MANIFESTASI ACTURIAN TERHADAP TANGGUNG JAWAB BERKELANJUTAN PADA ANAK YATIM PIATU KORBAN PANDEMI COVID 19.
Dr Agus Pandoman,SH,MKN,CMB.
Universitas Widya Mataram Yogyakarta
A.
Abstrak
Alam memberikan pesan
melalui yatim piatu korban pandemik Covid-19
, era pemisahan tanggung jawab
berkelanjutan, yang semula milik orang
tuanya, sekarang entah milik siapa,
mengarahkan hidup mereka menempuh
rute yang tidak membahagiakan , Jutaan
yatim piatu korban Covid 19 terlantar, kehilangan sosok yang memiliki
tanggung jawab berkelanjutan.Masa depan mereka berda pada ruang struktural
negara.
Mereka tidak bisa dibiarkan kehilangan
kesempatan untuk menyongsong masa depan karena tiadanya perlindungan dari orang
yang memiliki tanggung jawab berkelanjutan terhadap masa depannya . Harus ada
orang yang mampu mengambil alih tanggung jawab berkelanjutan ini , orang
semacam ini di-manifestasikan sebagai sosok Acturian.
United Nations Convention on the Rights of
the Child (UN-CRC ), tidak dapat direrapkan
pada anak berstatus yatim piatu korban Covid 19 . Jangan pernah di lupakan
bahwa ke empat hak itu , berkaitan erat
dengan tanggung jawab berkelanjutan. Ke
empat hak itu tidak bisa disamakan dengan hak anak yang berstatus yatim piatu .
Konsep hak –hak anak UN-CRC ,
memang milik anak-anak dunia, namun dalam strata anak dan orang tua yang
masih hidup. Konvensi ( UN-CRC ) hanya berfokus terhadap jaminan hak
anak pada
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya yang disahkan
pada tahun 1989 oleh PBB. tepatnya tanggal 1 Juni 1959, PBB mengumumkan
pernyataan hak-hak anak dan ditetapkan sebagai hari anak sedunia.
Artikel ini, mengambil
tema tentang manifestasi sosok yang bisa
menggantikan tanggung jawab berkelanjutan terhadap anak yatim piatu korban
Covid 19. Kajian artikel ini menggunakan pendekatan struktural,dengan cakupan
kelembagaan badan dunia dalam me- manifestasikan aktor Acturian dalam konteks
hak anak sedunia sebagai penguat regulasi tentang hak asuh berkenjutan yang
harus di terapkan oleh setiap negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa..
B.
Yatim Piatu Dan Acturian
1.
Pengertian
Yatim Piatu
Literatur di Indonesia pengertian
yatim piatu adalah gabungan dari yatim dan piatu yang dapat di uraikan
sebagai berikut Yatim berasal dari
saduran bahasa Arab, yang artinya adalah seorang anak dalam usia belum baligh
telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Sedangkan piatu adalah seorang anak yang
belum baligh telah ditinggal oleh ibunya. Manakala dua suku kata yatim dan
piatu di gabung , maka disebut yatim piatu.
Jadi yatim piatu adalah gabungan
dari keduanya, yakni seorang anak dalam usia yang belum balig telah ditinggal
kedua orang tuanya.[1]
Yatim piatu dalam Bahasa inggris di
sebut orphan. Dalam litertur Bahasa inggris “orphan”
di difinisakan . An orphan (from the Greek: ορφανός, romanized:
orphanós) is a child whose parents have died, are unknown, or have permanently
abandoned them. In common usage, only a
child who has lost both parents due to death is called an orphan. When
referring to animals, only the mother's condition is usually relevant (i.e. if
the female parent has gone, the offspring is an orphan, regardless of the
father's condition)[2]. Yatim piatu (dari bahasa Yunani: , diromanisasi: yatim piatu adalah seorang
anak yang orang tuanya telah meninggal, tidak diketahui, atau telah
meninggalkan mereka secara permanen. Dalam penggunaan
umum, hanya anak yang kehilangan kedua orang tuanya karena kematian yang
disebut yatim piatu. Ketika mengacu pada hewan, biasanya hanya kondisi
ibu yang relevan (yaitu jika induk betina telah pergi, keturunannya adalah
yatim piatu, terlepas dari kondisi ayahnya).
Mengacu pada difinisi diatas yang disebut
sebagai Yatim piatu korban Covid 19, adalah anak-anak yang belum dewasa ( belum balegh )yang telah ditinggal mati oleh
kedua orang tuanya (ayah dan ibu ) yang kematiannya disebabkan terpapar oleh
pandemi Covid 19. Banyak orang tua yang meninggal karena
terpapar pandemi Covid 19 , yang meninggalkan anak-anak berusia dini. Anak-anak
yang menjadi yatim piatu itu masih sangat membutuhkan peran perlindungan,
finansial, dan kasih sayang orang tuanya , keadaan ini perlu kehadiran yang bisa menjadi pengganti
peran sebagai orang tuanya, sosok ini disebut Acturian.
2.
Konsep
Acturian
Covid-19 menyerang siapa
saja tanpa pandang bulu. Virus jahat ini telah banyak merenggut nyawa manusia di seluruh dunia
, menyebabkan anak-anak tiba-tiba harus kehilangan
orang tuanya . Banyak anak-anak menjadi
yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal dunia akibat terpapar Covid-19 [3].
Pandemi Covid 19 melahirkan generasi yatim piatu, hak hidup
mereka diambang batas ketidak berdayaan . Membuka pikiran penghuni planit ini, mengenali virus covid 19 , meniupkan energi kematian yang luar biasa
kuat menyebar dan membentuk formasi lingkaran maut , muncul diseluruh dunia,
menyengsarakan umat manusia, meninggalkan jejak prasasti salah satunya anak “yatim piatu “
Alam memberikan pesan
melalui yatim piatu korban pandemik ini
, era pemisahan tanggung jawab
berkelanjutan, yang semula milik orang
tuanya, namun paska kematian orang tuanya,
mengarahkan hidup mereka menempuh
rute yang tidak membahagiakan , Jutaan
yatim piatu [4]
, terjebak pada masa –masa sulit, merasa
buruk ,tak punya tujuan , putus asa, atau penuh ketakutan, dan hidup tak punya
makna.
Mereka tidak bisa dibiarkan kehilangan
kesempatan untuk menyongsong masa depan karena tiadanya perlindungan ,
kehilangan orang yang mempunyai tanggung jawab berkelanjutan terhadap masa
depannya . Harus ada orang yang mampu mengambil alih tanggung jawab
berkelanjutan ini , orang semacam ini di-manifestasikan sebagai sosok Acturian.
Acturian adalah makhluk multidimensi yang hidup dalam dimensi yang
sejajar dengan realitas kita. Mereka adalah makhluk ultrateresterial yang penuh
kebaikan yang berkonversasi dengan indra intuitif kita, dan bukan terlihat
secara fisik atau terdengar. Acturian memiliki tanggung jawab berkelanjutan terhadap geometri sakral
yaitu bagian bawaan dari kosmos, semua makhluk hidup terdiri atas elemen
berbentuk ,secara geometris bahkan ketingkat sel[5]
Manifestasi sosok Acturian di dunia sekarang ini hampir
melekat pada orang-orang super kaya yang dermawan , peduli kemanusiaan. Impprovisasi kedermawaannya , ada yang masuk
katagori sebagai Lembaga donasi. Lembaga ini dibentuk dalam wadah badan hukum yaitu fodundation / yayasan
, Filantropis semacam ini sudah secara terstruktur dikembangkan dengan manajemen filantropis, Misal Bill Gate
Foundation ,Ford Foundation, dan lain-lain.
Demikian juga Lembaga
struktural negara seperti Kementerian Sosisal, Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan anak . Kontek filantropinya hanya sebatas kontributor
dana , dan berhenti pada porposi penyaluran, mereka tidak menampung persoalan
bagaimana keberlanjutannya (sustainable ) terhadap program
filantropisnya, karena bagi mereka bukan
bagian dari pilihanya.
Sebaliknya terdapat orang
kaya dermawan (Acturian ) , tidak semuanya memiliki foundation , Sebagian dari
daftar orang kaya monitoring Majalah Forbs, memiliki kekayaan yang tidak
terbatas dan tanpa batas ukuran kapan kelimpahan kekyaannya di salurkan pada
Gerakan Kemanusiaan, karena setiap negara tidak mendesain peraturan tentang
batas kelimpahan kekyaan. Acturian katagori ini, terlewati oleh aspek
kemanusiaan sehingga ia luput dari
manifestasi kelimpahan kekayaanya terhadap filantropi..
Me-manifestasikan berlimpah ruahnya kekayaan
orang-orang superkaya pada gerakan kemanusiaan, tergantung seberapa besar aspek
kemanusiaan kebutuhan filantropisnya , sehingga ia bisa disebut Acturian.
Komonitas Acturian ,semestinya bisa diwujudkan
dan hanya bisa di realisasikan jika dan bila jika ada konferensi dunia tentang Acturian . Konferensi ini adalah
kewenangan PBB.
. Kehidupan yatim piatu korban
Covid 19 , yang terhempas dari konteks filantropis,bila tidak segera di tangani
oleh PBB, akan mencederai aspek kemanusiaan , Keberadaan mereka di dunia, tidak
semestinya di biarkan sebagai bibit
manusia yang bersemai liar, sehingga
hidup bagi mereka hanya punya dua
pilihan ; tumbuh sebagai manusia liar atau mereka mati. Oleh karena itu yang perlu
kita pahami sekarang ini seberapa besar manifestasi rasa kemanusiaan bagi orang
super kaya terhadap mereka.
Peroalaan kemanusiaan yatim
piatu korban pandemi Covid 19 , sudah bergulir menjadi persoalan kemanusiaan
seluruh negara anggota PBB . Waktu terhadap permasalahan ini berada ditangan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) agar bisa me- manifestasikan Acturian .
Lembaga ini mampu berkomunikasi
melalui lingkaran orang –orang super kaya
di dunia ( yang baik hati ) , dan Lembaga ini juga dapat menuntun mereka melakukan tindakan lindung nilai kemanusian,
atau perlindungan yang baik , lewat reli orang kaya dalam program tanggung
jawab berkelanjutan terhadap anak yatim
piatu korban pandemi Covid-19 ,
3. Acturian
Dan Pemerintah Indonesia
Secara struktural manifestasi Acturian terhadap yatim
piatu korban Covid 19 baik yang dilakukan Kementerian Sosial maupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, menggunakan konsep perlindungan dan penanganan.
Konsep Acturian Kementerian
Sosial diintegrasikan dengan Program
Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) .
Program ATENSI Anak menjadi skema untuk memberikan perlindungan terhadap anak
yatim piatu yang orangtuanya meninggal akibat Covid-19", [6]
Program ATENSI bagi anak yatim piatu , bertujuan tidak hanya berorientasi pada kebutuhan dasar
anak, melainkan juga ke perawatan sosial anak terutama pendampingan psikososial
bagi anak-anak yang kehilangan orangtua akibat Covid-19,” . Pelaksanaan program
ini mencakup hal-hal sebagai berikut :
1)
Pengasuhan
terbaik bagi anak adalah saat anak diasuh oleh orangtuanya, namun dalam kondisi
tertentu dimana orangtua tidak dapat mengasuh anak maka dimungkinkan jika anak
berada dalam pengasuhan alternatif.
2)
Pengasuhan
bagi anak yatim piatu yang kehilangan orangtuanya akibat Covid-19 dapat
dilakukan oleh keluarga besar atau keluarga pengganti baik dari pihak ibu maupun
ayah anak.
3)
Apabila
keluarga besar atau keluarga pengganti tidak tersedia maka anak dapat
memperoleh pengasuhan alternatif dari orangtua asuh melalui layanan Foster
Care. Tidak hanya anak yang orangtuanya meninggal saja, layanan Foscter Care
juga dapat menjangkau anak yang ditinggal orangtua yang sedang isolasi mandiri
atau dirawat akibat Covid-19.
4)
Pendamping
sosial yang bergerak ke lapangan saat ini melibatkan para relawan lokal untuk
memberikan penguatan kepada anak-anak.[7]
5)
Pendampingan
psikososial menjadi salah satu upaya perlindungan bagi anak yatim piatu korban
Covid-19.
6)
Membangun Sentra Kreasi Atensi (SKA) di beberapa
Balai/loka Rehabilitasi Sosial untuk memberdayakan anak-anak penerima manfaat.
SKA ini juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan anak-anak yatim
piatu korban Covid-19 agar mereka tidak terlarut dalam situasi
kehilangan.
Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak bergerak dengan
menghimpun dan meng aktualisasi data
1)
Data jumlah
anak yatim piatu korban Covid-19 sebanyak 17.368 anak per Tanggal 8 September
2021.
2)
Tindakan
komunikasi dengan Kemensos dan beberapa Kementerian/Lembaga la ketersediaan
data.
3)
Perolehan
data ini dari Satgas Covid-19.
4)
membuka
ruang agar masyarakat juga dapat melaporkan terkait anak yatim piatu korban
Covid-19 melalui Sistem Data Rapidpro", ujar Nahar.
Sedangkan terdapat juga konsep dari LSM Plan Indonesia,
permasalahan anak yatim piatu korban Covid-19 sebagai suatu problem yang di
tuntaskan yang dapat di kualifikasikan berikut ;
1)
harus
diidentifikasi dan direspon secara cepat dan tepat.
2)
Oleh karena
itu, hal ini memerlukan kerjasama berbagai pihak.
Lembaga penerbitan seperti Kompas
mengungkapkan bahwa permasalahan anak yatim piatu korban Covid-19. Kasus
anak-anak yang ditinggal orangtua karena Covid-19 ini layaknya pandemi di dalam
pandemi", kompos memberikan solusi
sebagai berikut :
1)
butuh
pendampingan segera. Mereka mungkin sangat terbebani karena mendapatkan stigma
dari lingkungan yang menganggap anak sebagai pembawa virus yang menyebabkan
orangtuanya meninggal. Selain pendampingan, perihal pendataan anak yatim piatu
ini juga menjadi tantangan besar karena saat ini kriteria kematian karena Covid
juga masih harus dikaji ulang. Masih banyak anak yang belum terdata dikarenakan
kematian orangtuanya yang terpapar Covid-19 tidak terlaporkan,”
tambahnya.
Manifestasi Acturian terhadap yatim
piatu terhadap Korban Covid secara
struktural hanya sebuah komponen konteks bantuan sosial ,dengan konotasi “korban” bagi anak dalam kondisi “loss “ and Griving “
. Konsep demikian cenderung dianggap
sebagai momentum kebencanaan belaka ,
yang tidak di arahkan pada penciptaan
sosok Acturian sebagai “ persoalan
Filantropis “
4.
PBB dan Acturian.
Ledakan
jumlah Anak yatim piatu didunia luar biasa besar[8]
, Salah
satu penulis, dr Susan Hillis menyebut bahwa angka tersebut sungguh
mengejutkan. Satu juta anak harus menghadapi kenyataan pahit lantaran
kehilangan orangtuanya, selama 14 bulan
pertama pandemi COVID-19 menerjang seluruh negara, dan setengah juta
sisanya mereka kehilangan kakek-nenek, pengasuh, serta kerabat yang tinggal
dalam satu rumah. Anak-anak akan merasakan dampak jangka pendek dan jangka
panjang dari pandemi ini, seperti peningkatan resiko penyakit, resiko kekeraan
fisik dan seksual
Anak yatim piatu
sesungguhnya adalah anak-anak yang termasuk kategori anak rawan atau anak-anak
membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection).
Anak-anak yatim piatu dikatakan terlantar apabila karena suatu sebab tidak
dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani,
maupun sosial.
Hak dasar ini hanya
bisa dipenuhi terkait dengan tersedianya tanggung jawab berkelanjutan oleh
orang tuanya, sementara tanggung jawab berkelanjutannya telah mati, seiring
kematian orang tuanya Ini fakta bukan
mitos, berdasarkan penelitian jumlahnya jutaan dan hampir djumpai diseluruh
negara. Krisis kemanusiaan yatim piatu bukan sekedar berbicara tentang bagimana
penangannya, tapi manifestai Acturian,
sebagai levitate ( pengganti ) pelaku tanggung jawab berkenlanjutan harus
segera di realisasikan oleh badan dunia PBB.
Manifestasi Acturian, yang
memiliki tanggung jawab berkalanjutan terhadap anak-anak yatim piatu korban
Covid -19, ditangan PBB. Anak-anak
adalah generasi masa depan yang
menjadi tanggung jawab dunia ,
keberadaan anak , peta jalan masa depan dunia
menjadi lebih baik atau sebaliknya. Apakah kita hanya membiarkan
hitungan data , lima juta yatim piatu
ini , hanyalah angka-angka saja.. Apa
kata Kahlil Gibran dalam
puisinya, Anakmu bukanlah Milikmu, “Berikanlah mereka kasih sayangmu, namun
jangan sodorkan pemikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikirannya
sendiri.” Mereka adalah putra putri sang hidup , ingin punya dunia ,
yang rindu akan dirinya sendiri , tanpa rasa takut dan bisa mempunyai hidup
yang bermakna.
Pada situasi kemanusian semacam ini ( yatim piatu
korban Covid 19 ), perlu kehadiran sosok
Acturian, masyarakat dunia dalam hal ini adalah PPB, segera aktif dan reaktif merespons kondisi ini menyerukan perlu diadakan
konvensi internasional, mengatasi
krisis kemanusiaan ini , menjaga
kelangsungan hidup anak yatim
piatu korban pandemic
Covid-19 .
Situasi terburuk hak-hak anak yang kehilangan kedua orang
tuanya akibat pandemi Covid -19, belum
diatur secara khusus oleh United
Nations Convention on the Rights of the Child (UN-CRC ), Konvensi berfokus terhadap jaminan hak
anak pada bidang sipil, politik, ekonomi,
sosial, kesehatan, dan budaya yang disahkan pada tahun 1989 oleh PBB. tepatnya tanggal 1 Juni 1959, PBB mengumumkan
pernyataan hak-hak anak dan ditetapkan sebagai hari anak sedunia.[9]
Pada tahun 1979, diputuskan sebagai
tahun anak dan ditetapkan 20 November sebagai “ Hari Anak Internasional “
, dan pada tahun 1989, konvensi hak-hak anak disahkan oleh PBB. Substansi konvensi belum menyediakan ruang
bagi anak-anak korban pandemic Covid 19 . Konvensi ini hanya mencetuskan hak-hak anak , untuk kebahagian
anak dari anak-anak yang menjadi
tanggung jawab berkelanjutan oleh kedua orang tuanya yang masih hidup.
Pada artikel 4 yang mengatakan bahwa negara
penandatangan konvensi dapat melakukan tindakan apapun secara tepat dalam
melaksanakan amanat dari Konvensi Hak Anak . Namun belum mengatur
substansi mengenai ketentuan dan konsep
tanggung jawab berkelanjutan terhadap anak yang kehilangan orang tuanya ,
dambil alih oleh siapa dan bagaimana pelaksanaanya di tingkat negara
anggotanya.
Proses konseptualisasi dan
implementasi dari konvensi hak-hak anak,Kids [10]
tersebut dusun sebagai berikut :
1) hak kelangsungan hidup. Dalam poin ini mengatur
mengenai, melestarikan, mempertahankan serta mendapat kesehatan dan perawatan
yang baik. Selain itu, hak ini juga mengatur untuk setiap anak berhak
mengetahui keluarga serta identitasnya.; mengatur agar anak mendapat
perlindungan.
2) hak perlindungan ini
harus didapatkan oleh seluruh anak di seluruh dunia. Perlindungan untuk anak
seperti perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan
keterlantaran. Hak perlindungan juga mengatur bahwa anak berhak melakukan
kegiatan keagamaan dan kebudayaan secara bebas. Selain itu hak perlindungan
juga mengatur anak-anak untuk enggak bekerja.
3) hak tumbuh kembang juga meliputi standar hidup yang layak. Untuk
mencapai standar hidup layak ada beberapa kategori untuk mencapai hidup layak,
Kids. Kategori tersebut seperti perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral, dan sosial. Selain itu anak juga berhak untuk bermain dan mendapatkan
istirahat yang cukup untuk menunjang pertumbuhan.
4) Hak berpartisipasi Baik anak-anak maupun
orang dewasa berhak mendapatkan hak berpartisipasi. Anak-anak punya hak untuk
menyatakan pendapatnya mengenai hal-hal yang berkaitan dan memengaruhi
anak-anak.
Peristiwa kemanusian sekarang ini, ada
di depan mata dunia dan PBB, dan hal
yang mustahil manakala konsep empat hak anak dari United Nations Convention on the
Rights of the Child (UN-CRC ),
dapat direrapkan pada anak berstatus yatim piatu korban Covid 19 .
Jangan pernah di lupakan bahwa ke empat hak itu , berkaitan erat dengan tanggung jawab
berkelanjutan. Ke empat hak itu
tidak bisa disamakan dengan hak anak yang berstatus yatim piatu . Konsep hak –hak anak UN-CRC ,
memang milik anak-anak dunia, namun dalam strata anak dan orang tua yang
masih hidup.
C.
Kajian
Struktural
1.
Manifestasi
Acturian
Mereka ( yatim piatu ) meski mendapatkan
hak perlindungan oleh konvensi , tapi fisik dan jiwa mereka, jangankan
menjalankan hak berpartisipasi , untuk
hak kelangsungan hidup dan hak berkembang sudah pupus harapan, musnah bersamaan
dengan hilangnya tanggung jawab berkelanjutan oleh orang tuanya yang meninggal
dunia akibat terpapar Covid 19.
Kelahiran anak-anak berpredikat yatim piatu di dunia sekarang ini adalah
kesalahan sejarah , mereka lahir dan berada dalam belitan Pandemic Covid 19
Me-manifestasikan tanggung jawab
berkelanjutan oleh para Acturian terhadap yatim piatu korban pandemic Covid 19,
harus segera direspon oleh PBB menyelenggarakan konvensi United Nations Convention on the
Rights of the Child (UN-CRC ) dan
mengundang Acturian ( para filantropi ) .Urgensi kehadiran mereka pada konvensi ini , bertujuan agar mereka bisa membuka impati hatinya , menyadari di
balik kekayaanya yang semakin melimpah ada orang lain yang menderita, sehingga
mereka bisa di dorong bukan untuk
menginvetasikan uangnya, tapi memanifestasi-kan dirinya sebagai sosok Acturian yang memiliki afikasi lindung
nilai kemanusian ( tanggung jawab berkelanjutan ) seratus prosen ( 100 % )
terhadap anak yatim piatu korban Covid 19.
2.
Ruang
Struktural
Anak yatim piatu
korban Covid 19, keberadaan kelangsungan hidupnya dalam lingkaran ruang struktural negara. Akan tetapi kesadaran
Lembaga struktural , hanya sebatas
menjalankan program mengentaskan kondisi
keterpurukan temporer. Konteks penangannya, meng- elaborasi situasi bencana ,dimana ada bencana - ada
korban menjadi bagian integral dalam penangan pasca bencana dan hanya berupaya mengevakuasi
korban,. Upaya semacam ini adalah sebagai
opsi jalan akomodatif penyaluran bantua dalam siklus penanggulangan bencana.
Persoalanya barang kali bukan hanya
evakuasi dan bantuan. tapi membuka ruang impati tanggung jawab berkelanjutan
terhadap anak yatim piatu yang orang tuannya meninggal dunia terpapar Covid 19. Berdasarkan data penelitian yang di uraikan diatas, pola
penyelesian dan penangannya cenderung menggunakan pola penanggulangan bencana .
Program bergaya struktur kelembagaan yang selama ini
dilaksankan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun non Pemerintah ,
menggunakan spektrum masing-masing tapi prespektifnya menggunakan pola yang sama
yaitu pola penanggulangan bencana.
Data penelitian menunjukan penangan anak yatim
piatu korban Covid 19 dengan pola penanggulangan bencana , melalui bergaya
program struktural , mereka tidak menyadari
bahwa penanganan semacam itu ,justru dapat memperpanjang ketidak pastian
terhadap substansi tanggung jawab
berkelanjutan terhadap anak yatim piatu korban Covid 19. Pertama siapa
pengganti orang tua dari anak tersebut , instrument hukum apa yang digunakan
untuk memberikan kepastian eksistensi si Anak, apakah melalui instrument Adopsi
atau Perwalian
DAFTAR
PUSTAKA
Gregg
Braden et al – The Mystery 2012, translated into Indonesian by Ratih Ramelan,
with the title The End of The World Countdown Peeling Completely Signs of the
End Times , 2011 , publisher Ufuk Press 5th issue.
Instrumen-instrumen
hukum internasional tersebut diantaranya adalah, United Nations Standard
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, United Nations Rules
for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty, United Nations
Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency.
Indonesia meratifikasi KHA ini pada 1990. 12 tahun setelahnya, Indonesia
mengadaptasi konvensi ini ke dalam UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang
kemudian direvisi pada tahun 2014 pada UU no.35/2014.
Resolusi MU-PBB
44/25tanggal 20 Nopember 1989 mengenai “Convention of the Rights of the Child.
Jurnal The
Lancet.
[1] Web
infak Yatim Piatu diunduh 5-1- 2022
[2] Di petik
dari Wikipedia. Diunduh 5-1-2022
[3] Berdasarkan data dari
Satgas Penanganan Covid-19 per 20 Juli 2021 diketahui ada 11.045 anak menjadi yatim
piatu, yatim atau piatu. Pada sisi lain jumlah anak yang terpapar Covid-19
sebanyak 350.000 anak dan 777 anak meninggal dunia. Tingkat resiko anak
sangat tinggi untuk terpapar Covid-19. Karena itu, pemerintah telah menetapkan
kebijakan percepatan vaksinasi bagi anak-anak minimal usia 12 tahun
[4] Di perkirakan jumlahnya
lebih dari 1,5 juta anak di seluruh dunia
kehilangan orangtua, pengasuh, kakek-nenek, dan kerabat dekat lainnya akibat
paparan virus SARS-CoV-2. Estimasi angka ini terungkap dari hasil studi tim
respons COVID-19 yang terbit di jurnal The Lancet
[5] Gregg Braden et al – The
Mystery 2012, translated into Indonesian by Ratih Ramelan, with the title The
End of The World Countdown Peeling Completely Signs of the End Times , 2011 ,
publisher Ufuk Press 5th issue page 367
[6] Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial
Kementerian Sosial RI, Harry Hikmat menjadi narasumber dalam Webinar
Perlindungan dan Pengasuhan Anak Yatim Piatu Korban Covid-19 yang
diselenggarakan oleh Plan Indonesia secara daring. Permasalahan anak yatim
piatu yang orangtuanya meninggal akibat Covid-19 saat ini sedang menjadi
perhatian pemerintah terutama Kementerian Sosial yang diberikan mandat untuk
menangani hal tersebut ( dipetik dari laman Kementerian Sosial )
[7] Kementerian Sosial juga telah melakukan
pendataan terhadap anak yatim piatu korban Covid-19 dan saat ini data yang
diperoleh sudah mencapai 28.088 anak per Tanggal 7 September 2021. Pendataan
ini akan terus dilakukan mengingat banyaknya anak-anak Indonesia yang menjadi
yatim piatu akibat kehilangan orangtua yang meninggal karena Covid-19.
[8] Studi
penelitian mencatat ; Peru adalah negara
tertinggi jumlah anak-anak yang kehilangan orangtua yakni sebanyak 98.975 anak,
disusul Afrika Selatan 94.625 anak, Meksiko dengan total 141.132 anak, Rusia
sebanyak 29.724 anak, dan Amerika Serikat 113.708 anak. Kemudian India per April 2021 para peneliti
memperkirakan sebanyak 43.139 anak berstatuskan yatim piatu.
[9] Instrumen-instrumen
hukum internasional tersebut diantaranya adalah, United Nations Standard
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, United Nations Rules
for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty, United Nations
Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency.
Indonesia meratifikasi KHA ini pada 1990. 12 tahun setelahnya, Indonesia
mengadaptasi konvensi ini ke dalam UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang
kemudian direvisi pada tahun 2014 pada UU no.35/2014.
[10] Resolusi MU-PBB
44/25tanggal 20 Nopember 1989 mengenai “Convention of the Rights of the Child.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar