka perusahaan swasata hanya mendorong terhadap keterlibatan perusahaan dengan tanggung jawab sosial lebih menyangkut  “kepentingan diri sendiri  yang urgensial  dari pada  kepentingan rakyat banyak ” , berbeda dengan perusahaan milik negara , dimana tanggung jawab social adalah tujuan bisnisnya.

Pergeseran standar penampilan perusahaan yang murni ekonomis menjadi lebih bersifat sosial mencerminkan bahwa perusahaan negara , sekalipun sifatnya “swasta” dan bermula dalam naluri manusiawi yang tamak, pada hakekatnya lebih merupakan lembaga sosial daripada lembaga ekonomi. 

Tujuan pendirian sebagai standar hukum di atas dianggap berlaku, masih tetap perlu menentukan sasaran-sasaran sosial yang dapat dirasakan dan kemudian menentukan apakah suatu perusahaan negara telah sesuai dengan tujuan meningkatkan sumbangannya pada sasaran sosial yang telah ditetapkan.  Dengan kata lain “bagaimana sesungguhnya sumbangan bisnis BUMN  kepada masyarakat yang dikelola dengan kemampuan dan tata kelola berdasarkan prinsip  Good Coperate Goverenance  , apakah pengawasan harus dilepaskan dari negara .

Dalam menerapkan konsep di atas pada Perusahaan Negara harus dicatat bahwa alasan-alasan yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta untuk mengambil bentuk badan hukum biasanya tidak bersesuaian dengan keputusan negara untuk membentuk perusahaan.Seperti telah dijelaskan di atas, keputusan mendirikan suatu Perusahaan Negara biasanya didasarkan pada adanya kesatuan pertimbangan politik dan ekonomi, khususnya yang tidak komersial.Dualisme motif inilah yang menyulitkan penyusunan standar penampilan perusahaan-perusahaan ini, karena tidak seperti perusahaan swasta, yang secara tradisional dan eksklusif menggunakan pemasukan uang sebagai ukuran efisiensinya, Perusahaan negara tidak dapat mendasarkan pengambilan keputusan atas ukuran tunggal yang dapat diuji.Pertimbangan-pertimbangan bisnis konvensional kadang-kadang harus ditempatkan lebih rendah daripada keseluruhan dampak sosial dari suatu keputusan perusahaan, tidak peduli bagaimana hal tersebut mungkin mempengaruhi neraca dan laba-rugi perusahaan umum.Misalnya, semua proyek yang secara komersial dapat diteruskan tidak cukup penting bagi umum untuk membenarkan adanya penanaman dana-dana umum yang langka.Namun Perusahaan Negara tidak selalu dapat mengabaikan proyek-proyek menguntungkan sehingga dengan demikian mengambil risiko gagal dalam mempertahankan keutuhan modal umum mereka.Sebaliknya, suatu proyek yang secara sosial tinggi nilainya, mungkin karena hal tersebut merupakan sarana peningkatan kesempatan kerja atau penerimaan valuta asing, tidak seharusnya dibiarkan berlalu semata-mata karena keuntungan tersebut tidak dapat diterima oleh perusahaan dan dicantumkan dalam neraca keuangan.

Di dalam menentukan besarnya pengawasan yang paling tepat yang harus dilaksanakan pemerintah atas suatau perusahaan negara, faktor penting adalah hakekat dari sistem ekonomi dan tahap pembangunan ekonomi negara di mana Perusahaan Negara itu beroperasi. Dalam perekonomian kapitalis, Perusahaan Negara merupakan alat bantu bagi perusahaan swasta. Perusahaan Negara berperan mengisi yang ketinggalan.Dia bertugas untuk memperbaiki ketidak efisienan atau celah-celah dalam mekanisme pasar ..., (sebab itu) pengawasan ketat atasnya adalah perlu untuk menjamin agar dia tidak melangkah di luar peranannya yang terbatas.Dengan demikian tidak mengacaukan tata kerja mekanisme pasar. 

Dalam perekonomian sosialis, dasar pemikiran untuk mengawasi Perusahaan Negara sama sekali berlainan dengan pengawasan yang ada pada perekonomian kapitalis. Di negara sosialis, Perusahaan Negara biasanya merupakan titik tumpu perekonomian nasional dan khususnya di negara-negara berkembang, Perusahaan Negara merupakan alat utama untuk menerapkan suatu rencana ekonomi nasional.Kedudukan utama tersebut kerapkali muncul karena sektor swasta melempem atau tidak ada.

Jadi sebenarnya, tidaklah begitu perlu membicarakan persoalan yang membingungkan mengenai keseimbangan yang terbaik yang harus dicapai antara Perusahaan Negara dan perusahaan swasta.Karena Perusahaan Negara menguasai perekonomian yang diawasi negara dan merupakan alat kebijaksanaan utama, persoalan yang dihadapi adalah mengenai efisiensi dan penyesuaiannya pada kebijaksanaan pemerintah.Dasar pemikiran untuk mengawasi Perusahaan Negara di negara-negara ini tidak tergantung; mungkin seperti halnya di negara-negara industri, atas dasar perlunya menciptakan modus vivendi antara badan usaha negara dan swasta.

Kekuasaan pemerintah atas Perusahaan Negara biasanya dilakukan melalui pemeriksaan pembukuan dan melalui gabungan dari badan-badan legislatif, yudikatif dan eksekutif ,  cara-cara yang lasim untuk mengawasi Perusahaan Negara adalah : 

1. Bahwa kebutuhan untuk mengawasi Perusahaan Negara lebih mendesak daripada dasar pemikiran yang mendorong pengawasan perusahaan-perusahaan swasta. Bila kepentingan pemilikan para pemegang saham swasta dapat dikatakan sebagai soal sampingan, jenis dan sifat dari kepentingan pemilikan pemerintah dalam Perusahaan Negara adalah nyata dan cukup besar. Biasanya, suatu pemerintah tidak akan mempunyai keinginan ataupun kemampuan untuk secara mudah mengalihkan  pemilikannya atas Perusahaan Negara.  dalam perusahaan-perusahaan swasta, suatu tim manajemen yang menolak untuk tunduk pada pengawasan pemegang saham tampaknya (tidak) akan mengambil kebijaksanaan yang betentangan dengan kepentingan dari yang tersebut belakangan ... sampai batas yang amat jauh, keinginan-keinginan manajemen sejajar dengan harapan-harapan dari para pemegang saham ... (kedua belah pihak) tampaknya sepaham dengan cita-cita mengenai pertumbuhan ... (seperti) dicerminkan dalam harga-harga saham yang meningkat dan dalam dividen yang tetap dan mungkin meningkat pula.

2. Namun kebersamaan kepentingan yang mengakibatkan berkurangnya pertentangan antara para pemegang saham swasta dan tim manajemen tidaklah terdapat dalam kerjasama antara Perusahaan Negara pemerintah dan tim manajemennya. Seperti ditunjukan di atas, tim manajemen negara secara naluri akan mengikuti pertimbangan-pertimbangan bisnis konvensional, yang tidak selalu akan sejalan dengan pengarahan-pengarahan kebijaksanaan pemerintah.

Karena pemerintah menggunakan Perusahaan Negara untuk maksud lain, sulitlah menetapkan peraturan-peraturan yang universal dalam rangka pengawasan dan penampilan. Paling tidak dalam mendirikan setiap Perusahaan Negara apapun bentuknya, pemerintah sebagai pemilik utama atau pemilik tunggal, seharusnya dapat diharapkan dan memang berhak menjalankan kekuasaan yang biasanya berada dalam tangan seluruh pemegang saham. Karena jumlah investasinya meningkat, pemerintah juga cenderung menjalankan tingkat pengawasan yang lebih tinggi kepada Perusahaan Negara. Kepentingan pemerintah akan jauh lebih meningkat bila perusahaan itu ikut serta dalam sektor ekonomi yang penting dari segi nasional ataupun strateginya.

Perlulah menggaris bawahi perbedaan-perbedaan penting antara pemerintah dan para pemegang saham biasa.Para pemegang saham mempunyai hak menurut hukum yang bebas untuk mereka gunakan sesuai dengan selera pemilikannya.Pemerintah bertindak sebagai pemegang amanat dana-dana umum, karena itu dapat memiliki tanggung jawab tertentu untuk menjamin agar uang rakyat ditanamkan secara aman.Sifat umum dari Perusahaan Negara dan kebutuhan untuk mencapai tujuan-tujuan nasional yang nyata mengaharuskan pemerintah sebagai pemegang saham menjadi peserta yang lebih aktif dalam urusan-urusan perusahaan lebih dari yang mungkin diharapkan atau bahkan mungkin diijinkan bagi para pemegang saham dalam perusahaan swasta.

Bila pemegang saham swasta menanamkan uang dengan tujuan untuk mendapatkan laba, pemerintah bahkan juga dalam kedudukan sebagai pemegang saham, biasanya tidak bertindak berdasarkan pada alasan-alasan mencari untung semata-mata. Pemerintah dibebani tugas untuk meningkatkan “kepentingan umum” dan dalam mengemban tugas yang lebih tinggi ini Pemerintah harus melaksanakan tanggung jawab sebagai pemegang saham dengan cara yang lebih teliti daripada seorang pemegang saham swasta. 

Akhirnya, pemilikan pemerintah biasanya tidak disebabkan karena pembelian saham dalam perusahaan yang sudah ada. Pemilikan pemerintah hampir selalu merupakan akibat dari suatu keputusan untuk mendirikan perusahaan yang sama sekali baru untuk mana pemerintah akan memberi modal yang diperlukan dan sumbangan-sumbangan sumber lainnya. 

Dasar pemikiran yang melandasi pendirian suatu Perusahaan Negara  :

1. selalu mencerminkan kenyataan bahwa satu kegiatan tertentu yang penting bagi kesejahteraan umum tidak dijalankan dengan memadai. Jadi pendirian suatu perusahaan demikian biasanya akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan sosial dan bukannya komersial.

Suatu dorongan tambahan bagi pengawaan pemerintah yang keras atas Perusahaan Negara, ialah bahwa para direktur perusahaan kadang-kadang memrakarsai tindakan-tindakan yang menguntungkan perusahaan (atau diri mereka sendiri) tetapi tidak selalu mendukung kepentingan-kepentingan pemegang saham.Dan karena suatu perusahaan mempunyai eksistensi hukum tersendiri.Yakni terpisah dari pemegang sahamnya, masalah yang pertama-tama harus diputuskan ialah untuk memastikan apakah tanggung jawab ada pada para direktur yang dipilih atau pada pemegang sahamnya.

Tampaknya ketaatan yang ada pada para direktur perusahaan jarang sekali mengakibatkan kerugian yang positif bagi para pemegang saham.Satu-satunya kerugian mungkin, misalnya bila laba perusahaan ditahan dan tidak diserahkan kepada para pemegang saham.Sekalipun para pemegang saham mempunyai hak untuk menerima dividen, tampaknya agak bodoh untuk mempersoalkan bahwa kelalaian membagi keuntungan merupakan suatu tindakan yang jelas tidak jujur. Ditahannya laba mungkin didasarkan pada pengharapan bahwa laba itu pada akhirnya akan mengakibatkan keuntungan bagi pemegang saham. Keadaan di atas lebih tepat digambarkan bahwa para pemegang saham tidak menderita rugi mutlak namun sebaliknya diharuskan (mungkin juga diminta) untuk melepaskan laba pada saat itu agar dapat menerima laba yang lebih besar pada masa yang akan datang. Analisa yang demikian disebut, sekalipun merupakan kesimpulan murni dalam rangka perusahaan-perusahaan swasta, tidaklah sepenuhnya tepat bagi Perusahaan-perusahaan Negara.

Alasan untuk tidak menyetujui keputusan para direktur yang menahan laba adalah bahwa para pemegang saham hampir pasti didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan nafsu serakah yang tidak kenal malu.Sebaliknya pada Perusahaan Negara, hak pemerintah untuk menerima keuntungan perusahaan dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan “kepentingan umum.”Dengan demikian pengambilan keputusan yang dilakukan Perusahaan Negara tidak dapat didasarkan semata-mata pada pertimbangan bisnis yang dangkal.Merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan bila para direktur Perusahaan Negara mementingkan perusahaan dengan menghalangi pemerintah dalam penerimaan dana-dana yang menurut pemerintah mungkin dapat digunakan dengan lebih berhasil disektor-sektor perekonomian lainnya.Sekalipun para direktur perusahaan swasta biasanya boleh mengambil keputusan-keputusan sebagai pengganti keputusan para pemegang saham (karena untuk itulah mereka dipilih), alasan serupa tidak dapat dibenarkan untuk mengijinkan para direktur Perusahaan Negara menjadikan keputusan-keputusan dagang mereka sebagai ganti keputusan-keputusan politik dan kebijaksanaan umum pemerintah.Dengan demikian harus tersedia kekuasaan yangh lebih besar untuk melindungi para pemegang saham Perusahaan Negara daripada perusahaan swasta.

2. Keputusan mengenai berapa banyak keuntungan perusahaan yang harus diserahkan kepada pemegang saham Perusahaan Negara tidak seharusnya secara eksklusif berada di tangan para direktur. Perhatian mereka semata-mata mungkindalam bentuk menahan laba sebanyak-banyaknya dalam upaya memperbaiki penampilan mereka. Pada perusahaan-perusahaan swasta, dorongan batin ini secara teoris diimbangi dengan kebutuhan para direktur untuk memuaskan hati para pemegang saham sehingga terjamin bahwa mereka (para pemegang saham) akan memilih para direktur itu kembali. Dalam Perusahaan-perusahaan Negara  tidak ada timbal balik yang serupa bahkan apabila ada sekalipun, jelas merupakan ukuran yang tidak tepat untuk menetapkan pembagian pendapatan dalam Perusahaan Negara. Ukuran untuk pembagian pendapatan dalam Perusahaan Negara harus tergantung pada kebutuhan perekonomian secara keseluruhan.Perusahaan Negara sendir hanyalah sekedar satu mata rantai dari keseluruhan mesin perekonomian tersebut.

3. Hanya pemerintahlah yang dapat membuat penilaian tepat tentang cara bagaimana pendapatan suatu Perusahaan Negara seharusnya dibagikan. Sekalipun mungkin bakal merugikan Perusahaan Negara bahwa pemerintah tidak memahami kebutuhan-kebutuhan perusahaan dan kebutuhan-kebutuhan direkturnya. Ini masih lebih baik daripada mengijinkan para direktur, yang dianggap kurang memahami kebutuhan  perekonomian nasional dibandingkan dengan pemerintah, untuk mengutamakan Perusahaan Negara atas tanggungan negara.

4. Perlunya pengawasan pemerintah merupakan sesuatu yang mutlak, bila suatu Perusahaan Negara diijinkan beroperasi dalam suatu sektor ekonomi tanpa saingan dari perusahaan umum ataupun swasta.Persaingan, setidaknya dalam teori, merupakan jaminan efisiensi dan kemampuan mencari untung. Namun seperti dijelaskan di atas dalam konteks yang sama, adanya faktor persaingan tidak seharusnya menghindarkan Perusahaan Negara dari standar-standar pengawasan yang paling teliti. Kesimpulan ini tergantung pada posisi sentral yang diduduki Perusahaan Negara dalam perekonomian.

5. Penampilan suatu Perusahaan Negara mempengaruhi para pemegang saham swasta untuk tidak mencari keuntungan semata-mata dan menjadi perhatian seluruh warga negara-negara tersebut. Karena itu suatu Perusahaan Negara harus dianggap sebagai pelindung sumber dan kesejahteraan umum.Dengan demikian penting sekali mengusahakan “kepentingan nasional” tidak ditempatkan di bawah kepentingan terbatas dari suatu perusahaan tertentu.

Sebagai kesimpulan, jelaslah bahwa Perusahaan Negara harus diminta agar menjalankan kegiatan-kegiatan mereka sedemikian, sehingga menjamin kekayaan pemegang sahamnya, yakni negara; digunakan sesuai dengan harapan yang berkembang daripara warga negara.

VIII.  Pandangan  Hukum Administrasi Negara dan Pidana 

Dari sisi aspek kewenangan bebas dari pemerintah ( vrijebevoegdheid ) atau sering disebut dengan istilah freis Ermessen, meskipun pemerintah melakukan tindakan-tindakan keperdataan , instrumen hukum keperdataan,  tidak serta- merta terjadi hubungan hukum antara pemerintah dengan seorang atau badan hukum perdata berdasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian masing-masing pihak, sebagaimana lazimnya , maka bila telah menggunakan instrumen perjanjian untuk menjalankan wewenang pemerintahnya ,pemerintah disamping terikat dengan isi perjanjian tersebut juga terikat dengan asas kepercayaan  ( het vtretrouwens beginsel  )   dan asas kejujuran atau asas permainan yang layak sebagaimana asas-asas umum pemerintahan yang layak , maka    menurut pandangan hukum Administrasi Negara pengertian pasal 1 Undang –Undang nomor 19 Tahun 2003 , mengenai interprestasi    “ Seluruhnya atau sebagian besar modalnya  dimiliki oleh negara “  apakah itu dari kekayaan yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan asalkan kegunaanya untuk modal usaha  negara , maka badan usaha itu dinamakan   Badan Usaha Milik Negara ,  interprestasi  dari pasal tersebut menunjukan  “ kode  “   , dengan demikian tetap sebagai badan hukum publik  yang terikat pada algemene beginselen van behoorlijk bestuur  atau asas-asas umum pemerintahan yang baik .

Meskipun sistem pengelolaanya mengedepankan aspek hukum perseroan., namun  pada dasarnya antara Perseroan Terbatas yang didirikan oleh Swasta/perorangan dengan Persero yang didirikan oleh pemerintah  bila ditinjau dari  azas publisitas tetap berbeda .  Pada  Persero  atau Perusahaan Daerah yang berbentuk  PD , seperti PD Bank Perkreditan Rakyat  dan Bank Pembangunan Daerah,  walaupun akte pendiriannya dibuat oleh Notaris , tidak ada kewajiban pendaftaran pada Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia , tapi hanya dicatat dalam Berita Negara. Kelahiran Persero dan Perusahaan Daerah tidak mengenal azas publisitas.

Konsep hukum terhadap pengertian Badan Usaha Milik Negara  tidak hanya dilihat dari aspek pemisahan harta kekayaan , tapi harus dilihat juga dari  aspek permodalannya , maksud dalam undang-undang sudah jelas bahwa “ Badan Usaha “  yang didirikan dengan modal  seluruhnya atau sebagian besar milik negara adalah Badan Usaha Milik Negara , makna inilah  yang membedakan  antara  badan usaha milik perorangan  dengan badan usaha milik negara ,  pandangan ini sejalan dengan putusan mahkamah Agung   No 1144 K/Pid /2006 ,  sebagai berikut :

-  Meskipun Bank Mandiri merupakan PT . Terbuka ,tetapi secara struktural , Bank Mandiri tetap sebagai sebuah Persero yang menjadi ciri bahwa bank Mandiri adalah milik negara.Perubahan-perubahan kepemilikan saham ,apalagi saham negara menduduki jumlah tervesar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya ( posisi dominan ) , sama sekali tidak mengurangi status hukum Bank mandiri sebagai BUMN yang mengelola kekayaan negara . Dalam status yang demikian ,direksi atau setiap orang yang bekerja pada Bank Mandiri demikian pula BUMN  lainnya, tidak semata-mata melakukan fungsi keperdataan , tetapi juga fungsi publik yang menjalankan tugas pemerintahan pada Bank Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal itu secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti Bank Mandiri , berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan ,sehingga kepada mereka dapat dilakukan ketentuan-ketentuan mengenai  penyelenggara pemerintahan seperti ketentuan  tentang pemberantasan korupsi.

- Seperti dikemukakan ,sebagai BUMN ,Bank Mandiri mengelola kekayaan negara ,sebagai pengelola kekayaan negara ,  maka tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh direksi atau pegawai Bank mandiri , yang merugikan atau dapat merugikan Bank Mandiri ,dapat dikatagorikan sebagai perbuatan korupsi , karena telah menimbulkan kerugian atau dapat merugikan negara yaitu kekayaan negara  yang dikelola Bank Mandiri.

IV.  Norma  merubah Hakekat

       Kemudian dilihat dari sudut “Hakekat “ , maka uang negara pada hakekatnya  adalah uang milik  rakyat Indonesia ,  dan demikian halnya  Badan Usaha Milik Negara pada  hakekatnya adalah  badan usaha milik rakyatindonesia, sehingga dengan demikian piutang  negara adalah piutang seluruh rakyat Indonesia dan yang berhak menagih adalah seluruh rakyat Indonesia .  Akan tetapi Mahkamah Konstitusi justrumemandang sebaliknya bahwa  Piutang   BUMNadalah bukan piutang negara atau bukan piutang rakyat , maka tafsir hukum semacam ini dari sudut sintesa normatifmenimbulkan antagonisme , atau fomulasi dua  norma yang  melebur hakekatnya.  Dua norma itu adalah pertama norma keuangan  negara dan yang kedua adalah  norma Badan hukum  “perseroan terbatas “ , hasil sintesa normatif ini dapat diuraikan sebagai berikut : ketika uang negara dimasukan kedalam Badan Usaha milik negara, uang itu  bukan lagi menjadi  uang negara , maka segala aspek hukum baik hutang maupun piutang BUMN ( BUMN perbankan dan non Perbankan ) adalah bukan lagi menjadi tanggung jawab negara, transformasi norma seperti ini membawa dampak pada prinsip-prinsip penyelesian piutang negara  seperti penafsiran  “ kerugian negara , penghapusan ( Write Off ) hutang , retrukturisasi kredit , piutang tak tertagih yang diakibatkan oleh bantuan likuiditas ( kredit Likuiditas )  Bank Indonesia dan penyelesian BLBI termasuk masalah Bail Out , semua ini merubah ketertiban hukumnya  ,  yang merupakan pilar dari tujuan hukum yaitu ketertiban , pertanyaanya adalah  bagaimana tujuan hukum itu dapat dimenangkan  seandainya keadaan negara  dihadapkan pada kondisi  dan situasi tertentu, misalnya situasi krisis moneter, jumlah piutang/kredit bermasalah pada BUMN baik piutang perbankan maupun non perbankan semakin membengkak data terakhir yang dirilis harian Kompas adalah  Hapus buku sejumlah   Rp 90 Triliun , kredit macet sejumlah  Rp 675 triliun belum termasuk sisa kredit dari kasus gagal bayar kridit likuiditas Bank Indonesia yang hak tagihnya dioperkan kepada pemerintah , ditambah dengan kasus Bailout Bank Century yang tak kunjung selesai.

Jika norma hukum merubah hakekat-nya , maka substansi hukumnya telah menyimpang dari prinsip-prinsip hukum penyelesaian piutang negara  ,  ( uang negara yang digunakan sebagai penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara, berubah menjadi bukan  uang negara ). Norma hukum “ Piutang negara “  membedakan jenis piutangnnya menjadi  Piutang Negara Perbankan dan Piutang Negara Non Perbankan. Penegakan hukum penyelesian piutang negara  terdapat tiga prinsip hukum yaitu Prinsip  Kewenangan , Prinsip  Sub-ordinasi ( kedudukan yang tidak sama antara kreditur dan debitur kedudukan kreditur /negara lebih kuat dibandingkan dengan debitur  ) maka diperlukan undang-undang yang mengandung hukum materil dan hukum formal,dan Prinsip Prompter treatment ( Penyelesaian sesingkat-singkatnya )diperlukan Badan kkhusus yang bertugas sebagai penagih piutang negara, yang kedudukannya setara dengan pengadilan dan penyelesiannya tidak menggunakan  hukum acara perdata ( HIR ).  Tiga prinsip inilah yang membedakan dengan piutang non negara. Jadi ketika pemohon yang nota bene adalah Debetur bank BUMN dikabulkan oleh MK . Sudah dapat diperkirakan bahwa mereka sebagai para debitur bersorak sorai . Betapa gembiranya para debitur ini karena  penyelesian kredit macetnya dapat ditempuh melalui berbagai jalur penegakan hukum sama dengan Bank milik swasta yaitu dengan cara-cara hukum acara perdata. Dan akibatnya yang diharapkan oleh para Debitur Bank BUMN  kasus gagal bayar Bank BUMN tidak akan pernah berakhir / Never Ending Cases .

VIII  Pengertian Milik Negara , Milik Pribadi dan Milik Publik

 Mahkamah Konstitusi melupakan  pengertian “milik :Dalam Teori Hak Milik  ( lihat C.B Machpheron dalam -  Mainstream and Critical Positions - University of Toronto Press 1978 ) dikenal  milik pribadi , milik publik dan  milik negara, dua masalah muncul  dari analis mengenai tiga macam milik tersebut , pertama adalah bahwa ketiga macam itumilik umum , milik pribadi dan milik negara adalah hak-hak pribadi , baik pribadi  manusia alamiah maupun pribadi-pribadi buatan , yang kedua adalah bahwa milik umum ,tidaklah dihapuskan oleh gagasan tentang milik sebagi hak-hak  ( klaim-klaim yang dapat dipaksakan ) dari pribadi-pribadi ,tetapi malahan ternyata merupakan jenis milik yang murni. Karena milik umum adalah selalu suatu hak dari pribadi individual alamiah sedang dua jenis milik lain itu tidaklah selalu demikian, milik pribadi mungkin merupakan suatu hak pribadi alamiah atau pribadi buatan dan milik negara adalah milik suatu pribadi buatan.  Bila negara dipandang dengan cara ini , maka dipahami sepenuhnya bahwa negara mempunyai suatu hak kelembagaan untuk mengesampingkan orang-orang lain , termasuk para warga negara ,dari usaha menikmati kegunaan dan manfaat sesuatu benda , dengan cara yang sama sebagaimana negara mengizinkan seseorang pemilik pribadi melakukanya. Jadi dalam  sebuah negara demokrasi  kelompok manusia yang diberi wewenang bukanlah kumpulan warga negara seluruhnya .lembaga itu bertindak atas nama mereka ,tetapi lembaga itu bukan milik mereka seluruhnya . Dan lembaga itulah  ( BUMN ) yang memegang hak-hak yang disebut milik negara ?  Jadi milik negara tidak memberikan kepada warga negara , secara perorangan suatu hak langsung untuk menikmati kegunaan ,atau suatu hak untuk tidak dikesampingkan dari usaha menikmati suatu benda –benda yang dikuasai oleh negara bertindak sebagai suatu lembaga ( Badan Usaha Milik Negara ) , Perusahaan –perusahaan Maskpai Penerbangan  dan Perbankan tidak dengan begitu saja dapat dinikmati oleh semua warga negara dinegeri ini ,  Perusahaan Perbankan yang dimiliki oleh negara ( BUMN ) cenderung bersikap cemburu untuk mempertahankan miliknya seperti perusahaan yang dimiliki swasta

IX. Urgensi Putusan Mahkamah Konstitusi   

Apa urgensinya  Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap penyelematan uang negara ? apakah hanya untuk kepentingan kekinian para debitor –debitor nakal  atau demi kepentingan rakyat . Hanya karena faktor kecemburuan terhadap para debitor bank swasta mendapat restrukturisasi dan pengahpusan hutang  , tega-teganya Mahkamah Konstitusi mengorbankan kepentingan rakyat indonesia terhadap penyelamatan uang negaranya.  mirip iklan Top Kopi .... Bongkar !!! kebiasan-kebiasan lama .  dan hanya  satu  “kepastian hukum”   perbuatanya bukan tindak pidana korupsi.  Sekarang mereka ( debitor dan kreditor / Bank BUMN ) , bebas bernegoisasi tentang apa-apa untuk mendapatkan apa-apa .   Jika tujuanya melepaskan diri dari ancaman hukum tindak pidana korupsi dan jika ketertiban hukum dimenangkan dengan cara tindakan hukum  prosedural  hak uji materi  seperti ini , maka lambat laun  hukum menjauh dari komunitasnya.  Tidak ada seorang pun yang  paling berbahaya didunia ini jika suatu putusan mengorbankan doktrin hukumnya.

Tidak Ada Orang Yang  Boleh Mengambil Keuntungan Dari Kesalahanya Sendiri 




                                                                    





BAB 

PRAKTEK LEMBAGA PASAR MODAL


1.  Tinjauan Umum

Isu Globalisasi memang tidak dapat dielakkan lagi, isu ini terus berkembang dan semakin terasa wujudnya terutama pada tahun-tahun terakhir dekade 90-an ini, dampaknya pada perkembangan ekonomi dunia juga semakin terlihat, hal ini didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi komunikasi yang merambah sampai kesegala bidang termasuk bidang ekonomi dan keuangan, saat ini hampir setiap individu atau lembaga yang bergerak dibidang keuangan dapat dengan mudah dengan hanya menekan tombol pada keyboard personal komputernya dapat melakukan transaksi dengan pihak lain bahkan yang berada diluar batas-batas jurisdiksi negaranya. 

Sejalan dengan perkembangan perekonomian yang didukung oleh peningkatan teknologi komunikasi itu, maka semakin meningkat pula upaya berbagai perusahaan untuk mengembangkan usahanya dan melakukan kegiatan dalam rangka meraih dana untuk ekspansi bisnis dengan berbagi cara yang tentunya membuat kegiatan perekonomian hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia juga mengalami peningkatan yang sangat pesat. Berbagai perusahaan dengan giat melakukan ekspansi dengan memperluas usahanya dalam lingkup yang sangat global, hal ini sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia yang semakin meningkat. Upaya ekspansi perusahaan ini dilakukan dengan kegiatan penanaman modal di berbagai negara dan saat ini dapat dikatakan telah melintasi batas-batas kenegaraan. Kiranya tidak salah pernyataan seorang konsultan manajemen internasional yang mengatakan bahwa pada saat ini terdapat berbagai jalan untuk meningkatkan perekonomian, salah satu cara terbaik adalah dengan memfokuskan diri terhadap pengembangan usaha dalam lingkup regional dan mengupayakan bagaimana mendapatkan jalan agar regionalisasi tersebut dapat berinteraksi dengan ekonomi global, dikatakan pula bahwa saat ini terdapat 4 C, yang akan menjelajahi dunia secara global dan melintasi batas-batas negara yaitu : Corporation, Communications, Citizens dan Capitals.

Semakin berkembangnya kegiatan pengembangan perusahaan ditingkat global yang tentunya membutuhkan dana yang sangat besar, maka perusahaan – perusahaan semakin giat mencari sumber-sumber yang dapat menyediakan dana dalam jumlah yang besar, untuk itu pandangan para pemilik perusahaan diarahkan kepasar modal baik dalam negeri sendiri maupun di negara lain. Hal ini menyebabkan semakin semaraknya kegiatan pasar modal dihampir seluruh negara, baik baik dinegara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang, hal tersebut juga mempermudah masuknya investasi modal dari suatu negara ke negara lain. Berbagai perusahaan dari suatu negara menjual sahamnya di pasar modal negara-negara lain untuk mendapatkan tambahan dana dengan demikian berarti pemodal (investor) dari suatu negara dapat ikut melakukan investasi dan memiliki modal perusahaan – perusahaan yang didirikan dinegara lain.

Di Indonesia sendiri sebenarnya istilah pasar modal ini sejak lama telah cukup populer dimasyarakat baik semasa penjajahan Belanda maupun pada zaman sesudah kemerdekaan, meskipun sempat mengalami kelesuan bahkan kemandekan beberapa waktu, saat ini hampir semua orang terutama yang berdiam dikota besar saat ini dikenal dengan gedung yang menjulang tinggi tempat dilakukannya kegiartan pasar modal itu. Namun demikian apa dan bagaimana jalannya kegiatan yang dilakukan di dalam gedung tersebut, mungkin masih belum banyak dikenal orang.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pasar modal, sebenarnya sama saja dengan pasar-pasar lain pada umumnya yaitu sesuai dengan namanya adalah tempat berlangsungnya kegiatan jual beli. Yang membedakan pasar modal dengan pasar lainnya adalah objek yang diperjualbelikan ditempat itu.

Pengertian pasar modal ini yang dalam terminology bahasa Inggris disebut Stock Exchange atau Stock Market adalah : “An organized market or exchange where shares (stocks) are traded”. yaitu pasar yang terorganisir dimana efek-efek di perdagangkan.

Aapa yang dimaksu dengan modal, apakah modal benar-benar dapat menjadi objek jual beli ?, tentu saja sulit untuk dicerna bila modal secara langsung diperjualbelikan, dan pada prakteknya memang yang diperjualbelikan adalah selembar catatan yang berisikan jumlah modal yang diwakili oleh lembar catatan itu.

Apa yang tercatat pada lembaran yang diperjualbelikan itu ?, berbagai ragam jenis dan namnya yang kesemuanya terangkum dalam istilah sekuritas (dalam bahasa aslinya Securities) atau disebut juga dengan Efek.

Jadi yang dimaksud dengan sekuritas adalah setiap surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, sekuritas kredit, tanda bukti hutang, setiap rights, warrant, opsi atau setiap derivative dari efek, atau setiap instrumen yang ditetapkan sebagai sekuritas atau efek oleh pihak yang berwenang, di Indonesia yang menetapkan adalah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), sedangkan di USA yang berwenang menetapkan adalah SEC (Securities Exchange Commission) dan di negara-negara lain biasanya juga ditetapkan oleh badan atau lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan pasar modalnya.

Di pasar modal,sekuritas yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaanlah yang diperjualbelikan,perusahaan yang menerbitkan sekuritas ini disebut emiten,pihak yang membeli sekuritas berarti menanamkan modalnya di perusahaan yang menerbitkan sekuritas dan pembeli sekuritas tersebut dinamakan pemodal atau investor,penerbitan sekuritas disebut emisi.Sekuritas dapat pula disebut efek,sehingga pasar modal disebut juga bursa efek.

Salah satu efek yang paling populer diperdagangkan di pasar modal adalah saham.Dalam kegiatan perdagangan di bursa,saham yang diperjualbelikan di pasar modal ini berbeda jenis tingkatannya,perbedaan ini tersusun berdasarkan nilai jaminan yang “diberikan” oleh saham tersebut.Menurut tingkatannya dalam perdagangan saham tersebut,saham-saham dibedakan atas :

a     Saham Utilitas (Utility Stock)

Saham ini merupakan saham yang dikeluarkan oleh perusahaan yang menyelanggarakan kegiatan usaha di bidang sarana dan prasarana umum misalnya telekomunikasi,listrik,energy dan yang berkaitan dengan kepentingan umum lainnya.Saham-saham dari perusahaan ini banyak diminati para pemodal sebab kebanyakan dari perusahaan tersebut memegang monopoli dari pemerintah,dengan demikian beresiko kecil meskipun tidak dapat dikatakan tidak mempunyai resiko.Misalnya saja di Hongkong pada pertengahan November 1995 terjadi penurunan indeks yang cukup tajam pada saham-saham utilitas ini, (sumber :Asia Business News-15 November 1995),hal tersebut diduga karena semakin dekatnya pengalihan pemerintahan Hongkong dari Inggris kepada Cina menyebabkan terjadinya penurunan minat masyarakat terhadap saham-saham utilitas,mungkin sekali hal tersebut berkaitan dengan kekhawatiran dari masyarakat pemodal akan eksistensi perusahaan-perusahaan tersebut karena terjadinya peralihan pemerintahan.

b.    Saham Blue Chip (Blue Chips Stock)

Saham yang dikategorikan dalam jenis ini adalah saham-saham dari perusahaan-perusahaan besar yang sudah sangat mapan misalnya perusahaan-perusahaan besar terutama perusahaan multinasional seprti IBM,General Electrics dan sebagainya di Indonesia dapat dikatakan antara lain Astra.Namun demikian bukannya tanpa resiko menanamkan modal diperusaaan tersebut,karena dengan besarnya perusahaan ,maka biasanya dividen yang diterima para pemodal akan kecil jumlah persahamnya,sehingga bagi pemodal-pemodal kecil tidak begitu menguntungkan.

c.    Saham Establish Growth

Yaitu saham dari perusahaan yang sedang berkembang dengan pesat,saham perusahaan seperti ini menjanjikan keuntungan yang besar dimasa depan,perusahaan tersebut memiliki pertumbuhan yang baik namun kekuatan finansialnya kurang.sehingga memerlukan investasi yang relatif besar untuk mendukung pertumbuhan bisnisnya.Menanamkan modal pada perusahaan ini penuh resiko,namun bila pertumbuhan berhasil baik maka para pemodal akan mendapat keuntungan yang besar sesuai dengan risiko yang dihadapi.Saham perusahaan ini biasanya dijual dengan harga yang relatif rendah pada penawaran perdana,dan bagi pemodal yang menginginkan investasi jangka panjang akan sangat menguntungkan karena sejalan dengan perkembangan perusahaan maka akan terjadi kenaikan harga sahamnya.Saham jenis ini  di Indonesia contohnya antara lain saham TELKOM.

d.    Saham Emerging Growth

Saham dari perusahaan yang baru mulai berkembang dan baru memasuki pasar unyuk produk atau jasa yang dihasilkan.Penghasilan yang didapat perusahaan ini digunakan untuk mendukung pemasaran produk atau jasanya.Risiko pemodal di perusahaan ini lebih besar,karena dapat saja dalam prakteknya perusahaan seperti ini tidak mampu mengembangkan diri dan mengalami kematian.

e.    Saham Penny (Penny Stock)

Perusahaannya juga biasa disebut dengan Perusahaan Penny,yaitu perusahaan yang baru memulai usahanya dan tentunya memerlukan dana yang besar untuk menjalankan bisnisnya.Pemodal yang memiliki saham perusahaan ini harus siap menerima risiko kehilangan seluruh investasinya.

Sebagai suatu surat berharga saham ini memuat nilai nominal sebagaimana telah ditetapkan oleh perusahaan yang mengeluarkannya,jumlah nominal ini merupakan pula jumlah batas hak dan tanggung jawab dari pemiliknya terhadap perusahaan.Harga nominal yang dicantumkan di lembar saham tersebut berbeda dengan harga saham bila diperjualbelikan di bursa efek,hal ini sering menimbulkan pertanyaan bagi pembeli saham yang tidak mengetahui dasar penetapan nilai nominal saham dan bagaimana penetapan harga pasar saham tersebut ketika diperjualbelikan di bursa.Nilai nominal saham adalah nilai per lembar saham tersebut yang didapat dari jumlah modal dasar perusahaan dibagi dengan jumlah lembar saham yang mewakilinya.Sedangkan harga pasar saham tersebut ditetapkan melalui penilaian terhadap perusahaan dan dengan memperhitungkan demand dari pembeli.

B. PASAR MODAL

Di negara-negara maju pasar modal sejak lama telah merupakan lembaga yang sangat diperhitungkan bagi perkembangan ekonomi negara,sebab itu negara selalu  berkepentingan untuk turut mengatur jalannya pasar modal.Kegiatan pasar modal pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga antara lain pusat perdagangan sekuritas atau resminya disebut bursa efek (stock market),lembaga kliring dan lembaga-lembaga keuangan lainnya byang kegiatannya terkait satu dengan lainnya.Bursa efek terdapat di hampir setiap negara,di USA ada New York Stock Exchange (NYSE),di Inggris London Stock Exchange (LSE) di Singapura Stock Exchange of Singapore (SES) di Malaysia ada Kuala Lumpur  Stock Exchange (KLSE),di Nederland ada AmterdamStock Exchange,bahkan di Indonesia terdapat dua kota yaitu Bursa Efek Jakarta (Jakarta Stock Exchange-JSE) dan Bursa Efek Surabaya (Surabaya Stock Exchange-SSE).

Seperti telah disebutkan di atas pasar modal atau bursa efek secara sederhana adalah tempat dimana bertemunya pembeli dan penjual efek yang terdaftar di bursa itu (listed stock),pembeli dan penjual datang untuk mengadakan transaksi jual beli efek. Oleh karena transaksi dilakukan di satu tempat yang tertentu maka diharapkan transaksi bisnis yang terjadi antara penjual dan pembeli menciptakan hsrgs yang wajar berdasarkan permintaan dan penawaran.Hal ini sesuai dengan dibentuknya Bursa Efek yaitu menyelenggarakan perdagangan Efek yang tertib dan wajar.Untuk itu Bursa Efek mempunyai kewajiban mengawasi kegiatan anggota-anggotanya.Di Indonesia,anggota bursa efek  tersebut sekaligus merupakan pemegang saham bursa efek karena di Indonesia Bursa Efek didirikan dalam bentuk Perseroan Terbatas,namun demikian perusahaan efek yanh berhak menjadi anggota bursa efek adalah perusahaan efek yang telah memiliki izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).keanggotaan pada bursa efek ini,sangat penting bagi perusahaan efek karena tanpa keanggotaan mereka tidak dapat melakukan perdagangan efek dilantai bursa.

Di USA terdapat bursa-bursa efek yang termasuk tertua dan terkemuka di dunia diantaranya adalah New York Stock Exchange (NYSE) dan juga American Stock Exchange,perusahaan-perusahaan efek yang besar di USA selalu berusaha agar dapat diterima menjadi anggota bursa efek ini, selain merupakan bursa efek yang terbesar jga keanggotaannya di NYSE ini menjadi lambang prestise bagi perusahaan-perusahaan efek.Oleh karena minat yang begitu tinggi dan jumlah keanggotaan dibatasi maka untuk menjadi anggota di NYSE perusahaan efek harus membeli keanggotaan yang dikenal dengan istilah “seat”,oleh karena tebatasnya keanggotaan bursa ini maka harga satu seat dapat menjadi mahal,tingkat harga yang pernah dicapai adalah US $ 1,000,000,-.

Anggota bursa di NYSE menjalankan berbagai kegiatan perdagangan efek,untuk perbandingan dengan keadaan bursa efek di Indonesia dibawah ini diuraikan secara garis besar beberapa peranan yang dilaksanakan oleh para pedagang efek di bursa USA:

_  Floor broker,yaitu biasanya merupakan seorang pegawai dari salah satu perusahaan efek yang telah mempunyai seat di bursa,orang ini dinamakan juga Commission house broker,perusahaan efek memerintahkan floor broker ini untuk melaksanakan transaksi yang dimintakan oleh kliennya atas nama klien tersebut,dan floor broker ini melaksanakan pembelian  atau penjualan efek dari perusahaan efek melalui “floor clerk”,singkatnya jalannya instruksi pembelian atau penjualan efek ini adalah,dari investor keperusahaan efek lalu diteruskan kepada agen penjualan (sales representative) diteruskan lagi kepada loket pemesanan (order room) dilanjutkan kepada floor clerk akhirnya kepada floor broker dan floor broker melaksanakan perintah ini.

_   Two dollar broker,sering sekali disebabkan karena banyaknya order yang diterimanya floor broker tidak mampu melaksanakan,dan ia menyerahkan kepada “two dollar broker”,nama ini didapat karena dahulu pembayaran yang diterima oleh broker ini adalah $2 untuk setiap 100 saham yang dijual atau dibeli dengan perantarannya.Bila Floor Broker tidak sedang sibuk maka ia dapat pula bertindak sebagai two dollar broker.

_  Specialist,ini adalah anggota bursa yang selalu siap dan mampu untuk memastikan bahwa saham yang diperdagangkan selalu dapat diperjualbelikan dengan harga yang wajar,dengan demikian semua order dari kliennya selalu dapat dilaksanakan dengan cepat,meskipun tidak ada klien yang lainnya yang menerima penjualan atau pembelian suatu saham yang ditawarkan untuk dijual atau dibeli.

_    Competitive trader,mereka ini membeli dan menjual efek di pasar modal untuk dirinya sendiri.Untuk dapat bertindak sebagai competitive trader mereka harus memenuhi persyaratan keuangan,perdagangan,pelaporan tertentu dan transaksi yang dilakukannya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku,hal ini untuk mencegah mereka dari konflik yang dapat timbul dengan perdagangan yang dilakukan oleh pelanggan umum dan anggota-anggota bursa lainnya.Meskipun mereka membeli dan menjual efek untuk kepentigannya sendiri,mereka dapat pula bertindak untuk mewakili orang lain yang ingin menjual atau membeli efek di pasar modal.Di samping itu mereka dapat pula bertindak sebagai two dollar broker.

_  Competitive market maker,adalah anggota bursa efek yang membeli atau menjual efek yang terdaftar di bursa efek atas permintaan anggota bursa atau pialang lain yang menerima order dari pelanggannya.Yang membedakannya dari hasil specialist adalah bahwa mereka dapat memperjualbelikan efek yang mana saja sedangkan specialist yang dapat memperjualbelikan efek tertentu. 

Di Indonesia para pelaku di pasar modal ini bila kita lihat tidak jauh beda dengan yang disebutkan di atas.Secara umum pelaku pasar modal tersebut adalah Perusahaan Efek,yang mempunyai kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek,Penjamin Emisi Efek dan Manajer Investasi dan istilah populer pelaku perdagangan efek ini adalah pialang (broker),dan Reksa Dana yaitu wadah yang menghimpun dana dari masyarakat pemodal yang selanjutnya diinvestasikan ke dalam Portofolio Efek.Di samping itu juga terdapat Wali Amanat,yaitu Pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek (hanya Efek yang bersifat hutang,misalnya obligasi).

C.  Pencarian Dana Perusahaan  

Perjalanan hidup perusahaan mirip dengan perjalanan hidup manusia yang dimulai dari lahir,tumbuh,berkembang,menjadi dewasa bahkan dapat pula menjadi tua dan mati.Dalam menjalani siklus hidup ini seperti layaknya manusia,perusahaan juga membutuhkan darah segar.Dalam kenyataan sehari-hari darah yang diperlukan ini berupa modal usaha yang terutama dalam bentuk uang tunai (cash).

Memang sulit untuk disangkal bahwa modal yang dibutuhkan,apapun bentuknya pada dasarnya adalah uang.Uang yang sangat diperlukan perusahaan adalah dalam bentuk tunai yang sebenarnya bukan dalam bentuk catatan pembukuan,laporan keuangan,neraca,laba/rugi ataupun aliran kas/cash flow.

Banyak perusahaan yang terkecoh oleh angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan tapi ternyata setelah tiba waktunya untuk melakukan pembayaran,tidak tersedia uang yang cukup di kas.Hal ini tentunya sangat tidak baik untuk perusahaan.Dan bila hal ini terjadi tentunya kegiatan perusahaan akan terganggu dan terhenti atau bahkan mungkin perusahaan akan pailit.

Jualan saham ini perusahaan akan mendapatkan uang tunai yang dapat digunakan sebagai modal untuk jangka panjang dan juga sangat berguna untuk mengembangkan perusahaan,membayar hutang dan tujuan-tujuan lainnya.Penjualan saham dengan cara melakukan Penawaran Umum (Go public) ini akan dapat pula meningkatkan nilai pasar dari perusahaan karena umumnya perusahaan yang sudah menjadi perusahaan publik likuiditasnya akan lebih meningkat bila dibandingkan dengan perusahaan yang masih tertutup.

Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering) yang dilakukan oleh perusahaan juga akan meningkatkan kekayaan bersih perusahaan,tanpa perlu membayar kembali atau meminta tambahan pinjaman,dengan kata lain lebih populer penawaran umum ini akan meningkatkan Debt Equity Ratio perusahaan.Di samping itu citra dan perkembangan perusahaan juga akan meningkat.Sebagai contoh,suatu perusahaan yang semula lingkup usahanya hanya bersifat nasional dengan akan lebih mudah untuk dapat melakukan ekspasi ke tingkat internasional seiring dengan penjualan sahamnya dan apabila penawaran umum ini sukses,maka peningkatan citra perusahaan itu dengan sendirinya akan menyertai pula.

Meningkatnya likuiditaas perusahaan dan meningkatnya nilai saham akan berpengaruh terhsdsp psrs pemegang saham.Dengan tidak mengenyampingkan larangan-larangan dan pembatasan praktek pasar tertentu (misalnya larangan insider trading-perdagangan orang dalam),para pemegang saham dapat setiap waktu menjual sahamnya di bursa,dengan demikian dapat mengganti investasinya dengan uang tunai.Dan juga,saham yang dimiliki dapat digunakan sebagai jaminan untuk pinjaman pribadi.

Para pegawai dapat pula menjadi pemegang saham melalui program ESOP (Employee Stock Ownership Plan) yaitu program kepemilikan saham oleh pegawai perusahaan,dengan demikian akan didapat perhatian dan komitmen yang lebih tinggi dalam mencapai keberhasilan perusahaan.Pegawai-pegawai yang potensial dan meupakan key person dapat ditahan dan dimanfaatkan melalui pemberian saham dan/atau opsi untuk membeli saham.Perusahaan dapat melaksanakan program pemberian saham insentif secara opsi kepada pegawainya (dengan Employee Stock Option Plan),hal ini merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi manejemen perusahaan karena pegawai dapat mengetahui harga di pasar dan dengan sendirinya mengetahui berapa besar keuntungan yang akan diterimanya.Program ini merupakan pemberian yang lebih menguntungkanbagi pegawai karena tidak langsung dikenakan pajak penghasilan,pegawai baru akan dikenakan pajak ketika mereka menjual sahamnya itu tentunya lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan cara pemberian bonus lainnya.

Walaupun secara hukum,maupun secara akuntansi dan perpajakan sistem pemberian saham secara opsi bagi pegawai ini sudah diuji dan ternyata lebih menguntungkan,namun demikian pemberian saham yang tidak jelas tjuannya akan mengakibatkan hal yang tidak baik di masa depan,yaitu berupa pengeluaran biaya tambahan dan dapat mengakibatkan berkurangnya laba bersih perusahaan dan earning juga per saham.

Disamping keuntungan-keuntungan di atas dapat pula dikatakan bahwa setelah perusahaan memasuki pasar modal,dan menunjukkan kinerja yang baik maka slanjutnya,tambahan modal akan mudah didapat baik dari pemodal-pemodal individual maupun dari pemodal institusional lainnya.

Bagi para pemodal keuntungan yang diharapkan dari pembelian saham perusahaan biasanya adalah :

_      Dividen, yaitu bila bisnis yang dijalankan perusahaan baik dan menghasilkan keuntungan maka pemegang saham akan mendapat bagian keuntungan yang disebut dividen.

_    CapitalGain,dalam hal ini pemodal yang membeli saham perusahaan misalnya pada pasar perdana dengan harga 2500 rupiah persaham dan bila pada pasar sekunder harganya naik menjadi 3000 rupiah persaham maka pemegang saham akan mendapatkan keuntungan sebesar selisihnya yaitu 500 rupiah perlembar saham.Dalam hal ini perusahaan tidak lagi mendapat keuntungan apapun dari saham yang telah beredar tersebut.

_     Kemudian perpajakan,bila peraturanperpajakan memberikan kemudahan (tax benefit) bagi perusahaan tersebut.

Selain hal yang menguntungkan seperti yang disebutkan diatas terdapat pula hal-hal yang kurang menguntungkan dari rencana Penawaran Umum.Biaya dari Penawaran Umum Perdana atau Initial Public Offering (IPO) ini harus dipertimbangkan sebagi suatu hal yang penting dan kritis,karena biaya penawaran umum dan biaya setelah beroperasi sebagai suatu perusahaan publik adalah cukup besar.Komisi untuk underwriter saja dapat mencapai sekitar tujuh persen dari pendapatan kotor (proceed) yang akan dihasilkan dari penawaran umum.Biaya tambahan lainya termasuk biaya konsultan hukum,akuntan,percetakan dan lembaga penunjang lainnya dapat berkisar antara dua persen dari pendapatan kotor pada perusahaan yang kecil dan sederhana atau berkisar antara enam persen pada perusahaan yang lebih besar dan kompleks permasalahannya/bisnisnya.Biaya ini akan tetap dibayar tanpa bergantung pada selesai atau tidaknya rencana penawaran umum (IPO) tersebut.Biaya untuk menyelesaikan IPO ini dimasukkan sebagai pengurangan dari penambahan modal yang didapat,oleh karena itu sering tidak temui  dalam laporan keuangan perusahaan.

Disamping itu apabila IPO tidak selesai atau karena suatu hal tertunda biaya-biaya tertentu harus tetap dibayar.Dan juga selain tidak dapat diprediksi jumlahnya secara tepat,biaya yang berkenaan dengan IPO yang tidak selesai juga sudah dikenakan pajak.

Para eksekutif perusahaan juga harus memusatkan perhatian kepada program IPO untuk berbulan-bulan.Proses IPO memakan waktu yang bervariasi dan lebih banyak dari yang direncanakan semula.Dan juga Badan Pengawas Pasar Modal (SEC di USA,BAPEPAM di Indonesia) mewajibkan keterbukaan yang sangat luasbagi perusahaan public,hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu hal yang agak negatif dari pelaksanaan penawaran umum.Sebagai contoh pihak manejemen harus membukakan informasi yang sangat luas termasuk keuntungan,posisi dalam persaingan,gaji dan kesejahteraan bagi pegawai.Prinsip keterbukaan ini tampak dalam peraturan mengenai prospectus (dokumen penawaran) yaitu bahwa setiap propektus dilarang memuat keterangan yang tidak benar tentang fakta material,atau tidak memuat keterangan yang benar tentang fakta material yang diperlukan agar prospectus tidak memberikan gambaran yang menyesatkan.Hal ini akan membawa tanggung jawab bagi setiap pihak yang menandatangani  pernyataan dan pendaftaran (sebagai persyaratan untuk penawaran umum perusahaan harus mengajukan pernyataan pendaftaran kepada badan pengawas pasar modal),para direktur atau komisaris perusahaan pada waktu itu,penjamin emisi efek dan profesi penunjang pasar modal yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya dimuat dalam pernyataan pendaftaran.

Pada tahun 1992 Badan Pengawas Pasar Modal (SEC) di USA memperluas prinsip keterbukaan ini secara cukup signifikan dengan mengharuskan keterbukaan (disclosure) mengenai pembayaran imbalan bagi para eksekutif perusahaan.Tambahan perubahan ini juga meliputi perbandingan antara pembayaran kepada para eksekutif dengan performansi dari saham perusahaan,dan diharuskan pula adanya informasi yang terbuka untuk para pemegang saham dalam hal tersebut.

Penawaran Umum Perdana (IPO) ataupun juga penjualan di pasar sekunder akan mengurangi control dari pemegang saham lama yang telah ada.Selain itu sebagai perusahaan publik,berbagai keputusan tertentu harus disetujui lebih dahulu oleh para pemegang saham,hal ini tentunya mengurangi privasi manejemen perusahaan.

Setelah perusahaan menjadi perusahaan publik maka akan terdapat tekanan untuk meningkatkan performansi dan dividen,untuk itu harus diwaspadai bahwa keberhasilan untuk jangka panjang mungkin akan terancam bila manejemen dipaksakan untuk mengejar tujuan dalam jangka pendek oleh para pemegang saham.Pemegang sahan (pemodal) harus disuguhi laporan kwartalan tentang informasi keuangan,hal ini akan menambah tekanan bagi peningkatan performansi perusahaan,terutama di masa-masa sedang meningkatnya kondisi pasar.Para pemodal tentunya menginginkan keuntungan/laba dari investasinya dan apabila mereka menjadi tidak puas atau kecewa,akan dapat pula menurunkan harga saham di pasar modal karena mereka akan menjual sahamnya secara besar-besaran.

Untuk memenuhi keinginan para investor,berbagai persentasi yang umumnya dalam bentuk tercetak,harus disajikan beserta laporan keuangan triwulan dan tahunan,hal ini tentunya membutuhkan banyak waktu dan perhatian dari manejemen,disamping merupakan biaya tambahan yang cukup berarti.Tugas-tugas yang rutin ini juga membutuhkan tambahan  personil juga sumberr daya lainnya terutama dibagian Publik Relation dan adanya kewajiban dari Badan Pengawas Pasar Modal agar perusahaan menjalankan fungsi Investor Relation.

Nilai perusahaan akan selalu perpengaruh oleh keadaan umum dari perekonomian global dan fluktuasi pasar modal terkadang yang tidak ada hubungan yang langsung dengan bisnis perusahaan atau dengan kata lain nilai perusahaan diluar kontrol perusahaan nilai perusahaan ini akan tercermin pada harga saham di pasar modal.

Penjualan saham oleh orang dalam perusahaan (insider) dibatasi oleh Undang-undang Pasar Modal,demikian pula adanya persyaratan Lock Up (Pembatasan waktu,dimana pemegang saham tertentu tidak diperkenankan untuk menjual sahamnya) dari underwriter atau dari pemerintah juga keinginan untuk menghindar dengan jalan “bailout” (misalnya penjualan kepada insider pada saat IPO),bila penawaran dilakukan di pasar modal USA maka perusahaan juga terkena larangan-larangan yang terdapat dalam Peraturan pasar modal USA.

Dalam pelaksanaan Penawaran Umum ini dapat dikatakan tidak ada jalan kembali,proses ini benar-benar satu arah (one way).Untuk kembali menjadikan perusahaan publik menjadi perusahaan privat adalah sangat sulit disamping tentunya mahal sekali.


 2.   Saat Yang Tepat Untuk Penawaran Umum Perdana

Keputusan yang baik dapat dicapai melalui evaluasi teknis,,insting yang tepat,dan visi perusahaan terhadap keberhasilan.Seperti sering dikatakan bahwa hal-hal tersebut merupakan faktor penentu yang akan dipertimbangkan oleh orang-orang yang bergerak dibidang ekonomi dan keuangan.Beberapa hal yang semestinya dijadikan faktor untuk evaluasi antara lain adalah :

_  Catatan Kinerja Perusahaan tahun-tahun terakhir,perusahaan mungkin mempunyai sejarah tentang kekuatan finansial,penghasilan laba yang konsisten dan terpelihara dan pertumbuhan pendapatan,atau pangsa pasar yang khusus,hal ini dapat merupakan faktor pertimbangan yang sangat baik,meskipun pada waktu akhir-akhir ini tingkst pertumbuhan perusahaan sangat kecil ataupun tidak ada penjualan sama sekali dan di pasar telah terjadi kejutan-kejutan yang cukup potensial.

_      Ukuran perusahaan,ini dilihat dari berbagai hal dan berbeda di masing-masing Bursa efek di berbagai negara.Umumnya untuk perusahaan yang tidak begitu membuthkan teknologi,Penjamin Emisi (underwriter) selali melihat pertumbuhan dan konsistensi pendapatan tahunan yang lebih dari US$ 15 juta dan laba bersih US$1 jta atau lebih.

_      Faktor-faktor Intangible juga harus dipertimbangkan,salah satu faktor yang diperimbangkan adalah penerapan teknologi,terutama teknologi maju yang akan membuat produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan menjadi tampil beda di pasar dan berada diatas pesaingnya.

_   Tujuan perusahaan dan tujuan dilaksanakan penawaran umum,kebutuhan perusahaan terhadap modal biasanya lebih ditekankan untuk jangka panjang dibanding dari tujuan untuk jangka pendek.Dan ini didukung oleh pemikiran yang penuh dan dokumentasi yang baik dari rancangan bisnis (business plan) perusahaan.Ukuran besarnya penawaran yang akan dilakukan perusahaan digiring/diarahkan oleh apa yang dibutuhkan dan apa yang akan dicapai oleh perusahaan.

_      Pangsa pasar,produksi perusahaan harus cukup untuk dapat mempertahankan pertumbuhan keuntungan yang cukup besar.

_   Gaya manejemen,perusahaan juga harus fleksibel untuk membantu agar perusahaan dapat bertahan dari tekanan yang datang dari pemegang saham,direksi,analis,dan tekanan-tekanan di bidang finansial dan juga dari masyarakat,hal ini juga harus dapat menjaga perusahaan agar tetap berhasil dalam jangka waktu panjang.

_    Manejemen yang kuat,perusahaan harus mempunyai manejemen yang kuat serta berpengalaman,dan juga dewan komisaris yang bertindak sebagai badan penasehat.Hal ini juga merupakan faktor-faktor penting yang dipertimbangkan oleh Penjamin Emisi dan pasar modal.

_    Internal kontrol, sistem akuntansi dan sistem informasi manejemen perusahaan harus bener-benar mampu menangani peningkatan pertumbuhan dan pelaporan keuangan,termasuk laporan keuangan intern yang akurat.

_    Laporan-laporan,laporan yang diaudit untuk tiga tahun terakhir sebelum penawaran umum sangat diperlukan.Hal ini tentunya merupakan hal yang mahal dan juga rumit dalam kenyataannya.Kebanyakan dari Penjamin Emisi regional menghendaki bahwa laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik yang besar.

Sebaiknya persiapan dimulai lebih awal sehingga manejemen perusahaan merasa yakin bahwa laporan keuangan beberapatahun yang lalu telah tersedia sebelum dimulainya penawaran umum perdana (IPO).Hal ini akan menghemat biaya untuk persiapan IPO.Menejemen perusahaan akan terhindar dari kekacauan karena sementara persiapan dilakukan,bisnis perusahaan harus terus berjalan dan yang lebih penting,yaitu waktu.Semakin cepat perusahaan bersiap untuk memasuki pasar,semakin lebih mungkin pula mendapatkan kesempatan pasar yang baik,dan semakin tinggi pula nilai pasar perusahaan dan tentunya juga harga saham.

Dengan persiapan yang lebih dini,manajemen perusahaan lebih leluasa untuk membuat rancangan penawaran saham,penyederhanaan struktur modal dan melaksanakan “house keeping” dan nantinya perusahaan akan dapat melakukan rencana dengan lebih mudah sebelum proses penawaran perdana.Bagaimanapun juga,jika ada rencana memberi saham secara opsi maka pelaksanaan pemberian saham atau opsi (option) tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan direncanakan sebelumnya,paling tidak dalam waktu tiga tahun sebelum Penawaran Umum Perdana (IPO) apalagi bila diberikan harga dibawah harga penawaran perdana yang akan ditetapkan,karena hal ini akan dapat merupakan dilusi yang potensial bagi saham perusahaan yang sudah dikeluarkan,dan akan mempengaruhi besarnya earning persaham,juga merupakan tambahan biaya yang harus dibayar.Harus diperhatikan benar-benar harga yang wajar bagi saham yang akan dikeluarkan yang akan ditentukan kemudian untuk mendapatkan harga opsi yang lebih baik.Satu cara untuk memperkecil resiko adalah dengan mencari advis di bidang akuntansi dan melakukan penilaian bagi harga saham perusahaan pada waktu pemberian opsi (option ) dilakukan.

Kesiapan pasar modal merupakan salah satu aspek yang paling sulit diperhitungkan dalam proses penawaran umum.Dalam penawaran umum terdapat istilah “Jendela Pasar” (Market Window) yang mengacu pada minat pemodal dan kapasitas penerimaan pasar modal untuk suatu penawaran umum,jendela ini dapat terbuka atau tertutup dalam suatu saat yang singkat,dan terkadang lebih sering pula tertutup daripada terbuka.Secara umum dipercaya bahwa penawaran umum akan berhasil dengan baik bila dilakukan ketika jendela pasar mulai sedikit terbuka,dibanding ketika jendela terbuka lebar di mana begitu banyak perusahaan yang memasuki pasar dengan melakukan penawaran umum.

Untuk memberikan ilustrasi mengenai jendela pasar ini,akan dapat dilihat pada grafik turun naiknya jumlah perusahaan yang melakukan penawaran umum pertama (IPO) selama lebih kurang 11 tahun di USA. 

Gambar 1 :

Ilustrasi Jendela Pasar







Sumber : Price Waterhouse

Jendela pasar terbuka lebar pada tahun 1983 sampai dengan awal tahun 1984; triwulan kedua tahun 1986 sampai dengan masa krisis di USA tahun 1987 yang terkenal itu; dan pada kwartal keempat tahun 1991 sampai triwulan pertama tahun 1993. Dalam kenyataannya hampir 60%  dari keseluruhan IPO dilakukan pada 15 triwulan yang paling aktif (hanya 35 persen dari seluruh kwartal dari keseluruhan selama 11 tahun). Kebanyakan dari 28 tiwulan lainnya tampak kegiatan IPO tidak begitu menonjol.

Namun demikian jendela pasar bukan satu-satunya aspek waktu yang harus dianalisis dengan mata yang tajam terutama untuk prefensi bagi industri tertentu dan periode musim – musim tenang (musim panas libur bulan Desember), dan juga untuk menangkap saat akhir dari jendela pasar. Suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang industri yang favorit misalnya industri bioteknologi yang menikmati jendela pasar yang sangat lebar seperti halnya pada saat meningkatnya industri bioteknologi. Industri bioteknologi ini menikmati masa yang sangat baik untuk IPO dalam masa tahun 1991 sampai 1992 saat ini jendela pasar benar-benar terbuka bagi industri ini meskipun pasar pasar menjadi jenuh dengan penawaran itu dan juga disebabkan harga yang relatif tinggi dari perusahaan bioteknologi. Akhirnya industri tersebut melalui saat – saat “turun naik” yang menciptakan kesempatan yang cukup besar untuk “set back” bagi beberapa perusahaan.

Perubahan harga yang signifikan seperti yang dikatakan diatas dapat berpengaruh besar kepada harga potensial dan nilai pasar. Dengan demikian manajemen perusahaan harus memfokuskan pandangan pada pasar secara menyeluruh dengan tidak melupakan jenis industri perusahaan.

Apa artinya semua ini?sebagai tambahan terhadap pertimbangan membaik atau tidaknya kondisi harga (nilai pasar),ini dapat diartikan sebagai peningkatan atau penurunan kemungkinan kesuksesan dalam melakukan penawaran umum.Dengan kata lain perusahaan bioteknologi yang memasuki pasar modal pada bulan Juli 1997 sampai bulan Januari 1992 (di ujung jendela pasar bioteknologi) kemungkinan akan mendapatkan harga yang lebih baik dan kondisi pasar yang lebih favourable disbanding dangan perusahaan yang sama Yang memasuki pasar pada saat jendela pasar tersebut tertutup pada bulan Maret sampai bulan April 1992.

Stategi yang baik dan pandangan yang tepat dapat meminimalkan waktu yang diperlukan untuk melakukan sesuatu untuk melakukan penawaran umum perdana.Melakukan penawaran  umum ketika pasar sedang “kuat” adalah lebih baik bila dibandingkan dengan bila terlewatnya kesempatan untuk beberapa minggu saja yang dapat mengakibatkan tertunda atau batalnyarencana penawaran umum dan juga akan mengakibatkan bertambahnya biaya dan rendahnya penilaian pasar.Satu tanda dari jendela pasar bagi perusahaan adalah beberapa proceed yang didapat oleh perusahaan publik yang bergerak dalam bidang industri yang sama,terutama dengan yang baru saja melakukan penawaran umum.Indikator umum jendela pasar yang dapat diikuti dengan mudah adalah bagaimana penilaian atas keseluruhan pasar.

Dampak dari “timing” pasar yang tidak favourable dapat digambarkan melalui contoh  berikut ini di mana suatu perusahaan go publik setelah tertunda beberapabulan,dengan nyata kehilangan kesempatan untuk memasuki jendela pasar.Perusahaan itu mendapatkan hasil seperti pada table berikut:

Tabel 2 :

Kesempatan terbuka Saat go publik selisih

Harga saham $ 13-$ 15 $ 11 $ 2-4

Nilai Pasar $ 114 mm-$ 131 mm $ 91 mm $ 23 mm-$ 40 mm

Jumlah saham yang ditawarkan 2,5 mm 2,0 mm 0,5 mm

Pendapatan Kotor (Proceed) $ 33 mm-3 mm $ 22 mm $ 11 mm-16 mm


Sumber : Price Waterhouse


Meskipun nilai pasar perusahaan suatu waktu setelah menurun dan berkurang dapat naik kembali,namun berkurangnya keuntungan dan terjadinya dilusi tidak dapat diperbaiki kembali.Milyaran rupiah yang akan melayang dalam turunnya nilai pasar,demikian juga pendapatan kotor (proceed) yang akan diterima oleh perusahaan.Hal ini juga menandakan bahwa proses penawaran umum perdana merupakan suatu hal yang penuh resiko.Persiapan dan kesiapan untuk menantikan pasar terbuka serta pelaksanaan yang tepat merupakan kunci keberhasilan proses ini.Dengan perhitungan waktu yang baik,menejemen dapat memastikan bahwa perusahaan telah memiliki karakter positif untuk melakukan Penawaran Umum Perdana (IPO).

Bagaimanapun juga,secara jujur dapat dikatakan bahwa perhitungan waktu yang tepat (timing) tersebut baik bagi perusahaan maupun bagi pasar adalah lebih merupakan seni daripada suatu ilmu pengetahuan (science).Disamping itu menejemen perusahaan dapat menjalin hubunganyang baik dengan satu atau lebih perusahaan penjaminan emisi (underwriter) dan mengikuti pekembangan rasio nilai pasar secara umum (misalnya P/E Ratio) atau industri yang sedang favorit untuk dapat menjadi panduan dalam menentukan saat yang tepat (timing) untuk IPO. Untuk meningkatkan persepsi manajemen perusahaan mengenai timing ini, dianjurkan agar manajemen perusahaan berlangganan media- media yang membahas masalah finansial seperti surat kabar atau majalah bisnis dalam negeri ataupun luar negeri, utnuk luar negeri terdapat beberapa media seperti The Wall Street Journal, Barons and Investor’s Business Daily atau “Going Public: The IPO Reporter” ( Suatu publikasi tentang Investment Dealers, Digest, yang beralamat di: 2, World Trade Center, New York, NY 10048), yang melaporkan secara mingguan volume IPO, industri-industri favorit dan informasi penting lainnya yang relevan di Indonesia juga cukup banyak majalah dan surat kabar serta jurnal-jurnal yang memuat analisis mengenai bisnis dan finansial ini.

g. Biaya Penawaran Umum Perdana

Seperti telah disinggung diatas bahwa biaya untuk penawaran umum perdana ini besar sekali, dan perlu dipertimbangkan secara matang oleh para pemilik perusahaan dan manajemennya. Biaya-biaya tersebut adalah:

a. Komis untuk Underwriter (underwriters discount), pembayaran untuk penjamin emisi efek (underwriter) diberikan dalam bentuk komisi, yang besarnya dapat mencapai sekitar tujuh persen dari hasil pendapatan kotor dari penawaran saham yang dilakukan. Dalam pembayaran underwriter ini juga termasuk untuk penjaminan (warrant), opsi (option), biaya konsultasi, biaya-biaya yang tidak diperhitungkan ( non accountable expenses ) missal untuk out of pocket expenses (OPE), fee untuk finders ( finders fee-jika IPO dilakukan oleh perusahaan yang merupakan suatu merger atau akuisisi) dan hak preferensi untuk pembiayaan dimasa yang akan datang. Pembayaran untuk underwriter ini adalah salah satu biaya yang terbesar, dan biasanya sekitar dua pertiga dari keseluruhan biaya.

b. Biaya konsultan hukum, biaya ini biasanya berkisar disekitar US$ 100.000 sampai US$ 200.000 pada perusahaan yang kecil atau penawaran yang sederhana namun dapat secara cepat meningkat dan dalam kenyataannya berkisar antara US$ 400.000 sampai US$ 600.000 atau lebih untuk perusahaan yang besar ( diatas US$ 50 juta) atau penawaran yang rumit bahkan mencapai 3 juta US Dollar, penawaran untuk perusahaan dengan modal dasar dan bidang usaha yang besar, atau perusahaan yang membutuhkan persiapan bidang legal yang cukup banyak atau memerlukan bantuan pihak luar. Tambahan lagi, bila perusahaan merencanakan untuk menjual saham di USA atau dinegara-negara bagian USA, maka perusahaan harus membayar biaya konsultasi hukum dan biaya pendaftaran untuk pengisian pernyataan pendaftaran di SEC, National Association of Securities Dealers (NASD) dan untuk pendaftaran “Blue Sky” dinegara-negara bagian di USA, biaya tambahan ini berkisar antara US$ 20.000 sampai US$ 50.000 bergantung pada ukuran dari penawaran, jumlah negara bagian yang jadi tempat pendaftaran dan penjualan dan jumlah saham yang akan ditawarkan. Adakalanya perusahaan harus membayar tambahan biaya konsultan hukum dari underwriter, terutama bila keterlibatan konsultan tersebut cukup besar pada saat membuat konsep Pernyataan Pendaftaran.

c. Biaya akuntan, biaya ini berkisar antara $ 50.000 sampai $ 100.000 untuk perusahaan yang kecil atau penawaran sederhana dan $ 150.000 sampai $ 225.000 atau lebih untuk penawaran yang rumit atau besar yang memerlukan beberapa jenis audit dan beberapa jenis penerbitan laporan akutansi keuangan. Biaya ini sebanarnya dapat ditekan bila audit regular telah ditampilkan dan bila hasil audit tahun-tahun sebelumnya sudah diselesaikan dengan baik. Biaya ini akan menjadi lebih besar bila diaudit sebelumnya tidak pernah dilakukan. Tugas lain yang dilakukan akuntan biasanya adalah termasuk review terhadap Pernyataan Pendaftaran, memberikan bimbingan terhadap perusahaan mengenai berbagai hal termasuk dalam menjawab tanggapan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan juga mempersiapkan “Comfort Letters” untuk penjamin emisi (underwriter).

d. Biaya Road Show, biaya road show ini adalah biaya untuk beberapa pejabat eksekutif perusahaan yang akan mengadakan persentasi didepan para calon investor yang potensial yang selain memakan biaya juga memakan waktu yang cukup besar. Pelaksanaan road show ini adalah dengan menyediakan waktu beberapa minggu untuk menjalani/mengunjungi beberapa kota besar didalam negeri dan luar negeri. Dalam pelaksanaannya road show ini merupakan perjalanan yang sangat melelahkan baik secara fisik maupun psikis, karena dalam road show diluar negeri (misalnya di USA) selain melakukan persentasi para calon pemodal akan meminta kesempatan untuk “one-on-one meeting” dimana pada saat calon pemodal bertemu “lebih dekat” dengan manajemen perusahaan dan pada kesempatan tersebut mereka akan “mengupas seluruh isi perut perusahaan” sampai kepada hal-hal yang sebenarnya diluar jangkauan kontrol manajemen perusahaan (termasuk situasi politik dalam negeri perusahaan calon emiten).

e. Biaya pencetakan dan penerbitan, biaya ini berkisar antara US$ 50.000 sampai US$ 250.000 untuk pernyataan pendaftaran, prospectus, dokumen penjaminan (underwriting document) dan sertifikat saham serta brosur-brosur perusahaan yang diperlukan. Biaya ini bervariasi dan dapat meningkat sampai melampaui batas tersebut bergantung dari panjang dan banyaknya dokumen, penggunaan warna dan jumlah perubahan yang dilakukan. Biaya pencetakan ini dapat dihemat dengan cara menunggu sampai dokumen benar-benar sudah final, barulah mengirimnya ke perusahaan pencetakan. Dengan demikian jumlah perbaikan dan perubahannya akan berkurang , Sebaiknya arahkan agar konsultan hukum perusahaan menggunakan “pengolah kata” (word-processor) yang sama dengan perusahaan percetakan, sehingga dapat dikirim secara elektronik langsung ke printer, ini akan menghindari penundaan ataupun biaya perbaikan dan pengetikan ulang.

f. Biaya Public Relation, biaya ini tidak bisa diabaikan karena ternyata perusahaan  harus berupaya menarik perhatian masyarakat calon pemodal. Dalam biaya public relation ini termasuk biaya iklan diberbagai media. Meskipun terdapat larangan “gun jumping” bila perusahaan akan mendaftarkan sahamnya di USA, namun biaya public relation ini tidak dapat dihindarkan dan merupakan salah satu unsur biaya yang cukup besar.

g. Biaya Listing (Biaya pendaftaran di Bursa), bila perusahaan mendaftarkan sahamnya di Bursa di USA maka harus diperhatikan bahwa biaya tersebut diperkirakan menurut jumlah penawaran yang akan dilaksanakan, bila ternyata pembayaran tersebut kurang maka perusahaan harus membayar kekurangannya dan terkena “penalti” namun bila ternyata penawaran yang dilakukan lebih kecil dari perkiraan sehingga pembayaran menjadi lebih , maka dalam praktek tidak diadakan “refund” oleh bursa efek.

Di samping biaya-biaya tersebut diatas perusahaan masih harus mengeluarkan biaya pendaftaran di badan pengawas pasar modal, biaya untuk berbagai konsultan dan lembaga penunjang seperti appraisal, biro administrasi efek, bila perusahaan memiliki Dana Pensiun diperlukan pula untuk Aktuaris, dan masih banyak biaya-biaya lainnya yang mungkin timbul belakangan yang sulit sekali untuk dapat diprediksi.

H. Biaya Perusahaan Publik

Setelah menjadi perusahaan publik maka ada beberapa biaya yang akan timbul antara lain :

a. Biaya administrasi tahunan dan biaya hubungan investor termasuk laporan triwulan, laporan kejadian penting, laporan tahunan, agen transfer, dan public relation dan investor relation.

b. Pajak-pajak dan biaya lainnya, termasuk Franchise, transfer saham dan modal dan juga kemungkinan biaya litigasi dan jurisdiksi yang mungkin saja timbul.


Beberapa underwriter juga mensyaratkan perusahaan untuk membayar asuransi kerugian bila terjadi kesalahan dan kelalaian. Biaya asuransi ini sulit untuk diprediksi.

Bila perusahaan telah mempunyai pandangan mengenai keuntungan dan kerugian atas suatu penawaran umum , biaya-biayanya dan selanjutnya kita akan bicarakan mengenai dua jenis timing (saat penawaran) yang harus diamati.

Perusahaan harus mempertimbangkan dalam jangka waktu panjang dan matang mengenai pertanyaan, “Apakah perusahaan sudah siap untuk melakukan Penawaran Umum (go public)?”. Suatu hal lagi yang sama pentingnya dengan kesiapan perusahaan ialah “Apakah pasar juga telah siap?”, persiapan perusahaan sangat penting namun kesiapan pasar juga sama pentingnya, bila pasar tidak siap, maka sebaiknya perusahaan terpaksa menunggu. Kondisi pasar dapat berubah dengan cepat, terkadang hanya dalam satu malam, seperti yang dibuktikan pada “crash” yang terjadi tahun 1987 di USA dimana harga saham jatuh. Jadi, sekali perusahaan memutuskan untuk melakukan penawaran umum, maka perusahaan harus memperhatikan dengan seksama kesiapan ini untuk mendapatkan pasar yang maksimum, ketika pasar benar-benar menampakkan kesiapannya. Harus diingat bahwa kondisi pasar selalu dapat diperhitungkan seperti halnya persiapan dari perusahaan itu sendiri.


3. Struktur Penawaran Umum

Untuk perusahan yang berukuran besar,pelaksanaan penawaran umum sering dilakukan tidak saja di Bursa Indonesia tapi juga di Bursa luar negeri, misalnya di USA, Jepang, Inggris dan sebagainya. akibat dari peanawaran umum yang dilakukan di berbagai negara ini, maka manajemen dan pemilik perusahaan perlu menetapkan struktur penawaran umum yang akan dilakukan.

Yang dimaksud dengan struktur penawaran disini adalah bahwa manajemen dan pemilik perusahaan harus menentukan persentasi penawaran yang akan dilakukan diberbagai bursa efek, baik didalam maupun diluar negeri. Penentuan struktur penawaran ini dilakukan setelah selesainya kegiatan penilaian asset perusahaan (appraising). Penyusunan struktur ini dilakukan bersama oleh manajemen dan pemilik perusahaan , Underwriter (untuk penawaran internasional disebut Global Coordinator), struktur ini disusun bersama. Meskipun kepentingan para underwriter terkadang berbeda dengan manajemen perusahaan , namun pada saat pelaksanaan penyusunan struktur penawaran harus didapat kesepakatan yang didasarkan kepada perhitungan yang akurat. Misalnya struktur penawaran perusahaan yang akan melaksanakan IPO. Untuk di Indonesia penawaran dilakukan sebanyak 25% di USA 25% di London 10%. Salah satu bagian penawaran yang menarik dan penting adalah pemberian saham untuk pegawai perusahaan dalam bentuk Employee Stock Ownership/Option Plan.

Sebagai tambahan atas alternatif yang telah dibicarakan maka pemberian ESOP kepada pegawai juga merupakan alternatif yang efektif. ESOP (Employee Stock Option Plans) adalah pemberian hak untuk membeli saham untuk jangka waktu tertentu dengan harga yang tetap , yang diberikan kepada pegawai perusahaan. Pemberian ESOP ini juga merupakan salah satu cara persiapan pensiun bagi pegawai, bagi perusahaan halm ini juga berarti meminjam uang dengan memberi jaminan dalam bentuk saham kepada pegawai. Penghasilan yang seharusnya dibayarkan kepada pegawai dapat digunakan oleh perusahaan, dan dengan demikian menjadi suatu alat pendanaan yang efektif disamping itu juga merupakan cara untuk melepas saham oleh para pemegang saham lama sebagai suatu exit strategy. Program ESOP ini memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan bagi pemegang saham lama antara lain adalah :

- ESOP dapat digunakan sebagai exit strategy/bagi pemegang saham lama, dengan kata praktisnya, adalah merupakan kesulitan bagi pemegang saham lama, terutama para insider untuk menjual sejumlah besar sahamnya melalui IPO, sedangkan dengan ESOP ini terdapat kesempatan bagi pemegang saham lama untuk benar-benar melepas sebagian dari kepemilikan atas perusahaan bila mereka menginginkannya.

- Dalam suatu keadaan tertentu, pemegang saham dapat menunda pembayaran pajak penghasilan yang didapat dari penghasilan atas penjualan saham melalui ESOP, dan penundaan ini dapat berlaku seterusnya.

- Biaya untuk penjualan saham dengan ESOP (atau mengeluarkan saham baru) dapat mengurangi/memperendah biaya IPO, terutama karena tidak ada komisi untuk underwriter.

- Pada saat yang sama keuntungan bagi perusahaan juga termasuk memperluas kepemilikan saham bagi pegawai, perusahaan akan menerima keuntungan dari bertambah luasnya kepemilikan pegawai terhadap perusahaan termasuk peningkatan komitment pegawai terhadap masa depan dan keberhasilan perusahaan.

- Keuntungan di bidang perpajakan, perusahaan secara efektif mendapatkan  pengurangan pajak yang selama ini dikenakan biaya membayar kembali hutang pokok yang merupakan objek pajak, dangan memberikan dividen kepada pegawai yang memiliki ESOP.

Meskipun terdapat beberapa alternatif yang dapat digunakan sebagaai bridge financing, namun privat placement dan pendanaan dengan modal ventura merupakan salah satu alternatif yang cenderung lebih banyak digunakan berbagai perusahaan.

Demikian pula apabila rencana IPO perusahaan merupakan exit strategy dari pemegang saham lama (existing), maka harus dipertimbangkan juga alternatif untuk menjual  perusahaan untuk itu banyak litaratur yang dapat dijadikan panduan

4. Dukungan Konsultan

Pengambilan keputusan untuk melakukan penawaran umum merupakan proses yang cukup rumit. Ada beberapa keuntungan dan kerugian tertentu yang harus dipertimbangkan, meskipun ada beberapa alternatif yang dapat dipelajari, namun masalah waktu (timing) memang sulit untuk dapat dikontrol, dan adanya risiko yang cukup besar bagi perusahaan. Namun hal ini kemungkinan belum merupakan keseluruhanmasalah yang akan menjadi bahan pertimbangan.

Hal lain yang harus dihadapi oleh manajemen dan pemilik perusahaan adalah bagaimana agar dapat memahami dan menilai secara objektif pertimbangan-pertimbangan yang telah diberikan, dan bagaimana caranya untuk mencari masukan dari akuntan publik perusahaan, dari penjamin emisi (underwriter), dari para direktur, pemegang saham utama, baik sebelum atau sesudah pengambilan keputusan. Setidak-tidaknya, harus diupayakan agar mendapat informasi yang cukup dan juga mengadakan penelitian yang memadai dalam proses pengambilan keputusan disertai dengan rencana yang matang dan terpadu dan bila hal ini sudah dipersiapkan dengan baik maka dengan sedikit unsur keberuntungan perusahaan diharapkan akan mendapat hasil akhir yang memiaskan dalam melaksanakan penawaran umum.

Apabila perusahaan benar-benar merencanakan untuk melakukan penawaran umum maka sebaiknya manajemen perusahaan mencari konsultan-konsultan yang dapat memberikan dukungan atau advis antara lain untuk :

Untuk setiap jenis kegiatan tersebut di atas berbagai konsultan dan lembga penunjang harus digunakan oleh perusahaan yang tentunya dengan pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan. Dan dengan memperhatikan pula prosedur penunjukan yang baik, yang tidak melanggar aturan yang ditetapkan.

5. Beberapa Hal Penting Untuk Penawaran Umum

Setelah membahas tentang keuntungan dan kerugian serta saat yang tepat (timing) untuk melakukan IPO, kini pembahasan akan dilanjutkan mengenai beberapa faktor yang dapat mendukung keputusan untuk bertindak lebih lanjut. Daftar di bawah ini mennjukkan beberaps hal yang diperlukan bagi perusahaan yang akan melakukan IPO.

- Produksi atau jasa yang ditawarkan perusahaan hendaknya dibuat sedemikian hingga “highly visible”, mudah dikenal oleh para investor dan dapat menunjukkan kemampuan dalam pemecahan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan.

- perusahaan harus memiliki pertumbuhan pendapatan yang cukup nyata dan terkontrol, Ciri ini kemungkinan lebih penting daripada antisipasi terhadap P/E ratio yang dicapai perusahaan.

- Prestasi kinerja perusahaan telah terbukti dan perusahaan mempunyai momentum-momentum yang dapat diprediksi secara akurat.

- Perusahaan telah terbukti menghasilkan laba (profit), juga kemampulabaan yang dapat diterima sebagai suatu tigkat pertumbuhan yang tinggi baik bagi perusahaan atau bagi pasar.

- mempunyai tingkat insider trading yang kecil atau tidak ada sama sekali. Para pemodal pada umumnya akan mempertanyakan hubungan antara rencana penawaran umum dengan kemungkinan tindakan para insider yang dapat muncul secata tiba-tiba dalam prospek jangka panjang perusahaan, misalnya penjualan saham oleh para insider dalam jumlah besar.

- Memenuhi persyaratan minimum dari alternatif pendaftaran (listing), yang akan diperoleh oleh perusahaan. Manajemen perusahaan harus mempelajari persyaratan pendaftaran dan memastikan bahwa perusahaan akan dapat dengan mudah memenuhinya juga termasuk persyaratan setelah penawaran umum perdana.


C.  Perencanaan Dan Persiapan

1. Menyusun Perencanaan

Seperti telah dikatakan sebelumnya, keberhasilan Penawaran Umum Perdana memerlukan perencanaanyang matang. Idealnya perencanaan ini dilakukan sekitar dua atau tiga tahun sebelum perusahaan melaksanakan penawaran umum, dalam arti bahwa bila pemilik dan manajemen perusahaan mempunyai niat untuk melakukan penawaran umum (go public) dengan melepas sebagian dari sahamnya maka segala sesuatunya harus dipersiapkan jauh sebelumnya, pengalaman dalam pelaksanaan menunjukkan bahwa pekerjaan persiapan yang harus dilakukan didalam perusahaan secara intern ternyata lebih banyak dari yang di bayangkan, dan pekerjaan ini menyita waktu yang cukup lama dan merupakan suatu pekerjaan “house-keeping” yang cukup membuat seluruh jajaran perusahaan akan merasakan kerepotannya.

Bila persiapan dilakukan dalam waktu yang tidak cukup panjang maka hasil yang akan dicapai akan kurang memuaskan; biasanya persiapan yang kurang dari enam bulan dapat mengakibatkan kesulitan. Waktu persiapan yang yang cukup panjang akan sangat membantu perusahaan untuk mengurangi  biaya, membatasi kendala yang ada, dan juga akan mempersingkat waktu yang diperlukan untuk proses pelaksanaan penawaran umum perdana itu sendiri, di samping itu juga akan memperkecil gangguan terhadap bisnis perusahaan sementara proses persiapan penawaran umum berjalan, karena meskipun perusahaan akan melaksanakan penawaran umum perdana namun kegiatan bisnis tidak boleh terganggu.

Perencanaan yang matang dan dimilai lebih dini akan membuat perusahaan lebih responsif terhadap kondisi pasar modal dengan demikian perusahaan akan dapat memasuki pasar pada saat yang tepat, yaitu pada saat “jendela pasar” baru mulai terbuka.

Pada bagian ini akan dibahas masalah-masalah yang berkaitan persiapan penawaran umum dan hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan aturan-aturan dari badan pengawas pasar modal serta kegiatan lembaga-lembaga yang akan terlibat dengan manajemen perusahaandalam persiapan dan pelaksanaan penawaran umum swpwrti konsultan hukum, akuntan, perusahaan percetakan dan lain-lain. Disamping itu juga akan dibahas ciri dan karakteristik yang harus diperhatikan dalam memilih lembaga-lembaga profesional yang akan membantu dalam proses tersebut. Oleh karena peranan underwriter sangat dominan dan penting maka akan dibahas secara khususbdalam uraian tersendiri.

2. Langkah-Langkah Penunjang Persiapan

Ada beberapa langkah persiapan yang harus dilakukan untuk menunjang keberhasilan rencana penawaran umum (go public) perusahaan,di antaranya:

- Membangun citra perusahaan,Reputasi yang baik tidak bisa didapat dalam waktu yang singkat tapi  hal ini memerlukan waktu yang panjang untuk mendapatkannya,oleh karena itu perusahaan harus segera memulainya.Untuk itu dapat dipertimbangkan penggunaan jasa perusahaan atau lembaga yang bergerak dibidang Public Relation yang berpengalaman dalam menangani publikasi dibidang kegiatan bisnis perusahaan dan mempunyai hubungan yang luas dengan masyarakat pemodal.Public Relation ini akan mempersiapkan daftar surat menyurat dan membuat pemberitahuan umum mengenai produksi dan jasa perusahaan,yang akan merupakan faktor yang memberikan keuntungan dalam proses sebelum dan saat dilaksanakannya penawaran umum perdana.Namun demikian disamping hal-hal yang positif tersebut yang didapat dari public Relation bila manajemen dan pemilik perusahaan  mempunyai rencana untuk mendaftarkan sahamnya di USA maka harus hati-hati mengawasi kegiatan public relation di masa Quiet Period (yaitu masa tenang yang diharuskan pada waktu dimulainya proses penawaran umum,sampai batas waktu yang ditentukan,hal ini akan dibahas lebih lanjut),karena pada masa tersebut terdapat aturan yang dikenal dengan ‘no gun jumping” dan juga terdapat ketentuan ‘illegal prospectus rule”,dimana manajemen perusahaan tidak boleh mengeluarkan informasi selain dari yang tercantum dalam prospectus.

- Melaksanakan tugas-tugas pembenahan administrasi perusahaan,biasanya tugas-tugas ini cukup merepotkan dan sebagai catatan juga akan dapat merusak kemampuan manajemen dalam melakukan respon yang fleksibel terhadap jendela pasar.Sedapat mungkin harus dihindari penundaan yang tidak perlu,karena beberapa tugas house keeping akan memerlukan waktu yang cukup lama dan dapat membuat kerumitan yang tidak diinginkan jika underwriter dan lembaga penunjang lainnya yang berkaitan dengan proses IPO sudah mulai terlibat.Tambahan,perubahan yang dilakukan pasca penawaran umum harus memerlukan persetujuan dari para pemegang saham.

- Meninjau kembali perjanjian pengawasan pemegang saham bila ada,misalnya hak untuk memesan efek terlebih dahulu atau “stock subscription agreement” lainnya.

- Menyusun daftar dan meriview perjanjian dan kontrak-kontrak yang material.Ukuran materialitas ini sangat bergantung dari besar kecilnya perusahaan.

- Mereview status hukum perusahaan dan akta pendirian.Perubahan Akta Pendirian perusahaan diperlukan agar sesuai dengan bentuk yang diperlukan setelah menjadi perusahaan publik,dan termasuk juga didalamnya perusahaan setruktur modal perusahaan.Adakalanya pemilik perusahaan mempersyaratkan adanya Saham Istimewa (Preferred Stock) untuk menjaga agar pengendalian perusahaan tetap berada dipemilik terdahulu dan  juga menjaga agar jumlah mayoritas pemegang saham tetap terjaga.Atau juga mungkin menghapuskan hak istimewa pemegang saham yang telah ada.

- Berupaya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa,litigasi dan kewajiban-kewajiban yang besar lainnya.Bila terdapat sengketa atau kemungkinan sengketa yang cukup material yang belum dapat diselesaikan maka hal tersebut harus dinyatakan secara terbuka dalam pernyataan pendaftaran dan dokumen penawaran (prospectus). 

- Mensahkan saham baru dan/atau membuat klasifikasi saham preferensi/preferred “blank check” shares bila perlu.Perusahaan dapat menerbitkan jenis saham yang berbeda,misalnya menerbitkan saham  biasa atas nama dan saham istimewa (preferred stock) untuk menjaga hal-hal tertentu seperti hak untuk penunjukan direksi dan komisaris.Baru-baru ini dengan penawaran umum yang dilakukan oleh BUMN (misalnya INDOSAT dan TELKOM ),Pemerintah Indonesia selaku pemegang saham BUMN tersebut mengeluarkan saham istimewa yang dinamakan saham “dwi warna”, nama ini akan diberikan kepada setiap saham istimewa BUMN yang akan melakukan penawaran umum,yang memberikan hak-hak istimewa bagi pemegangnya yaitu Pemerintah Indonesia. Hal ini juga harus dijelaskan dalam dokumen penawaran (prospectus).

- Membuat rencana stock option atau stock appreciation right dan ESOP bagi pegawai perusahaan.

- Menyusun kembali dewan direksi, Dewan direksi yang kuat dan terpercaya dengan beberapa direktur yang independen.

- Membentuk suatu sistem pengawasan intern yang baik, kebanyakan perusahaan yang berukuran menengah dan perusahaan yang sedang dalam pertumbuhan, belum mempunyai sistem pengawasan intern yang baik begitu pula sistem keuangan dan sistem operasional. Sistem pengawasan dan pelaporan yang efektif dan akurat sangat diperlukan dalam menangani perusahaan publik nantinya, dan ini merupakan suatu hal yang diharuskan oleh para pemegang saham (pemodal) dan juga oleh badan pengawas pasar modal.

- Menjamin agar audit yang diwajibkan telah dilaksanakan dengan sempurna, bila perusahaan telah beroperasi lebih dari dua tahun maka dipersyaratkan adanya laporan keuangan yang telah diaudit selama tiga tahun terakhir menurut prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku (untuk USA-US GAAP) dan juga harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan badan pengawas pasar modal (SEC di USA).


Dalam pelaksanaan penawaran umum terdapat bebrapa kebijaksanaan, sistem pelaksanaan pekerjaan juga prinsip keterbukaan yang diharuskan bagi perusahaan, dengan demikian perusahaan kemungkinan harus mengadakan beberapa perubahan yang diperlukan untuk menyesuaikan dengan persyaratan yang ditetapkan atau paling tidak manajemen perusahaan harus mendapatkan informasi mengenai hal itu, sehingga perubahan yang akan dilakukan tidak akan memakan waktu yang lama. Apabila laporan keuangan yang yang telah diaudit terakhir telah lebih dari 134 hari dari perkiraan efektifnya pernyataan pendaftaran untuk penawaran umum, maka perusahaan di haruskan melakukan audit keuangan interim atau disebut juga “stub-period”. Hal ini sebenarnya bukan merupakan audit namun perlu mendapat perhatian juga dari akuntan perusahaan , karena akan berpengaruh pada informasi yang akan disajikan. Underwriter juga mengharuskan agar akuntan menerbitkan “comfort letter” yang mengharuskan akuntan untuk menampilkan laporan menurut prosedur tertentu dalam informasi interim audit tersebut.

Pekerjaan besar yang akan dilakukan perusahaan merupakan  pekerjaan house keeping, dan ini bukanlah merupakan hal yang baku, kemungkinan terdapat perbedaan untuk masing- masing perusahaan yang berlainan bidang usaha maupun ukurannya, manajemen perusahaan sebaiknya meminta advis dari akuntan ataupun konsultan hukum yang berpengalaman menangani penawaran umum perdana (IPO), untuk membimbing perusahaan dalam mengantisipasi dan menyusun rencana serta membantu melaksanakannya sebelum manajemen perusahaan disibukkan oleh proses penawaran umum itu sendiri.Kurang matangnya perencanaan yang mungkin agak sedikit mahal ini, akan dapat mengakibatkan gagalnya rencana penawaran umum perusahaan atau setidaknya hasil yang dicapai akan kurang memuaskan.

Pekerjaa house keeping ini memerlukan waktu dan tenaga yang cukup banyak karena manajemen harus mempersiapkan segala sesuatu mengenai perusahaan antara lain :

- Anggaran Dasar Perusahaan dengan seluruh perubahannya, yang berisikan akta pendirian perusahaan.

- Risalah-risalah rapat Direksi dan Dewan Komisaris untuk sedikitnya lima tahun yang lalu.

- Struktur permodalan perusahaan, beserta bukti penyetoran saham oleh para pemegang saham dalam bentuk Bank Transfer.

- Kepemilikan saham, sejak berdirinya perusahaan, buku daftar pemegang saham.

- Pemeriksaan laporan keuangan.

- Kepengurusan perusahaan, susunan direksi, dewan komisaris, termasuk pengesahan pengangkatan pengurus, Nomor Pokok Wajib Pajaknya.

- Surat pernyataan dari Direksi dan Dewan Komisaris bahwa mereka tidak terlibat dalam suatu perkara Perdata atau Pidana baik di Pengadilan Negeri ataupun di Badan Arbitrasi.

- Penjelasan mengenai lingkup usaha perusahaan beserta izin-izin yang diperlukan.

- Transaksi-transaksi yang dilakukan perusahaan yang sifat dan jumlah dananya cukup material bagi perusahaan.


Sebagai salah satu dari berbagai hal yang harus dipertimbangkan,adalah jadwal waktu, jadwal waktu (timetable) yang lengkap harus disusun dengan seksama dengan kemungkinan penundaan-penundaannya, sehingga bila perusahaan menghadapi penundaan akan dapat menghindari keharusan untuk melakukan audit interim atau meng-update laporan keuangan, dan dengan sendirinya menghindari biaya tambahan yang menyertainya.

Apabila persiapan penawaran umum berjalan tanpa halangan maka perusahaan akan dapat dengan luwes mengincar peluang terbukanya jendela pasar (market window).

Manajemen perusahaan harus segera mulai memposisikan perusahaan,melakukan audit laporan keuangan,dan membuat dokumentasi yang baik serta merancang bisnis plan yang konservatif (tidak terlalu muluk antara lain untuk menghindarkan beban yang terlalu berat pasca penawaran umum);di samping itu juga harus dipastikan bahwa pekerjaan house keeping telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.Untuk itu sangat dianjurkan untuk menjalin hubungan dengan para profesional karena hal tersebut akan sangat membantu perusahaan,misalnya dengan perusahaan-perusahaan efek,konsultan hukum,dan akuntan.

Apabila manajemen perusahaan tidak segera melaksanakan persiapan untuk membuat laporan keuangan dan menanti sampai waktu yang genting untuk mendapatkan laporan keuangan yang diaudit yang biasanya dipersyaratkan untuk beberapa tahun terakhir,maka manajemen akan mengalami kesulitan yang sebenarnya dapat dihindarkan,pertama,biayanya akan mahal untuk memperbaiki laporan keuangan tersebut bila terdapat kesalahan,kedua,hal tersebut akan menggambarkan figur perusahaan lebih rendah dari yang diharapkan.

Saat-saat kritis dari tahap perencanaan yang lainnya adalah penyusunan rencana pemberian insentif dalam bentuk saham kepada para pegawai perusahaa (ESOP),hal ini akan memakan waktu minimum satu tahun dan mungkin lebih sebelum penawaran perdana.Seringkali pertanyaan tentang bagaimana memberikan kompensasi kepada pegawai yang potensial datangnya terlambat.secara sederhana dapat dikatakan bahwa tidak diinginkan bila pemberian sejumlah besar saham dengan harga yang sangat rendah bila pada saat penawaran umum perdana harganya jauh lebih tinggi sedangkan jangka waktunya sangat dekat.Hal ini akan menyebabkan lebih banyaknya kompensasi yang harus dibayarkan/dibukukan.

Di samping itu,apabila telah jelas dan terdapat alasan yang nyata bahwa nilai perusahaan akan meningkat cukup tinggi,segeralah dilakukan penilian.Penilaian ini dapat dilakukan dengan menggunakan jasa perusahaan appraisal (penilai).Penilaian ini termasuk salah satu pekerjaan besar yang harus diperhatikan dengan seksama oleh manajemen perusahaan.


3. Pentingnya Persiapan

Lebih matang persiapan perusahaan dalam perencanaan untuk penawaran umum akan memberi hasil yang lebih baik.Contohnya bila suatu perusahaan merencanakan untuk melaksanakan penawaran umum pada bulan awal 1996,sebaiknya perusahaan tersebut telah mempersiapkan diri jauh sebelumnya.Antara lain perusahaan harus telah mempekerjakan akuntan dan konsultan hukum yang berpengalaman dalam menangani penawaran umum perdana,dan telah menjalin hubungan dengan berbagai penjamin emisi (perusahaan-perusahaan efek).Dengan demikian bila ternyata jendela pasar terbuka diakhir 1994 dan di awal 1995,perusahaan tersebut telah siap untuk mengambil kesempatan dan proses penawaran umum tersebut dapat dilakukan kurang dari waktu yang direncanakan,dan dapat terlaksana kira-kira setahun lebih cepat dari rencana.Tambahan lagi perusahaan akan menikmati keuntungan dari fleksibilitas dan persiapan yang lebih dini dengan kemungkinan mendapat tempat yang “top” karena menghasilkan harga saham yang lebih tinggi dan berhasil menjual saham lebih banyak dari yang direncanakan semula.

5.  Pihak-Pihak Dalam Penawaran Umum

Perusahaan membutuhkan bimbingan dan arahan dari tenaga ahli untuk melaksanakan penawaran umum perdana.Karena hal tersebut merupakan pekerjaan yang besar dengan berbagai karakter yang terlibat didalamnya sebagai pemegang peranan yang berbeda-beda.Perusahaan harus meminta beberapa lembaga dan para profesional untuk mendukung,dan memegang peranan penting yang akan bertugas khusus untuk perusahaan.

Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam di Indonesia,SEC di USA,sedangkan di Inggris pengawasan langsung dilakukan oleh London Stock Exchange) merupakan pemegang peranan yang terpenting dan benar-benar akan menguasai keseluruhan proses penawaran umum yang akan dilaksanakan.Badan Pengawas Pasar Modal,bertugas untuk menjamin fair nya permainan antara perusahaan publik dan para investor.Badan ini mempunyai kewenagan baik secara perdata maupun pidana untuk menuntut pelanggaran terhadap prosedur yang sudah ditetapkan.Secara garis besar tugas pokok Badan Pengawas Pasar Modal ini adalah melakukan pembinaan,pengaturan dan pengawasan sehari-hari kegiatan pasar modal dalam rangka terciptanya kegiatan pasar modal yang teratur,wajar dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.

Dengan begitu banyaknya pihak yang terlibat dalam proses penawaran umum ini,maka timbul pertanyaan siapa yang bertanggung jawab terhadap suatu perbuatan yang dilakukan di bawah peraturan pasar modal.

Pertanggungjawaban ini dapat saja timbul dari suatu pernyataan yang keliru atau menyesatkan dalam pernyataanpendaftaran (registration statement).Dengan kata lain manajemen perusahaan harus bekerja sama dengan lembaga penunjang yang profesional ketika melakukan pendaftaran,karena perusahaan tidak dapat menjamin bahwa Badan Pengawas Pasar Modal akan menemukan dan memperbaiki kesalahan yang terjadi.Hal itu merupakan tanggung jawab manajemen perusahaan.Apabila kesalahan itu terdapat dan diketahui ketika sedang dalam proses penawaran umum maka badan pengawas akan menunda pelaksanaan penawaran umum perusahaan.Apabila kesalahan tersebut ditemui setelah perusahaan go publik maka manajemen perusahaan akan segera berhadapan dengan hal yang tentunya tidak menyenangkan (kemungkinan berupa teguran dari badan pengawas atau gugatan dari para pemodal),dan untuk itu manajemen perusahaan harus mengetahui kewajiban dan pertanggungjawaban hukum yang bagaimana yang harus dilakukan.

Tuntutan pidana akan dilakukan terhadap orang yang dengan sengaja melakukan pelanggaran.Setiap orang yang melanggar aturan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pasar Modal (di USA Securities Act 1933 dan Security and Exchange Act 1934),dapat dihukum dengan hukuman denda atau dengan hukuman penjara atau dengan kedua-duanya.Tetapi tuntutan perdata juga dapat ditujukan kepada orang yang menandatangani atau menyatakan kebenaran pernyataan pendaftaran,yaitu seluruh direksi,pejabat,underwriter,lawyer,dan akuntan.

Para pemodal (investor) akan melakukan tuntutan terhadap pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan,mulai dari saat pernyataan pendaftaran dinyatakan efektif.Kemungkinan pertanggungjawaban perdata yang adalah merupakan imbalan yang nyata dari penjualan saham yang merupakan penarikan dana dari masyarakat dan merupakan konsekuensi dari biaya konsultan hukum yang telah dikeluarkan perusahaan,karena tidak ada tuntutan ganti rugi yang dapat dimintakan kepada para konsutan bila ternyata kesalahan ada pihak manajemen perusahaan.

Suatu hal yang penting bagi manajemen perusahaan untuk menghindari gugatan atau tuntutan hukum dari badan pengawas dan juga dari para pemodal adalah,bahwa manajemen perusahaan harus mengerti bahwa merekalah yang paling bertanggung jawab atas segala kesalahan atau bila ada hal yang menyesatkan atau tidak benar ataupun tidak diungkapkan dalam pernyataan pendaftaran.

Untuk kepentingan calon pemodal yang profesional,manajemen perusahaan berkewajiban untuk memonitor secara terus menerus sewaktu pernyataan pendaftaran sedang dipersiapkan.Mereka juga harus memastikan bahwa mereka  benar-benar telah mengerti setiap bagian dari pernyataan pendaftaran dan setiap asumsi dan dasar dari bagian-bagian itu.Harus diingat pula bahwa  konsultan yang digunakan adalah konsultan bisnis,mereka akan merupakan tim perusahaan untuk membantu manajemen dalam mengambil keputusan,mereka bukan hanya sekedar melakukan untuk dan atas nama perusahaan.

Meskipun perusahaan bertanggung jawab atas segala kesalahan yang material,tanpa memandang adanya itikad baik dan telah dilakukannya due diligence,lembaga-lembaga yang telah berperan (termasuk underwriter dan akuntan) justru akan dapat mengadakan pembelaan dengan due diligence tersebut terhadap pertanggungjawaban bila terjadi gugatan atau tuntutan.Misalnya seperti kasus terjadi pada di USA (1962) yaitu kasus Bar Chris.Keberhasilan para konsultan dalam mengajukan pembelaan berdasarkan due diligence dalam kasus ini adalah didasarkan pertimbangan bahwa penuntut umum dan para ahli dapat menerima alasan bahwa pernyataan pendaftaran telah disusun secara akurat oleh konsultan dengan mengadakan due diligence namun kesalahan adalah karena pihak manajemen perusahaan tidak/kurang terbuka memberikan informasi yang diperlukan oleh para konsultan.

Badan Pengawas Pasar Modal akan mereview pernyataan pendaftaran dan akhirnya akan menerima atau menolak efektifnya pernyataan pendaftaran tersebut,dan hal itu merupakan penentuan apakah perusahaan dapat melaksanakan penawaran umum atau tidak.Pemeriksaan pernyataan pendaftaran pada umumnya di tugaskan pada suatu bagian di Badan Pengawas Pasar Modal (di USA oleh SEC-Bagian Keuangan Perusahaan),mereka akan mereview berdasarkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.

Tim yang terdiri dari konsultan hukum dan akuntan publik,dan dalam kasus tertentu juga beberapa spesialis dan teknisi,akan ikut meriview tiap-tiap bagian pernyataan pendaftaran.Mata rantai review ini akan terus berlanjut sampai pada pejabat bagian pendaftaran dan kemudian akan diterbitkan,komentar-komentar (“coment letter”) mengenai hal-hal yang dianggap belum mencukupi pada pernyataan pendaftaran,dan komentar tersebut disampaikan kepada perusahaan dalam suatu “comment letter”.

Perlu di ingat selalu bahwa tugas badan pengawas hanya mengatur tata cara yang digunakan dalam menawarkan saham,badan ini tidak menilai maupun menjamin kualitas perusahaan ataupun saham yang akan ditawarkan.Badan pengawas memfokuskan perhatiannya akan kejelasan dari pernyataan pendaftaran dan prospectus untuk menjamin bahwa informasi yang diberikan benar-benar lengkap bagi para calon pemodal yang akan membeli saham perusahaan.

Bila pendaftaran dilakukan di USA maka perusahaan juga harus tunduk kepada undang-undang Blue Sky yang berlaku di beberapa Negara bagian di USA,undang-undang ini juga tidak menjamin ataupun membenarkan suatu penawaran umum yang akan dilaksanakan,dan mereka juga dapat mencegah,meskipun SEC sudah menyatakan efektifnya pernyataan pendaftaran.

Para konsultan memang dibutuhkan oleh perusahaan,meskipun telah dibentuk tim persiapan penawaran umum perusahaan (Tim IPO) yang solid,perusahaan tidak dapat terlalu mengandalkannya,tim ini diperlukan sebagai tambahan bagi tim manajemen perusahaan,untuk keseluruhan proses ini perusahaan membutuhkan dukungan dari seluruh pihak di dalam perusahaan dan jiga dukungan para konsultan dan advisor dari luar yang berpengaruh terutama di pasar modal dan badan pengawas dan berpengalaman di bidangnya,terutama underwriter (penjamin emisi efek),akuntan dan konsultan hukum.

Sangat diharapkan bahwa bila manajemen perusahaan sudah melaksanakan kerja keras dalam melakukan persiapan penawaran umum perdana,dan telah mempunyai hubungan baik dengan akuntan  yang berpengalaman,sudah terkenal dan dengan mereka manajemen dapat bekerja sama maka akan dapat dihasilkan laporan keuangan yang dapat diterima dan hal ini juga berarti perusahaan telah mempunyai konsultan yang mempunyai pengetahuan profesional dan dengan mereka manajemen perusahaan dapat berkonsultasi mengenai langkah-langkah yang harus diambil dalam melakukan persiapan dan pelaksanaan penawaran umum ini.

Apabila manajemen perusahaan belum mempunyai dasar bagi penawaran umum ,maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah pemilihan akuntan perusahaan,dan kemudian menyerahkan persoalannya pada mereka untuk dilaksanakan dengan baik.

Persiapan pertama yang harus dilakukan adalah menghimpun seluruh catatan keuangan perusahaan.Setelah catatan keuangan perusahaan dikumpulkan dan hubungan dengan akuntan telah terjalin maka persiapan dapat segera dimulai,di samping itu manajemen perusahaan akan segera pula memerlukan konsultan hukum yang berpengalaman menangani penawaran umum perdana,karena akkan banyak sekali masalah hukum yang harus dipenuhi dan diperhatikan.

Sewaktu perusahaan telah dimulai mempersiapkan pernyataan pendaftaran dan juga dokumen penawaran (prospectus),maka akan dibutuhkan jasa perusahaan percetakan finansial yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan terakhir yang cukup menegangkan urat syaraf yaitu percetakan dokumen-dokumen yang diperlukan seperti,formulir sertifikat saham,sertifikat kolektif saham,formulir pemesanan dan berbagai formulir lainnya.

Kemungkinan manajemen perusahaan tidak pernah berhubungan dengan konsultan dan lembaga-lembaga yang akan berperan untuk perusahaan dalam proses penawaran umum perdana ini, salah satu misalnya adalah underwriter (penjamin emisi). Karena manajemen perusahaan mungkin tidak mempunyai dasar dalam berunding dengan underwriter yang merupakan bank-bank investasi (investment bank) dengan dasar yang umum, manajemen perusahaan sebaiknya mencari jalan untuk mengetahui dengan baik apa yang harus dilakukan, bagaimana memilih dan bekerja dengan underwriter, dan apa yang harus melakukan persiapan.

Meskipun telah didampingi konsultan yang berpengalaman sebaiknya dipastikan juga bahwa manajemen perusahaan tetap memegang peranan utama dalam proses penawaran umum ini. Harus diingat bahwa diantara semua pihak yang terlibat manajemen perusahaanlah yang paling besar andil dan paling besar pula tanggung jawabnya.

Konsultan Hukum Perusahaan (Legal Counsel/Law Consultant) merupakan satu diantara posisi penting dari tim penawaran umum perusahaan. Konsultan hukum yang berpengalaman dibidang pasar modal sangat diperlukan, merekalah yang akan mengkoordinasikan penyusunan konsep pernyataan pendaftaran diantara para konsultan lainnya. Meskipun tidak diharapkan mempunyai pengetahuan tentang teknik dan keuangan perusahaan kliennya, konsultan hukum ini harus memverifikasi seluruh masalah yang harus di “disclose” untuk keakuratan, kelengkapan, dan konsistensinya. Dan memang tidak boleh ada kesalahan sama sekali mengenai hal ini; konsultan hukum perusahaan harus benar-benar berpengalaman dengan proses penawaran umum, dan berpengalaman dalam berhubungan dengan Badan Pengawas Pasar Modal. Juga sebaiknya sebelum proses persiapan penawaran umum secara resmi dimulai, konsultan hukum harus sudah mengambil peranan yang besar sebelum proses ini benar-benar dimulai. Oleh sebab itu karena luasnya masalah yang akan diserahkan kepada konsultan hukum, maka konsultan hukum tersebut harus memiliki sejumlah pengalaman dalam memproses penawaran umum dan berhubungan dengan badan pengawas pasar modal.

Selain hal yang disebutkan diatas fungsi penting lainnya dari konsultan hukum perusahaan adalah bertindak sebagai wakil perusahaan selama proses persiapan dan pelaksanaan penawaran umum perdana, antara lain memberikan advis kepada tim persiapan penawaran umum yang dibentuk perusahaan mengenai proses penawaran umum perdana, baik dalam maupun luar negeri, untuk ini sebaiknya dicari para konsultan hukum yang yang telah mempunyai mitra kerja didalam dan luar negeri, dan mereka akan membagi tugas dengan sebaik-baiknya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sisitem hukum, peraturan dan dokumen-dokumen yang diperlukan. Konsultan hukum juga akan mempersiapkan jadwal waktu yang rinci dan daftar pertanggungjawaban dari tiap pihak yang terlibat proses penawaran umum ini, serta mengkoordinasikan aktivitas perusahaan, aparat pemerintah yang berwenang, konsultan keuangan, underwriter dan konsultannya, akuntan, sertabank custodian dan konsultan lainnya.

Selain itu konsultan hukum akan dapat memberi saran dan advis mengenai publikasi yang diizinkan selama proses (menyangkut ketentuan quiet period), termasuk juga dalam diskusi dengan calon pemodal sewaktu road show. Persiapan untuk pemenuhan ketentuan hukum dan peraturan pasar modal yang diwajibkan baik dalam dan luar negeri juga menjadi salah satu tugas konsultan hukum perusahaan.

Pada umumnya konsultan hukum perusahaan akan memberikan jaminan bagi perusahaan bahwa segala ketentuan hukum dan peraturan yang diwajibkan telah dipenuhi, dan memberi saran mengenai kewajiban yang akan timbul setelah menjadi perusahaan publik.

Akuntan publik adalah pihak yang pertama dihubungi oleh perusahaan, baik perusahaan yang besar, yang berukuran pasar menengah ataupun perusahaan yang sedang berkembang jika mereka merencanakan akan melakukan penawaran umum perdana. Sebagai tambahan, selain untuk memenuhi persyaratan audit laporan keuangan dalam pernyataan pendaftaran, mereka juga dapat bertindak sebagai konsultan bisnis dan keuangan perusahaan dalam proses penawaran umum.

Pemilihan akuntan publik didasarkan pada beberapa faktor, yaitu pengalaman berhubungan dengan badan pengawas pasar modal dan menguasai proses penawaran umum, mempunyai reputasi perusahaan yang baik, dan bahwa akuntan tersebut terdaftar dan telah mempunyai izin dari Badan Pengawas Pasar Modal.

Bila perusahaan merencanakan untuk melakukan penawara umum perdana, manajemen sebaiknya menjalin hubungan dengan akuntan yang akan dapat memberi advis dalam waktu yang panjang, meskipun proses penawaran umum telah selesai, karena perusahan yang sudah menjadi perusahaan publik, harus diaudit oleh akuntan yang terdaftar resmi di Badan Pengawas Pasar Modal. Untuk itu maka pilihan terbaik adalah akuntan yang telah ditunjuk sewaktu penawaran umum tetap bersama perusahaan selama menjadi perusahaan publik. Perusahaan yang baik akan menjalin hubungan baik dengan akuntan publik yang terdaftar jauh sebelum keputusan melakukan penawaran umum diambil, karena persyaratan audit merupakan hal yang cukup luas dan rumit. Hubungan baik yang telah terjalin dan sistem audit yang telah berjalan, pengetahuan bisnis yang kumulatif akan menjadi sangat berguna dalam menyingkat waktu, yang biasanya sangat kritis.

Akuntan akan menyajikan pembahasan yang independen mengenai pernyataan pendaftaran, termasuk data keuangan tertentu, diskusi-diskusi dan analisis manajemen, penggunaan proceed yang akan diperoleh, kemungkinan penurunan harga saham yang potensial, kapitalisasi dan penjadwalan keuangan tambahan. Mereka juga akan membimbing mengenai masalah-masalah yang akan timbul dalam proses review dari Badan Pengawas Pasar Modal. Sebagai tambahan, karena pengetahuannya yang sudah mendalam mengenai operasional dan bisnis perusahaan, mereka akan dapat membantu menyusun time-table (jadwal-waktu) yang baik.

Sudah menjadi kebiasaan, bahwa penawaran umum dipandang hanya sebagai suatu hal yang biasa dalam rangka pencarian dana bagi perusahaan, bukan sebagai salah satu alternatif bisnis yang dapat diambil oleh perusahaan dalam mencapai tujuannya. Untuk itu akuntan yang baik akan dapat memberikan kemampuan/pengetahuannya yang akan membuat perusahaan mendapat informasi yang benar mengenai pengambilan keputusan yang tepat dan objektif.

Perusahaan percetakan (financial printing company) merupakan lembaga yang penting dalam proses penawaran umum perusahaan oleh karena itu pemilihan perusahaan percetakan yang baik tidak dapat diabaikan. Untuk melakukan penawaran umum diperlukan perusahaan percetakan yang berpengalaman dengan aturan Badan Pengawas Pasar Modal, dan harus mengetahui semua peraturan pasar modal, baik mengenai ukuran kertas yang harus digunakan, bagaimana layoutnya, segi keamanan dari pemalsuan (untuk sertifikat saham misalnya), dan masalah pencetakan lainnya, dan hendaknya dipilih perusahaan yang telah membuktikan reputasinya dalam mempersiapkan segala yang diperlukan dengan cepat dan memenuhi persyaratan. Banyak perusahaan percetakan yang telah menggunakan teknologi canggih dan menguasai persyaratan Badan Pengawas Pasar Modal dan memiliki kemampuan untuk mengisi pernyataan pendaftaran secara elektronik (untuk di USA), yang akan dapat mempermudah dan mempercepat proses ini.

Sebelum melakukan penunjukan manajemen perusahaan harus menyelidiki bagaimana teknologi yang digunakan perusahaan percetakan dan bagaimana mereka menerapkannyadalam proses penawaran umum. Manajemen perusahaan diharapkan tidak mempercayaibegitu saja perkataan dan proposal yang diajukan oleh perusahaan percetakan dalam menawarkan jasanya, tapi harus melihat dan memeriksa hasil dokumen yang telah dibuatnya dan memeriksa referensinya.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa untuk melaksanakan penawaran umum perdana, perusahaan memerlukan konsultan yang membantu manajemen dalam :

- Mencarikan untuk perusahaan para profesional yang berpengalaman dengan badan pengawas dan proses penawaran umum untuk membantu perusahaan merencanakan dan menjalankan proses penawaran umum.

- Merekomendasikan perusahaan Public Relation.

- Memberikan pelajaran mengenai aturan permainan dalam penawaran umum dan membagi pengalaman yang baik mengenai penawaran umum.

- Menyajikan audit laporan keuangan secara berkala dan lengkap dan dapat memberikan gambaran tentang kekurangannya menurut peraturan dari badan pengawas pasar modal.

- Memberi advis mengenai kemungkinan kebutuhan untuk mengaudit hasil operasional perusahaan yang diperoleh di masa lalu.

- Mengantisipasi dan menjawab masalah-masalah yang dikomentari oleh Badan Pengawas Pasar Modal, misalnya mengenai review tentang struktur penawaran saham, option, warrant dari perusahaan, juga mengenai penawaran yang baru dilaksanakan perusahaan bila ada sebagai masalah potensial terjadinya saham murah (“cheap stock”), serta merekomendasikan dokumentasi yang diperlukan.

- Mereview sistem pengawasan intern perusahaan, sistem informasi keuangan dan opersional, dan memberi advis kepada manajemen perusahaan dalam mengembangkan sistem tersebut atau memperbaiki kelemahan dari sistem tersebut bila ada.

- Memberi advis dalam pembentukan komisi audit, termasuk memberi rekomendasi untuk memilih calon direktur independen dari calaon-calon yang potensial.

- Merekomendasikan legal counsel, underwriter, dan perusahaan percetakan.

- Memberin konsultasi kepada manajemen perusahaan dan memberi dukungan kepada staf bagian keuangan dan akuntansi. Dan dengan menggunakan jaringan lokal, regional, dan internasional membantu manajemen untuk mengidentifikasi calon-calon yang berkualitas.

- Membantu menyusun bisnis plan yang baik.


Dari pembahasan diatas dapat dilihat bahwa dalam rangka pelaksanaan penawaran umum dipasar modal berbagai lembaga, lembaga penunjang dan profesi penunjang yang terlibat dengan berbagai tugas yang berlainan namun berkaitan satu dengan yang lainnya.

Didalam rancangan Undang-undang Pasar Modal Indonesia yang sedang disusun dicantumkan bahwa lembaga yang bergerak dipasar modal tersebut adalah:

- Bursa efek

- Lembaga Kliring dan Penjaminan

- Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

- Reksa Dana

- Perusahaan Efek dan Wakil Perusahaan Efek

- Penasihat Investasi

Disamping itu terdapat pula lembaga penunjang yang aktif di pasar modal yang diperlukan perusahaan dalam rangka melakukan penawaran umum, yaitu:

- Kustodian

- Biro Administrasi Efek

- Wali amanat

Juga terdapat profesi penunjang lainnya yang sangat diperlukan dalam penawaran umum adalah:

- Penasihat Hukum Perusahaan (Legal Counsel)

- Akuntan/Auditor

- Perusahaan Penilai (Appraisal)

- Notaris



Selain lembaga dan profesi penunjang yang disebutkan diatas perusahaan akan memerlukan pula:

- Perusahaan Public Relation

- Perusahaan Percetakan

- Advertising Agency

Tugas pokok dari masing – masing lembaga penunjang berbeda satu dengan yang lainnya namun saling berkaitan dan kebutuhan perusahaan pun bergantung dari besar kecilnya perusahaan dan juga penawaran yang akan dilakukan.

E. Pendaftaran Dan Keterbukaan

Para pemilik ataupun manajemen dari suatu perusahaan akan terkejut bila melihat persyaratan keterbukaan (disclosure) yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran untuk penawaran umum perdana. Keharusan keterbukaan ini begitu luasnya sehingga sering menimbulkan kekhawatiran bagi pemilik dan manajemen perusahaan.

Keterbukaan ini diharuskan karena pada dasarnya para calon investor (pemodal) mempunyai hak untuk mengetahui secara detail mengenai segala sesuatu tentang bisnis perusahaan, dimana mereka akan mendapatkan uangnya, maka untuk itu harus dapat dimengerti pula bahwa hal tersebut juga merupakan suatun tahap dari peralihan dari perusahaan privat menjadi perusahaan publik, yang merupakan suatu hal yang sangat menantang bagi pemilik dan manajemennya. Aspek yang sangat penting dari proses penawaran umum ini adalah pengertian mengenai informasi apa yang diperlukan dan kemudian menyediakannya dalam keadaan yang jelas terbuka dan benar.

Salah satu langkah penting dari penawaran umum perdana adalah penyiapan pernyataan pendaftaran (registration statement). Pernyataan pendaftaran ini memberikan detail mengenai penawaran umum perusahaan dan menyediakan informasi yang lengkap yang dibutuhkan  oleh Badan Pengawas Pasar Modal, dan untuk meningkatkan minat dari investor terhadap perusahaan.

Pada bagian ini akan dibahas proses pendaftaran untuk penawaran umum perdana. Di Indonesia, pendaftaran untuk penawaran umum ini dilkakukan dengan menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal, setelah pernyataan pendaftaran tersebut diterima dan telah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan maka oleh Bapepam pernyataan pendaftaran dinyatakan efektif, dan kemudian barulah efek yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat ditawarkan kepada pemodal dan kemudian dicatatkan (listing) di pasar modal (bursa efek).

Untuk melakukan pendaftaran ini perusahaan harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.Perusahaan harus mempersiapkan dan membuat pernyataan pendaftaran,sebelumnya underwriter dan konsultan hukum perusahaan mengadakan persiapan antara lain :

_  Konsultan hukum perusahaan akan mempersiapkan dokumen legal (hukum) perusahaan yang memberikan detail mengenai penawaran serta penjelasan dan uraian tentang perusahaan,dokumen ini disiapkan oleh konsultan hukum yang ditunjuk oleh perusahaan.Selain itu konsultan hukum juga melakukan kegiatan yang dinamakan “legal audit”,yaitu memeriksa dengan teliti segala aspek perusahaan yang mengenai peraturan,ketentuan dan persyaratan yang diperlukan perusahaan dalam menjalankan usahanya,diantaranya kelengkapan persyaratan administrasi,izin-izin usaha,sertifikat tanah,izin mendirikan bangunan bahkan persyaratan undang-undang gangguan dan juga analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).Kegiatan legal audit ini merupakan suatu kegiatan yang sangat rumit dan memerlukan bantuan khusus dari setiap bidang pekerjaan dalam perusahaan,dapat dibayangkan untuk perusahaan yang besar dan mempunyai lokasi kerja cukup banyak,serta bidang usaha yang beragam,betapa rumitnya melakukan legal audit ini.

_   Konsultan hukum perusahaan akan meminta segala surat menyurat yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan.Kontrak-kontrak yang dilakukan perusahaan dalam jangka waktu minimal tiga tahun terakhir,harus diriview dan diresumekan untuk dapat mengambil kesimpulan secara baik.Persyaratan administrasi pendirian perusahaan mulai dari akta pendirian,anggaran dasar,lisnsi yang dimiliki,sengketa dan gugatan hukum yang diajukan pihak lain terhadap perusahaan,maupun yang kemungkinan akan menjadi sengketa,harus diberikan pihak perusahaan kepada konsultan hukum untuk dipelajari.Hasil dari legal audit ini dicantumkan ke dalam dokumen legal Opinion (pendapat dari segi hukum).

       Untuk melaksanakan legal audit tersebut konsultan hukum akan meminta perusahaan mempersiapkan data dan dokumen penting yang akan di review,antara lain :

- Data permodalan perusahaan.

- Izin-izin yang diperlukan untuk pendirian dan operasional perusahaan.

- Asset perusahaan.

- Produksi barang/jasa yang dihasilkan.

- Perjanjian-perjanjian penting.

- Kontrak-kontrak pengadaan dan pembangunan yang material.

Pendapat segi dari hukum ini dilampirkan pada pernyataan pendaftaran bersama-sama dengan draft prospectus (dokumen penawaran),prospectus yang merupakan bagian dari pernyataan pendaftaran biasanya disediakan untuk para calon pemodal.

Bagian lainnya dari pernyataan pendaftaran ini berisikan informasi tambahan, termasuk didalamnya salinan dari perjanjian penjaminan emisi dengan underwriter, leasing, dan kontrak serta perjanjian penting lainnya. Seperti halnya prospectus, bagian ini dapat diperiksa oleh masyarakat pemodal dan dokumen ini ditempatkan di Badan Pengawas Pasar Modal.

Harus diingat bahwa prospectus mempunyai dua fungsi yang kelihatannya bertentangan, yaitu sebagai dokumen penawaran dan juga untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang penjualan saham. Pada waktu yang sama, prospectus juga menyediakan informasi yang lengkap bagi investor mengenai faktor risiko yang dihadapi perusahaan dan menyediakan informasi yang terbuka mengenai semua hal yang relevan untuk memberikan perlindungan terhadap pertanggung jawaban manajemen bila terdapat hal-hal yang material yang disembunyikan ataupun hal-hal yang menyesatkan.

Pernyataan pendaftaran ini harus sudah tersedia ketika pendaftaran di Badan Pengawas Pasar Modal telah dilakukan, sedangkan prospectus ini harus meliputi pula berbagai informasi yang diharuskan mengenai transaksi yang dilakukan baik mengenai perusahaan itu sendiri juga mengenai anak perusahaan dan perusahaan –perusahaan afiliasinya.

Di USA sejak tahun 1984 Badan Pengawas Pasar Modal (SEC) mulai menerima pemasukan file dokumen dengan menggunakan sistem elektronika yaitu dengan sistem Electronic Data Gathering, Analysis and Retrival (EDGAR). EDGAR ini dibuat oleh SEC sebagai upaya meningkatkan penggunaan teknologi komputer untuk mempermudah pelayanan, sistem ini meningkatkan kemampuan menerima, menyimpan, memeriksa dan memilah-milah file yang di masukkan. Sistem filing ini mulai diwajibkan kepada seluruh perusahaan dalam jangka waktu  tiga tahun dari dimulainya program itu yaitu mulai tahun 1993. Perusahaan yang melakukan go publik setelah bulan April 1993 di haruskan untuk memasukkan filenya secara elektronik. Sejak waktu tersebut bila perusahaan akan meklakukan penawaran umum maka diharuskan untuk memasukkan data secara elektronik.

Filing dokumen secara elektronik di USA ini saat ini telah dilakukan ditiga lokasi “Commissions Public Reference Rooms” (yaitu di Washington D.C.,Chicago dan New York) dengan terminal visual. Merekan juga membuat bentuk mikronya dan menyediakannya bagi masyarakat dengan isi yang sama sebagaimana yang terdapat pada dokumen aslinya.

Pihak manajemen tentunya mengetahui bisnisnya dengan baik, jadi mereka harus mengambil peranan aktif dalam waktu penyiapan dan penyusunan draft prospectus. Apabila mereka bertahan membiarkan underwriter menyusun sebagaian besar dari prospectus dalam waktu penyusunan draft, maka akan terdapat banyak penyimpangan yang terjadi.

F. Diskusi Dan Analisis Manajemen

Diskusi dan analisis manajemen ini merupakan hal yang penting dan merupakan bagian dari penyusunan pernyataan pendaftaran. Diskusi dan analisis manajemen ini meliputi kondisi keuangan, hasil usaha operasional dan persyaratan yang diharuskan pada perusahaan untuk menyatakan dan menjelaskan perubahan-perubahan yang bernilai material ditiap-tiap laporan keuangan yang ditampilkan. Lebih dari itu, perusahaan harus memberitahukan sumber-sumber dan penggunaan uang dan likuiditasnya.

Penyusunan konsep diskusi dan analisis manajemen ini merupakan tugas yang penting dari penyusunan persiapan untuk pernyataan pendaftaran. Disini perusahaan menyediakan bagi para investor informasi untuk masa depan perusahaan. Diskusi dan analisis manajemen ini sangat mirip dengan kritik yang disampaikan terhadap kinerja perusahaan. Keterbukaan, kelengkapan dan rincian yang sama dengan jenis analisis yang digunakan dalam laporan kepada pemilik perusahaan merupakan suatu yang sangat penting.

Untuk menyusun analisis ini perusahaan sebaiknya dibantu oleh konsultan keuangan (financial advisor), konsultan ini akan bekerja sama dengan tim perusahaan untuk menyusun penetapan nilai pasar perusahaan, kegiatan ini disebut juga “valuation”. Valuation ini dilakukan dengan menyusun estimasi-estimasi yang didasarkan dari kegiatan keuangan dan bisnis perusahaan dari tahun-tahun sebelumnya dan dituangkan dalam bentuk angka-angka penilaian, akan dijadikan dasar penetapan “harga pasar” perusahaan.

Di samping valuation ini terdapat kegiatan lain yang sama pentingnya yaitu penilaian terhadap asset yang dimiliki perusahaan, penilaian ini perlu dilakukan untuk mengetahui berapa nilai nyata dari seluruh asset perusahaan, karena selama ini dalam jalannya perusahaan yang tercantum dilaporan keuangan perusahaan adalah “nilai buku” dari asset tersebut. Untuk melakukan penilaian ini perusahaan memerlukan bantuan perusahaan penilai yang independen yaitu perusahaan appraisal. Penggunaan appraisal yang independen ini dipersyaratan antara lain juga untuk menghindari “mark up” dari pihak perusahaan yang akan melakukan penawaran umum. Dan sebenarnya banyak keuntungan yang didapat perusahaan dengan menggunakan perusahaan appraisal ini, seperti misalnya hasil dari penilaian appraisal ini akan dapat digunakan sebagai dasar dari penyusunan asset perusahaan oleh bagian logistik.




G. Time-Table Dan Hal Lainnya

Jika manajemen perusahaan telah mempunyai kesiapan dan dokumentasi yang baik dan telah menyusun bisnis plan, maka perusahaan akan dapat keuntungan dalam menyingkat waktu untuk persiapan pernyataan pendaftaran. Bisnis plan perusahaan akan merupakan landasan bagi pernyataan pendaftaran.

Dari bahasan-bahasan yang telah diungkapkan terdahulu, manajemen perusahaan mungkin telah dapat mengetahui bahwa perbedaan yang prinsip antara perusahaan publik dan perusahaan privat adalah mengenai keterbukaan tersebut. Karena keterbukaan ini merupakan tantangan bagi perusahaan –perusahaan publik yang baru, Badan Pengawas Pasar Modal mengetahui bahwa keterbukaan total dapat merupakan suatu hal yang tidak begitu baik bagi perusahaan –perusahaan kecil.

Perusahaan juga diharuskan menyediakan laporan keuangan interim yang tidak diaudit, bergantung pada jangka waktu tertentu, bila laporan keuangan yang ada telah lewat dari 135 hari sebelum pernyataan pendaftaran dinyatakan efektif, haruslah dibuatkan laporan keuangan interim dimaksud.

Formulir yang menjadi dasar pendaftaran, adalah pernyataan pendaftaran untuk penawaran umum  perdana yang sangat komprehensif. Formulir ini memuat rincian tentang keterbukaan yang sangat luas mengenai bisnis perusahaan ,persaingan, asset, transaksi penting antara perusahaan dengan staff perusahaan dan direktur, pembayaran kepada manajemen, sengketa yang dalam proses letigasi, rencana pendistribusian saham, dan rencana penggunaan uang yang diperoleh dari penawaran perdana. Di dalamnya juga terdapat persyaratan yang berhubungan dengan laporan keuangan. Laporan tersebut harus diaudit oleh akuntan publik, dan disusun dengan menyesuaikan prinsip akuntansi yang lazim digunakan dan termasuk pula data keuangan tambahan.

Diharuskan pula adanya neraca perusahaan yang telah diaudit untuk masa dua tahun terakhir dan laporan operasional yang di audit, cash flow, dan keuntungan para pemegang saham tiga tahun terakhir. Dengan bergantung pada timing yang ditentukan, maka laporan keuangan interim mungkin saja dipersyaratkan sebagai suatu yang harus disediakan. Dalam keadaan tertentu, laporan keuangan tersebut juga harus diaudit untuk kepentingan underwriter. Sebagai tambahan, data neraca dan income statement yang tertentu diharuskan untuk paling lama lima tahun terakhir atau sejak perusahaan didirikan. Selain data informasi yang ditentukan dalam formulir pendaftaran, perusahaan juga harus menyediakan informasi lain yang berkaitan dengan perusahaan. Jika investor yang potensial dihadapkan pada resiko yang cukup besar, seperti adanya hambatan dalam sejarah operasi bisnis, kondisi yang tidak baik dari industri tersebut hambatan pasar modal atau kebergantungan terhadap key person, data- data ini harus dikemukakan dalam pernyataan pendaftaran.

Untuk pelaksanaan proses persiapan penawaran umum yang baik harus disusun jadwal waktu yang baik pula, semakain akurat perhitungan waktu yang disusun semakin menguntungkan bagi perusahaan. 

Tabel berikut ini adalah perkiraan umum jadwal waktu dalam proses penawaran umum perdana yang direncanakan untuk penawaran didalam dan luar negeri.








Tabel 3 :

Hari Penawaran Indonesia Penawaran Internasional

Hari H-70 Persiapan Pernyataan Pendaftaran Persiapan Registration Statement

Hari H-3 Permohonan Pra-Pencatatan di Bursa Efek

Hari H Penyampaian Pernyataan Pendaftaran ke Bapepam Penyampaian Registration Statement ke SEC-USA

Hari H+14 Menerima Komentar dari Bapepam

Hari H+30 Menjawab Komentar  Bapepam dan memasukkan perubahan

Hari H+31

s/d H+55 Pertemuan dengan Bapepam untuk membahas perubahan-perubahan

Hari H+42 Menerima comment letters dari SEC

Hari H+45 Mendaftarkan prospektus Pendahuluan ke Bapepam dan Bursa Efek Due Diligence dari para Underwriter Menjawab comment letters dari SEC, memasukkan amendment dan Pencetakan Pink Herring.


Hari H+46

s/d47

Publik Ekspose (Road Show)

Hari H+55 Menerima Komentar dari SEC tentang Amendment1

Hari H+56 Penentuan Rentang Harga; mengirim undangan untuk pembentukan sindikasi

Hari H+58 Pembentukan Sindikasi Penjaminan

Hari H+59 Penandatangan Perjannjian Penjaminan Emisi Efek

Hari H+62 Pertemuan terbatas dengan Bapepam Pernyataan Pendaftaran dinyatakan Efektif Pemasukan Prospektus Final ke Bapepam Menjawab Comment Letter dari SEC Memasukkan Amendment ke2 Pencetakan Red Herring

Hari H+63 Pengiriman Red Herring Road show

Hari H+66 Prospektus ringkas dimuat di Surat Kabar

Hari H+70 Pendistribusian Prospektus

Hari H+72 Periode Penawaran di mulai

Hari H+79 Periode Penawaran ditutup

Hari H+80 Pemasukan permohonan Pencatatan di Buesa Efek

Hari H+83 Penentuan Penjatahan efek Pembayaran kepada Lead Underwriter Road show selesai

Hari H+84 Penetapan Harga Penawaran Bursa Efek menerima permohonan pencatatan Penetapan refund Penetapan harga penawaran penendatangan underwriting agreement

Hari H+85 Berakhir periode penjatahan Pengumuman harga dan penunjukan again penjualan Sertifikat saham selesai Perdagangan di Bursa Efek Perdagangan di mulai

Hari H+86 Penerimaan Proceed Laporan dari Underwriter

Hari H+87 Laporan Underwriter ke Bapepem dan Bursa

Hari H+89 Pembayaran Refund

Hari H+91 Penawaran ditutup

Pembayaran Proceed dan pemberian sertfikat efek pada Pemegang Saham 

Hari H+121 Opsi Overallotment di tutup

Sumber: Presentasi HHP dan Baker & McKenzie


Seandainya perusahaan telah memutuskan untuk melaksanakan penawaran umum dan telah memilih underwriter dan menandatangani letter of intent, menunjuk penasihat hukum dan akuntan dan telah menentukan sistem pendaftaran yang akan dilakukan, maka hal tersebut menandakan bahwa perusahaan telah siap untuk menjalankan proses tersebut.

Pertemuan yang pertama kali dilakukan dengan seluruh anggota tim yang telah ditunjuk dimaksudkan untuk menjalin hubungan kerjasama, menyusun jadwal waktu dan membagi tanggung jawab. Dari waktu ke waktu pernyataan pendaftaran terus dipersiapkan , rapat-rapat pleno untuk mereview kemajuan dan menyesuaikan jadwal waktu bila diperlukan, dan membuat draft pernyataan pendaftaran. Rapat pleno juga dilaksanakan untuk membahas perjanjian penjaminan emisi, yang sangat erat hubungannya dengan persyaratan yang diajukan para pihak.

Di butuhkan beberapa sesi untuk membuat draft pernyataan pendaftaran. Tekanan batas waktu dan pertanggungjawaban hukum  yang potensial memmbuat tekanan yang cukup tinggi , membuat sesi ini menjadi selalu panjang bahkan sampai malam hari. Tidaklah berlebihan bila dikatakan hal ini dapat mengganggu hubungan baik. Setiap orang yang terlibat selalu mengikuti sedikitnya satu sampai dua kali rapat due diligence. Dalam setiap rapat due diligence underwriter sering meminta kepada perusahaan untuk melihat fasilitas perusahaan secara langsung dan mewawancarai berbagai anggota manajemen dan juga dengan direktur untuk mendiskusikan kegiatan perusahaan dan hal-hal yang akan dibukakan atau tidak dalam pernyataan pendaftaran Peninjauan secara langsung ini disebut juga “site due diligence” . Penasihat hukum dari underwriter juga mereview dokumen hukum perusahaan untuk memeriksa apakah ada masalah yang potensial ataupun hal-hal yang tidak konsisten dengan apa yang disampaikan pada saat rapat due diligence.

Penasihat hukum underwriter juga melakukan pemeriksaan yang cukup intensif terhadap anggota manajemen dan terkadang juga menggunakan penyelidik swasta. Underwriter dan penasihat hukumnya juga akan meminta izin kepada perusahaan untuk menghubungi pelanggan, supplier dan pihak lain yang berhubungan dengan perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Banyak lagi pekerjaan yang harus dilakukan oleh underwriter.

Underwriter akan mengadakan pertemuan dengan pihak perusahaan dan akuntannya untuk membahas secara rinci comfort letter yang diberikan akuntan. Surat ini akan menjelaskan mengenai prosedur akuntansi tertentu dan juga representasi lainnya yang ada hubungannya dengan pemeriksaan laporan keuangan, pembahasan laporan keuangan yang tidak di audit dalam pernyataan pendaftaran, jika ada dan data keuangan lainnya yang mungkin dimasukkan dalam pernyataan pendaftaran.

Comfort letter ini berguna untuk membantu underwriter dalam mengadakan due diligence dengan melakukan penelitian yang diperlukan dalam masalah-masalah yang ada diperusahaan. Underwriter atau penasihat hukumnya selalu meminta lebih mendalam dari pada apa yang terdapat dalam laporan akuntan yang dibuat menurut standar profesinya. Sebagai hasilnya terdapat berbagai tingkat perbaikan dan diskusi-diskusi yang diperlukan sebelum persetujuan tercapai. Akuntan biasanya memberikan kepada underwriter dua jenis comfort letter, pertama adalah sewaktu pernyataan pendaftaran dinyatakan efektif, dan kedua dengan sedikit perbaikan pada waktu penutupan. Tugas dan surat yang dipersyaratkan biasanya sama mendalamnya dengan yang diperlukan oleh underwriter untuk membatasi tanggung jawab secara hukum menurut Undang-undang Pasar Modal, di USA Securities Act 1933 (1933 Act) dan Securitiy and Exchange Act 1934.

Manajemen perusahaan, juga harus merencanakan beberapa pertemuan untuk membahas,menyetujui dan menandatangani dokumen yang diperlukan secara hukum. Penandatanganan ini sering akan dilakukan sebelum pengisian formulir-formulir yang diwajibkan Badan Pengawas Pasar Modal, dengan demikian didapatkan jaminan bahwa semua anggota manajemen ikut bertanggung jawab.

Meskipun terdapat beberapa keharusan untuk menyisipkan berbagai kegiatan dan prosedur ketika proses sedang berlangsung, diantaranya ada yang tidak bisa dihindari, namun jadwal waktu harus dipegang sedapat mungkin. Untuk setiap penundaan yang diluar jadwal, pihak manajemen harus mempertimbangkan biaya tambahan, kehilangan peluang jendela pasar, kebutuhan atas laporan keuangan interim dan hal lainnya. 

Disamping itu telah menjadi kebiasaan bagi konsultan hukum underwriter untuk mendapatkan sebanyak mungkin comfort letter, sedang biayanya akan dibebankan kepada perusahaan. Oleh sebab itu manajemen perusahaan harus sedapat mungkin terlibat dalam perundingan yang diadakan dalam rangka membahas comfort letter tersebut.

Bila laporan keuangan dan pernyataan pendaftaran telah disusun, maka keduanya disampaikan kepada perusahaan percetakan. Konsep cetakan yang pertama sebaiknya harus diedarkan keseluruh pihak yang terkait untuk mendapatkan komentar terakhir. Biasanya didapat paling sedikit satu atau lebih konsep cetakan sebelum semua komentar tertampung dalam darft yang akan dicetak.

Harus diingat bahwa setiap perubahan dalam periode ini sangat memerlukan biaya. Pada waktu rapat pleno ynag terencana dengan percetakan, tugas satu-satunya adalah mempersiapkan konsep final dan menandatanganinya. Hendaknya pada saat draft telah berada dipercetakan, perubahan-perubahan final telah seluruhnya dilakukan.

Bila terdapat kemungkinan dapat diadakan pengawasan terhadap biaya percetakan, jangan dilewatkan. Ada dua hal yang tampaknya bila dilakukan dapat membuat biaya menjadi rendah yaitu meniadakan satu atau seluruh konsep awal dari percetakan dan mengadakan rapat pleno dengan percetakan sebelum konsep pernyataan pendaftaran disiapkan.Hal ini memang akan menghemat sedikit biaya namun akan mengakibatkan keluarnya biaya yang lebih besar.Bila perusahaan menggunakan percetakan yang lebih baik kualitasnya maka perusahaan akan mengeluarkan biaya berkisar antara 50.000 sampai dengan 250.000 dollar,sebagian bergantung pada banyaknya perubahan yang dibuat,jumlah cetakan dan terakhir juga jumlah amandemennya.

Namun biaya untuk percetakan bukan satu-satunya biaya yang harus dibayar pada saat itu.Sebagai tambahan,bayaran kepada para profesional pada waktu rapat-rapat pleno dengan percetakan untuk memberikan alasan atas perubahan yang pokok juga merupakan biaya yang cukup besar karena bayaran mereka biasanya di hitung per jam.Untuk perusahaan yang sadar biaya,biasanya selalu membereskan terlebih dahulu hal-hal yang akan diubah sebelum diberikan ke percetakan.

Apabila perusahaan menemukan hal baru dalam masalah akuntansi,atau masalah yang harus disclose,hendaknya dibicarakan dulu dengan Badan Pengawas Pasar Modal sebelum di ajukan kepercetakan,untuk menghemat waktu dan biaya percetakan.Badan pengawas akan mengizinkan pengisian awal yang dengan itu dapat dilakukan pembahasan bersama dengan para konsultan.Masalah-masalah ini mungkin lebih mudah bila ditangani lebih dini,dalam komentar dari Badan Pengawas.Pila pihak perusahaan dan konsultannya mempertimbangkan suatu masalah yang terdapat pada perusahaan maka hal ini harus ditangani segera.

Sebagai alternatif,bila waktu bukan menjadi masalah pokok,perusahaan tidak perlu menyerahkan dokumen cetakan dari pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas.Perusahaan dapat menghemat biaya dengan menunggu komentar dari badan pengawas sebelum mencetak pernyataan pendaftaran.Hal ini terkadang disebutkan dengan istilah “quiet filing” atau “confidential filing” karena tidak ada tindakan pemasaran dilakukan sampai dangan komentar dari badan pengawas diterima dan disatukan ke dalam pernyataan pendaftaran.Hal ini akan dapat menghemat biaya yang cukup besar jika pernyataan pendaftaran memerlukan perubahan yang cukup besar dengan adanya komentar dari badan pengawas,namun saat ini praktek demikian tidak dibenarkan lagi oleh badan pengawas,badan pengawas mempersyaratkan agar semua dokumen tersedia secara lengkap barulah pernyataan pendaftaran diterima.

Meskipun perusahaan telah mengisi formulir yang begitu banyak di Badan Pengawas Pasar Modal,namun bila perusahaan merencanakan melakukan penjualan di berbagai negara bagian di USA maka diharuskan juga untuk melakukan pendaftaran di berbagai negara bagian dimana under writer menduga kemungkinan banyak investor bertempat tinggal.Persyaratan negara bagian yang banyak sekali berkisar dari persyaratan yang paling sederhana sampai dengan yang paling rumit seperti persyaratan “Lock Up” dari saham para insider untuk menjaga agar mereka tidak menjual sahamnya dalam waktu dekat setelah penawaran perdana.

Proses penawaran umum perdana sebenarnya,dengan menyampingkan persiapan yang telah dilakukan perusahaan bertahun-tahun sebelumnya,dapat terjadi dalam waktu setahun,bila persiapan telah matang dan perusahaan benar-benar tinggal menunggu waktu pelaksanaan saja.



















BAB XVII 

PRAKTEK HAK TANGGUNGAN 

PADA LEMBAGA KEUANGAN


1. Perlindungan Dan Penegakan Hukum Hak Tanggungan

Menurut Van Doorn ; Fungsi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak lepas dari tafsirannya sendiri yang dilator belakangi oleh berbagai factor, factor sosial, tingkat pendidikan, kepentingan ekonomi, asal usul sosial dan politik.

Dengan demikian, ulasan yang dikemukakan oleh Van Doorn diatas, menunjukan bahwa masalah lingkungan yang dimaksud bisa dikaitkan kepada manusia secara pribadi serta kepada penegak hukum sebagai suatu lembaga (institusi). 

Konsekuensi diatas menunjukan bahwa, factor penegakan hukum (petugas) memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum. Kalau peraturan sudah baik, akan tetapi kualitas petugas kurang baik, maka akan ada masalah. Demikian pula, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas petugas baik, maka mungkin pula timbul masalah.

Selanjutnya Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa ada tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum itu secara ideal harus dimiliki oleh suatu aturan hukum. 

Senada dengan itu, Achmad Ali menyatakan tidak mendukung pendapat yang menyatakan bahwa hukum hanyalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan, karena bagaimanapun nilai keadilan terlalu subjektif dan abstrak. Achmad Ali setuju kalau keadilan bersama-sama dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dijadikan tujuan hukum secara prioritas, sesuai dengan kasus inkonkreto.

Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Memang, dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak.

Achmad Ali mengungkap, mencetak rekor dengan membuat banyak perundang-undangan, tidak dapat dikategorikan suatu prestasi yang mempunyai pengaruh terhadap upaya pemberdayaan hukum, justru ketergopoh-gopoh pemerintah dan DPR dengan membuat banyak perundang-undangan, malah dapat melahirkan undang-undang yang oleh Gunnar Myrdal dinamakan sweep legislation (undang-undang yang rendah kualitasnya karena dibuat secara tergesa-gesa) dan kesemuanya merupakan factor tambahan berlangsungnya keterpurukan hukum ditanah air. Juga karena dalam kenyataannya banyak undang-undang yang dibuat tergesa-gesa yang tidak sinkron satu sama lain. Akibatnya bukan hanya sekedar semakin membingungkan masyarakat, melainkan memporak-porandakan tatanan hukum di Indonesia. 

Menurut Roscoe Pound, Tidaklah cukup hanya dengan membandingkan antara teks undang-undang yang satu dengan lainnya dan juga tidaklah cukup hanya dengan memperhatikan keadilan abstrak dari isi perundang-undangan itu. Hal yang jauh lebih penting adalah mempelajari bagaimana hukum itu bekerja di dalam pelaksanaannya. 

Telah diungkapkan fungsi hukum secara umum yang mencakup nilai dasar/tujuan hukum yang meliputi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, sedang keberlakuan hukum mencakup keberlakuan secara filosofis, secara sosiologis dan secara yuridis. Selanjutnya akan diuraikan factor-faktor yang berpengaruh terhadap bekerjanya hukum dalam kehidupan sosial masyarakat. 

Sejalan dengan itu Lawrence M. Friedman, menguraikan bahwa untuk terciptanya suatu peraturan yang ideal ialah dipenuhinya komponen-komponen substansi hukum (substace). Substansi hukum itu merupakan masukan,  prosesnya adalah struktur hukum sedangkan keluarannya adalah budaya hukum. Sebagaimana Soerjono Soekanto bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya.  

Soerjono Soekanto mengetengahkan dua pengertian penegakan hukum, yaitu :

A. Pengertian dalam arti yang luas, yang mencakup :

1. Lembaga-lembaga yang menerapkan hukum seperti pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian.

2. Pejabat-pejabat yang memegang peranan sebagai pelaksanaan atau penegak hukum seperti Hakim, Jaksa dan Polisi.

3. Segi administrative, seperti proses peradilan, pengusutan, penahanan, dan seterusnya,

4. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

5. Batas-batas wewenang antara pengadilan sipil dengan pengadilan militer dan pengadilan agama. 

B. Pengertian dalam arti sempit yang mencakup penerapan oleh lembaga-lembaga peradilan (serta pejabat-pejabatnya), kejaksaan dan kepolisian.

Selanjutnya pengertian perlindungan hukum dalam pemahaman teoritis yang lebih mendekati adalah pandangan dari Van Apeldoorn bahwa hukum menghendaki perdamaian. Apa yang kita sebut tertib hukummereka sebut damai (vrede), keputusan hakim, disebut vredeban (vredegebod), kejahatan berarti pelanggaran perdamaian (vredebreuk), penjahat dinyatakan tidak damai (vredeloos), yaitu dikeluarkan dari perlindungan hukum.

Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya, terhadap yang merugikannya. Kepentingan dan perseorangan dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkab pertikaian, bahkan peperangan antara semua orang melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian. Dan hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan-kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan mengatur pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, pada mana orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Aristoteles telah mengajarkan bahwa ada dua macam keadilan, distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang yang menurut jatahnya. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan pada tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan commutatief menguasai hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan khusus, seperti dalam tukar-menukar, dalam pertukaran barang dan jasa-jasa, dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang ditukarnya. Kesimpulannya pengertian perlindungan hukum pada hakikatnya hukum memberi perlindungan yaitu memberi kedamaian yang intinya adalah keadilan, dan keadilan yang diberikan oleh hukum tergantung hubungan mana yang diatur oleh hukum tersebut. Jika yang diatur adalah hubungan antara Negara dengan perseorangan maka keadilan yang diberikan adalah memberikan apa yang menjadi jatahnya, tetapi jika yang diberikan adalah memberikan pada semua orang sama banyaknya. 

2. Kekuatan Eksekotarial Sertifikat Hak Tanggungan

Permasalahan grose akta yang memiliki kekuatan eksekotarial berdasarkan Pasal 224 H.I.R, dan kekuatan eksekotarial sertifikat hak tanggungan yang merupakan produk Badan Pertanahan Nasional (c.q Kantor Pertanahan) selaku lembaga non yudislil. Grose akta adalah salinan akta yang dibuat oleh notaries dari minuta yang disimpan dalam protokolnya, diterbitkan atas permintaan kreditur. Pada kepala grose akta terdapat kata-kata yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Berdasarkan title eksekutorial tersebut grose akta dapat dimintakan seksekusi kepada Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan biasa. Menurut Pasal 224 H.I. R (Heriene Inlandsche Reglement) dan Pasal 258 R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) suatu grose dari akta hipotik dan surat hutang yang dibuat dihadapan notaries di Indonesia yang pada dasarnya Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim.

Pengaturan eksekusi grose akta dalam Pasal 224 H. I. R dimaksud untuk memperlancar kegiatan di bidang ekonomi, yaitu agar pelaku usaha dapat menyelesaikan sengketa hutang piutang dan sengketa kredit macet lainnya secara cepat dan tepat. Bagi kreditur pemegang grose akta surat-surat hutang (schulbrieven) dapat meminta kepada pengadilan agar dilakukannya penyitaan atas barang-barang milik debitur untuk selanjutnya dijual lelang. Demikian pula bagi kreditur pemegang grose akta hipotik-berdasarkan pasal 224 H. I. R juga dapat meminta pengadilan melakukan penyitaan dan penjualan lelang atas obyek hipotik. Kemudian seperti ini sangat disukai oleh pelaku usaha sehingga dapat menggairahkan kegiatan di bidang ekonomi, khususnya dalam mengamankan penyaluran kredit oleh lembaga perbankan.

Di samping itu keberadaan Pasal 224 H. I. R juga bertujuan untuk memudahkan hakim dalam menyelesaikan sengketa hutang-piutang, karena tidak perlu melakukan pemeriksaan perkara melalui persidangan, sehingga dapat mengurangi beban hakim dan mereduksi terjadinya penumpukan perkara di lembaga peradilan. Kongesti perkara mengakibatkan penyelesaian sengketa berjalan lamban dan tidak efisien dengan ongkos yang sangat mahal. Inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi tersebut sangat tidak disukai oleh pelaku ekonomi yang mengedepankan prinsip efektif dan sfisien dalam berusaha dengan menekan serendah mungkin ongkos produksi dan investasi.

Untuk memudahkan kreditur dan mengurangi beban hakim tersebut undang-undang mengambil sebagian wewenang hakim dalam menerbitkan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, selanjutnya wewenang tersebut diberikan kepada notaries selaku satu-satunya pejabat umum untuk menerbitkan grose akta berkekuatan eksekutorial yang kualitasnya disamakan dengan putusan hakim. Pelaksanaan wewenang notaries untuk menerbitkan grose akta tersebut tetap berada di bawah pengawasan hakim selaku organ kekuasaan yudikatif.

Apabila Ketua Pengadilan Negeri menilai terdapat kekeliruan, kesalahan atau tidak terpengaruhinya syarat formil dan materiil dalam suatu grose akta, maka dia dapat menolak memberikan fiat eksekusi. Pemberian fiat eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri memang sudah seharusnya demikian karena notaries diawasi oleh pengadilan. Jadi, dengan adanya Pasal 224 H. I. R maka penyelesain sengketa hutang-piutang atau kredit macet yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dapat berjalan efektif dan efisien sesuai prinsip ekonomi tanpa meninggalkan sistem hukum yang berlaku.

Pada awalnya title eksekutorial diletakan pada grose akta hipotik dan credietverband, lalu dicantumkan pada sertifikat hipotik dan credietverband, pengalihan title eksekutorial dari grose akte hipotik dan credietverband ke sertifikat hipotik dan credetverband mulanya berdasarkan pada Peraturan Menteri Agraria, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kemudian dikukuhkan dalam UU Rumah Susun No. 16/1986 dan dalam UU Hak Tanggungan mempunyai title eksekutorial dan berlaku sebagai pengganti grose akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah.

Penempatan title eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan tidak sesuai sitem hukum di Indonesia, khususnya hukum jaminan, Peraturan Jabatan Notaris, dan Pasal 224 H. I. R yang bersifat limitative. Meski dikukuhkan dengan UU No. 4/1996 tepat kurang tepat, karena UU Hak Tanggungan merupakan hukum materiil bukan hukum formil. Hukum materiil hanya mengatur hak dan kewajiban, sedang hukum formil bersifat imperatife yang mengatur tata cara melaksanakan hukum materiil, termasuk eksekusi atas putusan pengadilan dang rose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial .

Sertifikat hak tanggungan tidak memenuhi syarat sebagai grose akta menurut Pasal 224 H.I. R, karena tidak dibuat oleh pejabat umum satu-satunya yang ditunjuk oleh undang-undang, dan bukan merupakan salinan dari minuta akta yang dibuat dan disimpan oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu menurut undang-undang. Pencantuman irah-irah pada sampul sertifikat hak tanggungan tidak sesuai dengan ketentuan mengenai penempatan titel eksekutorial sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.

Sertifikat hak tanggungan mengandung cacat yuridir, karena terjadi pelanggaran hukum administrasi, yaitu Kepala Kantor Pertanahan selaku pejabat administrasi Negara melakukan tindakan di luar kewenangannya. Pasal 14 (2) UU No. 4/1996 yang menyatakan sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial dan kualitasnya disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tidak mempunyai landasan yuridis dan teoritis. Oleh karena itu sertifikat hak tanggungan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan juga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.

Konstruksi sertifikat hak tanggungan yang diberi titel eksekutorial bertentangan dengan sisitem hukum, terutama jika dikaitkan dengan fungsi pengadilan sebagai institusi yang memberikan fiat eksekusi. Konstruksi yang terdapat dalam Pasal 224 H. I. R adalah titel eksekutorial ditempatkan pada grose akta (hipotik) yang dibuat oleh notaries yang diawasi hakim. Oleh karena itu jika grose akta tersebut hendak dieksekusi secara paksa maka harus meminta fiat eksekusi dari pengadilan. Dengan demikian maka tidaklah tepat jika pengadilan diberi kewajiban memberikan fiat eksekusi atas sertifikat (bukan grose) yang bukan dibuat oleh pejabat umum (notaries), tetapi oleh pejabat eksekutif yang tidak diawasi oleh pengadilan.

3. Institusi Pelaksana Hak Tanggungan

Keberadaan PPAT diatur dalam PP No. 37/1998 yang kedudukannya berada dibawah undang-undang, meski keberadaan PPAT disebut dalam UU No. 16/1985 dan UU No.4/1996, namun karena tidak diatur secara mandiri dalam undang-undang khusus seperti notaries dalam P. J. N, maka PPAT bukan pejabat umum sebagaimana dimaksud pasal 1868 KUH Perdata. Akta-akta yang dibuat oleh PPAT termasuk Akta Pemberian Hak Tanggungan tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik menurut Pasal 1868 KUH Perdata. Konsekuensinya, menurut Pasal 1869 KUH Perdata jika suatu akta dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang menurut undang-undang, maka akta tersebut bukan akta otentik.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga tata usaha Negara yang kewenangannya hanya menjalankan tugas di bidang pemerintahan. BPN tidak dapat bertindak sebagai regelgeving dan rechisprauk. Namun pada kenyataannya BPN melaksanakan sebagian tugas dan wewenang lembaga peradilan yang sebenarnya bukan merupakan kewenangannya selaku lembaga tata usaha Negara, yaitu menerbitkan dokumen (sertifikat) yang mempunyai titel eksekutorial. Meski kewenangan tersebut diatur dalam undang-undang, tetapi jika berada dalam bidang rechtspraak, maka adalah tidak tepat.

Pelaksanaan tugas Kepala Kantor Pertanahan selaku aparat eksekutif berada di luar pengawasan hakim. Dengan demikian maka pemberian fiat dari Ketua P. N bagi eksekusi sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan Kantor Pertanahan tidak perlu dilakukan karena tidak mempunyai relevansi dengan pengawasan oleh lembaga peradilan. Ketua PN tidak wajib memberi fiat terhadap eksekusi atas sertifikat hak tanggungan. Kewajiban Ketua PN untuk memberikan fiat hanya tertuju pada eksekusi grose akta hipotik dan surat hutang sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 224 H. I. R.

Demikian pula terhadap PPAT, pengadilan tidak berwenang mengawasi, karena eksistensi PPAT tidak diatur dalam undang-undang khusus seperti Notaris. Sedangkan terhadap Notaris selaku pejabat umum, Pengadilan (hakim) oleh undang-undang (P. J. N) diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan tugas PPAT dan Kepala Kantor Pertanahan namun jika terjadi kesalahan PPAT dalam membuat APHT dan atau kesalahan Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat hak tanggungan, pengadilan berwenang melakukan koreksi dengan menjatuhkan putusan atau penetapan yang berisi pembatalan.

Pengadilan Negeri berwenang menilai sertifikat hak tanggungan yang dimintakan eksekusi apakah telah memenuhi syarat Pasal 224 H. I. R. Kewenangan Ketua PN dalam menilai Sertifikat hak tanggungan meliputi berbagai segi yang berkaitan dengan syarat-syarat formal yang bersifat imperative dengan merujuk pada ketentuan undang-undang dan doktrin ilmu hukum. Kewenangan tersebut tidak hanya mengacu pada Pasal 224 H. I. R.

4. Norma Hutang Uang

Perjanjian pokok yang menimbulkan hutang yang menajdi dasar dibuatnya akta pemberian hak tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), tidak selalu berupa perjanjian kredit  atau perjanjian hutang piutang, akan tetapi pemberian Hak Tanggungan dapat diberikan sebagai jaminan  pembiayaan . Klausula dalam akta yang bernbunyi bahwa Pemberian Hak Tanggungan yang telah dibuat dan yang telah ditandatangani  berdasarkan perjanjian hutang piutang  tersebut, dengan demikian  telah bergeser fungsinya tidak lagi sebagai lembaga jaminan hutang.

Pergeseran norma hukum mengenai hutang sebagai perjanjian pokok yang merupakan keharusan dalam klausula pemberian Hak Tanggungan, dalam praktek pendaftaran haknya pada Kantor Pertanahan guna penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan ,tidak disertakan sebagai lampiran dari permohonan pendaftaran Haknya.

Praktek seperti ini adalah menjadi baku dan menurut Kantor Pertranahan bagian  pendaftaran Hak tanggungan , bahwa mengenai penyertaan Akta Perjanjian Pokoknya adalah menjadi Tanggung Jawab Penerima Hak Tanggungan. 

Kekuatan Pembuktiuan Sertifikat Hak Tanggungan yang Berkepela Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan memiliki kekuatan Ekskusitorial, tidaklah menjadi penyertaan dalam menetukan bagaimana eksekusi itu dilakukan, bila dalam perjanjian pokoknya tidak menunjukan domisili hukum yang tetap pada Pengadilan Negeri, seperti pada akad Pembiyaaan Murabahah, dimana pada umumnya menunjuk Badan Abritrasi sebagai lembaga pemutus.

Hutang yang secara jelas diberlakukan dalam pemsangsan Hak Tanggungan, adalah yang memenuhi ketentuan perjanjian Hutang sebagaimna di haruskan terhadap perjanjian hutang murni yang menurut ketentuan Mahkamah Agung  bahwa perjanjian hutang adalah harus benar-benara dipenuhi sebagai perjanjian hutang bukan sebagai penyeludupan hukum atas timbnulnya hutang. Hutang dalam perjanjian pembiayaan adalah identik dengan perjanjian jual beli untuk membeli kembali, yang mengandung unsure adanya perbuatan pura-pura , dan perbuatan pura-pura semacam, ini adalah mengakibatkan posisi antara pihak penyandang dana dan penerima dana tidak terikat pada perjanjian yang sungguh-sungguh berhutang. 

 Konsep hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ,sebenarnya tidak mengenal  perjanjian Hutang – piutang, yang dikenal adalah konsep pinjam mengganti. Pengertian Hutang dalam KUH Perdata hanya sering disebutkan dalam pasla-pasal mengenai Hak Kebendaan, bagaimana difinisi hutang piutang secara normative tidak diketemukan.  Sehingga Hutang hanya kita kenal dalam pengertian yang umum dimnana barang yang dijadikan objek dalam perjanjian adalah Uang.

Asas Kebebsan berkontraklah yang mengenalkan bentuk perjanjian yang berupa perjanjian yang baku dan standard dalam perjanjian-perjanjian yang berlaku dimana konsepsi hutang telah dieleminir dengan model-model perjanjian yang berupa pembiayaan , yang substansinya adalah hutang uang.

Perjanjian Pembiayaan seperti model  Akad Pembiayaan Murabahah, adalah merupakan perjanjian yang timbul karena sistem Tata Hukum Perbankan yang baru dan menjadikan Tata Hukum Perbankan Nasioanl  yang menganut dua norma hukum yang berbeda. Dua Norma Hukum yang saling berseberangan ini diterapkan dalam satu norma hukum yang sama dalam lembaga jaminan hutang.

Dua sistem hukum dalam satu norma hukum, akan menimbulkan suatu konflik hukum manakala kepentingan kepastian pembebanan jaminan diberlakukan dalam hukum Hak Tanggungan, dimana  Hukum ( norma ) Hutang Uang  yang berakar pada dan Hukum Barat, digunakan juga sebagai alas pembebanan jaminan dalam dua sistem Hukum Perbankan Nasional dimana yang satu dan yang lainnya menerapkan norma hukum yang sangat berbeda.

Peraturan-peraturan yang mengatur tentang Hutang Piutang (peminjaman uang) tercantum dalam bab 13 tentang Pinjam Mengganti (verbreuklenen) sehingga semua peraturan tentang Pinjam Mengganti berlaku. Pinjam Mengganti ini merupakan perjanjian khusus (bijzondere Contract), dimana peraturan-peraturan mengenai perjanjian “Bagian Umum” juga berlaku atas perjanjian khusus ini, sedangkan peraturan-peraturan tentang Perjanjian diatur dalam buku III tentang Perikatan, dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 

Pengertian Perakitan (verbintenis) adalah suatu hukum, dibidang harta antara 2 orang atau lebih, dimana yang satu berhak atas suatu prestasi dan yang lain berkewajiban untuk memberikan prestasi itu. Prestasinya untuk memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu, dapat juga prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu/membiarkan sesuatu, terjadinya Perikatan ini dapat karena undang-undang, atau putusan hakim dapat juga karena perjanjian. Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata, ialah suatu perbuatan (handeling) dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Menurut Hoffman suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana 2 orang atau lebih, berdasarkan penyesuaian kehendak (persetujuan/kesepakatan) menciptakan satu perikatan atau lebih antara mereka. Dengan adanya perjanjian telah menimbulkan perikatan, sebagai contoh Perjanjian Jual Beli menimbulkan perikatan tentang Barangnya. Dalam perikatan tentang Barangnya, si Pembeli yang berhak atas Barangnya dan si Penjual yang berkewajiban untuk menyerahkan barangnya.

Dalam hal pinjam meminjam, kita dapat membedakan meminjam barang yang setelah dipergunakan, kemudian dikembalikan dalam ujudnya semula (umpama pinjam mobil) dengan meminjam barang lain menghabis apabila dipakai (meminjam 1 Kaleng cat tertentu), sehingga peminjam cukup mengembalikan barang yang lain yang sama, untuk pinjam meminjam yang kedua ini disebut Pinjam Mengganti (verbreuklenen).

Pada umumnya suatu perjanjian sudah terwujud dengan tercapainya persesuaian kehendak (kesepakatan, persetujuan) mengikat diri untuk melakukan prestasi terhadap lainnya, perjanjian ini disebut perjanjian Reeel (Dalam hukum terdapat perjanjian bersifat nyata dan tunai), sebelum ada penyerahan barang secara nyata, belum ada perjanjian, yang ada baru Perjanjian Pendahuluan (voor Overeenkomst), karena seseorang tidak akan menyerahkan baarangnya lebih dahulu, sebelum tercapainya perjanjian pendahuluan dimana ia merasa yakin apa yang terjadi menjadi kewajiban dari pihak lawannya, dititipkan, dipinjam pakai, atau untuk dipinjam mengganti oleh pihak lainnya.

Dalam pasal 1754 KUHPerdata disebut “Pinjam Mengganti” adalah suatu perjanjian pada mana pihak yang satu melepaskan/memberikan (afgeven) pada pihak lainnya suatu jumlah barang tertentu yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah barang yang sama dari jenis dan mutu yang sama. Di sini disebut pihak yang satu melepaskan/memberikan, tidak disebut pihak yang satu “mengikat diri untuk melepaskan/memberikan”  (Dalam perjanian jual beli pasal 1457 disebut pihak yang satu mengikatkan diri (Zich verbinden) untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah dijanjikan), hal mana karena pihak kreditur sudah melaksanakan penyerahan barangnya, sehingga dalam perjanjian Pinjam Mengganti, Pinjam Pakai, atau Penelitian tidak lagi mencantumkan keajiban dari kreditur, melainkan mencantumkan kewajiban si Debitur untuk mengembalikan barang dengan syarat-syarat tertentu.

Perjanjian dimana hanya salah satu pihak saja yang mempunyai kewajiban disebut juga Perjanjian sepihak (eenzijde overeenkomst), berlainan dengan pengertian “eenzijde overeenkomst” menurut doctrin ilmu hukum, Mahkamah Agung dalam putusan tanggal 30 Juli 1985 No.Reg.1904 K/Sip/1982 Varia Peradilan nomor Perdana, “eenzijd contract” adalah perjanjian yang dapat diklasifikasi sebagai kehendak satu pihak, seorang dalam posisi lemah dan terdesak terpaksa menandatangani perjainjian dalam akte notaries yang bersifat memberatkan baginya. Demikian juga dalam konsep S.E.M.A. tanggal 11 Maret 1986 tentang “Perjanjian yang bersifat riba” Perjanjian yang berbeda dalam keadaan yang tak seimbang, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya (seolah-olah) perjanjian terjadi secara (bersifat) sepihak.

Hal-hal yang pokok dari suatu Perjanjian Pinjam Mengganti ialah :

1. Barang yang dikembalikan tak perlu apa yang diterimanya in natura melainkan wajib mengembalikan barang dalam jumlah yang sama, jenis sama, jenis nama, dan kwalitas sama, kalau yang dikembalikan diperbolehkan dari bukan barang yang jenisnya sama, maka ini menjadi perjanjian tukar menukar.

2. Yang meminjam dapat bertindak sebagai pemilik dari barang yang dipinjam, karena terjadi peralihan eigendom, sehingga peminjam menerima resiko sepenuhnya. Dalam Pinjam Pakai di Peminjam tidak dapat bertindak sebagai pemilik dari barang yang dipinjam.

3. Si Peminjam dapat diminta untuk memberikan suatu kontra prestasi berupa bunga. Dalam pinjam pakai selalu Cuma-Cuma, kalau di Peminjam dimintakan kontra prestasi menjadi suatu perjanjian sewa menyewa.

4. Dalam perjanjian Pinjam Mengganti berupa uang (lazim disebut Hutang uang), peraturan-peraturannya tercantum dalam perjanjian Pinjam Mengganti.

a. Hutang uang itu bebas bentuknya (vorm vry) seperti halnya dengan pinjam mengganti, akan tetapi apabila disertai dengan bunga, maka bunga yang diberikan itu harus diadakan secara tertulis. Sampai berapa besarnya bunga yang boleh diperjanjikan itu harus diadakan secara tertulis. Sampai berapa besarnya bunga yang boleh diperjanjikan tidak disebut dalam undang-undang, pembatasan bunga unag yang terlampau tinggi, antara lain terdapat dalam Woeker ordonansi LN 1938-524, dimana Hakim dapat menurunkan bunga yang diperjanjikan atau membatalkan perjanjiannya, dalam hal pihak kreditur. Dalam Raker Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi di Jakarta 25,26 Maret 1986, yang membahas “Pemberantasan Rentenir, serta konsep S.E.M.A. tanggal 11 Maret 1986 tentang Perjanjian yang bersifat Riba, telah memberi petunjuk bagi adanya suatu perjanjian yang bersifat riba, ialah dengan :

1. Berpedoman pada perumusan pasal 2 Woeker Ordonansi S’1938-524.

2. Adanya penyalah gunaan keadaan/kesempatan atau penyalah gunaan keadaan ekonomis yang melatar belakangi asas kebebasan berkontrak, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya (seolah-olah) perjanjian terjadi secara (bersifat) sepihak.

3. Adanya jual beli dengan hak membeli kembali mengenai tanah dan atau rumah, dengan tenggang waktu yang singkat, dan harga jauh dibawah pasaran

Berdasarkan hal-hal tersebut perjanjian dapat dinyatakan batal atau dibatalkan, atau disesuaikan suku bunganya saja.

b. Istilah melepaskan/memberikan ( afgeven ) dalam pasal 1754 KUH Perdata untuk Hutang Uang, harus ditafsirkan secara luas dapat dengan giro, pos wesel, setoran bank, termasuk juga Traditio Brevi Manu  (penyerahan dengan, tangan pendek, dimana Debetur sebelumnya sudah menguasai/memegang uang dari kreditur, berdasarkan hubungan hukum khusus, sehingga dengan Traditio Brevi manu uang dianggap telah diserahkan kepada Kreditur ).

c. Hutang Uang juga sering juga merupakan penggantian dari suatu hutang yang mempunyai dasar lain. Contoh kekuarangan pembayaran dari suatu transaksi jual beli, dibuat perjanjian hutang uang n( Pengakuan Hutang , hal mana sering terjadi dan dinyatakan sah dengan keputusan H>R 5 Januari 1928 ).

          Pengakuan Hutang karena kekurangan pembayaran suatu transaksi jual beli, masih tergantung dari sahnya jual beli itu, hingga apabila jual beli itu batal karena salahnya satu pihak, maka pengakuan hutangnya juga turut batal berdasarkan asas itu, sehubungan dengan itu apakah Grosse akta Pengakuan Hutang karena kekuarangan pembayaran suatu jual beli masih mempunyai kekuatan ekskusi torial sebagaimana dimaksud oleh pasal 224 RID ?, bandingkan dengan perjanjian dengan pembiayaan ( mudharabah ) dalam sistem Perbankan Syariah , dimanakah hutang uang dikatakan timbul bila ternyata dalam perjanjian pembiayaan itu mengakibatkan kerugian bagi pihak penerima dana. Permaslahan ini akan menjadi tidak pasti bila dikatakan bahwa perjanjian pembiayaan  telah bergeser dari Hukum Hutang Uang .

         Suatu Pengakuan Hutang Uang adalah suatu perjanjian reel ( nyata ) yang terwujud apa adanya kenyataan kreditur telah melepaskan /memberikan ( afgiften ) uangnya kepada debitur , dan juga merupakan perjanjian sepihak karena kewajiban kreditur menyerahkan uang telah selesai, sehingga dalam perjanjiannya tercantum kewajiban sepihak dari debitur untuk membayar/melunaskan sejumlah uang besarnya sudah ditentukan secara pasti. 

Mahkamah Agusng dengan suratnya tertanggal 18 Maret kepada BNI 46 menjelaskan bahwa mengenai pengakuan hutang sebagai akta grosse selama ini terlah terjadi penyalahgunaan sehingga setiap perjanjian (jual beli, perjanjian kredit dan sebagainya) dibuat dalam bentuk Pengakuan Hutang agar dapat diekssekusi tanpa digugat lebih dahulu, sehingga telah merubah sifat eksepsional dari pasal 224 RID, sedangkan pengertian akta grosse yang dimaksud pasal 224 RID ialah suatu akta otentik yang berisi suatu pengakuan hutang dengan perumusan semata-mata suatu kewajiban untuk membayar/melunaskan sejumlah uang tertentu. Agak sulit bagi penulis memahami maksud surat tersebut, bagaimana mungkin setiap perjanjian (jual beli, perjanjian kredit dan sebagainya) dibuat dalam bentuk pengakuan hutang , karena prototype dari pengakuan hutang berbeda dengan prototype jual beli dan sebagainya, apakah hanya judul aktanya saja yang diganti dengan Pengakuan Hutang atau yang mungkin adalah kekurangan pembayaran daru suatu jual beli, kemudian dibuat akta pengakuan hutang tersendiri.

Apabila betul yang dimaksud oleh Mahkamah Agung dalam surat tersebut adalah Pengakuan Hutang sebagai akibat kekurangan pembayaran suatu jual beli, berarti Pengakuan Hutang demikian walaupun dikeluarkan grosse akta berdasarkan pasal 41 PJN, tentu akan mengalami kesulitan eksekusinya. Menurut penulis akte pengakuan hutang demikian adalah sah, karena pemberian (afgeven) dalam pasal 1754 KUHPerdata harus ditafsirkan secara luas, dan uangnya sudah diserahkan secara Traditio Breve Manu, demikian juga menurut pokok pikiran Hukum Adat, suatu jual beli merupakan suatuperbuatan yang nyata dan tunai, kekurangan pembayaran merupakan suatu hutang tersendiri, memuat perumusan semata-mata adanya suatu kewajiban untuk membayar/melunaskan sejumlah uang tertentu.

d. Sebelum dibuat perjanjian Pinjam Mengganti berupa uang (Pengakuan Hutang), lazimnya didahului Perjanjian Pendahuluan (voor overeenkomst atau pactum de contrahendo) mengenai besarnya hutang dan syarat-syarat pengembaliannya. Apabila setelah diadakan perjanjian pendahuluan si Kreditur menolak untuk menyerahkan uangnya, maka ia dapat digugat dimuka Pengadilan untuk melaksanakannya atau membatalkannya yang disertai ganti kerugiannya.

Dalam praktek perbankan, Bank dapat memberikan pinjaman uang dalam bentuk :

1. Pengakuan Hutang, yang didahului oleh perjanjian pendahuluan secara lisan/tertulis.

2. Perjanjian kredit (Perjanjian Membuka Kredit), yang juga didahului oleh perjanjian pendahuluan.

Dalam Perjanjian Kredit inibelum terjadi pelepasan /penyerahan uang oleh Bank kepada Debitur, Bank bersedia memberikan uang sebagai pinjaman (kredit) sampai jumlah maksimum tertentu, dan berdasarkan kredit ini Debitur diperbolehkan untuk mengambil uang dengan menggunakan chek, kwitansi pada bank tersebut, yang selanjutnya bank akan membukukan pada rekening debitnya.

Apakah grosse akta Perjanjian Kredit mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 224 (RID)?

Terhadap Perjanjian Kredit terdapat 2 pendapat antara Mahkamah Agung dengan para Notaris :

1. Mahkamah Agung dalam Rakerda dengan PT dan PN se Jawa Tengah di Semarang tanggal 11 s/d 15 Nopember 1985, disusul dengan suratnya no.213/229/05/II/Um-Tu/Pdt tanggal 16 April 1985, Surat no.133/154/86 tanggal 18 Maret 1986 dan fatwa grosse akte dengan surat no.147/168/86/II/Um-TU/Pdt tanggal 1 April 1986, bermakna pengeluaran grosse akta atas Perjanjian Kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 224 RID. Dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1986 No.Reg. 1520K/Pdt/1984 berpendapat pasal 224 HIR bersifat limiatatif, karena yang boleh dibuatkan akta grossed an mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan Hakim adalah hanya akta hipotik dan akta notariil yang bersifat pengakuan hutang (notariele Schuldbrieven), sedangkan akta-akta notaries tersebut bukanlah merupakan notariele schuldbrieven menurut pasal 224 HIR, akan tetapi merupakan “Perjanjian Kredit”, bahwa untuk mengeksekusi akta grosse sebagaimana disebut dalam pasal 224 HIR, kecuali akta itu memenuhi persyaratan formil yaitu : berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, juga jumlah hutang yang harus telah menjadi pasti.

2. Pendapat para Notaris (a.1. Mudofir Hadi SH dalam Varia Peradlian No.11) Dalam Perjanjian Kredit dicantumkan clausule bahwa mengenai jumlah yang pasti dari hutang debitur akan berpegang pada catatan/buku rekening debitur yang berada di Bank, jadi jumlahnya juga pasti sudah diketahui besarnya, sehingga perjanjian kreditnpun dapat dikeluarkan grossenya.

Hartono Soerjopratiknjo : kewenangan notaries untuk mengeluarkan grosse akta tak saja berdasar pada pasal 224 RID, akan tetapi juga pasal 41,47 Peraturan Jabatan Notaris serta barang bergerak berdasarkan pembagian boedel (pemisahan dan Pembagian harta peninggalan) dapat dikeluarkan grosse akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial (Mahkamah Agusng dalam Rakerda dengan PT dan PN se Jawa Tengah Nopember 1985 berpendapat Hutang mengenai barang bergerak akan menimbulkan kesulitan dalam eksekusinya, maka akte itu tidak memenuhi persyaratan grosse akte dalam pasal 224 HIR, sehingga eksekusi tidak dapat dilaksanakan). H.R. dengan putusan tanggal 24 Januari 1935telah memutus bahwa grosse akte notaries mengenai Perjanjian Kredit dapat digunakan unyuk mengadakan eksekusi, karena atas dasar suatu verwijzing/penunjukan dalam akte pada buku-buku kreditur dapat diperlihatkan besarnya jumlah yang terhutang.

e. Dalam hutang uang, asas utama yang harus dikembalikan ialah jumlah nominal dalam alat pembayaran yang sah, yang berlaku pada saat pembayaran. Asas ini dapat diterapkan atas Hutang Uang dalam mata uang asing (gulden, mark, dollar) jadi untuk menetapkan jumlah uang yang berhutang, harus berpangkal pada jumlah yang disebut dalam perjanjian.

          Beberapa problematika akan muncul terhadap bagaimana Penegakan hukumnya dan bagaimana Budaya Hukumnya. Dapat diteliti dengan memakai teori   Friedman hukum haruslah  ditegakan manakala memenuhi unsur substansi, Struktur , dan budaya  .Dari teori ini akan bisa dijelaskan  sejauh manakah Fungsi Parate Eksekusi Pada Pelaksanaan Eksekusi Objek Hak tanggungan , apakah telah mengalami pergeseran terhadap asas  Parate Eksekusi didalam doktrin hukumnya







Lampiran 1


Perjanjian Penyelesaian Hutang


Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Pekerjaan :

Alamat :

Selanjutnya disebut Pihak Pertama (debitur)


Nama :

Jabatan :

Bertindak untuk dan atas nama PT. BPR / BKK Purwokerto…………………………..

demikian sah mewakili Direktur Utama PT.BPR / BKK Purwokerto Utara…………...

berdasarkan…………………………………………………………………...................

Selanjutnya dalam akta ini akan disebut “Pihak Kedua”;------------------------------------


Para pihak dengan ini menerangkan terlebih dahulu: ----------------------------------------

- bahwa penghadap.................................................................................................

Tersebut di atas selanjutnya disebut juga Peminjam/Debitur telah memperoleh pinjaman uang/kredit dari pihak kedua/Bank demikian berdasarkan akta...........

Yang dibuat di hadapan........................................................................................

Dengan plafond sebesar Rp. ................................................................................

Yang telah diperoleh dari: Perseroan Terbatas PT. Bank....................................

- bahwa karena telah terjadi tunggakan-tunggakan pembayaran angsuran hutang, maka posisi hutang Peminjam/Debitur pada tanggal..............................

Seluruhnya berjumlah sebesar Rp. ...................................,-

- bahwa karena telah terjadi tunggakan tersebut, maka Pihak Pertama diberi kesempatan untuk melunasi seluruh hutangnya berikut bunga, ongkos-ongkos dan biaya-biaya lainnya yang wajib dibayarkan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, akan tetapi Pihak Pertama tetap tidak dapat membayar/melunasi hutangnya lagi; ---------------------------------------------------------------------------

- bahwa guna membayar kembali pinjaman tersebut telah dijamin dengan:

- Sebidang tanah Hak .................................................................................

..................................................................................................................

..................................................................................................................

- bahwa para pihak telah saling setuju dan mufakat pembayaran hutang tersebut yang seluruhnya sampai dengan tanggal .............................................................

Berjumlah sebesar Rp ......................................................,- tersebut dapat dilakukan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua dengan menyerahkan tanah-tanah milik pihak pertama yaitu: ...............................................................

- Sebidang tanah Hak .................................................................................

..................................................................................................................

..................................................................................................................


Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kedua belah pihak sepakat guna menyelesaikan hutang Pihak Pertama, maka pihak pertama dengan ini menyerahkan jaminan milik Pihak Pertama kepada Pihak Kedua dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: ………………………………………………………………………...


………………………….……………. Pasal 1 ………………………………………..

Penghadap ……………………………………………………………………………...

Tersebut di atas dengan ini menyerahkan kepada Pihak Kedua/Bank, yang dengan ini menerima penyerahan dari penghadap Tuan tersebut di atas, atas:-------------------------

- sebidang tanah hak ……………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………………..

- demikian berikut dengan segala bangunan (-bangunan) berikut turutannya, dan serta segala sesuatu yang terdapat di atas tanah-tanah tersebut, yang menurut sifat, tujuan dan peruntukannya serta menurut kebiasaan dan ketentuan undang-undang/hukum, dianggap sebagai benda-benda tetap (tak bergerak) tidak ada yang dikecualikan, setempat dikenal sebagai ………………………..

…………………………………………………………………………………..

Untuk dijual atau dilepaskan haknya oleh Pihak Kedua kepada atau demi kepentingan pihak lain/siapapun dengan memakai harga (compensatie), syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan serta perjanjian-perjanjian yang dianggap baik dan perlu oleh Pihak Kedua sendiri dan Pihak Pertama dengan ini memberi hak sepenuhnya kepada Pihak Kedua untuk menerima dan memiliki sepenuhnya hasil penjualan tanah-tanah dan bangunan (-bangunan) tersebut sebagai pembayaran hutang tersebut di atas, yaitu sebesar Rp ……………………………………………………………………………...

……………………………..kepada Pihak Kedua/Bank………………………………..


……………………………..………... Pasal 2…………………………………………

Pihak Pertama tersebut di atas dengan ini memberi kuas kepada Pihak Kedua, dengan hak untuk memindahkan kekuasaan ini kepada pihak lain, serta menarik kembali pemindahan kekuasaan ini.--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Khusus -----------------------------------------------

Untuk melaksanakan dan menyelesaikan segala sesuatu hak tanpa ada yang dikecualikan yang bersangkutan dengan penjualan atau pelepasan hak atas tanah-tanah tersebut di atas kepada siapapun dengan memakai harga dan syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang dianggap baik dan berguna oleh yang diberi kuasa. ----------

Guna keperluan tersebut yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap kepada siapapun dan dimanapun, meminta/memberikan keterangan-keterangan, membuat/suruh membuat akta-akta jual-beli atau akta-akta pelepasan hak yang bersangkutan dan/atau surat-surat lain yang diperlukan serta menanda-tanganinya, menerima uang hasil penjualannya atau compensatienya dan untuk itu serta menanda-tangani kwitansinya yang sah, memilih domisili dan selanjutnya melakukan segala tindakan yang diperlukan guna tercapainya maksud tersebut di atas tanpa ada yang dikecualikan. ---------------------------------------------------------------------------------------

Di samping kuasa-kuasa tersebut di atas Pihak Pertama akan memberikan pula kepada Pihak Kedua suatu surat kuasa notariil secara tersendiri untuk menjual/melepaskan hak atas tanah-tanah tersebut di atas dengan akta saya, Notaris, tertanggal hari ini dengan nomor akta setelah nomor akta ini.----------------------------------------------------

Kekuasaan-kekuasaan tersebut di atas adalah merupakan kekuasaan-kekuasaan tetap yang tidak dapat dicabut kembali serta tidak akan berakhir oleh sebab-sebab/dasar-dasar yang disebutkan dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia karena kekuasaan-kekuasaan tersebut adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian menurut akta ini, yang tidak akan dibuat jika kekuasaan-kekuasaan tersebut dapat dicabut kembali atau diakhiri. -----------------------


--------------------------------------------- Pasal 3 ------------------------------------------------

Sehubungan dengan penyerahan tanah-tanah dan bangunan (-bangunan) tersebut di atas, Pihak Pertama dengan ini memberikan jaminan kepada Pihak Kedua serta pembeli yang bersangkutan: ---------------------------------------------------------------------

- bahwa apa yang diserahkan tersebut adalah benar-benar milik Pihak Pertama dan Pihak Pertama berhak sepenuhnya untuk melakukan penyerahan tersebut dan karenanya Pihak Pertama dengan ini berjanji dan mengikatkan diri kepada Pihak Kedua dan/atau pembeli untuk memberikan bantuan sepenuhnya termasuk melengkapi surat-surat yang masih diperlukan dalam meleksanakan penyelesaian pembuatan akta jual beli melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang hingga selesainya pembalikan nama pemilikan persil tersebut ke atas nama pembeli, dan ----------------------------------------------------

- Bahwa apa yang diserahkan tersebut adalah dalam keadaan kosong/tidak dihuni/dipakai tidak dalam keadaan sengketa, tidak dibebani dengan beban-beban apapun. ----------------------------------------------------------------------------


---------------------------------------------- Pasal 4 -----------------------------------------------

Pihak Pertama akan menyerahkan tanah-tanah dan bangunan(-bangunan) tersebut kepada pihak kedua dalam keadaan kosong (dalam pengertian tidak dihuni/ditempati) seluruhnya dengan kunci-kuncinya, selambat-lambatnya pada tanggal ……………….

- jika pihak pertama tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud di atas, maka Pihak Pertama dianggap lalai, kelalaian mana dibuktikan dengan lewatnya waktu yang ditentukan seperti tersebut, sehingga tidak diperlukan teguran dengan surat juru sita atau surat-surat lain yang sedemikian rupa, maka tiap-tiap hari kelalaian Pihak Pertama dikenakan ganti rugi sebesar…….

Rp………………………….,- yang harus dibayar seketika dan sekali lunas kepada serta dengan kwitansi dari Pihak Kedua atau wakilnya yang sah, dan di samping itu Pihak Pertama bersedia dikeluarkan secara paksa dengan perantaraan pihak yang berwajib/berwenang, satu dan lain atas biaya dan risiko Pihak Pertama sepenuhnya. -----------------------------------------------------


----------------------------------------------- Pasal 5 ----------------------------------------------

Para pihak menerangkan bahwa harga penjualan compensatie bagi pelepasan hak atas tanah-tanah dan bangunan (-bangunan) tersebut oleh mereka dilakukan dengan memakai ketentuan sebagai berikut: -----------------------------------------------------------

- apabila ternyata bahwa harga penjualan atau compensatie pelepasan hak atas tanah-tanah dan bangunan (-bangunan) tersebut melebihi dar Rp…………………….,- maka kelebihan hasil penjualan atau compensatie pelepasan hak tersebut tidak dikembalikan kepada Pihak Pertama dan tidak akan diperhitungkan lagi dengan sisa hutang Pihak Pertama kepada Pihak Kedua melainkan akan dianggap sebagai keuntungan yang menjadi hak serta milik sepenuhnya Pihak Kedua, sebaliknya apabila ternyata bahwa hasil penjualan atau compensatie pelepasan hak tanah-tanah dan bangunan (-bangunan) tersebut lebih kecil dari Rp………………………………,- maka Pihak Pertama tetap harus dianggap telah membayar sebesar Rp……………………………,- dari hutangnya kepada Pihak Kedua sehingga kekurangannya/selisih harga tersebut semata-mata menjadi tanggungan dan risiko dari Pihak Kedua sendiri.


----------------------------------------------- Pasal 6 ----------------------------------------------

Untuk segala urusan mengenai perjanjian ini dengan segala akibatnya, kedua pihak memilih domisili yang umum dan tetap di kantor Panitera Pengadilan Negeri Kelas I (satu) A di Bandung, demikian dengan tidak mengurangi hak dari Pihak Kedua untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap Pihak Pertama berdasarkan akta ini melalui atau di hadapan pengadilan-pengadilan lainnya dalam wilayah Republik Indonesia.

- para penghadap dikenal oleh saya, Notaris. ------------------------------------------


Demikian perjanjian ini dibuat sebagai bukti yang sah ditanda-tangani di Purwokerto pada tanggal…………………………………………………………………………….



Pihak Kedua Pihak Pertama

















 Lampiran 2.:

KUASA UNTUK MENJUAL


Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Pekerjaan :

Alamat :

Yang telah mendapat persetujuan dari istrinya/suaminya:……………….

Selanjutnya disebut Pemberi Kuasa

Dengan ini memberikan kuasa kepada :

Nama :

Alamat :

Pekerjaan :

Selanjutnya disebut Penerima Kuasa


------------------------------------------ K H U S U S

Untuk dan atas nama pemberi kuasa, menjual :

- Sebidang tanah berikut bangunan rumah yang berdiri diatasnya, Sertifikat Hak Guna Bangunan/Hak Milik Nomor…., seluas … M2 (seratus dua puluh meter persegi) diuraikan dalam Surat Ukur (Gambar Situasi) tanggal …….. nomor…., yang terletak di :

Propinsi       :

      Kabupaten   :

Kecamatan  :

      Desa            :

Setempat dikenal dengan nama ..….

      Sertipikat tercatat atas nama.......

kepada siapapun termasuk pada dirinya penerima kuasa dengan syarat-syarat dan perjanjian yang dianggap baik dan bermanfaat oleh yang dikuasakan.

-Guna urusan itu menghadap kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, memberikan keterangan-keterangan dan pemberitahuan, membuat, suruh membuat serta mengajukan akta-akta dan lain-lainnya surat yang diperlukan,

menandatanganinya, menetapkan perjanjian-perjanjiannya yang dianggap baik dan bermanfaat oleh yang dikuasakan, menerima uang harga penjualannya, memberi kuasa untuk mengurus balik namanya, memilih domisili, dan singkatnya melaksanakan segala sesuatu pekerjaan yang dianggap perlu dan berfaedah untuk urusan tersebut, dengan tidak ada yang dikecualikan sedikitpun, dengan perjanjian bahwa apa yang dikerjakan oleh yang dikuasakan untuk melaksanakan kuasa ini akan 

diterima baik dan disahkan oleh pemberi kuasa tanpa perkecualian, dengan dibebaskan dari pertanggungan jawab sebagai kuasa.

Surat Kuasa ini diberikan hak Substitusi sebagian ataupun seluruhnya kepada orang lain.

Demikian surat kuasa ini dibuat sebagai bukti yang sah dan untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya

Purwokerto, …………………..


Penerima Kuasa Pemberi Kuasa


Menyetujui istri / suami




Mengetahui Kepala Desa / Kelurahan















DAFTAR PUSTAKA

Black Henry Campbel, 1990, Black Law Dictionary, St. Paul Minnesota West Publishing Co 


Badrulzaman Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti. 


Fuady Munir, 2005, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti

 

__________, 2006, Hukum Tentang Pembiayaan,  Bandung, Citra Aditya Bakti


__________1999, Hukum Perbankan Modern, Bandung, Citra Aditya Bakti


Hasymi Ali, 1991, Dasar-Dasar Operasi Bank, Jakarta, Rineka Cipta.

 

Hermansyah, 2005,Hukum Perbankan Nasional, Jakarta, Kencana .


Muhamad Jumhana, 1993 , Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung, Citra Adtiya Bhakti.


J. Soedrajat Djiwandono, 1997,  Kredit Sindikasi, Jakarta, Media Surya Grafindo.


Andrian Sutedi, 2014, Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Raih Asa Sukses.

   

Marwan Efendi, 2012, Tipologi Kejahatan Perbankan Perspektif Hukum Pidana, Jakarta, 


                                     Referensi.


Frasminggi Kamasa, 2012, The Age Of Deception, Jakarta, Gema Insani.


Petrus C.K.L. Bello, 2013, Ideologi Hukum,  Bogor, Insan Merdeka.


Dudley G. Luckett, 1994,  Uang Dan Perbankan Edisi Ke 2, Jakarta, Erlangga.


Hendy Hrijanto, 2013, Selamatkan Perbankan, Jakarta, Expose.


Ktut Silvanita Mangani, 2002, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Jakarta, Erlangga.


Budi Untung, 2011, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta, Andi Offset.


Djoni S Gazali & Rahmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Jakarta, Sinar Grafika.


   


Hadikusuma Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja dan Skripsi Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju. 


Harahap Yahya M, 2006, Segi – Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni 


Harsono Budi, 2004, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan – Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan. 


Ichsan Achmad, 2006, Hukum Perdata IB, Jakarta, Pemibimbing Masa. 


Kusumohamidjojo Budiono, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontak, Jakarta Grasindo 


Muhammaad Abdulkadir, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti 


Peter Heffey, 2002, Principles Of Contract Law, Sidney, Thomson Legal And Regulatory Limited. 


Prodjodikoro Wirjono, 2000, Asas – Asas Hukum Perjanjian, Bandung, Sumur 


Salim, H. S. 2005, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. 


Simatupang Richard Burton, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis (Edisi Revisi), Jakarta, Rineka Cipta. 


Rachmadi Bambang, 2007. Membedah Tawaran Franchise Lokal Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. 


Rahardjo Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya. 


Ramdan. E. Henry, 2009 Franchise Untuk Orang Awam, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. 


Soekanto, Soejono dan Sri Mamudjo, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta Raja Grafindo Persada 

Sofwan Masjchoen Soedewi Sri, 2008, Hukum Benda, Yogyakarta Leberty, 


Subekti R, 2008, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa 


Sunggono Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Rhineka Cipta. 


Widjaja Gunawan, 2001, Waralaba, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 


Veithzal Rifai & Andria Permata Veithzal , 2007, Credit Management Handbook, Jakarta, Raja 


Grafindo


PERUNDANG – UNDANGAN 


Indonesia, Keputusan Menteri Perindustria dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12/M-DAG/Per/7/2006 Tentang Ketentuan dan Tata cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. 


________, Peraturan Pemerintah RI. No. 42 Tahun 2007 Tentang waralaba. 



HASIL PENELITIAN DAN ARTIKEL 


http://www.wikipiediabahasaindonesia.com/waralaba/ 


http://www.bridgeswaralaba.com/.lannykwandy/15februari2007/ 


http://www.franinfo.com/waralaba/16-3-2009/.


http://coretansangpemimpi.artikel.kewirausahaancom

http://waralabafranchiseindomaret.org

http://indomaret.co.id 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar