PENGUATAN HAK TANAH TROTOAR
SEBAGAI HAK
PUBLIK
Latar Belakang :
Didalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional ( RTRWN ) ada dua pembagian besar yakni Kawasan
Hutan Lindung dan Kawasan Budidaya , dan dalam penyusunan Tata Ruang Nasional
tersebut digunakan tolok ukur : Lingkungan , Pertumbuhan Ekonomi ,Sosial dan
HANKAM, Peraturan Tata Ruang Nasional substansinya masih sangat umum dapat
dilihat pada PP no 26 tahun 2008 ,peraturan ini hanya menjadi payung bagi Tata
Ruang Wilayah , sedangkan dalam ketentuan perautaran tersebut yang lebih rinci
akan diatur dalam penataan ruang wilayah tingkat propinsi dan Kabupaten /dan
Kota.
Dalam Peraturan
Daerah ( Perda ) harus diatur secara jelas dan tidak abu-abu sebagai
diamanatkan oleh PP tersebut, artinya harus sesuai dengan pengaturan wilayah nasional,
sehingga produk hukum didaerah harus mengagendakan mana yang menjadi tata ruang
untuk keperluan publik dan mana untuk keperluan sektor usaha informal, akan
tetapi Pemerintah Daerah pada umumnya tidak akan bisa berbuat banyak apabila
peraturan tata ruang nasioanal ini tidak sama sekali bersinggungan dengan
masalah trotoar yang merupakan kawasan tata ruang publik , dan adalah menjadi
problem msayarakat apabila dua kepentingan ingin mempertahankan dan menguatkan
hak atas tanah tersebut , satu sisi menjadi hak publik bagi pemberdayaan
lingkungan sementara dari sektor lain juga sebagai hak publik dalam
pemberdayaan ekonomi .
Trotoar berasal dari bahasa Perancis yang dalam huruf aslinya "
Trottoir " , artinya tempat untuk pejalan kaki , menurt Kamus Umum Belanda
Indonesia karya Prof Drs S Wojowasito , yang memperkenalkan kata itu adalah
Penjajah Belanda dan kemudian dalam ucapan dan penulisan Bahasa Indonesia
menjadi " Trotoar ", tapi sayang pengenalan konsep ,bentuk dan arti
trotoar oleh penguasa Kolonial Belanda, tidak meninggalkan jejak tentang
bagaimana bangsa Indonesia harus memaknai dan menggunakan trotoar.
Sejarah perkembangan kota-kota ditandai dengan dibangunnya prasarana jalan.
Catal Huyuk memiliki trotoar untuk pendestrian (pejalan
kaki) yang lebar dan nyaman, saat itu para budak merupakan pengangkut barang
yang baik, bersaing dengan keledai. Jalan kota pada masa Romawi memiliki pola
garis-garis persegi, luas dan diperuntukan untuk penunggang kuda. Pada masa
kemudian jalan jalandimasa kekuasaan Islam di Eropa berciri radial, memiliki
arteri yang simetris yang merasuk sampai ke perumahan, sempit dan berakhir
buntu-cu/ de sac. Menurut Planhol (1959) dalam Chant and David (1999) jalan
pada masa itu diperuntukan Cuma untuk aktivitas manusia, bukan kendaraan (kuda
dan unta), hal ini disebabkan permukiman yang dibangun pada masa kekuasaan
Islam menuntut adanya ruang privat yang besar, menjauhkan yang di dalam rumah
(perempuan) dari tatapan pejalan. Jalan yang buntu menyiratkanteritorial yang
jelas, kebutuhan penghuni. Sementara Bulliet (1975) masih dalam Chant and David
(1999) menyatakan berkurangnya kendaraan beroda (chariot) yang ditarik kuda,
yang digantikan oleh unta merupakan alasan paling masuk akal untuk melihat
hilangnya insentif membangun jalan yang lebar. Sementara bentuk labirin dan
jalan buntu memiliki alasan keamanan dan pertanahan.
Jalan pada
masa-masa berikutnya (era Pencerahan) diposisikan sebagai `titik berangkat'
untuk mengankat citra kota-kota di Eropa. Belanda pada masa itu merupakan bangsa
yang sangat memperhatikan fungsi jalan, kerapihan, dan citra otoritas. Sukses kepemerintahan
di masa ini dinilai dari `kondisi dan suasana' jalan. Jalan-jalan dan trotoar
bersih, lebar, menyenangkan, dan menempatkan kepentingan umum diatas
kepentingan individu, walaupun yang paling merasakan kenyamanan pada masa itu
adalah the rulling class atau para aristocrat yang memiliki kendaraan (chant
and david, 1999).
Jalan-jalan
modern dibangun pemerintah Belanda di Hindia-Belanda. Tanah Jawa merupakan
sebuah tanah dengan bentang alam susu (subur makmur). Keindahan negeri Belanda
serta peradabannya dicerna oleh R.A Kartini.
Jalan-jalan baru di seluruh Jawa dan diseluruh negeri jajahan haruslah
terbuat dari kemajuan, dan sejauh jalan itu terbuat dari bahan yang keras dan
bersih, tak ada seorangpun yang dapat menghentikan roda-roda itu. Sesuatu yang barn, keras dan bersih, itulah-modernitas jalan.
Kebersihan jalanan, dalam logika ini adalah kemurnian zaman, bahkan biasa kita
katakana, demokrasi. Karenanya Kartini menulis, ada sejumlah orang di Hindia
Belanda, yang meminta agar mereka disapa dengan sebutansebutan bangsawan.
Seringkali gelar itu bahkan bukan hak mereka.....membiarkan dirinya disapa
demikian oleh hamba-hamba mereka itu merupakan hal yang lucu dan absurd
(Mrazek, 2006).
Jalan-jalan yang
pada waktu itu disebutkan oleh Kartini adalah jalan-jalan trem, kereta api.
Namun metefora jalan yang dipergunakan, modernitas jalan adalah suatu impian,
demokrasi. Langan (1995) Marzek (2006) menyatakan bahwa seorang penyair borjuis
dan gelandangan bertemu dijalanan umum, mereka berbicara dengan bahasa yang
sama hanya sejauh memiliki kebiasaan bersama Langan menyebutkan
sebagai simulasi; sebuah cita-cita etis demokrasi liberal...imajinasi
kekbebasan: hak-hak individu untuk datang dan pergi tanpa izin dan tanpa harus
menjelaskan motif-motif atau urusan mereka.
Pada tahun 1939,
terdapat 51.615 mobil di Hindia Belanda, 37.500, 37.500 ada diJawa 7.557 di
Batavia, 4.945 di Bndung dan 675 misalnya di Jepara-tempat Kartini lahir dan
meninggal. Pada tiga bukan pertama tahun 1928, sebagai contoh di Surabaya
terjadi 524 kecelakaan, 24% disebabkan oleh mobil, 23% oleh kereta api atau
trem, 17% oleh motor. Pengemudi yang mengendarai endaraan itu adalah 11% orang
Eropa, 6% orang Cina dan Arab, dan 83% orang pribumi (Mrazek, 2006)
Sampai pada akhir abad 20, jalan Raya Pos (yang dibangun 1808-1811 dari
Anyer sampai Panarukan) yang menginspirasi R.A Kartini merupakan jalan raya
kaum ningrat dan diperuntukan Cuma untuk kebutuhan VOC terutama mengangkut gula
dan kopi dari pedalaman Jawa. Para pribumi yang paling
banyak terlibat kecelakaan adalah para supir bukan majikan. Di Hindia Belanda
pribumi 'minggir' memberikan jalan untuk kemajuan, mukjizat jalan.
Jalan-jalan
besar seperti Jalan Raya Pos memungkinkan terjadinya perubahan ekonomi di
sepanjang jalan tersebut. Munculnya permukiman-permukiman di sepanjang Pantai
Utara Jawa menyebabkan kota-kota Jawa disebut sebagai sebagai *rangkaian kota
tak berkesudahan'. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pusat permukiman dan
pusat niaga terjadi di hampir semua sisi kiri-kanan jalan. Aglomerasi dan
konsentrasi kegiatan terjadi hampir disepanjangnya. Sementara jalan-jalan yang
masuk ke perdesaan cukup sulit dilalui, padahal jalan-jalan desa merupakan manfaat
yang luar biasa, jika terbangun baik, terjadi hubungan-hubungan antara pusat
pemasok hash pertanian dengan pasar. Namun jalan-jalan yang baik di perdesaan
juga mengandung bahaya, penguasaan tanah oleh orang kota. Sehingga terjadi
kembali "pribumi" yang minggir, Jacoby (1998) menyatakan bahwa
pembangunan jalan desa tidak serta merta mengurangi kerniskinan di desa, namun
demikian selain memiliki fungsi ekonomi, jalan desa juga memudahkan pelayanan
medisa dan pendidikan. Untuk itu cara tyerbaik untuk meminimalkan konversi
lahan sepanjang jalan utama adalah melalui pengendalian tata ruang, walau hal
ini hampir tidak pernah berhasil, mengingat kapitalisme memandang tanah
merupakan komoditas terpenting, Teori Lokasi menyebutkan kedekatan dengan jalan
dan pusat pelayanan pada mukjizat jalan, ingin berada di depan-tepat di depan
jalan.
Jalan-jalan
sekarang seperti pecah. Pecah dalam kepingan karena rambu-rambu yang
disembunyikan untuk kepentingan pungli. Pecah karena tidak mengandung
taktilitas yang cukup untuk dinikmati punggungnya. Pecah karena konstruksi yang
di bawah standar. Pecah karena `arah' sudah menunjuk `tempat', di jalan
(dijakarta) hidup kita tersita 1-2 jam. Dan hampir tidak menyenagkan. Bagi
pengusaha, biaya yang dikeluarkan disepanjang jalan yang pecah Cuma menekan
upah buruh, karena jalan di luar kekuasaannya.
Jane Jacob
(1961) melihat jalan sebagai sebuah arena balet, dimana masing-masing orang
membuat koreografi sendiri. New York di waktu pagi bagi dia merupakan puisi,
memandang orang penuh yang penuh harap, bergegas membuka toko, kafe, kedai
koran, dan ratusan orang dari berbagai bangsa memenuhi trotoar dengan gerakan
yang terpola. Dijalan-jalan kota New York tak ada eksploitasi, tak ada
kecemasan. Semua seperti perayaan.
New York,
bukanlah Jakarta. Di Jakarta perilaku orang seperti serba kebetulan.
Ketidakacuhan yang menjadi cirri Jakarta bukan sebuah cirri sebuah kota yang
mengaku kosmopolit. Di jalan dan tempat publik New York yang dipandang sebagai
pragmatic dan individualis, orang tak ragu menolong orang, menegur orang jika
mengganggu ketertiban umum, melaporkan sesuatu yang membahayakan orang banyak, dan memberi
kesempatan pertama pada kaum difabel dan lensia. Di jalan-jalan dan tempat
publik di Jakarta (dan kota besar lainnya) orang-orang tidak pernah bisa
menghargai perempuan dan anak-anak, apalagi difabel dan lainsia, memberi
pertolongan malah dicurigai, dijalan selalu menerabas dan menyerobot dan inilah
`konsep pragmatis' orang Jakarta. Kita mengenal balet, namun tarian jalanan
Jakarta lebih mirip Kuda Lumping, orang-orang seperti kesurupan.
Jorge Luis
Borges ,penulis Argentina menulis cerpen dalam bahasa Inggris Borges and
Myself, kalimat kedua cerpen tersebut , dalam bahasa Indonesia nya adalah :
Saya berjalan santai mengitarai Buenes Aires dan berhenti , mungkin karena
kebiasaan ,dan sejenak memandangi lengkungan sebuah gerbang berjeruji besi [ ]
Entah seperti apa ! dia sedang menggambarkan bagaimna tempat untuk berjalan
santai di Buenos Aires, begitu indahnya dan sangat imajinatif, dari cerita itu
bisa dipahami bahwa bagaiman Borges sebagai warga kota, memaknai Trotoar
sebagai daerah milik pejalan kaki. Banyak cerita yang bernuansa romantis dan
indah sepenajang jalan trotoar ,karena memang trotoar adalah berfungsi untuk
lenggang kangkungnya pejalan kaki.
Terlepas dari apa yang dikatakan Jorge Luis Borges , keberadaan trotoar
dikota¬kota besar di Indonesia adalah tidak lagi penting untuk kenyamanan
pejalan kaki , karena fungsi trotoar semakin tidak jelas, banyak yang telah
menyalahgunakan fungsi trotoar demi kepentingan sebagian orang. Dikota-kota besar di Indonesia keberadaan trotoar selalu menjadi
masalah utama bagaimana tidak ,sering kita lihat di televisiatau membaca berita
berita dikoran, sejumlah petugas satpol pp bersitegang dengan pedagang kaki
lima, beradu mulut atau bahkan sampai terjadi bentrok fisik antara kedua belah
pihak. Hal itu dikarenakan para petugas membongkar paksa lapak lapak milik PKL yang
berada disepanjang trotoar. Tindakan yang dilakukan oleh para petugas itu
memang benar, sebab trotoar bukan berfungsi sebagai tempat berjualan,
keberadaan para pedagang kaki lima itupun otomatis mengganggu pejalan kaki dan
juga merusak keindahan tata kota.
Tetapi bagi para
pedagang kaki lima, trotoar adalah tempat menyambung hidup dari hari ke hari,
trotoar adalah tempat untuk mencari nafkah buat keluarga mereka. Nah jika kita
memandang dari satu sisi saja maka pasti kedua belah pihak masing masing merasa
benar sendiri. Satpol pp benar karena trotoar untuk pejalan kaki, para PKL itu
juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan, ingat hak azasi manusia yang paling
asasi adalah hak untuk hidup, para pedagang kaki lima itu bekerja untuk
kelangsungan hidup mereka.
Trotoar memang menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan terkait
kebiasaan dari sebagian masyarakat kita yang menggunakan trotoar sebagai wujud
aktifitas kerja mereka. Kebiasaan yang mungkin sangat
susah untuk dihilangkan karena trotoar bagi sebagian orang adalah untuk
menyambung hidup mereka. Bagi negara berkembang seperti Indonesia mungkin hal
itu wajar wajar saja, sebab kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya lapangan
pekerjaan menyebabkan masyarakat ingin menciptakan lapangan pekerjaan sendiri,
misalnya dengan menjadi pedagang kaki lima.
Merubah
kebiasaan itu sangat susah dilakukan, sebab bila kebiasaan itu sudah mengakar
begitu kuat. Penggusuran atau pembongkaran paksa lapak lapak PKL bukanlah
solusi yang baik dan tepat. Coba kita lihat dan cermati, meski lapak lapak itu
dibongkar, esok harinya pasti muncul lagi, begitu seterusnya dan seterusnya,
seolah olah masalah ini tidak ada habis habisnya. Mungkin masalah ini akan
teratasi jika negara kita sudah maju, perekomonian maju, dan pola pikir masyarakat yang
maju pula yang artinya negara kita memiliki masyarakat yang terdidik.
Fenomena trotoar di Indonesia seharusnya bukan hanya menjadi wacana, tetapi
setidaknya ada langkah langkah yang tepat untuk mengatasi dengan tidak
merugikan berbagai pihak tentunya.
Studi empiris menyebutkan fungsi-fungsi dari ruang publik akan optimal jika
memeiliki karakteristik sebagai berikut :
1.
Memiliki tingkat kemudahan
akses dari ruang publik kejalan-jalan yang mengelilinginya .
2.
Kepadatan dari pergerakan
orang-orang di jalan-jalan sekitarnya.
3.
Memiliki trotoar untuk pejalan
( PEDESTRIAN ) yang memungkinkan mereka berhenti sesaat
4.
Memperkirakan duarasi berhenti
sesaat dengan laju para pejalan . Ruang publik yang hidup sering berhubungan
dengan tingkat pergerakan yang tinggi dijalan-jalan yang mengelilinginya.
5.
Orientasi pada kenyamanan
,selain itu orang akan betah berlama-lama di jalan jika mengalami pengalaman
ruang yang indah.
6.
Memperkirakan kehadiran ritel
dan sarana istirahat . Adanya ritel ,menyebabkan orang "ruang publik
" menjadi hidup. Kehadiran " para pengguna " ruang publik
merupakan ciri kehidupan " ruang publik .
7.
Keteduhan sebuah kota yang
sehat memberikan udara bersih untuk warganya , kanopi pohon selain memberikan
keteduhan bagi yang dibawahnya juga sebuah produsen udara.
Menurut Benny
Poerbatanoe - beralihnya fungsi trotoar disebabkan oleh budaya masyarakat timur
yang menganggap trotoar bisa digunakan seenaknya tanpa memikirkan pejalan kaki
,pengguna jalan lain. Para perancang juga melupakan budaya masyarakat kita pada
saat merancang pengembangan wilayah perkotaan. Banyak perancang yang tidak
memikirkan dimana sektor informal harus diberi tempat. Peramsalahan Pedagang
Kaki Lima dikota-kota di Indonesia hampir sama . Trotoar dibangun tanpa
memp[erhatikan maslah kebersamaan dengan sektor informal.
Pola-pola praktek penggunaan Trotoar di Indonesia meminjam istilah Ruth
Benedict dalam Rosenblatt memiliki hubungan dengan cara pandang manusia yang
mempraktekannya, sehingga praktek kebudayaan bukanlah sesuatu yang acak dari
kebiasaan yang senantiasa berubah , namun lebih sebagai keragaman dan
kesepakatan sosial.
Dalam Hukum
ekonomi jalan merupakan barang publik, artinya barang memiliki ciri
non-exludable dan non- rivalness yang artinya tidak dimungkinkannya mencegah
individu manapun mengkonsumsi barang tersebut. Non-excludable memperlihatkan
tingkat eksklusifitas pemakaian dan non-rivalness memperlihatkan tingkat
persaingannya. Jika pemerintah menyediakan barang publik maka pembiayaanya
diambil dari pajak. Oleh karena itu dalam negara yang maju demokrasinya,
peneguhan hak-hak warga berkenaan dengan pengambilan pajak oleh pemerintah,
kegagalanya pemerintah dalam menyediakan barang publik yang memadai dapat
menimbualkan "pemogokan"dalam membayar pajak. Dalam kontek penanganan
PKL biasanya pemerintah akan berdalih melindungi para pembayar pajak, sehingga
penggusuran terjadi. Sedangkan secara budaya, jalan di indonesia selain
dimaknai sebagai barang publik juga dimaknai sebagai "open accsess"
artinya setiap orang dapat mengakses jalan dan trotoar sesuai dengan
kepentingannya. Jalan bergaser dari sebuah pemisah modal trasportasi, antara
pejalan kaki dan pengendara bermesin [dulu kuda dan onta]menjadi sejenis barang
yang dapat diperjual belikan, sehingga prinsip non- exludable dan non-
rivalness bergeser dari memakai jalan untuk transportasi mrnjadi tempat
berdagang, tempat menyelenggarakan pesta, jalan dapat ditutup dan dibuka
seenaknya oleh warga, jalan setiap incinya memiliki harga, sebuah lapak. Cara
pandang inilah yang dominan dimiliki oleh sebagian orang di Indonesia
Pola pikir ini
jika dilihat dari resistensi PKL, merupakan perlawanan ataudimotivasi oleh
respons masyarakat golongan lemah terhadap ketidak adilan dan ketidak merataan
(inequality) pada kesempatan dan akses terhadap sumber sumber daya ekonomi
sebagai akibat dari kebijaksanaan pembangunan salah arah (mislideng polices)
Ketimpangan pembangunan desa kota dan kemiskinan didesa menyebabkan urbanisasi
berlebih (levebre).
Kemudian Levebre
menyatakan bahwa pola yang seragam tersebut yang merupakan manifestasi dari
pandangan hidup individu atau kelompok ,masyarakat membutuhkan pengenalan
terhadap agen-agen yang bersaing dalam memberikan pemaknaan terhadap "
jalan" sebagai sebuah Spatial Practice (praktek spasial), represtasion of
space dan representational spaces. Bahwa Spatial practice (praktek spasial)
merupakan mencakup kegiatan produksi dan reproduksi dari reproduksi dan lokasi
tertentu dan karakter wilayah dari pembentukan sosial. Praktek spasial ini
menjamin keberlanjutan dan tingkat kohesi sosial.
Undang-Undang
No. 38 Tahun 2008 Tentang Jalan-Jalan adalah prasarana darat yang meliputi bagian
jalan bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas
berada pada permukaan tanah dan/atau air, serta permukaan air, kereta api,
jalan Lori dan jalan kabel.
Macam-macam
jalan :
1.
Jalan umum : Jalan yang
diperuntukan bagi lalu lintas umum
2.
Jalan khusus : Jalan yang
dibangun oleh instansi/badan usaha/perseorangan masyarakat untuk kepentingan
sendiri.
3.
Jalan Tol : Jalan umum yang
penggunaannya diwajibkan membayar tol.
Jalan Umum
Menurut Fungsinya :
1.
Jalan Arteri : diperuntukan
bagi angkutan utama, dengan cirri-ciri perjalanan dengan kecepatan rata-rata
tinggi, jumlah jalan masuk dibatasi serta berdayaguna.
2. Jalan Kolektor : Diperuntukan bagi
angkutan pengumpul/pembagi, dengan perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal : Diperuntukan bagi angkutan
setempat, dengan cirri-ciri perjalanan dekat, kecepatan rata-rata rendah.
4. Jalan Lingkungan : Diperuntukan bagi
angkutan lingkungan, dengan cirri-ciri jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah.
Jalan Umum
Menurut Statusnya :
1.
Jalan Nasional : Jalan arteri
dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan Raya menghubungkan antar ibukota
propinsi dan jalan strategi nasional serta jalan tol.
2.
Jalan Propinsi : Jalan kolektor
dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota propinsi dengan
ibukota kabupaten/kota atau antar ibukota kabupaten jalan strategi propinsi.
3.
Jalan Kabupaten : Jalan local
dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak ada jalan nasional dan jalan
propinsi yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan kecamatan, antar ibukota
kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan antar pusat kegiatan local.
serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder wilayah kabupaten dan
jalan strategi kabupaten.
4.
Jalan Kota : Jalan umum dalam
sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam
kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan menghubungkan antar persil, serta
menghubungkan antar pusat permukiman yang didalam kota.
5.
Jalan Desa : Jalan umum yang
menghubungkan kawasan dan/atau antar pulau didalam desa, serta jalan
lingkungan.
Bagian-Bagian
Jalan, Meliputi :
1.
Ruang manfaat jalan (RUMAJA)
2.
Ruang milik jalan (RUMIJA)
3.
Ruang Pengawasan jalan
(RUWASJA)
Ruang milik
jalan (RUMIJA) meliputi :
1.
Ruang manfaat jalan
2.
Sejalur tanah tertentu diluar
ruang manfaat jalan.
Ruang Pengawasan
Jalan (RUWASJA) :
Ruang tertentu diluar milik jalan yang ada dibawah pengawasan
penjalan.
Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggu jalan didalam:
1.
Ruang manfaat jalan
2.
Ruang milik jalan
3.
Ruang pengawasan jalan
Wewenang
pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan penyelenggaraan jalan kabupaten dan
jalan desa. Wewenang tersebut meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan dan
pembangunan jalan.
Sanksi dan Denda
:
Sesuai dengan
Undang-Undang No.2004 Tentang Jalan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja
melakukan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan didalam:
1.
Ruang Manfaat jalan : diancam
pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan denda paling banyak Rp.
1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).
2.
Ruang milik jalan : diancam
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan paling banyak Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).
3.
Ruang Pengawasan Jalan :
diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan paling banyak Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Pada dasarnya
manusia memanag membutuhkan tempat tinggal dan tempat usaha, akan tetapi dengan
adanya praktek spasial dimana kebutuhan tanah yang tidak lagi memungkinkan
untuk dibagi maka runag publik yang bisa dipetak-petak hanya kurang dari 2
meter persegi ini berubah fungsi menjadi hak ekonomi bagi kepentingan pedagang
,sementara kepentingan publik atas penguatan hak tanahnya bagi ketentraman dan
kenyaman menjadi simbiosis mutualisis .Trotoar kehidupan tak terbatas tak
bertepi, dia lari cepat dan hanya melambat dipersimpangan. Tak
akan berhenti diujung jalan, selama
masih berlangsung peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar