Sabtu, 29 April 2023

                                                 PENGUATAN HAK TANAH TROTOAR

SEBAGAI HAK PUBLIK

 

Latar Belakang :

 

Didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ( RTRWN ) ada dua pembagian besar yakni Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Budidaya , dan dalam penyusunan Tata Ruang Nasional tersebut digunakan tolok ukur : Lingkungan , Pertumbuhan Ekonomi ,Sosial dan HANKAM, Peraturan Tata Ruang Nasional substansinya masih sangat umum dapat dilihat pada PP no 26 tahun 2008 ,peraturan ini hanya menjadi payung bagi Tata Ruang Wilayah , sedangkan dalam ketentuan perautaran tersebut yang lebih rinci akan diatur dalam penataan ruang wilayah tingkat propinsi dan Kabupaten /dan Kota.

Dalam Peraturan Daerah ( Perda ) harus diatur secara jelas dan tidak abu-abu sebagai diamanatkan oleh PP tersebut, artinya harus sesuai dengan pengaturan wilayah nasional, sehingga produk hukum didaerah harus mengagendakan mana yang menjadi tata ruang untuk keperluan publik dan mana untuk keperluan sektor usaha informal, akan tetapi Pemerintah Daerah pada umumnya tidak akan bisa berbuat banyak apabila peraturan tata ruang nasioanal ini tidak sama sekali bersinggungan dengan masalah trotoar yang merupakan kawasan tata ruang publik , dan adalah menjadi problem msayarakat apabila dua kepentingan ingin mempertahankan dan menguatkan hak atas tanah tersebut , satu sisi menjadi hak publik bagi pemberdayaan lingkungan sementara dari sektor lain juga sebagai hak publik dalam pemberdayaan ekonomi .

Trotoar berasal dari bahasa Perancis yang dalam huruf aslinya " Trottoir " , artinya tempat untuk pejalan kaki , menurt Kamus Umum Belanda Indonesia karya Prof Drs S Wojowasito , yang memperkenalkan kata itu adalah Penjajah Belanda dan kemudian dalam ucapan dan penulisan Bahasa Indonesia menjadi " Trotoar ", tapi sayang pengenalan konsep ,bentuk dan arti trotoar oleh penguasa Kolonial Belanda, tidak meninggalkan jejak tentang bagaimana bangsa Indonesia harus memaknai dan menggunakan trotoar.

Sejarah perkembangan kota-kota ditandai dengan dibangunnya prasarana jalan. Catal Huyuk memiliki trotoar untuk pendestrian (pejalan kaki) yang lebar dan nyaman, saat itu para budak merupakan pengangkut barang yang baik, bersaing dengan keledai. Jalan kota pada masa Romawi memiliki pola garis-garis persegi, luas dan diperuntukan untuk penunggang kuda. Pada masa kemudian jalan jalandimasa kekuasaan Islam di Eropa berciri radial, memiliki arteri yang simetris yang merasuk sampai ke perumahan, sempit dan berakhir buntu-cu/ de sac. Menurut Planhol (1959) dalam Chant and David (1999) jalan pada masa itu diperuntukan Cuma untuk aktivitas manusia, bukan kendaraan (kuda dan unta), hal ini disebabkan permukiman yang dibangun pada masa kekuasaan Islam menuntut adanya ruang privat yang besar, menjauhkan yang di dalam rumah (perempuan) dari tatapan pejalan. Jalan yang buntu menyiratkanteritorial yang jelas, kebutuhan penghuni. Sementara Bulliet (1975) masih dalam Chant and David (1999) menyatakan berkurangnya kendaraan beroda (chariot) yang ditarik kuda, yang digantikan oleh unta merupakan alasan paling masuk akal untuk melihat hilangnya insentif membangun jalan yang lebar. Sementara bentuk labirin dan jalan buntu memiliki alasan keamanan dan pertanahan.

Jalan pada masa-masa berikutnya (era Pencerahan) diposisikan sebagai `titik berangkat' untuk mengankat citra kota-kota di Eropa. Belanda pada masa itu merupakan bangsa yang sangat memperhatikan fungsi jalan, kerapihan, dan citra otoritas. Sukses kepemerintahan di masa ini dinilai dari `kondisi dan suasana' jalan. Jalan-jalan dan trotoar bersih, lebar, menyenangkan, dan menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan individu, walaupun yang paling merasakan kenyamanan pada masa itu adalah the rulling class atau para aristocrat yang memiliki kendaraan (chant and david, 1999).

Jalan-jalan modern dibangun pemerintah Belanda di Hindia-Belanda. Tanah Jawa merupakan sebuah tanah dengan bentang alam susu (subur makmur). Keindahan negeri Belanda serta peradabannya dicerna oleh R.A Kartini.

Jalan-jalan baru di seluruh Jawa dan diseluruh negeri jajahan haruslah terbuat dari kemajuan, dan sejauh jalan itu terbuat dari bahan yang keras dan bersih, tak ada seorangpun yang dapat menghentikan roda-roda itu. Sesuatu yang barn, keras dan bersih, itulah-modernitas jalan. Kebersihan jalanan, dalam logika ini adalah kemurnian zaman, bahkan biasa kita katakana, demokrasi. Karenanya Kartini menulis, ada sejumlah orang di Hindia Belanda, yang meminta agar mereka disapa dengan sebutansebutan bangsawan. Seringkali gelar itu bahkan bukan hak mereka.....membiarkan dirinya disapa demikian oleh hamba-hamba mereka itu merupakan hal yang lucu dan absurd (Mrazek, 2006).

Jalan-jalan yang pada waktu itu disebutkan oleh Kartini adalah jalan-jalan trem, kereta api. Namun metefora jalan yang dipergunakan, modernitas jalan adalah suatu impian, demokrasi. Langan (1995) Marzek (2006) menyatakan bahwa seorang penyair borjuis dan gelandangan bertemu dijalanan umum, mereka berbicara dengan bahasa yang sama hanya sejauh memiliki kebiasaan bersama Langan menyebutkan sebagai simulasi; sebuah cita-cita etis demokrasi liberal...imajinasi kekbebasan: hak-hak individu untuk datang dan pergi tanpa izin dan tanpa harus menjelaskan motif-motif atau urusan mereka.

Pada tahun 1939, terdapat 51.615 mobil di Hindia Belanda, 37.500, 37.500 ada diJawa 7.557 di Batavia, 4.945 di Bndung dan 675 misalnya di Jepara-tempat Kartini lahir dan meninggal. Pada tiga bukan pertama tahun 1928, sebagai contoh di Surabaya terjadi 524 kecelakaan, 24% disebabkan oleh mobil, 23% oleh kereta api atau trem, 17% oleh motor. Pengemudi yang mengendarai endaraan itu adalah 11% orang Eropa, 6% orang Cina dan Arab, dan 83% orang pribumi (Mrazek, 2006)

Sampai pada akhir abad 20, jalan Raya Pos (yang dibangun 1808-1811 dari Anyer sampai Panarukan) yang menginspirasi R.A Kartini merupakan jalan raya kaum ningrat dan diperuntukan Cuma untuk kebutuhan VOC terutama mengangkut gula dan kopi dari pedalaman Jawa. Para pribumi yang paling banyak terlibat kecelakaan adalah para supir bukan majikan. Di Hindia Belanda pribumi 'minggir' memberikan jalan untuk kemajuan, mukjizat jalan.

Jalan-jalan besar seperti Jalan Raya Pos memungkinkan terjadinya perubahan ekonomi di sepanjang jalan tersebut. Munculnya permukiman-permukiman di sepanjang Pantai Utara Jawa menyebabkan kota-kota Jawa disebut sebagai sebagai *rangkaian kota tak berkesudahan'. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pusat permukiman dan pusat niaga terjadi di hampir semua sisi kiri-kanan jalan. Aglomerasi dan konsentrasi kegiatan terjadi hampir disepanjangnya. Sementara jalan-jalan yang masuk ke perdesaan cukup sulit dilalui, padahal jalan-jalan desa merupakan manfaat yang luar biasa, jika terbangun baik, terjadi hubungan-hubungan antara pusat pemasok hash pertanian dengan pasar. Namun jalan-jalan yang baik di perdesaan juga mengandung bahaya, penguasaan tanah oleh orang kota. Sehingga terjadi kembali "pribumi" yang minggir, Jacoby (1998) menyatakan bahwa pembangunan jalan desa tidak serta merta mengurangi kerniskinan di desa, namun demikian selain memiliki fungsi ekonomi, jalan desa juga memudahkan pelayanan medisa dan pendidikan. Untuk itu cara tyerbaik untuk meminimalkan konversi lahan sepanjang jalan utama adalah melalui pengendalian tata ruang, walau hal ini hampir tidak pernah berhasil, mengingat kapitalisme memandang tanah merupakan komoditas terpenting, Teori Lokasi menyebutkan kedekatan dengan jalan dan pusat pelayanan pada mukjizat jalan, ingin berada di depan-tepat di depan jalan.

Jalan-jalan sekarang seperti pecah. Pecah dalam kepingan karena rambu-rambu yang disembunyikan untuk kepentingan pungli. Pecah karena tidak mengandung taktilitas yang cukup untuk dinikmati punggungnya. Pecah karena konstruksi yang di bawah standar. Pecah karena `arah' sudah menunjuk `tempat', di jalan (dijakarta) hidup kita tersita 1-2 jam. Dan hampir tidak menyenagkan. Bagi pengusaha, biaya yang dikeluarkan disepanjang jalan yang pecah Cuma menekan upah buruh, karena jalan di luar kekuasaannya.

Jane Jacob (1961) melihat jalan sebagai sebuah arena balet, dimana masing-masing orang membuat koreografi sendiri. New York di waktu pagi bagi dia merupakan puisi, memandang orang penuh yang penuh harap, bergegas membuka toko, kafe, kedai koran, dan ratusan orang dari berbagai bangsa memenuhi trotoar dengan gerakan yang terpola. Dijalan-jalan kota New York tak ada eksploitasi, tak ada kecemasan. Semua seperti perayaan.

New York, bukanlah Jakarta. Di Jakarta perilaku orang seperti serba kebetulan. Ketidakacuhan yang menjadi cirri Jakarta bukan sebuah cirri sebuah kota yang mengaku kosmopolit. Di jalan dan tempat publik New York yang dipandang sebagai pragmatic dan individualis, orang tak ragu menolong orang, menegur orang jika mengganggu ketertiban umum, melaporkan sesuatu yang membahayakan orang banyak, dan memberi kesempatan pertama pada kaum difabel dan lensia. Di jalan-jalan dan tempat publik di Jakarta (dan kota besar lainnya) orang-orang tidak pernah bisa menghargai perempuan dan anak-anak, apalagi difabel dan lainsia, memberi pertolongan malah dicurigai, dijalan selalu menerabas dan menyerobot dan inilah `konsep pragmatis' orang Jakarta. Kita mengenal balet, namun tarian jalanan Jakarta lebih mirip Kuda Lumping, orang-orang seperti kesurupan.

Jorge Luis Borges ,penulis Argentina menulis cerpen dalam bahasa Inggris Borges and Myself, kalimat kedua cerpen tersebut , dalam bahasa Indonesia nya adalah : Saya berjalan santai mengitarai Buenes Aires dan berhenti , mungkin karena kebiasaan ,dan sejenak memandangi lengkungan sebuah gerbang berjeruji besi [ ] Entah seperti apa ! dia sedang menggambarkan bagaimna tempat untuk berjalan santai di Buenos Aires, begitu indahnya dan sangat imajinatif, dari cerita itu bisa dipahami bahwa bagaiman Borges sebagai warga kota, memaknai Trotoar sebagai daerah milik pejalan kaki. Banyak cerita yang bernuansa romantis dan indah sepenajang jalan trotoar ,karena memang trotoar adalah berfungsi untuk lenggang kangkungnya pejalan kaki.

Terlepas dari apa yang dikatakan Jorge Luis Borges , keberadaan trotoar dikota¬kota besar di Indonesia adalah tidak lagi penting untuk kenyamanan pejalan kaki , karena fungsi trotoar semakin tidak jelas, banyak yang telah menyalahgunakan fungsi trotoar demi kepentingan sebagian orang. Dikota-kota besar di Indonesia keberadaan trotoar selalu menjadi masalah utama bagaimana tidak ,sering kita lihat di televisiatau membaca berita berita dikoran, sejumlah petugas satpol pp bersitegang dengan pedagang kaki lima, beradu mulut atau bahkan sampai terjadi bentrok fisik antara kedua belah pihak. Hal itu dikarenakan para petugas membongkar paksa lapak lapak milik PKL yang berada disepanjang trotoar. Tindakan yang dilakukan oleh para petugas itu memang benar, sebab trotoar bukan berfungsi sebagai tempat berjualan, keberadaan para pedagang kaki lima itupun otomatis mengganggu pejalan kaki dan juga merusak keindahan tata kota.

Tetapi bagi para pedagang kaki lima, trotoar adalah tempat menyambung hidup dari hari ke hari, trotoar adalah tempat untuk mencari nafkah buat keluarga mereka. Nah jika kita memandang dari satu sisi saja maka pasti kedua belah pihak masing masing merasa benar sendiri. Satpol pp benar karena trotoar untuk pejalan kaki, para PKL itu juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan, ingat hak azasi manusia yang paling asasi adalah hak untuk hidup, para pedagang kaki lima itu bekerja untuk kelangsungan hidup mereka.

Trotoar memang menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan terkait kebiasaan dari sebagian masyarakat kita yang menggunakan trotoar sebagai wujud aktifitas kerja mereka. Kebiasaan yang mungkin sangat susah untuk dihilangkan karena trotoar bagi sebagian orang adalah untuk menyambung hidup mereka. Bagi negara berkembang seperti Indonesia mungkin hal itu wajar wajar saja, sebab kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya lapangan pekerjaan menyebabkan masyarakat ingin menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, misalnya dengan menjadi pedagang kaki lima.

Merubah kebiasaan itu sangat susah dilakukan, sebab bila kebiasaan itu sudah mengakar begitu kuat. Penggusuran atau pembongkaran paksa lapak lapak PKL bukanlah solusi yang baik dan tepat. Coba kita lihat dan cermati, meski lapak lapak itu dibongkar, esok harinya pasti muncul lagi, begitu seterusnya dan seterusnya, seolah olah masalah ini tidak ada habis habisnya. Mungkin masalah ini akan teratasi jika negara kita sudah maju, perekomonian maju, dan pola pikir masyarakat yang maju pula yang artinya negara kita memiliki masyarakat yang terdidik.

Fenomena trotoar di Indonesia seharusnya bukan hanya menjadi wacana, tetapi setidaknya ada langkah langkah yang tepat untuk mengatasi dengan tidak merugikan berbagai pihak tentunya.

Studi empiris menyebutkan fungsi-fungsi dari ruang publik akan optimal jika memeiliki karakteristik sebagai berikut :

1.      Memiliki tingkat kemudahan akses dari ruang publik kejalan-jalan yang mengelilinginya .

2.      Kepadatan dari pergerakan orang-orang di jalan-jalan sekitarnya.

3.      Memiliki trotoar untuk pejalan ( PEDESTRIAN ) yang memungkinkan mereka berhenti sesaat

4.      Memperkirakan duarasi berhenti sesaat dengan laju para pejalan . Ruang publik yang hidup sering berhubungan dengan tingkat pergerakan yang tinggi dijalan-jalan yang mengelilinginya.

5.      Orientasi pada kenyamanan ,selain itu orang akan betah berlama-lama di jalan jika mengalami pengalaman ruang yang indah.

6.      Memperkirakan kehadiran ritel dan sarana istirahat . Adanya ritel ,menyebabkan orang "ruang publik " menjadi hidup. Kehadiran " para pengguna " ruang publik merupakan ciri kehidupan " ruang publik .

7.      Keteduhan sebuah kota yang sehat memberikan udara bersih untuk warganya , kanopi pohon selain memberikan keteduhan bagi yang dibawahnya juga sebuah produsen udara.

Menurut Benny Poerbatanoe - beralihnya fungsi trotoar disebabkan oleh budaya masyarakat timur yang menganggap trotoar bisa digunakan seenaknya tanpa memikirkan pejalan kaki ,pengguna jalan lain. Para perancang juga melupakan budaya masyarakat kita pada saat merancang pengembangan wilayah perkotaan. Banyak perancang yang tidak memikirkan dimana sektor informal harus diberi tempat. Peramsalahan Pedagang Kaki Lima dikota-kota di Indonesia hampir sama . Trotoar dibangun tanpa memp[erhatikan maslah kebersamaan dengan sektor informal.

Pola-pola praktek penggunaan Trotoar di Indonesia meminjam istilah Ruth Benedict dalam Rosenblatt memiliki hubungan dengan cara pandang manusia yang mempraktekannya, sehingga praktek kebudayaan bukanlah sesuatu yang acak dari kebiasaan yang senantiasa berubah , namun lebih sebagai keragaman dan kesepakatan sosial.

Dalam Hukum ekonomi jalan merupakan barang publik, artinya barang memiliki ciri non-exludable dan non- rivalness yang artinya tidak dimungkinkannya mencegah individu manapun mengkonsumsi barang tersebut. Non-excludable memperlihatkan tingkat eksklusifitas pemakaian dan non-rivalness memperlihatkan tingkat persaingannya. Jika pemerintah menyediakan barang publik maka pembiayaanya diambil dari pajak. Oleh karena itu dalam negara yang maju demokrasinya, peneguhan hak-hak warga berkenaan dengan pengambilan pajak oleh pemerintah, kegagalanya pemerintah dalam menyediakan barang publik yang memadai dapat menimbualkan "pemogokan"dalam membayar pajak. Dalam kontek penanganan PKL biasanya pemerintah akan berdalih melindungi para pembayar pajak, sehingga penggusuran terjadi. Sedangkan secara budaya, jalan di indonesia selain dimaknai sebagai barang publik juga dimaknai sebagai "open accsess" artinya setiap orang dapat mengakses jalan dan trotoar sesuai dengan kepentingannya. Jalan bergaser dari sebuah pemisah modal trasportasi, antara pejalan kaki dan pengendara bermesin [dulu kuda dan onta]menjadi sejenis barang yang dapat diperjual belikan, sehingga prinsip non- exludable dan non- rivalness bergeser dari memakai jalan untuk transportasi mrnjadi tempat berdagang, tempat menyelenggarakan pesta, jalan dapat ditutup dan dibuka seenaknya oleh warga, jalan setiap incinya memiliki harga, sebuah lapak. Cara pandang inilah yang dominan dimiliki oleh sebagian orang di Indonesia

Pola pikir ini jika dilihat dari resistensi PKL, merupakan perlawanan ataudimotivasi oleh respons masyarakat golongan lemah terhadap ketidak adilan dan ketidak merataan (inequality) pada kesempatan dan akses terhadap sumber sumber daya ekonomi sebagai akibat dari kebijaksanaan pembangunan salah arah (mislideng polices) Ketimpangan pembangunan desa kota dan kemiskinan didesa menyebabkan urbanisasi berlebih (levebre).

Kemudian Levebre menyatakan bahwa pola yang seragam tersebut yang merupakan manifestasi dari pandangan hidup individu atau kelompok ,masyarakat membutuhkan pengenalan terhadap agen-agen yang bersaing dalam memberikan pemaknaan terhadap " jalan" sebagai sebuah Spatial Practice (praktek spasial), represtasion of space dan representational spaces. Bahwa Spatial practice (praktek spasial) merupakan mencakup kegiatan produksi dan reproduksi dari reproduksi dan lokasi tertentu dan karakter wilayah dari pembentukan sosial. Praktek spasial ini menjamin keberlanjutan dan tingkat kohesi sosial.

Undang-Undang No. 38 Tahun 2008 Tentang Jalan-Jalan adalah prasarana darat yang meliputi bagian jalan bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas berada pada permukaan tanah dan/atau air, serta permukaan air, kereta api, jalan Lori dan jalan kabel.

Macam-macam jalan :

1.      Jalan umum : Jalan yang diperuntukan bagi lalu lintas umum

2.      Jalan khusus : Jalan yang dibangun oleh instansi/badan usaha/perseorangan masyarakat untuk kepentingan sendiri.

3.      Jalan Tol : Jalan umum yang penggunaannya diwajibkan membayar tol.

Jalan Umum Menurut Fungsinya :

1.      Jalan Arteri : diperuntukan bagi angkutan utama, dengan cirri-ciri perjalanan dengan kecepatan rata-rata tinggi, jumlah jalan masuk dibatasi serta berdayaguna.

2.      Jalan Kolektor : Diperuntukan bagi angkutan pengumpul/pembagi, dengan perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, jumlah jalan masuk dibatasi.

3.      Jalan Lokal : Diperuntukan bagi angkutan setempat, dengan cirri-ciri perjalanan dekat, kecepatan rata-rata rendah.

4.      Jalan Lingkungan : Diperuntukan bagi angkutan lingkungan, dengan cirri-ciri jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah.

Jalan Umum Menurut Statusnya :

1.      Jalan Nasional : Jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan Raya menghubungkan antar ibukota propinsi dan jalan strategi nasional serta jalan tol.

2.      Jalan Propinsi : Jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota propinsi dengan ibukota kabupaten/kota atau antar ibukota kabupaten jalan strategi propinsi.

3.      Jalan Kabupaten : Jalan local dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak ada jalan nasional dan jalan propinsi yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan antar pusat kegiatan local. serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder wilayah kabupaten dan jalan strategi kabupaten.

4.      Jalan Kota : Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang didalam kota.

5.      Jalan Desa : Jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar pulau didalam desa, serta jalan lingkungan.

Bagian-Bagian Jalan, Meliputi :

1.      Ruang manfaat jalan (RUMAJA)

2.      Ruang milik jalan (RUMIJA)

3.      Ruang Pengawasan jalan (RUWASJA)

Ruang milik jalan (RUMIJA) meliputi :

1.      Ruang manfaat jalan

2.      Sejalur tanah tertentu diluar ruang manfaat jalan.

Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) :

Ruang tertentu diluar milik jalan yang ada dibawah pengawasan penjalan.

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggu jalan didalam:

1.      Ruang manfaat jalan

2.      Ruang milik jalan

3.      Ruang pengawasan jalan

Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa. Wewenang tersebut meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pembangunan jalan.

Sanksi dan Denda :

Sesuai dengan Undang-Undang No.2004 Tentang Jalan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan didalam:

1.      Ruang Manfaat jalan : diancam pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).

2.      Ruang milik jalan : diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

3.      Ruang Pengawasan Jalan : diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pada dasarnya manusia memanag membutuhkan tempat tinggal dan tempat usaha, akan tetapi dengan adanya praktek spasial dimana kebutuhan tanah yang tidak lagi memungkinkan untuk dibagi maka runag publik yang bisa dipetak-petak hanya kurang dari 2 meter persegi ini berubah fungsi menjadi hak ekonomi bagi kepentingan pedagang ,sementara kepentingan publik atas penguatan hak tanahnya bagi ketentraman dan kenyaman menjadi simbiosis mutualisis .Trotoar kehidupan tak terbatas tak bertepi, dia lari cepat dan hanya melambat dipersimpangan. Tak akan berhenti diujung jalan, selama masih berlangsung peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar