ASPEK
HUKUM MALPRAKTEK
I Pengertian Malpraktek
Istilah
malpraktek dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan “ praktek kedokteran
yang salah , tidak tepat ,menyalahi
undang-undang atau kode etik “. Kemudian kita akan dapati istilah dalam
kamus Inggris –Indonesia John M.
Echolas mengartikan malpractice atau malpraktek :
a. Salah
mengobati ,cara mengobati pasien yang salah
b. Tindakan
yang salah
Pengertian
tentang malpraketk dalam Dorland’s Medical dictionary adalah praktek yang tidak tepat atau yang menimbulkan masalah , tindakan medik
atau tindakan operatif yang salah ( improper or injurious practice inskillful
and faulty medical or surgical treatment
).
Stedman’s
Medical Dictionary – Malpraktek diartikan sebagai “ kesalahan penanganan pasien
karena ketidak tahuan ,ketidak hati-hatian ,kelalaian atau adanya niat jahat (
mistreatment of patient, trough ignorance ,carelessness, neglect, or criminal
intent )
Black
Law Dictionary mengartikan malpraktek
adalah setiap sikap tindak yang
salah ,kurang ketrampilan dalam ukuran yang tidak wajar. Pengertian ini umumnya digunakan terhadap
sikap tindak dari para dokter ,pengacara, dan akuntan.
Kegagalan
untuk memberikan pelayanan professional dan melakukannya pada tingkat
ketrampilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari profesinya di dalam
masyarakat ,sehingga mengakibatkan luka
,kehilangan, atau kerugian, pada penerima layanan yang mempercayai mereka
,termasuk didalamnya adalah sikap-sikap
profesi yang salah ,kurang ketrampilan yang tidak wajar , menyalahi kewajiban
profesi atau hukum
Dari
beberpa pengertian ini maka dapat disimpulkan ,adanya unsur hubungan hak dan kewajiban antara
dokter – pasien , hak dan
kewajiban tersebut telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. Dalam
undang-undang ini telah diatur pola hubungan dokter-pasien
II Pola hubungan Pasien-Dokter
Hubungan
dokter-pasien umumnya tidak setara , Ada kesenjangan diantara keduanya dalam
berbagai aspek . Biasanya pasien berada dipihak yang lemah , yang oleh karena
itu ia perlu mendapat perlindungan .
Karena posisi dokter sebagai pihak yang lebih kuat dalam berbagai hal ,
maka dokter perlu diberi rambu-rambu agar ia tidak tergoda untuk melakukan
tindakan yang merugikan dan menguntungkan diri sendiri . Perlindungan bagi
pasien dan rambu-rambu bagi dokter
diperlukan untuk dibina dan ditegakan sesuai dengan :
a. Hati
nurani dan moral
b. Etika
medis
c. Disiplin
profesi
d. Hukum
Pemahaman
yang perlu dijaga dalam tataran hati nurani etika dan disiplin profesi
kedokteran sebenarnya sudah dicetuskan oleh Hipocrates ( 460-377 SM ) yang dikenal sebagai bapak ilmu kedokteran jauh sebelum ilmu kedokteran mencapai
puncaknya dewasa ini , asas etik inilah yang sampai sekarang menjadi sumber
filofis kedokteran “ KESEHATAN PENDERITA AKAN SAYA UTAMAKAN
“ ( The helath of my patient will be
first consideration )
Lafal
sumpah hipocrates ini kemudian diakomodir dalam lafal-lafal sumpah kedokteran seperti lafal sumpah deklarasi Genewa 1948
yang disetujui oleh General Assembley WMA dan kemudian diamander Sydney 1968 .
Dasar
–dasar sumpah tersebut kemudian telah dijabarkan menjadi 6 asas etik yang
bersifat universal , yang juga tidak akan berubah dalam etik kedokteran yaitu :
1. Asas Menghormati otonomi pasien ( principle of respect to the patient’s autonomy
) Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh
dokter serta memutuskan apa yang terbaik
bagi dirinya sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup .
pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya,dan tidak boleh dipksa.
Untuk itu perlu adanya informed concent.
2. Asas
Kejujuran ( principle of veracity )
Dokter hendaknya mengatakan hal yang
sebenarnya secara jujur akan apa yang terjadi ,apa yang akan dilakukan, serta
akibat/resiko yang dapat terjadi . Informasi yang diberikan hendaknya
disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Selain jujur kepada pasien ,
dokter juga harus jujur kepada diri sendiri.
3. Asas
Tidak Merugikan ( principle of non maleficence )
Doketer berpedoman primum non nocere
( first of all do no harm ) tidak melakukan tindakan yang tidak perlu, dan
mengutamakan tindakan yang tidak merugikan pasien, serta mengupayakan resiko
fisik, resiko psokologis, maupun resiko sosisla akibat tindakan tsb seminimal
mungkin.
4. Asas
Manfaat ( principle of beneficence )
Semua tindakan dokter yang dilakukan
terhadap pasien harus bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau
memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana
perawatan/tindakan berdasarkan pada pengetahuan yang sohih dan dapat berlaku
secara umum. Kesejahteraan pasien perlu mendapat perhatian yang utama . resiko
yang mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin, sementara manfaatnya
harus semaksimal mungkin bagi pasien.
5. Asas
Kerahasiaan ( principle of confidentiality )
Dokter harus menghormati kerahasian
pasien meskioun pasien tersebut sudah meninggal dunia
6. Asas
Keadilan ( principle of Justice )
Doketr harus berlaku adil tidak
memandang kedudukan atau kepangkatan, tidak memandang kekayaan dan tidak berat
sebelah dalam merawat pasien.
Dari asas etik tersebut kemudian disusun peraturan kode
etik kedokteran yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil
keputusan etik dalam melakukan tugas
profesinya sebagai seorang dokter. Kemudian kode etik ini disamping sebagai etika profesi hubungan dengan pasien, dokter juga diberikan
rambu-rambu hukum yang merupkan kaedah norma yang mengatur parktek kedokteran
dibawah pengawasan norma hukum agar ketertiban di masyarakat tentang hubungan
masyarakat dan profesi kedokteran yang bersifat kontraktual tidak saling
menimbulkan kerugian. Untuk itulah maka dalam Undang-Undang Praktek kedokteran
telah diatur tentang Hak dan Kewajiban Pasien
;
-
Hak dan kewajiban Pasien diatur dalam pasal 51
dan 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran.
-
Hak dan Kewajiban dokter
diatur dalam pasal 50 dan 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran.
III.
Unsur
Kelalaian Medik
Kelalian
bukanlah suatu pelanggaran atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Ini berdasarkan prinsip hukum “ De
minimis non curet lex “ yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele . Tetapi jika kelalaian
itu mengakibatkan kerugian materi mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang
lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat “ Culpa lata “ serius dan criminal. Tolok ukur culpa lata adalah ;
1. Bertetangan
dengan hukum
2. Akibatnya
dapat dibayangkan.
3. Akibatnya
dapat dihindaarkan.
4. Perbuatannya
dapat dipersalahkan.
Jadi malpraktek medik merupakan
kelalian yang berat dan pelayanan kedokteran dibawah standar.
Malpraktek Medik murni ( Criminal Malpractice ) sebenarnya tidak
banyak dijumpai ,misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya.
Atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa
indikasi medik , ( apedektomi, hesterektomi,
dsb ) , yang sebenarnya tidak perlu dilakukan , jadi semata-mata untuk
mengeruk keuntungan pribadi. Hal ini bisa terjadi karena dokter telah teribas
oleh materilaistik ,hendonistis , dan konsumtis. Sehingga malpraktek seperti
ini ada kemungkinan bisa terjadi
dikalangan kedokteran.
Dokter dikatakan melakukan malpraktek
jika :
1. Dokter
kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran.
2. Memberikan
pelayanan dibawah standar profesi ( non lege artis )
3. Melakukan
kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati.
4. Melakukan
tindakan medic yang bertentangan dengan hukum.
Bila dokter hanya melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia telah melakukan malpraktek etik.
Untuk dapat menungtut penggantian kerugian karena kelalaian , maka penggugat
harus membuktikan adanya empat unsusr :
1. Adanya
kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2. Dokter
telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim dipergunakan.
3. Penggugat
telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
4. Secara
factual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Kadang –kadang penggugat tidak perlu membuktikan
adanya kelalaian tergugat, Dalam hukum
terdapat suatu kaedah yang berbunyi “ Res Ipsa Loquitor “ yang berarti faktanya
telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal dirongga perut
pasien,sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka
dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
Kelalaian dalam arti perdata berbeda
dengan arti pidana ( criminal ) , kelalian menunjukan kepada adanya suatu sikap
yang sifatnya lebih serius , yaitu sikap yang sembarangan atau sikap tidak
hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang
lain terluka atau mati, sehingga harfus bertanggung jawab terhadap tuntutan
criminal oleh Negara.
Konsep kelalaian tersebut dalam
mengusahakan agar tuntutan kelalaian itu memenuhi standar keberhasilan menurut
Guwandi harus memenuhi empat unsur yang dikenal dengan 4 D.
1. Duty
to Use Due Care
Tidak ada kelalaian
jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada
hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan
hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter /perawat rumah sakit
itu harus sesuai dengan standard pelayanan medik agar pasien jangan sampai
menderita cedera karenanya. Adagium
Primum Non Nocere terutama harus ditaati . hubungan pasien –dokter /rumah sakit
sudah harus ada pada saat peristiwa itu terjadi.Timbulnya hubungan ini bahkan
juga dapat terjadi dari suatu pembicaraan petelepon.
Didalam kasus “
O’Neil vs Montefiori Hospital . Seorang dokter mengadakan pembicaraan telepon
dengan seorang pasien tentang kondisinya, Tanpa memrikasa lebih dahulu secara
fisk , dokter tersebut mngijinkan pasien itu pulang/keluar dari rumah sakit .
namun pasien itu pada malam harinya ternyata meninggal dunia .berpendapat bahwa
seorang dokter yang telah menerima seseorang sebagai pasien untuk dirawat dan
diobati , namun tanpa memrikasa lagi pasien nya , telah terbukti adanya
kewajiban sebagai mana terdapt pada unsur pertama : Duty of due care.
2. Diriliction
( breach of Duty )
Apabila sudah ada
kewajiban ( duty ) maka dokter /perawat rumah sakit harus bertindak sesuai
dengan standard profesi yang berlaku . Jika terdapat penyimpangan dari standar
tersebut maka ia dapat dipersalahkan.
Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli,
catatan –catatn pada rekam jejak medik , kesaksian perawat, dan bukti lain.
Apabila keslahan atau kelalaian itu demikian jelasnya ,sehingga tidak
diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakimdapat menerapakan doktrin Res ipsa
Loquitor. Tolok ukur yag dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter
yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.
3. Damage
( Injury )
Unsur ketiga untuk
penuntutan malpraktek “ cedera atau kerugian” yang diakaibatkan kepada pasien.
Walaupun seorang dokter /rumah sakit dituduh telah berlaku lalai , tetapi jika
tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian
( damage,injury,harm ) kepada pasien , maka ia tidak dapat dituntut
ganti kerugian. Istilah luka ( injury ) tidak saja dalam bentuk fisik , namun
kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yag hebat ( mental anguish
). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain.
4. Direct
Causation ( Proximate Cause )
Untuk berhasilnya
suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktek medik , maka harus ada hubungan
kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat / dokter dan kerugian (damage ) yang diderita oleh pasien
sebagai akibatnya. Hanya atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk
mengajukan tuntutan ganti kerugian, kecuali jika penyimpangannya sedemikian
tidak wajar sehingga smpai mencederai sipasien.
Contoh Kasus
1. Seorang
penderita gawat darurat disuatu rumah sakit dan ternyata memerlukan pembedahan
segera. Ternyata pembedahan tertunda-tunda ,sehingga penderita meninggal dunia
. Pelanggaran etik dan hukum kasus ini mengadung dua kesalahan ;
a. Jika
tertundanya pembedahan tersebut disebabkan kelalian doter maka sikap dokter
tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP 304 dan 306
lafal sumpah dokter saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita .
KODEKI Bab II pasal 10 seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat
sebagai suatu tugas kemanusiaan . KUHP Pasal 304 Barang siapa dengan sengaja
menyebabkan dan membiarkan seseorang dalam kesengsaraan , sedangkan ia wajib
member kehidupan , perawatan dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku
baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukum penjara
selama-lamanya dua tahundelapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500.
KUHP pasal 306 , jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian maka
bersalah dihukum dengan hukumnya penjara selama-lamanya 9 tahun .
b. Jika tertundanya pembedhan tersebut disebabkan
keluarga pendertita belum membayar uang panjar untuk rumah sakit maka rumah
sakit lah yang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306 , sedangkan dokter kena
pelanggaran KODEKI.
2. Seorang
dokter memberi cuti sakit berulang beberapa kali kepada seorang tahanan ,
padahal orang tersebut mampu menghadiri siding perkaranya. Dalam hal ini dokter
terkena pelanggaran KODEKI Bab I Pasal 7 dan KUHP pasal 267.
KODEKI Bab I Pasal 7 : seorang doter
hanya member keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarnya. Pasal
267 KUP : Dokter dengan sengaja member surat keterangan palsu tentang adanya
atau tidak adanya penyakit , kelemahan atau cacat , dihukum dengan hukuman
selama 4 tahun.
IV
EUTHANASIA
Ketika pasien dalam keadaan
merana dan sekarat yang
mengahadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan tak tersebuhkan , dalam situasi
demikian ,tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan
tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien yang
sudah tidak sadar. Keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang
penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sisnilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan ,atau mati secara baik ( mati enak ).
Namun hal ini menimbulkan delema
medic menruskan atau tindakan medic yang
memperpanjang kehidupan, apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang
telah mati otak atau mati batang otak ini.
Sementara sesuai dengan makin
meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan nasib sendiri ( self determination ) dibanyak Negara
mulai timbul gerakan dan penghargaan atas hak seseorang untuk mengakhiri
hidup. Dibeberapa Negara hak ini diakui
oleh pemerintah karena diatur dalam undang-undang.
Pengertian Euthanisia berasal dari
kata Yunani Euthanathos . Eu artinya baik ,tanpa penderitaan , sedang thanatos
artinya mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan
abaik tanpa penderitaan , atau mati
cepat tanpa derita.
Jenis-Jenis
Euthanasia
Ditinajau dari dari cara dilaksanakan
euthanasia dapat dibedaka
a. Ethanasia
pasif
b. Euthanisia
pasif
Euthania pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia .
Euthanisia aktif adalah perbuatan yang dilakaukan secara medic melalui
intervensi aktif
oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.
Euthanisa aktif ini dapat dibedakan menjadi dua :
a. Euthanisi
aktif langsung ( direct ) adalah
dilakukannya tindakan medic secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri
hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal
dengan istilah mercy killing.
b. Euthanisia
aktif tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan
tindakan medic untuk meringankan penderita pasien , namun mengetahui adanya
resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Ditnjau dari permintaan euthanasia dibedakan menjadi :
a. Euthanisia
Voluntair atau euthanasia sukarela (atas permintaan pasien ) adalah euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
b. Euthanisia
tidak atas permintaan adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah
tidak sadar , dan biasanya keluarga pasien yang meminta.
Euthanasia dihadang oleh pasal-pasal
pidana seperti , Pasal 334 , pasal 338 , 340 dan pasal 359 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana , karena dikatagorikan sebagai perbuatan pidana .
Lalu bagaimana menurut hukum syariat islam
? harap dibuat makalah oleh para mahasiswa yang mengikuti kuliah ini
BAB II
ASPEK
HUKUM KEDOKTERAN DAN MALPRAKTEK
A.
Hukum
Kedokteran
Berbicara mengenai kesehatan terdapat apa
yang dikenal dengan kesehatan masyarakat dan kesehatan individu, dengan
demikian terdapat dua bidang hukum dalam pengakajian kesehatan :
1. Hukum
kesehatan masyarakat ( public health law
) seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan , Peraturan menteri
Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan medic adalah
beberapa peraturan yang termasuk sebagai hukum kesehatan, kumpulan peraturan
ini disebut sebagai peraturan hukum kesehatan yang khusus.
2. Hukum
kesehatan individu , hukum kesehatan inilah yang sering disebut dengan hukum
kedokteran (medical law), seperti
diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Hukum kedokteran (bagia dari hukum
esehatan ) adalah kumpulanperatuan yang mengatur mengenai kesehatan individu
,dimana didalamnya termasuk pengaturan tentang hubungan rumah sakit dengan
dokter , rumah sakit dengan pasien dan doketer dengan pasien.
a.
Aspek
hukum hubungan pasien dan dokter.
Hubungan
dokter dan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan antara subjek hukum
dengan subjek hukum. Hukumantara subjek hukum dan subjek hukum diatur oleh
kaedah-kaedah hukum perdata.
Dilihat
dari hubungan hukum antara dokter dan pasien terdapat apa yang dikenal saling
sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksankan pengobatan bagi pasien
terbentuklah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis).
Perikatan
dapat bersumber dari undang-undang dan juga bersumber dari perjanjian , dalam
hukum perdata dikenal beberapa macam jenis perikatan diantaranya adalah
perikatan ikhtiar ( inspanning
verbintenis) dan perikatan hasil (resultaat
verbintenis ). Pada periktan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan
oleh dokter adalah upaya semaksimal mungkin.sedangkan perikatan hasil ,prestasi
yang harus diberikan oleh dokter berupa hasil tertentu.
Dasar
dari perikatan dokter dan pasien adalah perjanjian /kontrak disebut sebagai
perjanjian terapeutik. Dan bisa juga perikatan antara dokter dan pasien
terbentuk atas dasar undang-undang , yaitu terdapatnya kewajiban hukum dokter
untuk menolong orang yang memerlukan pertolongan medic.
Pada
perikatan berdasar perjanjian, apabila seorang pasien datang ketempat praktek
dokter dalam arti menerima penawaran jasa pelayanan kesehatan dari dokter ,
maka antara dokter dengan pasien ada hubungan hukum perjanjian/kontrak
terapeutik.
Pada
perikatan atas dasar undang-undang ,apabila seorang dokter melihat seorang
korban kecelakaan dan doketr tersebut membantu orang kecelakaan karena adanya
kewajiban hukum dokter untuk menolong orang yang mendapatkan kecelakaan.
Dikatakan antara dokter dan orang kecelakaan (pasien) , terbentuk perikatan
atas dasar undang-undang.
Pada
perjanjian kontrak , maka para pihak yaitu dokter dan pasien bebas (asas
kebebasan berkontrak )untuk menentukan isi perjanjian /kontrak yang mereka
sepakati bersama , dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang
,kepatutan,kepantasan dan ketertiban. Misalnya :
-
Pada perikatan ikhtiar
pada pelaksanaan perjanjian terapeutik
antara dokter dan pasien tidak menjanjikan kesembuhan dari pasien, tetapi
dokter berupaya semaksimal menyembuhkan pasien.
-
Pada perikatan hasil ,
dalam pelaksanaan nya dokter harus merelisasikan hasil tertentu, misalnya
antara dokter gigi dan pasiennya, maka yang dihasilkan adalah hasil tertentu .
Dokter bedah plastik harus memberikan hasil tertentu kepada pasiennya.
b.
Aspek
Hukum Hubungan Dokter dan Rumah sakit
Dokter
sebagai subjek hukum orang pribadi dengan rumah sakit sebagai subjek hukum
badan hukum. Hubungan yang terbentuk adalah dibagi menjadi dua macam :
-
Pertama terjadi hubungan
perburuhan ,yakni dokter bekerja sebagai karyawan dalam rumah sakit dan
menerima gaji dari rumah sakit. Terdapat hubungan perburuhan dan ada kedudukan
yang dinamakan kedudukan majikan (rumah sakit), dan buruh (dokter ). Disini
dokter dikenal sebagai “ dokter in “ dari rumah sakit. Hubunga
ini terdapat pula pada semua rumah sakit pemerintah dan sebagian kecil rumah
sakit swasta.
-
Kedua hubungan
kontraktual adalah hubungan yang
berdasarkan pada perjanjian/kontrak yang sering terjadi pada rumah sakit
swasta.dokter dan rumah sakit tidak terikat pada hubungan perburuhan . Dokter
berhak menggunakan fasilitas yang ada dirumah sakit menyediakan fasilitas bagi
dokter . Kedudukan dokter dalam rumah sakit semacam ini dikenal dengan sebutan
“dokter out “ dari rumah sakit.
Pada
hubungan perburuhan dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian , maka rumah
sakit dapat dimintakan pertanggung jawabanya. Pada hubungan perjanjian /kontrak
dalam hal dokter melakukan kesalahan/kelalaian , maka rumah sakit tidak dapat
dimintakan tanggung jawabnya.
c.
Aspek
Hukum Hubungan Pasien Dan Rumah Sakit.
Pasien sebagai penerima
jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan dalam bidang perawata kesehatan . terdapat hubungan yang ditur oleh
perjanjian /kontrak.
Rumah sakit berkewajiban
untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran/standar
perawatan kesehatan . Pada rumah sakit yang mempunyai “ dokter in “ maka rumah
sakit selain menawarkan jasa perawatan kesehatan juga jasa pelayanan kesehatan
“ dokter in “ . Pada rumah sakit yng tidak mempunyai “dokter in “ hanya “ dokter out “ , maka antara pasien dengan
rumah sakit terdapat sebuah perjanjian dan antara pasien dan dokter terdapat
sebuah perjanjian pula.
B.
Pengertian
Malpraktek
Istilah
malpraktek dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan “ praktek kedokteran
yang salah , tidak tepat ,menyalahi
undang-undang atau kode etik “. Kemudian kita akan dapati istilah dalam
kamus Inggris –Indonesia John M.
Echolas mengartikan malpractice atau malpraktek :
c. Salah
mengobati ,cara mengobati pasien yang salah
d. Tindakan
yang salah
Pengertian
tentang malpraketk dalam Dorland’s Medical dictionary adalah praktek yang tidak tepat atau yang menimbulkan masalah , tindakan medik
atau tindakan operatif yang salah ( improper or injurious practice inskillful
and faulty medical or surgical treatment
).
Stedman’s
Medical Dictionary – Malpraktek diartikan sebagai “ kesalahan penanganan pasien
karena ketidak tahuan ,ketidak hati-hatian ,kelalaian atau adanya niat jahat (
mistreatment of patient, trough ignorance ,carelessness, neglect, or criminal
intent )
Black
Law Dictionary mengartikan malpraktek
adalah setiap sikap tindak yang
salah ,kurang ketrampilan dalam ukuran yang tidak wajar. Pengertian ini umumnya digunakan terhadap
sikap tindak dari para dokter ,pengacara, dan akuntan.
Kegagalan
untuk memberikan pelayanan professional dan melakukannya pada tingkat
ketrampilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari profesinya di dalam
masyarakat ,sehingga mengakibatkan luka
,kehilangan, atau kerugian, pada penerima layanan yang mempercayai mereka
,termasuk didalamnya adalah sikap-sikap
profesi yang salah ,kurang ketrampilan yang tidak wajar , menyalahi kewajiban
profesi atau hukum
Dari
beberpa pengertian ini maka dapat disimpulkan ,adanya unsur hubungan hak dan kewajiban antara
dokter – pasien , hak dan
kewajiban tersebut telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. Dalam
undang-undang ini telah diatur pola hubungan dokter-pasien
C.
Pola
hubungan Pasien-Dokter
Hubungan
dokter-pasien umumnya tidak setara , Ada kesenjangan diantara keduanya dalam
berbagai aspek . Biasanya pasien berada dipihak yang lemah , yang oleh karena
itu ia perlu mendapat perlindungan .
Karena posisi dokter sebagai pihak yang lebih kuat dalam berbagai hal ,
maka dokter perlu diberi rambu-rambu agar ia tidak tergoda untuk melakukan
tindakan yang merugikan dan menguntungkan diri sendiri . Perlindungan bagi
pasien dan rambu-rambu bagi dokter
diperlukan untuk dibina dan ditegakan sesuai dengan :
e. Hati
nurani dan moral
f. Etika
medis
g. Disiplin
profesi
h. Hukum
Pemahaman
yang perlu dijaga dalam tataran hati nurani etika dan disiplin profesi
kedokteran sebenarnya sudah dicetuskan oleh Hipocrates ( 460-377 SM ) yang dikenal sebagai bapak ilmu kedokteran jauh sebelum ilmu kedokteran mencapai
puncaknya dewasa ini , asas etik inilah yang sampai sekarang menjadi sumber
filofis kedokteran “ KESEHATAN PENDERITA AKAN SAYA UTAMAKAN
“ ( The helath of my patient will be
first consideration )
Lafal
sumpah hipocrates ini kemudian diakomodir dalam lafal-lafal sumpah
kedokteran seperti lafal sumpah
deklarasi Genewa 1948 yang disetujui oleh General Assembley WMA dan kemudian
diamander Sydney 1968 .
Dasar
–dasar sumpah tersebut kemudian telah dijabarkan menjadi 6 asas etik yang
bersifat universal , yang juga tidak akan berubah dalam etik kedokteran yaitu :
7. Asas Menghormati otonomi pasien ( principle of respect to the patient’s autonomy
) Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh
dokter serta memutuskan apa yang terbaik
bagi dirinya sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup .
pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya,dan tidak boleh dipksa.
Untuk itu perlu adanya informed concent.
8. Asas
Kejujuran ( principle of veracity )
Dokter hendaknya mengatakan hal yang
sebenarnya secara jujur akan apa yang terjadi ,apa yang akan dilakukan, serta
akibat/resiko yang dapat terjadi . Informasi yang diberikan hendaknya
disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Selain jujur kepada pasien ,
dokter juga harus jujur kepada diri sendiri.
9. Asas
Tidak Merugikan ( principle of non maleficence )
Doketer berpedoman primum non nocere
( first of all do no harm ) tidak melakukan tindakan yang tidak perlu, dan
mengutamakan tindakan yang tidak merugikan pasien, serta mengupayakan resiko
fisik, resiko psokologis, maupun resiko sosisla akibat tindakan tsb seminimal
mungkin.
10. Asas
Manfaat ( principle of beneficence )
Semua tindakan dokter yang dilakukan
terhadap pasien harus bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau
memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana
perawatan/tindakan berdasarkan pada pengetahuan yang sohih dan dapat berlaku
secara umum. Kesejahteraan pasien perlu mendapat perhatian yang utama . resiko
yang mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin, sementara manfaatnya
harus semaksimal mungkin bagi pasien.
11. Asas
Kerahasiaan ( principle of confidentiality )
Dokter harus menghormati kerahasian
pasien meskioun pasien tersebut sudah meninggal dunia
12. Asas
Keadilan ( principle of Justice )
Doketr harus berlaku adil tidak
memandang kedudukan atau kepangkatan, tidak memandang kekayaan dan tidak berat
sebelah dalam merawat pasien.
Dari asas etik tersebut kemudian disusun peraturan kode
etik kedokteran yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil
keputusan etik dalam melakukan tugas
profesinya sebagai seorang dokter. Kemudian kode etik ini disamping sebagai etika profesi hubungan dengan pasien, dokter juga diberikan
rambu-rambu hukum yang merupkan kaedah norma yang mengatur parktek kedokteran
dibawah pengawasan norma hukum agar ketertiban di masyarakat tentang hubungan
masyarakat dan profesi kedokteran yang bersifat kontraktual tidak saling
menimbulkan kerugian. Untuk itulah maka dalam Undang-Undang Praktek kedokteran
telah diatur tentang Hak dan Kewajiban Pasien
;
-
Hak dan kewajiban Pasien diatur dalam pasal 51
dan 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran.
-
Hak dan Kewajiban dokter
diatur dalam pasal 50 dan 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran.
D.
Unsur
Kelalaian Medik
Kelalian
bukanlah suatu pelanggaran atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Ini berdasarkan prinsip hukum “ De
minimis non curet lex “ yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele . Tetapi jika kelalaian
itu mengakibatkan kerugian materi mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang
lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat “ Culpa lata “ serius dan criminal. Tolok ukur culpa lata adalah ;
5. Bertetangan
dengan hukum
6. Akibatnya
dapat dibayangkan.
7. Akibatnya
dapat dihindaarkan.
8. Perbuatannya
dapat dipersalahkan.
Jadi malpraktek medik merupakan
kelalian yang berat dan pelayanan kedokteran dibawah standar.
Malpraktek Medik murni ( Criminal Malpractice ) sebenarnya tidak
banyak dijumpai ,misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya.
Atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa
indikasi medik , ( apedektomi, hesterektomi,
dsb ) , yang sebenarnya tidak perlu dilakukan , jadi semata-mata untuk
mengeruk keuntungan pribadi. Hal ini bisa terjadi karena dokter telah teribas
oleh materilaistik ,hendonistis , dan konsumtis. Sehingga malpraktek seperti
ini ada kemungkinan bisa terjadi
dikalangan kedokteran.
Dokter dikatakan melakukan malpraktek
jika :
5. Dokter
kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran.
6. Memberikan
pelayanan dibawah standar profesi ( non lege artis )
7. Melakukan
kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati.
8. Melakukan
tindakan medic yang bertentangan dengan hukum.
Bila dokter hanya melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia telah melakukan malpraktek
etik. Untuk dapat menungtut penggantian kerugian karena kelalaian , maka
penggugat harus membuktikan adanya empat unsusr :
5. Adanya
kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
6. Dokter
telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim dipergunakan.
7. Penggugat
telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
8. Secara
factual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Kadang –kadang penggugat tidak perlu
membuktikan adanya kelalaian tergugat,
Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi “ Res Ipsa Loquitor “ yang
berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal
dirongga perut pasien,sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal
ini maka dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
Kelalaian dalam arti perdata berbeda
dengan arti pidana ( criminal ) , kelalian menunjukan kepada adanya suatu sikap
yang sifatnya lebih serius , yaitu sikap yang sembarangan atau sikap tidak
hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang
lain terluka atau mati, sehingga harfus bertanggung jawab terhadap tuntutan
criminal oleh Negara.
Konsep kelalaian tersebut dalam
mengusahakan agar tuntutan kelalaian itu memenuhi standar keberhasilan menurut
Guwandi harus memenuhi empat unsur yang dikenal dengan 4 D.
5. Duty
to Use Due Care
Tidak ada kelalaian
jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada
hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan
hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter /perawat rumah sakit
itu harus sesuai dengan standard pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita
cedera karenanya. Adagium Primum Non
Nocere terutama harus ditaati . hubungan pasien –dokter /rumah sakit sudah
harus ada pada saat peristiwa itu terjadi.Timbulnya hubungan ini bahkan juga
dapat terjadi dari suatu pembicaraan petelepon.
Didalam kasus “
O’Neil vs Montefiori Hospital . Seorang dokter mengadakan pembicaraan telepon
dengan seorang pasien tentang kondisinya, Tanpa memrikasa lebih dahulu secara
fisk , dokter tersebut mngijinkan pasien itu pulang/keluar dari rumah sakit .
namun pasien itu pada malam harinya ternyata meninggal dunia .berpendapat bahwa
seorang dokter yang telah menerima seseorang sebagai pasien untuk dirawat dan
diobati , namun tanpa memrikasa lagi pasien nya , telah terbukti adanya
kewajiban sebagai mana terdapt pada unsur pertama : Duty of due care.
6. Diriliction
( breach of Duty )
Apabila sudah ada
kewajiban ( duty ) maka dokter /perawat rumah sakit harus bertindak sesuai
dengan standard profesi yang berlaku . Jika terdapat penyimpangan dari standar
tersebut maka ia dapat dipersalahkan.
Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli,
catatan –catatn pada rekam jejak medik , kesaksian perawat, dan bukti lain.
Apabila keslahan atau kelalaian itu demikian jelasnya ,sehingga tidak
diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakimdapat menerapakan doktrin Res ipsa
Loquitor. Tolok ukur yag dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter
yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.
7. Damage
( Injury )
Unsur ketiga untuk
penuntutan malpraktek “ cedera atau kerugian” yang diakaibatkan kepada pasien.
Walaupun seorang dokter /rumah sakit dituduh telah berlaku lalai , tetapi jika
tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian
( damage,injury,harm ) kepada pasien , maka ia tidak dapat dituntut
ganti kerugian. Istilah luka ( injury ) tidak saja dalam bentuk fisik , namun
kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yag hebat ( mental anguish
). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain.
8. Direct
Causation ( Proximate Cause )
Untuk berhasilnya
suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktek medik , maka harus ada hubungan
kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat / dokter dan kerugian (damage ) yang diderita oleh pasien
sebagai akibatnya. Hanya atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk
mengajukan tuntutan ganti kerugian, kecuali jika penyimpangannya sedemikian
tidak wajar sehingga smpai mencederai sipasien.
Contoh Kasus
3. Seorang
penderita gawat darurat disuatu rumah sakit dan ternyata memerlukan pembedahan
segera. Ternyata pembedahan tertunda-tunda ,sehingga penderita meninggal dunia
. Pelanggaran etik dan hukum kasus ini mengadung dua kesalahan ;
c. Jika
tertundanya pembedahan tersebut disebabkan kelalian doter maka sikap dokter
tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP 304 dan 306
lafal sumpah dokter saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita .
KODEKI Bab II pasal 10 seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat
sebagai suatu tugas kemanusiaan . KUHP Pasal 304 Barang siapa dengan sengaja
menyebabkan dan membiarkan seseorang dalam kesengsaraan , sedangkan ia wajib
member kehidupan , perawatan dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku
baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya
dua tahundelapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500. KUHP pasal 306 ,
jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian maka bersalah dihukum
dengan hukumnya penjara selama-lamanya 9 tahun .
d. Jika tertundanya pembedhan tersebut disebabkan
keluarga pendertita belum membayar uang panjar untuk rumah sakit maka rumah
sakit lah yang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306 , sedangkan dokter kena
pelanggaran KODEKI.
4. Seorang
dokter memberi cuti sakit berulang beberapa kali kepada seorang tahanan ,
padahal orang tersebut mampu menghadiri siding perkaranya. Dalam hal ini dokter
terkena pelanggaran KODEKI Bab I Pasal 7 dan KUHP pasal 267.
KODEKI Bab I Pasal 7 : seorang doter
hanya member keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarnya. Pasal
267 KUP : Dokter dengan sengaja member surat keterangan palsu tentang adanya
atau tidak adanya penyakit , kelemahan atau cacat , dihukum dengan hukuman
selama 4 tahun.
E.
EUTHANASIA
Ketika pasien dalam keadaan
merana dan sekarat yang
mengahadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan tak tersebuhkan , dalam
situasi demikian ,tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan
ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien
yang sudah tidak sadar. Keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien
yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sisnilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan ,atau mati secara baik ( mati enak ).
Namun hal ini menimbulkan delema
medic menruskan atau tindakan medic yang
memperpanjang kehidupan, apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang
telah mati otak atau mati batang otak ini.
Sementara sesuai dengan makin
meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan nasib sendiri ( self determination ) dibanyak Negara
mulai timbul gerakan dan penghargaan atas hak seseorang untuk mengakhiri hidup. Dibeberapa Negara hak ini diakui oleh
pemerintah karena diatur dalam undang-undang.
Pengertian Euthanisia berasal dari
kata Yunani Euthanathos . Eu artinya baik ,tanpa penderitaan , sedang thanatos
artinya mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan
abaik tanpa penderitaan , atau mati
cepat tanpa derita.
1.
Jenis-Jenis
Euthanasia
Ditinajau dari dari cara dilaksanakan
euthanasia dapat dibedaka
c. Euthanisia
pasif .
euthania pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan
atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia .
d. Euthanisia aktif . euthanasia aktif adalah
perbuatan yang dilakaukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang
dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Euthanisa aktif ini dapat
dibedakan menjadi dua
-
Euthanisi aktif
langsung ( direct ) adalah dilakukannya
tindakan medic secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien,
atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal dengan istilah
mercy killing.
-
Euthanisia aktif tidak
langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medic
untuk meringankan penderita pasien , namun mengetahui adanya resiko tersebut
dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
2. Ditnjau dari permintaan
euthanasia
dibedakan
menjadi :
c. Euthanisia
Voluntair atau euthanasia sukarela
(atas permintaan pasien ) adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
d. Euthanisia
tidak atas permintaan adalah euthanasia yang dilakukan pada Pasien yang sudah
tidak sadar , dan biasanya keluarga pasien yang meminta.
Euthanasia dihadang oleh pasal-pasal pidana seperti , Pasal 334 , pasal
338 , 340 dan pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , karena dikatagorikan
sebagai perbuatan pidana .
BAB III
MALPRAKTEK DAN KELALAIAN
MEDIK
A.
Perbedaan
Malpraktik Medik dengan Kelalaian Medik
1. Terminologi Malprektek
Medik.
Terminologi malpraktik medik (malpractice medic) dan kelalaian medik (negligence) merupakan dua hal yang
berbeda. Kelalaian medik memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi di dalam
malpraktik medik tidak hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga karena adanya
kesengajaan. Jika dilihat dari definisi di atas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang
lebih luas daripada negligence karena
selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan
yang dilakukan dengan sengaja (intentional,
dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan
tersirat ada motif (mens rea, guilty mind), sedangkan arti negligence lebih berintikan
ketidaksengajaan (culpa), kurang
teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan
orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannnya. Harus
diakui bahwa kasus malpraktik murni yang berintikan kesengajaan (criminal malpractice), dan yang sampai
terungkap ke pengadilan memang tidak banyak. Demikian pula di luar negeri yang
tuntutannya pada umumnya bersifat perdata atau pengganti kerugian. Namun
perbedaannya tetap ada. Oleh karena itu, malpraktik dalam arti luas dapat
dibedakan dari tindakan yang dilakukan :
2.
Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen,
intentional) yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau
malpraktik dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa
indikasi medik, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medik yang
isinya tidak benar, dan sebagainya.
3.
Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena
kelalaian, misalnya menelantarkan, pengobatan pasien karena lupa atau
sembarangan, sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal.
1.
Perbedaaannya
Perbedaan yang lebih jelas kalau kita
melihat motif yang dilakukan, yaitu:
1.
Pada malpraktik (dalam
arti ada kesengajaan): tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari
tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang ditimbulkan atau tidak peduli
terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa
tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.
2.
Pada
kelalaian, tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang
terjadi.
Akibat
yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar
kemampuannya
Mengacu pada rumusan-rumusan yang
dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai malpraktik medik, yaitu
bahwa yang dimaksud malpraktik medik adalah kesalahan baik sengaja maupun
tidak dengan disengaja (lalai) dalam
menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik (SPM)
dan standar prosedur operasional (SPO) dan berakibat buruk/fatal dan atau
mengakibatkan kerugian lainnya pada pasien, yang mengharuskan dokter
bertanggung jawab secara administrratif dan atau secara perdata dan atau secara
pidana.
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 29
tahun 2004 tentang praktik kedokteran disebutkan bahwa standar profesi medik
adalah batasan kemampuan minimal yang harus dikuasai seorang dokter yuntuk
dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang
disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia. Sedangkan standar prosedur operasional
adalah suatu perangkat instruktif tentang langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional
disusun oleh institusi tempat dokter bekerja (rumah sakit, puskesmas, dan
lain-lain).
3.
Tindakan
Medik
Tindakan medik adalah tindakan
profesional oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan,
memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengurangi penderitaan. Meski memang
harus dilakukan, tetapi tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa
tidak menyenangkan. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang seharusnya hanya
boleh dilakukan oleh para tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan terutama
bagi para pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah
keputusan etik karena dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain, yang
umumnya memerlukan pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan
atas beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat,
yaitu bahwa keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi
dan kondisi saat itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan menurut Budi Sampurno,
dalam melakukan tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang
dokter harus:
1.
Mempertimbangkan
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, dan pasien.
2.
Mempertimbangkan etika,
prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan khusus pada kasus klinis yang
dihadapi.
Secara
material, menurut Danny Wiradharma, suatu tindakan medik tidak bertentangan
dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Mempunyai indikasi medik,
untuk mencapai suatu tujuan yang kongkret.
2.
Dilakukan menurut
aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran
3.
Sudah mendapat
persetujuan dari pasien.
Syarat 1 dan 2 juga disebut sebagai
bertindak secara lege artis. Secara
yuridis sering dipermasalahkan apakah suatu tindakan medik dapat dimasukkan
dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi, dengan dipenuhinya ketiga syarat
tersebut di atas, maka kemudian menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis
mengenai tindakan medik tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja,
melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum administratif.
Hubungan keperdataan timbul karena
adanya suatu perjanjian antara dokter dengan pasien untuk memberikan
pertolongan, dan dalam perjanjian tersebut diikatkan beberapa persyaratan, dan
apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka
terhadap pihak yang tidak memenuhi persyartan tadi dapat diajukan gugatan.
Lazimnya persyartan dalam hubungan perjanjian antara pasien-dokter tidak secara
eksplisit dituangkan dalam perumusan persyartan perjanjian, namun dianggap
telah terkandung di dalamnya sesuai dengan etik yang mengikuti dokter dalam
menjalankan profesi jabatannya. Dalam hubungan tersebut pengertian informasi
pasioen merupakan suatu bentuk umum penerangan kepada pasien pada umumnya.55
Dalam hukum perdata, tindakan medik yang dilakukan dokter merupakan pelaksanaan
perikatan yang dibuat antara dokter dengan pasien yang pada hakikatnya
merupakan perikatan (transaksi tera-peutik), serta hubungan karena
undang-undang (zaakwarneming).56
Dalam hukum administratif yang
berkaitan dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medik adalah
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan dkoter Gigi Pasal 1 ayat (1), yang
menyebutkan bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian tindakan yang dilakukan
oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan.57
Guwandi menyebutkan bahwa seorang
dokter dalam melakukan tindakan medic haruslah berdasarkan empat hal, yaitu:58
1.
Adanya indikasi medik;Betindak
secara hati-hati;
2.
Bekerja berdasarkan
standar profesi medis dan prosedur operasional;
3.
Ada Persetujuan Tindakan
Medik (Informed Consent).
Syarifuddin Wahid menyebutkan empat
hal yang harus dilakukan dokter untuk menghindarkan timbulnya sengketa medik
dengan pasien:
1. Dokter
harus memahami apa yang legal dan apa yang tidak legal untuk dilakukan dokter
berkaitan dengan pekerjaan/profesi dokter;
2. Dokter
harus memahami risiko-risiko hukum yang ada terkait dengan profesi dokter;
3. Melaksanakan
semua aturan administrasi berkaitan dengan praktik dokter;
4. Melindungi
profesi dari kemungkinan-kemungkinan adanya permasalahan dari segi hukum.
Pasal
35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 29 tahun 2004 mengatur tentang wewenang
dan kompetensi dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokterannya:
1. Dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang
melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang
dimiliki, yang terdiri atas:
a.
mewawancarai pasien;
b.
memeriksa fisik dan mental pasien;
c.
menentukan pemeriksaan penunjang;
d.
menegakkan diagnosis;
e.
menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f.
melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g.
menulis resep obat dan alat kesehatan;
h.
menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i.
menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j.
meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah
terpencil yang tidak ada apotek.
2. Selain
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia
5.4
Risiko Medik (Untoward Result)
Untuk
setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi.
Satu-satunya jalan menghindari risiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali.
Kalimat di atas merupakan salah satuungkapan yang perlu kita renungkan, bahwa
di dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari ketidaksengajaan atau
kesalahan yang tidak dikehendaki di dalam menjalankan profesi atau
pekerjaannya. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak
diharapkan, seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan bertindak
hati-hati agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi.
Suatu hasil yang tidak diharapkan
terjadi di dalam praktik kedokteran sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa
kemungkinan, yaitu :
1.
Hasil dari suatu perjalan
penyakit atau komplikasi penyakit yang tidak ada hubungannya dengan tindakan
medik yang dilakukan dokter.
2.
Hasil dari suatu risiko
yang tak dapat dihindari, yaitu:
a. Risiko
yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable).
Risiko seperti ini dimungkinkan di dalam ilmu kedokteran oleh karena sifat ilmu
yang empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi serta rentan
terhadap pengaruh eksternal. Sebgai contoh adalah syok anafilatik.
b. Risiko
yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable)
tetapi dianggap dapat diterima (acceptable),
dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui oleh pasien untuk
dilakukan, yaitu:
1)
Risiko yang derajat
probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan,
atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan, dan infeksi
pada pembedahan, dan lain-lain.
2)
Risiko yang derajat
probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila
tindakan medik yang beresiko tersebut harus dilakukan karena merupakan
satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan
gawat darurat.
Di Indonesia, pengertian risiko medik
dirumuskan secara eksplisit dalam perundang-undangan yang ada. Namun secara tersirat,
risiko medik disebutkan dalam beberapa pernyataan berikut :
1.
Informed
Consent, atau sering disebut sebagai Persetujuan
Tindakan Medik, adalah suatu dokumen tertulis yang ditandatangani oleh pasien,
yang menzinkan suatu tindakan tertentu pada dirinya. Persetujuan Tindakan Medik
baru mempunyai arti hukum bila ditandatangani sesudah pasien mendapat informasi
lengkap mengenai tindakan yang akan dikerjakan.61
Dokumen
ini selain dimaksudkan sebagai alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri
pada pasien, juga dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak atas
integritas pribadi pasien termaksud. Salah satu cara yang dilakukan untuk
melindungi kepentingan dokter dari tuntutan pasien, di dalam Informed Consent tersebut dicantumkan bahwa dokter
tidak akan dituntut di kemudian hari.
Syarat
yang dimaksud antara lain menyatakan bahwa pasien menyadari sepenuhnya atas
segala resiko tindakan medik yang akan dilakukan dokter, dan jika dalam
tindakan medik itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka pasien tidak
akan melakukan tuntutan apapun ke pengadilan di kemudian hari. Selain itu untuk
memenuhi kewajiban memberikan informasi, maka dicantumkan pula pernyataan dari
dokter yang menyatakan bahwa telah dijelaskan sifat, tujuan, serta kemungkinan
(risiko) akibat yang ditimbulkan dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan
keluarganya. Dengan demikian, dokter yang bersangkutan juga menandatangani
formulir Persetujuan Tindakan Medik termaksud. Jika pasien menolak dilakukannya
suatu tindakan medic tertentu, maka pasien dan/atau keluarganya diwajibkan
untuk mengisi Surat Pernyataan Penolakan.
2.
Pasal 45 ayat (1), (2),
(3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 nTentang Praktik
Kedokteran:
a. Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
b. Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
c. Penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
1) diagnosis
dan tata cara tindakan medis;
2) tujuan
tindakan medis yang dilakukan;
3) alternatif
tindakan lain dan risikonya;
4) risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5) prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan.
d. Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
e. Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
3.
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tanteng Persetujuan
Tindakan Medik:
a. Pasal
2 ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang
bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.
b. Pasal
3 ayat (1): Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan
persetujuan.
c. Pasal
7 ayat (2): Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya dapat
dilakukan untuk meyelamatkan jiwa pasien.
4.
Pernyataan Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) tentang Informed
Consent
PB
IDI dalam Surat Keputusannya No. 319/PB/A.4/88 butir (3) menyebutkan : “Setiap
tindakan medik yang mengandung risiko cukup besar mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien
itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medic yang
bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya (informed consent).”
Anny
Isfadyarie menyebutkan beberapoa hal yang berkaitan dengan risiko medik, yaitu:63
1.
Bahwa dalam tindakan
medik selalu ada kemungkinan (risiko) yang dapat terjadi yang mungkin tidak
sesuai dengan harapan pasien. Ketidakmengertian pasien terhadap risiko yang
dihadapinya dapat menyebabkan diajukanya tuntutan ke poengadilan oleh pasien
tersebut.
2.
Bahwa dalam tindakan
medik ada tindakan yang menganduing risiko tinggi.
3.
Bahwa risiko tinggi
tersebut berkaitan dengan keselamatan jiwa pasien.
World Medical Association Statement
on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari 44th World Medical
Assembly Marbela – Spain, September 1992, yang dikutip oleh Herkutanto,
menyebutkan bahwa risiko medik atau yang lazim disebut sebagai untoward result adalah “suatu kejadian
luka/risiko yang terjadi sebagai akibat dari tindakan medik yang oleh karena
suatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan bukan akibat dari
ketidakmampuan atau ketidaktahuan, untuk hal ini secara hukum dokter tidak
dapat dimintai pertanggung-jawabannya” (An
injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen
and was not the result of any lack of skill or knowledge on the part of the
treating physician is an untoward result, for which the physician should not
bear any liability). Setiap tindakan medik selalu mengandung risiko, sekcil
apapun tindakannya tetap saja dapat menimbulkan risiko yang besar, sehingga
pasien menderita kerugian/celaka. Dalam hal terjadi risiko, baik yang dapat
diprediksi maupun yang tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat
dimintakan pertanggung-jawabannya.
Dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau asumpsion of risk. Maksud adagium
tersebut adalah apabila seseorang menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya
(risiko) yang sudah ia ketahui, maka ia dapat menuntut pertanggungjawaban pada
orang lain apabila risiko itu benar-benar terjadi. Tidak dapat menuntut
pertanggungjawaban seseorang karenm rterjadi bukan karena kesalahan (schuld) baik sengaja maupun kelalaian.
Apabila risiko muncul pada saat pelayanan medis, maka pasien tidak dapat
menuntut pertanggungjawaban pidana pada seorang tenaga medik.
BAB
V
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA MALPRAKTIK MEDIK
1 Pembuktian Menurut
Hukum Pidana
Dalam ruang lingkup hukum pidana, suatu
perbuatan dikatakan perbuatan pidana apabila memenuhi semua unsur yang telah
ditentukan secara limitatif dalam suatu aturan perundang-undangan pidana. Hal
ini sesuai dengan Pasal 1 ayat(1) KUHP yang menyebutkan bahwa tiada suatu
perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan, nullum delictum noella poena sine previa
lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
Pasal 1 ayat (1) KUHP ini dikenal dengan
asas legalitas. Kata kecuali dalam
pasal 1ayat (1) KUHP ini mengandung pembatasan terhadap perbuatan pidana. Tidak
setiap perbuatan dapat dikriminalkan walaupun secara etik mungkin bertentangan
dengan moral kemasyarakatan atau bertentangan dengan hukum kebiasaan suatu
masyarakat.
Pada criminal
malpractice, pembuktian didasarkan pada terpenuhi tidaknya semua unsur
pidana karena tergantung dari jenis criminal
malpractice yang didakwakan. Criminal
malpractice delik umum, pembuktiannya pun tunduk pada hukum acara pidana
yang berlaku, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Dalam pasal
184 KUHAP disebutkan tentang alat bukti
yang dapat digunakan untuk membuktikan perbuatan pidana, yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Perbuatan dikatakan
terbukti sebagai perbuatan pidana apabila berdasarkan minimal dua alat bukti
tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan
perbuatan pidana. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan dikatakan perbuatan hukum
pidana apabila semua unsure pidananya terpenuhi.
Malpraktik medik dapat masuk ke ranah
hukum pidana apabila memenuhi syarat-syarta dalam 3 aspek, yaitu:
1. syarat
sikap batin dokter;
2. syarat
dalam perlakuan medis, dan
3. syarat
mengenai hal akibat.
Pada dasarnya syarat
dalam sikap batin adalah syarat sengaja atau culpa, yaitu wujud perbuatan dalam melakukan tindakan medik, syarat
perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang, dan syarat akibat
adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien.
Semua perbuatan dalam pelayanan medik dapat mengalami kesalahan (sengaja atau
lalai) yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik medik, apabila dilakukan
secara menyimpang. Dapat diartikan bahwa umumnya menimbulkan malpraktik dan
tidak selalu berakibat terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum.
Alsannya, karena untuk terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum, selain
perbuatan-perbuatan dalam perlakuan medik tersebut menyimpang, masih ada syarat
sikap batin akibat yang tidak mudah dipahami dan diterapkan. Bahkan kasus
kongkret tertentu menunjukkan perbuatan yang ternyata salah kadangkala bisa
dibenarkan dengan alasan tertentu. Hal itu berarti untuk kasus kongkret
tertentu kadang diperlukan syarat lain, misalnya kepatutan dan pembenaran dari
sudut logika umum. Misalnya, salah dalam membuat diagnosis, tetapi perbuatan
itu dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenar, misalnya fakta-fakta medis
yang ada (hasil pemeriksaan standar) dari sudut kepatutan dibenarkan untuk
menarik kesimpulan diagnosis.
2 Dasar Pemidanaan
malpraktik Medik
Sebelum
menguraikan dasar pemidanaan atas terjadinya malpraktik medik, perlu kiranya
diingatkan kembali bahwa penggunaan terminologi malpraktik medik di sini adalah
malpraktik medik dalam arti luas, tidak sebatas pada kelalaian atau kelalaian
medik. Jadi, termasuk pula malpraktik yang terjadi karena adanya kesengajaan
(delik dolus/opzet).
Undang-undang
(KUHP) tidak membuat pengertian tentang sengaja (dolus/opzet), tetapi pengertian sengaja dapat ditemukan dalam
Memorie van Toelichting (MvT), bahwa untuk adanya kesengajaan harus memuat willens (kehendak) dan wetens (mengetahui). Remmelink67
mengatakan, berkenaan dengan substansi, harus dikaitkan dengan perbuatan
(tindakan) terhadap mana kehendak tertuju dan akibat serta situasi yang
melingkupinya sudah dibayangkan sebelumnya. Dalam dolus (sengaja), sebab itu mengandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan) atau volontie et connaissance. Tindakan
dengan sengaja selalu willens (dikehendaki)
dan wetens (disadari atau diketahui).
Namun, dalam praktik peradilan pada delik materiil seperti pembunuhan, unsur
mengetahui (wetens) tidak diharuskan
ada, tetapi cukup
diartikan
dapat mengetahui, misalnya
sebagaimana tercantum dalam arrest Hoge Raad tanggal 29 Juli 1907 mengenai
penerapan Pasal 348 ayat (1) KUHP, yang dikenal sebagai abortus-arrest. Dalam
memori kasasinya terhukum mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah janin
dalam kandungan itu pada waktu ia gugurkan berada dalam keadaan hidup atau
mati, sedang pengadilan pun tidak pernah menyatakan tentang terbuktinya
pengetahuan terhukum mengenai masalah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut,
Lamintang menyimpulkan bahwa dalam Memorie
van Toelichting, dolus (opzet) itu juga diartikan sebagai willens en wetens, maka di dalam
peradilan, seperti tercermin dari arrest-arrest
Hoge Raad, perkataan willens atau
menghendaki itu diartikan sebagai kehendak untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu dan wetens atau mengetahui itu diartikan sebagai mengetahui atau dapat
mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat sebagaimana yang
dikehendaki.
dalam konteks pemahaman tersebut, maka ada
tiga undang-undang yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik medik:
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang
No.23 tahun 1992 Tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang
No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal-pasal dalam KUHP yang relevan dengan
tanggung jawab pidana yang berhubungan dengan malpraktik medic adalah Pasal
267, 299, 322, 344, 346, 347, 348, 349, 351, 359, 360 dan 361 KUHP.
b.
Pemalsuan
Surat Keterangan Dokter
Pasal 267 KUHP adalah pasal yang khusus
dikenakan bagi dokter, yang menyebutkan bahwa:
1. Seorang
dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau
tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
2. Jika
keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah
sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan
tahun enam bulan.
3. Diancam dengan
pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran.
Dalam praktik sehari-hari, adakalanya
surat keterangan dokter tersebut diisi oleh perawat yang melaksanakan perintah
dokter, tetapi yang menandatangani surat keterangan tersebut adalah dokter.
Bila perawat yang mengisi surat keterangan dokter tersebut tidak mengetahui
tentang ketidak-benaran isi dari surat tersebut, maka perawat tidak ikut
bertanggungjawab. Tetapi bila perawat mengetahui bahwa isi surat keterangan
tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan, maka terhadap perawat
juga dapat dikenakan sanksi sebagai pelaku yang turut serta sebagaimana diatur
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Agar rumusan dalam pasal 267 KUHP ini
bisa dikenakan pada dokter, unsur sengaja harus terpenuhi, karena bisa saja
terjadi kesalahan dalam penerbitan surat keterangan itu. Misalnya dari hasil
pemeriksaan yang dilakukan, dokter tidak menemukan kelainan pada tubuh pasien,
sehingga ia memberikan surat keterangan sehat yang diminta oleh pasien.
Ternyata sebenarnya pasien menderita hemofilia yang tidak diketahui oleh dokter
tersebut. dalam keadaan semacam ini, tindakan dokter memberikan surat
keterangan yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran tidak dapat dipersalahkan,
karena ia tidak sengaja melakukannya.
Untuk dapat dinyatakan bahwa
perbuatan dokter merupakan kesengajaan harus dibuktikan bahwa palsunya
keterangan dalam surat merupakan perbuatan yang dikehendaki, disadari, dan
dituju oleh dokter tersebut. Dengan perkataan lain, dokter memang menghendaki
perbuatan membuat palsu dan atau memalsu surat dan mengetahui bahwa keterangan
yang diberikan dalam surat itu adalah bertentangan dengan yang sebenarnya. 69
c.
memberikan
harapan Pengguguran Kehamilan
Dalam hal memberikan harapan pengguguran
kehamilan kepada seorang wanita hamil, Pasal 299 KUHP menyebutkan bahwa:
1. Barang siapa
dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan
atau ditimbulkan harapan bahwakarena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empatpuluh lima ribu rupiah.
2. Jika yang
bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian
atau kebiasaan, atau jika dia seorang
69 Anny
Isfandyarie, 2006.op.cit. hlm 126.
tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat
ditambah sepertiga
3. Jika yang
bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankanpencariannya, dapat dicabut haknya untuk melakukan
pencarian itu.
Sebagai
contoh kasus, misalnya seorang pasien wanita datang kepada dokter dengan
pernyataan bahwa wanita tersebut hamil, dan meminta kepada dokter untuk
memberikan obat agar kehamilannya tidak berlanjut. Dokter kemudian memberikan
resep dengan keterangan bahwa setelah obat yang tertulis di dalam resep
tersebut habis, kehamilan wanita tersebut akan segera berakhir. Walaupun resep
tersebut belum dibelikan oleh pasien dan belum sempat diminum, perbuatan dokter
yang menimbulkan harapan pada pasien bahwa karena obat tersebut hamilnya dapat
digugurkan, akan dapat dituntut dengan Pasal 299 KUHP ini. Dengan demikian
berdasar Pasal 299 ayat (2) dan ayat (3) KUHP, dokter yang bersangkutan dapat
terkena ancaman pidana selama-lamanya 4 (empat) tahun ditambah sepertiga,
shingga menjadi 5 (lima) tahun em,pat bulan dan dapat pula ditambah dengan
pencabutan hak melakukan pekerjaan sebagai dokter.70
d.
Rahasia
Kedokteran
Berkaitan
dengan rahasia kedokteran, Pasal 322 KUHP menyebutkan:
1. Barang siapa
dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya,
baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan ataupidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
2. Jika kejahatan
dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.
Menurut HAK. Moch. Anwar, rahasia
tersebut dipercayakan dalam jabatannya atau pekerjaannya, termasuk juga rahasia
yang diketahui dengan cara lain daripada yang dipercayakan.
Ada
perbedaan antara rahasia jabatan dengan rahasia pekerjaan. Rahasia jabatan
merupakan sesuatu rahasia yang diketahui karena jabatan atau kedudukan
seseorang, seperti pegawai negeri. Apapun rahasia pekerjaan merupakan rahasia
yang diketahui karena pekerjaan. membedakan jabatan
sebagai pekerjaan pegawai negeri, dan perkejaan untuk pekerjaan non-pegawai
negeri, seperti rohaniawan, advokat, dan dokter. Apabila rahasia pekerjaan
tersebut di bidang kedokteran, maka disebut rahasia kedokteran (rahasia medis).
Rahasia kedokteran (rahasia medis) merupakan sesuatu yang diketahui berdasarkan
informasi yang disampaikan pasien (termasuk oleh orang yang mendampingi pasien
ketika berobat), termasuk juga segala sesuatu yang dilhat (diketahui) ketika
memeriksa pasien. Menurut Guwandi, asal mulanya rahasia medis adalah dari
pasien sendiri yang menceritakannya kepada dokter, sehingga sewajarnyalah
pasien itu sendiri adalah dan dianggap sebagai pemilik rahasia medis atas
dirinya sendiri, bukannya dokter. Kewajiban
menyimpan rahasia pasien juga diatur di dalam Pasal 48 UU No. 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran yang diberlakukan sejak Oktober 2005. Pada Pasal 48
ayat (1) dinyatakan: setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Sementara itu ayat (2)
menyatakan: rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Ketentuan
UU No. 29 tahun 2004 tersebut tidak mengkriminalisasi perbuatan menyimpan
rahasia kedokteran. Namun hal ini bukan berarti ketentuan Pasal 322 KUHP tidak
berlaku lagi terhadap pekerjaan dokter (rahasia kedokteran), karena ketentuan
UU No. 29 Tahun 2004 ini tidak menganulir (mengecualikan) Pasal 322 KUHP
terhadap rahasia kedokteran.
Pendapat
penulis, sebagaimana di atas, berbeda dengan pendapat Anny Isfandyarie yang
menyatakan bahwa dengan adanya ketentuan di dalam UU tersebut sebagai lex
specialis, maka Pasal 322 KUHP tidak berlaku lagi bagi dokter dan dokter gigi,
tetapi tetap dapat diberlakukan bagi tenaga kesehatan di luar dokter dan dokter
gigi. Namun di dalam praktiknyamasih dimungkinkan dicantumkannya Pasal 322 KUHP
ini sebagai tuntutan subside oleh penuntut umum.
Menurut Adami Chazawi, dalam perkara
pidana, jika pengadilan meminta dokter sebagai ahli memberikan keterangan yang
di dalamnya ada keterangan yang wajib disimpannya, misalnya tentang penyakit
yang menyebabkan pasien meninggal, tidak dipidana. Hal ini bukan berarti dokter tidak melakukan
tindak pidana sebagaimana rumusan pasal 322 KUHP, tetapi tidak dipidananya
perbuatan memberikan keterangan ahli karena kehilangan sifat melawan hukumnya
perbuatan. Pertimbangan hukumnya ialah apabila dokter nekat bertahan pada rahasia
jabatan di depan sidang pengadilan, maka ia melanggar kepentingan hukum yang
lebih besar yang berupa kepentingan hukum untuk tegaknya keadilan.7
Menurut penulis, pendapat Adami Chazawi
tersebut tidak tepat. Dalam kasus disebutkan bahwa dokter diminta keterangannya
sebagai ahli, bukan sebagai saksi. Seseorang (siapapun) yang diminta keterangan
sebagai ahli, memberikan keterangan tidak bersifat faktual melainkan
berdasarkan keahlian pada bidang tertentu. Keterangan diberikan berdasarkan
keilmuan yang dimiliknya. Hal ini berbeda dengan bila diminta keterangan
sebagai saksi, yang mana keterangan diberikan berdasarkan fakta yang dilihat,
didengar, dan dialaminya. Jadi tidak mungkin seorang dokter yang diminta
keterangannya sebagai ahli akan memberikan penjelasan yang bersifat faktual
seperti penyakit atau keadaan seseorang. Mengenai penyakit atau keadaan
seseorang yang sakit merupakan suatu hal yang bersifat factual yang harus
dirahasiakan dokter. Sedangkan
keterangan
sebagai ahli yang diberikan dokter bukanlah rahasia karena substansinya
menyangkut ilmu pengetahuan, yang bukan objek yang harus dirahasiakan.
Berbeda dengan apabila dokter diminta
keterangannya sebagai saksi. Dalam hal ini akan terjadi dilemma bagi dopkter,
antara keharusan menyimpan rahasia kedokteran dan keharusan memberikan
keterangan sebagai saksi. Kewajiban memberikan kesaksian ini merupakan
kewajiban hukum setiap orang, bahkan pelanggaran terhadap kewajiban ini
dikriminalisasi berdasarkan Pasal 224 KUHP, bahwa:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undang-undang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang
harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan
Lihat
Pasal 1 ke 27 UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan ,penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pasal 1 ayat 28 UU No.8
Tahun 1981 menyatakan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Dalam kasus demikian dokter juga dapat
memilih untuk melaksanakan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran, yang berarti
ia tidak bersedia member keterangan sebagai saksi. Atas pilihan itu sorang dokter
tidak dapat dipidana, karena hukum pidana materiil telah disediakan alasan
pembenar (rechwaardigingsgronden)
yang dalam hal ini adalah noodtoestand atau
keadaan darurat (terpaksa). Pada kasus tersebut dokter dihadapkan pada konflik
antara dua kewajiban, yaitu kewajiban menyimpan rahasia kedokteran dan
kewajiban memberi keterangan sebagai ahli, yang mana ia harus memilih untuk
melaksanakan satu kewajiban, yaitu member keterangan sebagai saksi.
Dalam
perspektif hukum pidana formal (hukum acara pidana), telah disediakan “hak
undur diri” (verschoningrecht)
sebagai saksi atau ahli sebagaimana terdapat dalam Pasal 170 KUHAP, yang
menyatakan:
1. Mereka
yang karena pekerjaannya, harkat martabat, atau jabtannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
2. Hakim
menentukan sah tidaknya segala alas an untuk permintaan tersebut.
Atas
dasar hak undur diri sebagai saksi atau ahli tersebut, seorang dokter tetap
dapat menyimpan rahasia kedokteran, namun hak tersebut tidaklah bersifat
mutlak, karena permintaan mundur sebagai saksi atau ahli tergantung pada
penilaian hakim. Artinya, apabila hakim memandang kesaksian atau keterangan
ahli dari dokter tersebut sangat penting (menentukan) dalam memutus perkara
itu, maka hakim dapat menolak permintaan mundur sebagai saksi atau ahli.
Alexandra Indriyanti menyebutkan beberapa hal yang merupakan
kekecualian wajib simpan rahasia kedokteran, yaitu: ada persetujuan dari
pasien, ada komunikasi dengan dokter lain dari pasien tersebut, dan informasi
tersebut tidak tergolong informasi yang bersifat rahasia. Sementara itu dokter
diperkenankan membuka rahasia pasiennya secara terbatas kepada pihak tertentu,
asal memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Syarat
keterbatasan para pihak yang relevan saja, misalnya kepada suami/istri, mantan
suami/istri, pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar
penyakit tersebut.
2. Syarat
keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan.
3. Syarat
keterbatasan persyartan, yakni informasi hanya dibuka apabila memang secara
medis, informasi tersebut layak dibuka.
Pengecualian
terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga berlaku pada kondisi-kondisi
darurat seperti wabah dan bencana alam, di mana seorang dokter ataupun petugas
kesehatan tidak boleh membiarkan bencana terjadi tanpa penanganan yang
semestinya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1962 Tantang Wabah.
Undang-Undang ini mewajibkan dokter atau petugas kesehatan lain untuk segera
melaporkan kondisi-kondisi luar biasa karena wabah penyakit dan penyebarannya,
sehingga segera bisa ditanggulangi.
F.
Eutanasia
Euthanasia
berasal dari kata eu dan thanatos (Yunani). Eu artinya baik dan thanatos
artinya mati, mayat. Dengan demikian euthanasia
secara harfiah berarti kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan.
Seutinius dalam buku Vitaceasarum
merumuskan bahwa euthanasia adalah
mati cepat tanpa derita. Menurut Richard Lamerton, euthanasia pada abad ke 20 ditafsirkan sebagai pembunuhan atas
dasar belas kasihan (mercy killing).
Juga diartikan sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya (mercy dead), atau tanpa berbuat apa-apa
membiarkan orang mati. Pengertian tersebut tampaknya semata-mata dilihat dari
sudut sifat kematian (tanpa penderitaan) atau dari sudut perbuatan pasif berupa
membiarkan seseorang mati tanpa usaha untuk mempertahankan kehidupannya.
Pengertian seperti itu tidak menggambarkan yang sesungguhnya terjadi karena
belum menggambarkan kehendak orang yang mau mati itu. Padahal kehendak itulah
yang maha penting dan menjadi unsur esensieed
dari euthanasia. Oleh karena itu, sebaiknya istilah euthanasia diartikan
sebagai membunuh atas kehendak korban sendiri.
Di dalam penjelasan Kode Etik Kedokteran
Indonesia, istilah euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:
1. pindah
ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman
dengan nama Allah di bibir.
2. Ketika
hidup berakhir, penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat
penenang, dan
3. mengakhiri
penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Pada
umumnya disepakati batasan tentang euthanasia, yaitu:
1. Euthanasia
aktif, yaitu tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek hidup si pasien.
2. Euthanasia
pasif, di mana dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.
3. Auto-euthanasia,
yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan ia mengetahui bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya.
Menurut
Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono,80 terdapat kasus-kasus yang
disebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan
pada larangan hukum pidana. Empat bentuk pseudo-euthanasia menurut Leenen
adalah:
1. Pengakhiran
perawatan medis karena gejala mati barang otak. Jantung masih berdenyut,
peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran
karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan berat.
2. Pasien
menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya. Dasar pemikirannya,
dokter tidak dapat melakukan sesuatu jika tidak dikehendaki pasien.
3. Berakhirnya
kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majeure). Dalam hal ini terjadi
dua kepentingan hukum yang tidak bisa memenuhi kedua-duanya.
4. Penghentian
perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya.
Hukum Indonesia tidak mengenal dan tidak
dapat membenarkan alas an atau motivasi euthanasia seperti yang dikemukakan
Leenen tersebut. UU Indonesia tidak memberikan tempat untuk mentoleransi salah
satu alasan pengakhiran hidup manusia dengan cara itu. Pasal 344 KUHP melarang
segala bentuk pengakhiran hidup manusia walaupun atas permintaan sendiri dengan
rumusan sebagai berikut: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Nilai kejahatan pembunuhan atas permintaan
korban ini sedikit lebih ringan daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) yang
diancam pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun penjara dan jauh lebih berat
daripada kelalaian yang menyebabkan matinya orang (Pasal 359 KUHP) yang diancam
pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara.
Faktor lebih ringan (dua tahun) dari
pembunuhan biasa disebabkan oleh pembunuhan atas permintaan korban ini terdapat
unsur “atas permintaan korban itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan
hati”. Permintaan korban itu oleh hukum masih dihargai dengan diberi ancaman
pidana dua tahun lebih ringan daripada pembunuhan biasa, disbanding jika
kematian tidak dikehendaki korban.81
6.2.1.5 Aborsi
Istilah popular lainnya adalah pengguguran
kandungan. Walaupun dari sudut hukum menggugurkan kandungan tidak sama
persisnya artinya dengan praktik aborsi karena dari sudut hukum (pidana) pada
praktik aborsi terdapat dua bentuk perbuatan. Pertama, perbuatan menggugurkan (afdrijven) kandungan. Kedua,
perbuatan mematikan (dood’doen)
kandungan.
Di Indonesia sekarang ini terdapat 2 (dua)
aturan hukum yang mengatur tentang aborsi, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Dalam
perspektif KUHP, pengaturan aborsi ada di Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP.
Pasal
346 KUHP menyatakan:
“ Seorang perempuan yang
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk
itu, maka diancam dengan pidana paling lama enam tahun “
Dalam pasal
ini yang menjadi subjek (pelaku delik) adalah seorang perempuan, yaitu
perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang
untuk mematikan kandungannya. Subjek delik tidak bersifat umum (yang biasanya
menggunakan kata barangsiapa/setiap orang), yang mana pada delik ini terhadap
unsur keadaan yang menyertai berupa subjek, sehingga tidak dapat ditetapkan
terhadap orang yang tidak memenuhi kualifikasi subjek ini.
Dalam
kontruksi delik ini ditentukan akibat, yaitu mengakibatkan gugurnya kandungan
dan mengakibatkan matinya kandungan si perempuan tersebut. untuk timbulnya
suatu akibat, baik gugur kandungan atau mati kandungan, tentu ada perbuatan
yang dilakukan, sehingga ada hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat.
Di samping itu, adanya unsur sengaja
(dolus), sehingga dengan melakukan
suatu perbuatan itu pelaku menghendaki dan dapat mengetahui adanya akibat
tersebut. dalam
hukum pidana, delik yang subjeknya bersifat umum (menggunakan kata
barangsiapa/setiap orang disebut delik communia. Sedangkan subjek yang bersifat
khusus (misal seorang perempuan, pegawai negeri) disebut delik propria, yaitu
delik yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat tertentu.
Menurut van
Bemmelen, harus dapat dibuktikan kandungan perempuan itu dalam keadaan hidup
pada waktu abortus provocatus
dilakukan83, namun ia tidak disyaratkan mengetahui keadaan itu. Hal
ini misalnya
sebagaimana
tercantum dalam arrest Hoge Raad tanggal 29 Juli 1907 mengenai penerapan Pasal 348 ayat (1) KUHP, yang
dikenal sebagai abortus-arrest.
Suatu
persoalan normatif muncul, yaitu pada usia kandungan berapa lama aborsi itu
dilarang. Dengan tidak diaturnya persoalan ini, maka tidak ada acuan yang pasti
bagi penegak hukum pidana dalam menerapkan ketentuan ini. Selain itu, persoalan
lain adalah dengan disebutnya perbuatan “menyuruh” dalam Pasal 346 KUHP, apakah
“menyuruh” di sini pengertiannya sama dengan “menyuruh” sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Terhadap orang yang disuruh dalam Pasal 55
ayat (1) ke 1 KUHP, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan, karena orang yang
disuruh hanyalah sebagai “instrumen” untuk mewujudkan kehendak dari orang yang
menyuruh.
Pasal 347 KUHP menyatakan:
1.
Barang siapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandunganseorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara palinglama dua belas tahun.
2.
Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut diancamdengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 menyatakan:
1.
Barang siapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandunganseorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam
bulan.
2. Jika perbuatan
itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang
dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatanberdasarkan pasal 346, ataupun melakukan
atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 347
dan 348 KUHP mengatur keterlibatan orang lain dalam tindak pidana aborsi.
Apabila seseorang melakukan aborsi tanpa persetujuan dari perempuan yang
kandungannya diaborsi, maka pertanggung-jawaban pidana pelaku didasarkan pada
pasal 347 KUHP. Namun apabila dengan persetujuan perempuan itu, maka
pertanggungjawaban pidananya berdasarkan Pasal 348 KUHP. Adapun Pasal 349 KUHP
mengatur tentang pemberatan dan pemberian pidana tambahan, yaitu dapat ditambah
1/3 dari ancaman pidana dalam pasal yang dijadikan dasar tuntutan dan pencabutan
hak untuk menjalankan pekerjaan (profesi), apabila aborsi dilakukan oleh dokter
atau bidan atau apoteker.
Tindak pidana aborsi dalam
perspektif UU No. 23 tahun 1992 diatur dalam Pasal 80 ayat (1).
6.2.1.6 Kelalaian yang Menyebabkan Kematian, Cacat atau Luka
Dalam upaya penyembuhan, sangat atau
bahkan hamper tidak ada dokter yang dengan saja melakukan kesalahan terhadap
pasien. Apabila terjadi kematian/cacat/luka dan keadan tersebut diduga atau
patut diduga karena kesalahan dokter, maka yang paling penting adalah
membuktikan adanya grove schuld atau
sikap kurang hati-hati yang besar atau sangat sembrono dalam upaya penyembuhan
(culpa lata), sedangkan suatu
kesalahan ringan/biasa tidak dapat ijadikan dasar untuk meminta
pertanggungjawaban hukum.84
e.
Kelalaian yang Menyebabkan Kematian
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa
karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun
Pasal 359 KUHP dapat menampung semua
perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, di mana kematian bukanlah
yang dituju atau dikehendaki.
Adanya hubungan kausal telah lazim
dikenal dengan istilah akibat langsung yang tidak berbeda
dengan akibat yang ditimbulkan oleh
sebab-sebab yang masuk akal dan menurut kelayakan.
Hal itu
dapat dipikirkan sebagai akibat dari suatu sebab. Khusus dalam hal mencari causal verband antara tindakan medik
dengan akibat yang timbul sesudah tindakan medik maka digunakan ilmu kedokteran
sendiri. Adanya akibat kematian, apakah dari sebab diberikan suntikan obat
tertentu dengan dosis tertentu, tidak cukup dengan akal orang awam, tetapi harus
menggunakan ilmu kedokteran. Akan tetapi, adakalnya cukup digunakan akal orang
awam sekalipun. Contoh kasus tertinggalnya benda di badan pada suatu
pembedahan. Adanya benda tertinggal dalam badan sudah cukup membuktikan akibat
dari pembedahan yang ketika menjahit luka bekas pembedahan yang tidak teliti.
Dalam
hal ini, di samping adanya sikap batin, culpa, harus ada tiga unsure lagi yang
merupakan rincian dari kalimat “menyebabkan orang lain mati”, yaitu:
1.
Harus ada wujud perbuatan.
2.
Adanya akibat berupa kematian.
3.
Adanya causal verband
antara wujud perbuatan dengan akibat kematian.
Tiga unsur ini tidak berbeda dengan
unsur perbuatan menghilangkan nyawa dari pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Bedanya
dengan pembunuhan hanyalah terletak pada unsur kesalahannya, yakni pada Pasal
359 ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa).
f.
Kelalaian yang Menyebabkan Luka
Pasal 360 KUHP menyebutkan:
1.
Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
2.
Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa, sehingga timbul penyakit atau halanganmenjalankan pekerjaan jabatan
atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Ada dua macam tindak pidana menurut
Pasal 360. Dari rumusan ayat (1) dapat dirinci unsur-unsur yang ada ,
yaitu: Adanya kelalaian
1. Adanya wujud perbuatan
2. Adanya akibat luka berat
3. Adanya hubungan kausalitas antara
luka berat dan wujud perbuatan.
Rumusan ayat (2) mengandung
unsur-unsur:
1. Adanya kelalaian
2. Adanya wujud perbuatan
3. Adanya akibat: luka yang menimbulkan
penyakit, dan luka yang menimbulkan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertentu.
4. Adanya hubungan kausalitas antara
perbuatan dan akibat.
Menurut Pasal 90 KUHP, luka berat
berarti:
1. jatuh sakit atau mendapat luka yang
tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut;
2. tidak mampu
terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
3. kehilangan salah satu panca indera;
4. mendapat cacat berat;
5. menderita sakit lumpuh;
6. terganggunya daya pikir selama empat
minggu lebih;
7. gugur atau matinya kandungan seorang
perempuan.
Sebagai alternatif, luka yang mendatangkan
penyakit adalah luka yang menjadi halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencarian. Ukuran jenis luka ini bukan pada penyakit, tetapi pada halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian. Ukurannya lebih mudah, yakni
terganggunya pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter bahwa
orang itu perlu istirahat karena adanya gangguan pada fungsi organ tubuhnya
karena luka yang dideritanya. Diperlukan istirahat oleh karena luka-luka
tersebut.
Perihal unsur kelalaian yang terdapat
dalam Pasal 359 maupun 360 KUHP mensyaratkan adanya perbuatan tidak
berhati-hati. Untuk menilai perbuatan seseorang berhati-hati atau sebaliknya,
perbuatan seseorang itu haruslah dibandingkan dengan perbuatan orang lain.
Berkaitan dengan hal ini, uraiannya sebagaimana telah dijelaskan pada Bab V
Subbab 5.2.1.
g.
Pemberatan Pidana dan Pidana Tambahan
Pasal 361 KUHP menyatakan:
Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan
suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana itu boleh ditambah dengan
sepertiganya dan dapat dijatuhkan pencabutan hak melakukan pekerjaan, yang
dipergunakan untuk menjalankan
kejahatan itu dan hakim dapat memerintahkan pengumuman putusannya.
Berdasarkan pasal tersebut, dokter yang
telah menimbulkan cacat atau kematian yang berkaitan dengan tugas atau jabatan
atau pekerjaannya, maka Pasal 361 KUHP memberikan ancaman pidana sepertiga
lebih berat. Di samping itu, hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa pencabutan
hak melakukan pekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta
memerintahkan pengumunan keputusannya itu.
4.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 di
samping memuat ketentuan hukum administrasi juga memuat ketentuan pidana. Ketentuan
hukum di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tercantum di dalam Pasal 80
sampai dengan Pasal 86. Beberapa pasal pemidanaan, yang diantaranya dapat
dikenakan dokter, adalah sebagai berikut:
Pasal 80
Pasal 80 ayat (1):
Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis
tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Dalam
Pasal 80 ayat (1) terdapat unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
1. Unsur
objektif:
a. melakukan
tindakan medic tertentu
b. pada
ibu hamil
c. tidak
memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat(1) dan (2)
2. Unsur
subjektif:
a. dengan
sengaja
Pasal
15 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa:
1. Dalam
keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwa ibu hamil dan atau
janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
2. Tindakan
medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a. berdasarkan
indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. oleh
tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c. dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
d. pada
sarana kesehatan tertentu.
Menurut
penjelasan Pasal 15, tindakan medik dalam bentuk pengguguran kandungan, dengan alasan apapun dilarang
karena bertentangan dengan norma hukum, morma agama, norma kesusilaan, dan
norma kesopanan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang dimaksud dengan
tindakan medik tertentu dalam Pasal 80 ayat (1) adalah berupa pengguguran
kandungan, walaupun tidak disebut aborsi atau menggugurkan atau mematikan kandungan.
Oleh karena itu, Pasal 80 ayat (1) ini termasuk delik materiil, yaitu delik
yang merumuskan akibat. Jadi, tindakan medik tertentu pada ibu hamil haruslah
berakibat terhentinya kehamilan ibu tersebut. terhentinya kehamilan ibu itu
juga haruslah sesuatu yang disengaja, dalam arti pelaku menghendaki dan dapat
mengetahui tentang terhentinya kehamilan itu. Oleh karena itu pula, ketentuan
Pasal 80 ayat (1) ini disebut abortus
provocatus kriminalis.
Dalam hukum pidana, ketentuan Pasal 15
ayat (1) UU No.23 tahun 1992 disebut dasar pembenar dilakukannya aborsi, yakni
keadaan darurat/terpaksa (noodtoestand)
yang merefleksikan adanya konflik antara dua keadaan, antara kewajiban
menghormati hidup setiap insan dan kewajiban untuk menyelamatkan jiwa ibu dan
atau janin dalam kandungan. Keadaan darurat menurut pasal ini secara limitatif
“sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya”. Jadi,
tidak termasuk alasan lain seperti hamil karena kasus pemerkosaan, incest,
aborsi yang aman, dan lainnya.
Adapun substansi Pasal 15 ayat (2)
mengatur kewenangan dan prosedur tindakan, yaitu berdasarkan indikasi medis
yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut, dilakukan tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu (dengan pertimbangan tim ahli),
dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya,
serta pada sarana kesehatan tertentu.
Apabila terpenuhi kedua ayat dari Pasal 15
tersebut, maka pelaku tidak dipidana karena adanya dasar pembenar dan
terpenuhinya dasar kewenangan dan prosedur tindakan. Sehubungan dengan
ketentuan Pasal 15 itu, dalam penerapannya, terlebih dahulu harus memperhatikan
dasar pembenar, yakni keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1). Apabila tidak ditemukan alasan sebagaimana dimaksud, maka tidak lagi
memperhatikan dasar kewenangan dan prosedural yang dimaksud dalam pasal 15 ayat
(2), sehingga perbuatan tersebut merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992. Jadi, tidak perlu mempersoalkan
belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(3). Sebagian pendapat menyatakan bahwa Pasal 80 ayat (1) ini belum dapat
diterapkan karena belum adanya PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).
Menurut penulis, tidak diperlukan lagi PP untuk mengatur lebih lanjut mengenai
tindakan medik tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), karena isi
ayat (1) dan (2) sudah cukup operasional. Aturan hukum (apalagi PP) tidak
mungkin mengatur masalah yang bersifat teknis, karena masalah teknis ditentukan
dalam standar prosedur operasional (SPO) tindakan medik.
Seperti halnya Pasal 346, 347, dan 348
KUHP, ketentuan Pasal 80 ayat (1) No. 23 tahun 1992 juga tidak mengatur batasan
usia kandungan yang tidak boleh digugurkan, sehingga juga akan menimbulkan
permasalahan dalam penerapannya.
Dengan demikian dapat dilihat perbedaan
antara tindak pidana sborsi menurut KUHP dan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan; tindak pidana aborsi dalam KUHP membedakan dasar hukum
pertanggungjawaban pidana antara wanita yang melakukan sendiri-sendiri atau
menyuruh orang lain, yaitu Pasal 346 dengan pertanggungjawaban pidana orang
lain yang terlibat, yakni Pasal 347 dan 348. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun
1992, tidak ada perbedaan dasar hukum pertanggungjawaban pidana, yakni
sama-sama dikenakan Pasal 80 ayat (1), sehingga apabila pihak yang terlihat
lebih dari 1 (satu) orang, misalnya wanita yang mengandung itu dengan dokter,
dasar hukum pertanggungjawaban pidananya dengan mengaitkan Pasal 80 nayat (1)
UU No. 23 Tahun 1992 dengan (juncto)
Pasal 55 ayat (1) ke 1 atau ke 2 Pasal 56 KUHP.
Perbedaan
lain adalah dalam KUHP tidak diatur secara khusus dasar pembenar.88
Sedangkan dalam UU No. 23 tahun 1992, dasar pembenar itu diatur secara khusus,
yaitu keadaan darurat sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1).
Dengan demikian di Indonesia terdapat dua
aturan hukum mengenai aborsi, yaitu KUHP dan UU No. 23 tahun 1992. Apabila
terjadi kasus aborsi, aturan hukum mana yang dipakai sebagai dasar dalam
penuntutan? Persoalan ini muncul karena dalam UU No. 23 Tahun 1992 tidak ada
dinyatakan pencabutan Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Namun dalam teori
hukum terdapat suatu asas untuk menyelesaikan konflik aturan (dualisme aturan),
yaitu asas Lex specialis derogate lege
generalis (undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang
yang umum). Dalam konteks pertanyaan di atas, UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
dapat dipandang sebagai undang-undang yang bersifat khusus, dan KUHP adalah
undang-undang yang bersifat umum. Berdasarkan asas itu, maka UU No. 23 tahun
1992 yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam penuntutan.
Pasal 80 ayat (2):
Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari
masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk
badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak melaksanakan
ketentuan tentang jaminan pemeliharaan keschatan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Ketentuan pasal 80 ayat
(2) ini substansinya berkaitan dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan (3), yang
mengatur bahwa penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan oleh masyarakat harus
memiliki izin dan harus berbentuk badan hukum, seperti BUMN, BUMD, atau
yayasan; sehingga diancam dengan sanksi pidana menurut Pasal 80 ayat (2) adalah
dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan
pemeliharaan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan
(3). Ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan (3) ini menurut isinya termasuk ketentuan
hukum administrasi, sehingga dapat dikatakan ketentuan Pasal 80 ayat (2)
mengkriminalisasi pelanggaran norma hukum administrasi yang diatur pada Pasal
66.
Dasar pembenar
khusus adalah dasar pembenar yang hanya berlaku untuk satu tindak pidana,
biasanya pengaturnya mengikuti ketentuan delik yang bersangkutan, dalam KUHP
misalnya Pasal 310 ayat (3). Dasar pembenar yang bersifat umum adalah dasar
pembenar yang dapat digunakan untuk semua tindak pidana, pengaturnya dalam bab
III KUHP.
Pasal 80 ayat (3):
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan
tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan
tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Ketentuan pidana dalam Pasal 80 ayat (3) tersebut
berkaitan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2), sehingga ketentuan Pasal 80 ayat
(3) ini dapat dikatakan mengkriminalisasi pelanggaran norma administrasi yang
ada di Pasal 33 ayat (2), yang menyatakan:
Transplantasi
organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan
komersial.
-Pasal 81
Pasal
81 UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan terdiri dari 2 ayat, yaitu :
-Pasal 81 ayat (1):
Barang
siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan segaja :
1. melakukan
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1);
2. melakukan
implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);
3. melakukan
bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).
Transplantasi
organ dan atau jaringan tubuh, implant alat kesehatan, tindakan bedah plastik
dan rekonstruksi, hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilaksanakan pada sarana kesehatan
tertentu. Persyartan ini sebagaimana tersebut di dalam Pasal 34 ayat (1) yang
mengatur tentang kewenangan melakukan transplantasi organ. Pasal 36 ayat (1)
mengatur kewenangan melakukan implan obat dan atau alat kesehatan, dan Pasal 37
ayat (1) mengatur kewenangan melakukan bedah plastik dan rekonstruksi.
Ketentuan Pasal 34 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37 ayat (1) juga
merupakan norma hukum administrasi. Dengan demikian Pasal 81 ayat (1) ini juga
mengkriminalisasi pelanggaran norma hukum administrasi.
Pasal 81 ayat (2):
Barang siapa dengan sengaja :
1. mengambil
organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa
persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2);
2. memproduksi
dan atau mengedarkan alat keschatan yang tidak memenuhi standar dan atau
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
3. mengedarkan
sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1);
4. menyelenggarakan
penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada
manusia tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan serta
norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(2) dan ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (scratus empat
puluh juta rupiah).
Ketentuan Pasal 34 ayat (2) yang dimaksud dalam Pasal
81 ayat (2) huruf a UU Tentang Kesehatan tersebut berbunyi: “Pengambilan organ
dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor
yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya.”
Pasal 40 ayat (1) menyatakan: “Sediaan farmasi yang
berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau
buku standar lainnya.” Sedangkan ayat (2) menyatakan: “Sediaan farmasi yang
berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi
standar dan atau persyaratan yang ditentukan.”
Pasal 69 ayat (2) dan (3) berisi
syarat yang harus dipenuhi dalam penelitian, pengembangan kesehatan, dan
penerapan hasil penelitian pada manusia. Pada ayat (2) dinyatakan: “Penelitian,
pengembangan kesehatan dan penerapan hasil penelitian pada manusia harus
dilaksanakan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat,” dan
ayat (3) menyatakan: “Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan
memperhatikan kesehatan dan keselamatan orang yang diteliti.”
Pasal 82
Pasal 82 ayat (1):
Barang
siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :
1.
melakukan pengobatan dan
atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);
2.
melakukan transfusi darah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);
3.
melakukan implan obat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);
4.
melakukan pekerjaan
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1);
5.
melakukan bedah mayat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2);
dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (scratus juta rupiah).
UU No. 23
Tahun 1992 telah menentukan persyartan tertentu untuk dapat melakukan
pengobatan dan perawatan berdasarkan ilmu kedokteran, yakni hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 ayat (4) UU tentang Kesehatan yang
berbunyi: “pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran
atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.” Tujuan utama pasal ini adalah
untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat dari pengaruh buruk atau akibat
buruk dari pengobatan yang menggunakan ilmu kedokteran yang dilakukan oleh
tenaga yang tidak berwenang untuk itu.
Untuk
transfusi darah juga harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan
mempunyai keahlian untuk memberikan transfuse darah yang tercantum di dalam
Pasal 35 ayat (1), yang menyatakan: “Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan itu.”
Demikian
juga tentang implan obat, Pasal 36 ayat (1) memberikan persyaratan: “Implan
obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
di sarana kesehatan tertentu.”
Adapun Pasal
63 ayat (1) mengatur pekerjaan kefarmasian, ketentuan mana menentukan bahwa
dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu.
Dokter di
daerah yang berniat membantu meringankan beban pasien dengan melakukan
pemeriksaan dan sekaligus memberikan obatnya (bukan resep obat) dapat dituduh
telah melakukan pekerjaan kefarmasian, kecuali bila obat yang diberikan itu
sifatnya dibutuhkan segera. Ketentuan Pasal 36 ayat (1) menyatakan: “Pekerjaan
kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan
farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.”
Sedangkan
pad Pasal 70 ayat (2) UU Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa: “Bedah mayat
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat.”
Pasal 82 ayat (2):
Barang
siapa dengan sengaja :
1. melakukan
upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);
2. memproduksi
dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(2);
3. memproduksi
dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi
standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
4. mengedarkan
sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan
penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);
5. memproduksi
dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi
standar dan atau persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 82 ayat (2) a ini mengatur tindak pidana bayi
tabung (In vitro Fertilisasi/IvF). Yang diancam dengan sanksi pidana adalah
melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 yang menyatakan:
1. Kehamilan
di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu
suami istri mendapat keturunan.
2. Upaya
kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
a. hasil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal;
b. dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c. pada
sarana kesehatan tertentu.
Ketentuan Pasal 16 ayat (1) mengatur
tentang alas an untuk mengupayakan kehamilan di luar cara alami, yaitu sebagai
upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan. Dalam ilmu hukum,
hal ini dapat disebut sebagai keadaan darurat. Sedangkan ayat (2) mengatur
tentang syarat dan prosdur untuk melakukan upaya kehamilan di luar cara alami,
yaitu: pembuahan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah dan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel ovum itu berasal, dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan, dan dengan sarana
kesehatan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan kehamilan di luar
cara alami yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Ketentuan yang mengharuskan
bahwa pembuahan sperma dan ovuim dari pasangan suami istri yang sah dan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel ovum itu berasal, dimaksudkan untuk
menjamin kepastian hubungan darah antara bayi yang dilahirkan dengan pemilik
sel sprema dan ovum tersebut. hal ini berguna di antaranya untuk menentukan
kewarisan dan perwalian dari anak tersebut. dengan demikian hukum yang berlaku
di Indonesia tidak mengenal istilah “rahim rental”, atau donor sperma atau
ovum”. Kedua hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Kriminalisasi pengupayaan kehamilan di
luar cara alami tersebut tidak mengaitkan dengan alas an keadaan darurat
sebagaimana disebut dalam Pasal 16 ayat (1), hanya mengaitkan dengan syarat dan
prosedur yang diatur dalam ayat (2).
Ketentuan Pasal 82 ayat (2) b dan c,
kriminalisasi mengenai pelanggaran terhadap Pasal 40 ayat (2) yang menyatakan:
“Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.”
Ketentuan pidana Pasal 82 ayat (2) b mengenai sediaan farmasi berupa obat
tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan,
sedangkan Pasal 82 ayat (2) c mengenai sediaan farmasi berupa kosmetika dan
alat kesehatan yang tidak memenuhi standard an atau persyaratan yang
ditentukan.
Ketentuan pidana dalam pasal 82 ayat (2) d
mengatur tentang mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan penandaan dan informasi yang harus memenuhi persyaratan
objektivitas dan kelangkapan serta tidak menyesatkan. Sedangkan Pasal 82 ayat
(2) 2 mengatur tentang memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung
zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 83
Pasal
83 UU Kesehatan menyebutkan bahwa ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82 UU Tentang Kesehatan ditambah dengan
sepermpatnya apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan
kematian.
6.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
Pada
dasarnya norma hukum yang tercantum dalam UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran merupakan norma hukum administrasi. Namun dalam undang-undang ini
juga tercantum ketentuan pidana di dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 80.
Pencantuman sanksi pidana pada UU No. 29 Tahun 2004 ini tidak lepas dari fungsi
hukum pidana secara umum, yakni ultimum
remudium. Makna yang terkandung dari asas ultimum remudium adalah bahwa sanksi pidana merupakan upaya
(sanksi) yang manakala sanksi hukum lainnya sudah dianggap tidak signifikan
dengan bobot norma hukum yang dilanggar. Dalam konteks UU Praktik Kedokteran
yang pada dasarnya memuat nporma-norma hukum administrasi, dengan
dicantumkannya sanksi pidana pada pelanggaran norma hukum administrasi
tertentu, berarti pembuat undang-undang ini menilai sanksi administrasi saja
tidak cukup signifikan, sehingga diperlukan sanksi pidana.
Pasal 75
Tindak
pidana praktik dokter tanpa surat tanda registrasi (STR), dirumuskan dalam
Pasal 75:
1. Setiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap
dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Setiap
dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Menurut Adami Chazawi,89
tindak pidana Pasal 75 ini bersumber dari pelanggaran kewajiban hukum
administrasi kedokteran sebagai berikut:
1. Bagi
dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia ialah kewajiban menurut Pasal 29
di mana sebelum melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib
memiliki STR yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (ayat 1 dan 2).
2. Bagi
dokter atau dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka
pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedoteran atau
kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia, kewajiban menurut Pasal
31 ayat (1) ialah sebelum melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran
gigi di Indonesia wajib memiliki STR sementara terlebih dahulu.
3. Bagi
dokter atau dokter gigi warga negara asing peserta program pendidikan dokter
spesialis atau dokter gigi spesialis yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di
Indonesia, sebelum melakukan praktik kedokteran wajib memiliki STR bersyarat
(pasal 32 Ayat 1).
Surat tanda registrasi (Pasal 29 ayat 1), baik
sementara (Pasal 31 ayat 1) maupun yang bersyarat (Pasal 32 ayat 1) secara
administratif memberikan hak atau kewenangan pada
dokter atau dokter gigi untuk
melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran gigi di Indonesia. Apabila
yang bersangkutan tidak memiliki STR dari sudut hukum administrasi kedokteran,
maka tidak wewenang untuk berpraktik kedokteran atau kedokteran gigi di
Indonesia. Oleh karena itu, perbuatan demikian itu diancam dengan sanksi
pidana, sehingga perbuatan tersebut menjadi/mengandung sifat melawan hukum pidana.
Apabila praktik dokter tanpa STR tersebut membawa akibat penderitaan pasien
berupa luka-luka, rasa sakit fisik ataupun kematian, maka terjadi malpraktik
kedokteran walaupun telah mendapat informed
consent dan tidak melanggar standar profesi atau standar prosedur.
Dari
pelanggaran hukum adminisrasi menjadi tindak pidana dapat dilihat maksud
pembentuk undang-undang ini, yakni sebagai upaya preventif untuk menghindarkan
dokter atau dokter gigi dari malpraktik kedokteran dan sekaligus sebagai upaya
preventif agar terhindar dari munculnya korban akibat malpraktik kedokteran. Frasa
“tanpa memiliki STR” merupakan unsur keadaan yang menyertai dan melekat pada
subjek hukum dokter. Sifat melawan hukum, praktik kedokteran oleh seorang
dokter melekat atau terdapat pada unsur tanpa STR tersebut. sifat melawan hukum
yang demikian dapat menjadi sifat melawan hukum malpraktik kedokteran apabila
dari praktik kedokteran tersebut menimbulkan akibat yang merugikan kesehatan
fisik atau mental atau nyawa pasien, walaupun praktik kedokteran tersebut tidak
bertentangan dengan standar profesi dan standar prosedur dan dilakukan atas
informed consen.
Pasal 76
Tindak
pidana praktik kedokteran tanpa surat ijin praktik (SIP) dirumuskan dalam Pasal
76, yaitu: “ Setiap dokter atau dokter gigi yang
dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).”
Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi
untuk terlebih dahulu memiliki surat ijin praktik sebelum melakukan praktik
kedokteran di Indonesia. Kewajiban dokter ini semula merupakan kewajiban hukum
administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karena pelanggaran
terhadap kewajiban itu diancam sanksi pidana.
Ketentuan
mengenai SIP adalah sebagai mana diatur dalam Pasal 37 & 38:
1. SIP
dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat
praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan (Pasal 37 ayat 1).
2. SIP
diberikan paling banyak untuk tiga tempat (Pasal 37 ayat 2).
3. Satu
SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik (Pasal 37 ayat 3).
4. Untuk
memiliki SIP harus memenuhi tiga syarat, yakni (1) memiliki STR yang masih
berlaku; (2) memiliki tempat praktik; (3) memiliki rekomendasi dari organisasi
profesi (Pasal 38 ayat 1).
5. SIP
tetap berlaku sepanjang (1) STR masih berlaku, dan (2) tempat praktik masih
sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (Pasal 38 ayat 2).
Pasal 77
Tindak pidana menggunakan identitas seperti gelar yang
menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP, diatur dalam Pasal 77,
yaitu:
Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau
surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat ijin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).
Unsur
“perbuatan menggunakan gelar” harus memenuhi dua syarat, (1) gelar yang
digunakan harus berupa gelar yang ada hubungannya dengan ilmu kedokteran. Suatu
gelar yang diketahui umum dapat menunjukkan bahwa pemilik gelar menguasai
bidang kedokteran dan (2) si pembuat sesungguhnya tidak memiliki gelar
tersebut. demikian juga pada alternatif dari menggunakan gelar in casu disebut
sebagai “menggunakan identitas bentuk
lain”. Unsur ini sangat terbuka dan dapat mengikuti apa yang berlaku di bidang
praktik kedokteran. Identitas bentuk lain harus identitas yang diketahui umum
sebagai identitas para dokter, misalnya pakaian khas dokter yang berupa jas
atau jubah putih, mengalungkan stetoskop di leher, pada mobilnya terpampang
lambing IDI atau asosiasi kedokteran lainnya, yang menimbulkan kesan
seolah-olah seorang dokter. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 ayat
(1): ‘ Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk
lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutanadalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau
surat ijin praktik”.
Pasal
77 ini selain berlaku pada orang yang bukan dokter, juga berlaku pada dokter
atau dokter gigi yang tidak mempunyai STR dan/atau SIP yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran. Hal ini karena dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki STR dan/ SIP merupakan satu kalimat yang artinya tidak dapat
dipisahkan.
Dibentuknya sanksi pidana pada Pasal 77
ini dimaksudkan untuk tiga tujuan. Pertama, sebagai upaya preventif agar tidak
terjadi penyalahgunaan cara-cara praktik kedokteran oleh orang-orang yang bukan
ahli kedokteran. Kedua, melindungi kepentingan hukum masyarakat umum, agar
tidak menjadi korban dari
perbuatan-perbuatan yang meniru praktik kedokteran oleh orang yang tidak
berwenang. Menghindari akibat dari praktik kedokteran oleh orang tidak
berwenang. Ketiga, melindungi martabat dan kehormatan profesi kedokteran oleh
orang-orang yang tidak berwenang.
Pasal 78
Tindak
pidana dengan menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang menimbulkan
kesan seolah-olah dokter yang mempunyai STR dan SIP, diatur dalam pasal 78 yang
menyebutkan:
Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat ijin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
Sebagaimana
Pasal 77, selain pada orang yang bukan dokter, pasal ini dapat diartikan
berlaku juga bagi dokter atau dokter gigi yang tidak mempunyai STR dan/atau
SIP. Sebagaimana bunyi Pasal 73 ayat (2): “Setiap orang dilarang menggunakan
alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelyanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi
yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat ijin praktik.”
Pasal 79
Tindak
pidana dokter praktik yang tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam
medik, dan tidak berdasarkan standar profesi, diatur dalam pasal 79 yang
menyebutkan:
Dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan
nama sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1);
- dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana
dimaksud dalam pasal 46 ayat (1); atau
- dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf c.
Tujuh macam
tindak pidana Pasal 79 bersumber pada kewajiban hukum administrasi, yang
apabila dilanggar menjadi tindak pidana dengan diberi ancaman pidana.
Sebagaimana disebutkan pada Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (1) yang
mensyaratkan pemasangan papan nama dan rekam medik pada dokter praktik.
Demikian juga Pasal 51 huruf a – e yang menyebutkan adanya kewajiban yang harus
dilaksanakan dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran, yaitu:
1.
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional.
2.
kewajiban merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai
keahlian atau. kemampuan yang lebih baik.
3.
menjaga rahasia kedokteran, bahkan hingga pasien yang telah meninggal.
4.
melakukan pertolongan darurat pada saat ia wajib
melakukannya.
5.
Kesediaan untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan
profesi.
Hal-hal tersebut di atas dapat
menjadi tindak pidana apabila dilanggar bahkan sebagian dapat menjadi syarat
terjadinya malpraktik kedokteran apabila dari pelanggaran administrasi tersebut
menimbulkan akibat fatal bagi kesehatan pasien, baik berupa luka ataupun
kematian.92
Khusus
mengenai ketentuan pidana dalam bab X Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan
Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau”
dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “ kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e”
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik
Kedokteran) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan
perkara yang dimohonkan oleh dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An, SH. Dkk.
Tersebut diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Selasa
(19-6-2007) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 7,
Jakarta Pusat.
BAB VII
PENYELESAIAN KASUS MALPRAKTIK MEDIK
Vincent dkk.
dari Academic Department Of Psychitry, St. Mary’s Hospital, London, UK,
melakukan penelitian tentang alas an-alasan pasien dan keluarganya mengajukan
tuntutan ke pengadilan sehubungan dengan malpraktik medik. Dari 277 responden
objek penelitian yang mengajukan tuntutan malpraktik medik melalui 5 Lembaga
Bantuan Hukum, ternyata 70% di antaranya mengalami cedera serius yang
menyebabkan timbulnya permasalahan jangka panjang terhadap pekerjaan, kehidupan
sosial, dan dalam hubungan keluarga. Emosi yang mendalam timbul karena
penderitaan yang akan mereka alami dalam jangka panjang. Keputusan untuk
mengajukan tuntutan hukum telah diambil tidak saja karena cidera yang dialami,
tetapi juga karena ketidak-pekaan penanganan selama perawatan, serta komunikasi
yang buruk antara pasien dan dokter. Dari penelitian ini, Vincent
menyimpulkanbahwa pada umumnya pasien dan keluarganya mengajukan tuntutan ke
pengadilan bukan saja karena adanya cidera atau kerugian lain, tetapi juga
karena adanya beberapa faktor lain, di antaranya:
1. kurangnya keterbukaan dan kejujuran.
2. Minimnya penjelasan dari pihak
medis.
3. Kurangnya komunikasi.
Di
Indonesia, penyelesaian kasus malpraktik medik mengacu pada Pasal 66
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal 66:
1.
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan
atas tindakan dokter atau gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI).
2.
Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik
dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan ; dan
c. alasan pengaduan.
3.
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke
pengadilan.
Sesuai Pasal
66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat
praktik kedokteran yang mereka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya
melalui MKDKI, yang merupakan jalur non-litigasi. Selain melalui jalur
non-litigasi, pasien/keluarga pasien yang menduga telah terjadi malpraktik atas
diri pasien tidak tertutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi,
yaitu melalui jalur perdata atau pidana.
Kewenangan
MKDKI dalam menangani pengaduan masyarakat, sesuai dengan Pasal 67: “Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengadaan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.”
MKDKI
merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran
dan kedokteran gigi. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran
Indonesia yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.
Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3):
- Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
- Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.
- Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam
menjalankan tugasnya bersifat independen.
Untuk
menjamin ntralitas MKDKI, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun
2004 disebutkan bahwa MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga)
orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan
seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana
hukum. Sedangkan ayat (2) dalam pasal yang sama menyebutkan pesyaratan menjadi
anggota MKDKI.
Pasal 59 ayat (1) dan (2):
1. Keanggotaan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter gigi dan
organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi
mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
2. Untuk dapat diangkat sebagai anggota
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Warga Negara Republik Indonesia;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia;
d. Berkelakuan balk;
e. Berusia paling rendah 40 (empat
puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;
f.
Bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik
kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi;
g. Bagi sarjana hukum, pernah melakukan
praktik di bidang hukum paling sedikit 10 sepuluh) tahun dan memiliki
pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan
h. Cakap, jujur, memiliki moral, etika,
dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik.
Keputusan MKDKI merupakan sanksi
disiplin dan bersifat mengikat, sesuai dengan Pasal 69 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004:
1. Keputusan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil
Kedokteran Indonesia.
2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
- rekomendasi
pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
- kewajiban
mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi.
Alur
penanganan ketidakpuasan pasien
Lembaga ADR
adalah lembaga yang mencoba menawarkan penyelesaian kepada pihak-pihak yang
bertikai, antara pasien dengan dokter atau dokter gigi. Penyelesaian ini menggunakan
pendekatan kepentingan (interest based)
yang bersifat win-win solution,
melalui konsiliasi, mediasi, fasilitasi dan negosiasi, tanpa mengedapankan
benar-salah (right based), dilakukan
di luar pengadilan, dengan atau tanpa kompensasi. Melalui lembaga ADR ini dapat
dilakukan upaya mencari jalan keluar atas keputusannya, baik pihak dokter
maupun pihak pasien.
Apabila
dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada
organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia/IDI atau Perhimpunan Dokter Gigi
Indonesia/PDGI), sesuai Pasal 68: “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan
pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan
pengakuan pada organisasi profesi.”
Perselisihan
itu selanjutnya akan ditangani oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Indonesia (MKEK) IDI, atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG)
PDGI. MKEK dan MKEKG adalah suatu badan peradilan profesi yang bertugas
mengadili anggota ikatan profesi itu sendiri. Hukuman yang dijatuhkan
MKEK/MKEKG bisa berupa teguran atau pemecatan dari keanggotaan IDI/PDGI yang
dapat bersifat sementara (skorsing) atau tetap/selamanya.
Apabila
suatu kasus yang diduga malpraktik medic diadukan oleh masyarakat dan didapati
pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke
sidang pengadilan untuk diperiksa. Oleh karena Undang-Undang Praktik Kedokteran
hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, sehingga masalah gugatan perdata
atau pidana diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli (expert witness testimonium) apabila
diperlukan, sebagaimana lazimnya juga di luar negeri.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia.
Setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan
kejahteraan diri dan keluarganya sebagaimana Pasal 25 Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara mengakui hak setiap orang untuk
memperoleh standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan
mental.
Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum
yang terkait dalam hukum kedokteran. Keduanya membentuk hubungan medik maupun
hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien
adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan
kesehatan pada khususnya. Dalam hubungan dokter-pasien ini dapat terjadi
sengketa medik yang timbul karena adanya kesenjangan antara harapan
pasien/keluarga pasien dengan kenyataan yang ada setelah dilakukan upaya medik,
ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman tentang masalah teknis medis dari
pihak pasien serta informasi dari pihak dokter yang tidak memuaskan
pasien/keluarga pasien. Perlindungan bagi pasien dan rambu-rambu untuk dokter
dibina antara lain oleh hati nurani dan moral, etika medis, disiplin profesi,
dan aturan hukum. Moral dan etika medis adalah rambu-rambu paling tua untuk
menjaga hubungan antara dokter dan pasien dalam berbagai dimensi agar
berlangsung dalam batas-batas yang dianggap wajar dan baik, sedangkan aturan
hukum sebagai rambu-rambu baru menyusul jauh kemudian. Hubungan dokter-pasien
yang bersifat kemitraan akan mengantar kedua pihak pada pemahaman dan keyakinan
bahwa yang dilakukan hanyalah sebatas upaya, yang oleh karenanya dokter dan
pasien harus melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya
Malpraktik
medik dapat masuk dalam lapangan hukum pidana apabila memenuhi syarat-syarat
dalam 3 aspek, yaitu (1) syarat sikap batin dokter; (2) syarta dalam perlakuan
medis, dan (3) syarat mengenai hal akibat. Pada dasarnya syarat dalam sikap
batin adalah syarat sengaja atau culpa, yaitu wujud perbuatan dalam melakukan
tindakan medik. Syarat perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang.
Syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau
nyawa pasien. Tiga undang-undang yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan
malpraktik medik adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 23
tahun 1992 Tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Khusus mengenai Ketentuan Pidana dalam Bab X Undang-Undang
No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Mahkamah Konstitusi tanggal 19
Juni 2007 menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “ kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai
kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Pasien
atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat praktik kedokteran yang
mereka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya melalui MKDKI yang
merupakan jalur non-litigasi. Selain melaui jalur non-litigasi, pasien/keluarga
pasien yang menduga telah terjadi malpraktik atas diri pasien, tidak menutup
kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, baik jalur perdata atau
pidana. Khusus untuk jalur perdata, adanya Lembaga ADR dapat dipertimbangkan
sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah sengketa medik yang terjadi,
selain ke pengadilan.
BAB
V
INTERAKSI
ETIKA
KESEHATAN – ETIKA KEDOKTERAN HUKUM MEDIK
A.Pengantar
Apabila
hendak dibicarakan etika kesehatan, etika kedokteran maupun hukum medik, maka
hal itu tidak mungkin dilepaskan dari masyarakat. Masyarakat merupakan
landasan, sumber maupun wadah tempat berprosenya hal-hal tersebut. Dari sudut
pandangan sistem, maka masyarakat bukanlah semata-mata merupakan himpunan atau
kesatuan manusia belaka, namun merupakan suatu sistem. Secara visual, system
kemasyarakatan itu (“societal system”) adalah, sebagai berikut :
2.9 3.9
1.9
4.9
8.9
5.9
7.9 6.9
|
Penjelasannya
adalah sebagai berikut :
keseluruhan
lingkaran merupakan system kemasyarakatan yang mencakup beberapa subsistem.
1.
Nomor 1 adalah sub-sistem
fisik
2.
Nomor 2 adalah sub-sistem
biologis.
3.
Nomor 3 adalah sub-sistem
politik.
4.
Nomor 4adalah sub-sistem
ekonomi.
5.
Nomor 5 adalah sub-sistem
sosial.
6.
Nomor 6 adalah sub-sistem
budaya.
7.
Nomor 7 adalah sub-sistem
kesehatan.
8.
Nomor 8 adalah sub-sistem
pertahanan-keamanan.
9. Nomor
9 adalah sub-sistem hukum
Subsistem hukum sebenarnya lebih tepat dinamakan inter
sub-sistem hukum, oleh karena mungkin mengatur bagian-bagian tertentu
sub-sistem lainnya. Oleh karena itu, dalam gambar tersebut di atas diberi
kode-kode 1.9, 2.9, 3.9, dan seterusnya.
Kode
7.9, misalnya adalah sub-sistem kesehatan yang diatur oleh hukum (bagian
lainnya tidak diatur oleh hjukum). Bagaimana halnya dengan bidang kedokteran
atau medis dalam hubungannya dengan sub-sistem kesehatan dan inter sub-sistem
hukum ?
Gambarannya adalah,
sebagai berikut:
7.9
7.a
7
Penjelasan:
Nomor
7 adalah sub-sistem kesehatan
Nomor
7a adalah bidang kedokteran atau medis
Nomor
7.9 adalah inter sub-sistem hukum yang mengatur sub-sistem kesehatan maupun
bidang kedokteran atau medis.
Manusia yang hidup dalam system
kemasyarakatan tersebut, terdiri dari aspek jasmaniah dan rohaniah. Aspek
rohaniah manusia, terdiri dari kodrat alamiah, kodrat budaya serta dunia nilai.
Kodrat alamiah manusia terdiri dari:
1. Cipta
(pikiran; rasio)
2. Karsa
(kehendak; kemauan)
3. Rasa
(perasaan; emosi).
Cipta melalui logika akan menciptakan
ilmu (pengetahuan). Karsa melalui etika menciptakan religi, akhlak, sopan
santun, dan hukum. Rasa melalui estetika menciptakan kesenian. Hal-hal yang
diciptakan itu merupakan kodrat budaya, sedangkan dunia nilai yang masing-masing
dihasilkannya adalah:
1. Kebenaran
2. Keserasian
3. Keindahan
B. Sistematika
prosesnya secara visual adalah, sebagai berikut:
DUNIA
NILAI
Kebenaran
Keserasian
Keindahan
|
KODRAT
BUDAYA
Logika-ilmu
Religi
Akhlak
Etika
Sopan
santun
Hukum
Estetika-kesenian
|
KODRAT
ALAMIAH
1.
Cipta
2.
Karsa
3.
Rasa
|
Kesemuanya itu dibawa manusia dalam
kehidupan kemasyarakatannya, sehingga mencakup sistem kemasyarakat, serta
sub-sistem yang menjadi bagiannya.
C. Etika
Kesehatan
Berdasarkan sistematioka tersebut di atas
dikatakan bahwa etika yang menghasilkan religi dan akhlak, lebih tertuju pada
kesempurnaan diri manusia pribadi. Yang menghasilkan sopan-santun dan hukum,
tertuju pada kehidupan antara pribadi (interaksi). Etika itu dalam proses
selanjutnya, yang semula merupakan etika kemasyarakatan sesuai dengan
sub-sistem yang ada, dapat mengkhususkan diri pada masing-masing sub-sistem.
Dengan demikian, mungkin ada etika politik, etika sosial, etika budaya, etika
kesehatan, dan seterusnya.
Titik
sentral etika adalah penilaian terhadap hal-hal yang disetujui dan yang tidak
disetujui. Titik sentral itu daya cakupnya meliputi, antara lain:
1. apa
yang benar dan apa yang salah.
2. Apa
yang merupakan kebaikan dan yang merupakan keburukan.
3. Apa
yang merupakan kebajikan dan apa yang merupakan kejahatan.
4. Apa
yang dikehendaki dan apa yang ditolak.
Dalam
keadaan normal, maka apa yang benar merupakan kebaikan, kebajikan, dan yang
dikehendaki. Demikian pula halnya dengan yang salah lazimnya merupakan
keburukan, kejahatan dan ditolak.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa etika paling sedikit mempunyai arah-arah,
sebagai berikut:
1. Analisis
psikologis atau sosiologis untuk menjelaskan perihal tolok ukur penilaian yang dipergunakan
2. Rekomendasi
sikap tindak atau tingkah laku.
Oleh karena tiu, dari etika berkembanglah
“aksiologi” (apa yang benar atau salah menurut nilai tertentu), dan
“deontology” (yakni ilmu mengenai apa yang seharusnya). Kedua hal itu tidak
perlu berjalan secara terpisah, sehingga dapat saja digabung.
Sebagaimana dikatakan di muka, maka
hal-hal yang berkaitan dengan etika itu, berkembang pada masing-masing
sub-sistem, sehingga kemungkinan ada etika kesehatan yang berkembang dalam
masyarakat. Etika kesehatan itu jelas mencakup penilaian terhadap jala
kesehatan yang disetujui atau tidak disetujui, dan juga mencakup suatu kerangka
rekomendasi bagaimana bersikap tindak secara pantas dalam bidang kesehatan.
Menurut
Thiroux, maka etika kesehatan mencakup ruang lingkup minimal, sebagai berikut
(J.P. Thiroux 1977:264).
“…..
treatment of dying patients, allowing someone to die, mercy death, and mercy
killing; behaviour control;human experimentation and informed consent;
genetics, fertilization,and birth; health care delivery and its costs:
population and birth control, abortion, and sterilization; allotment of scarce
medical resources, organ transplantation, and hemodialysis; and truth telling
and confidentiality in medicine. In short,…. (it) is really concerned with the
establishment between the sick and the dying on the one hand, and the healthy
and the medical professionals on the other.”
Suatu contoh etika
kesehatan adalah perihal hubungan antara petugas-petugas kesehatan, dengan
pasien serta keluarganya. Etika kesehatan mengenai hal ini memang tidak
bersifat tunggal, akan tetapi dapat dikategorisasikan dalam tiga golongan
(paling sedikit), yakni:
1. Paternalism,
yakni yang menyatakan bahwa kalangan profesi kesehatan harus berperan sebagai
orangtua terhadap pasien dan keluarganya.
2. Individualism,
yakni yang menyatakan bahwa pasien harus mempunyai hak-hak mutlak terhadap
badan maupun kehidupannya.
3. Reciprocalism,
yakni bahwa kalangan profesi kesehatan harus bekerjasama dengan keluarga pasien
maupun pasien, untuk merawat pasien.
Etika
Kedokteran.
Sebagaimana dikatakan di muka, maka bidang
kedokteran merupakan bagian dari sub-sistem kesehatan. Apabila hal itu diambil
sebagai titik tolak pandangan, maka etika kedokteran merupakan bagian dari
etika kesehatan. Oleh karena merupakan bagian dari etika kesehatan, maka etika
kedokteran harus serasi dengan etika kesehatan. Hal ini disebabkan oleh karena
etika kesehatan bersumber pada masyarakat, sedangkan kalangan kedokteran
merupakan bagian masyarakat.
Etika kedokteran yang dewasa ini merupakan
suatu kode, dilandaskan pada sumpah Hippocrates. Sumpah Hippocrates tersebut
dikembangkan menjadi sumpah dokter yang pada dasarnya seragam di pelbagai
masyarakat di dunia.
Etika kedokteran pada dasarnya
merupakan suatu kerangka sikap tindak yang dianggap pantas bagi seorang dokter.
Oleh karena itu, biasanya etika kedokteran berisikan pedoman-pedoman yang
berisikan kewajiban-kewajiban umum, seperti misalnya: “dalam melakukan
pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi.”
Kecuali itu etika kedokteran juga
berisikan pedoman-pedoman mengenai kewajiban dokter terhadap penderita,
kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap
dirinya sendiri. Memang, apabila kode etik kedokteran Indonesia, misalnya
dipelajari, maka tampaknya tidak ada hal-hal yang tidak serasi dengan etika
kesehatan secara umum, apabila ditinjau dari sudut isinya. Akan tetapi, ada
kemungkinan bahwa dari sudut penafsiran tidak mustahil timbul
perbedaan-perbedaan. Misalnya, salah satu perbuatan dokter yang dipandang
bertentangan dengan etik adalah setiap perbuatan yang bersifat memuji
diri-sendiri (Soerjono Soekanto & Kartono Mohamad 1983: 52 dan seterusnya).
Apabila seorang dokter menulis suatu artikel di surat kabar mengenai cara
pengobatan tertentu yang dianggap ampuh untuk menanggulangi suatu penyakit,
dapatkah perbuatan itu dipandang sebagai tingkah laku yang melanggar etika
kedokteran? Dari sudut pandangan masyarakat yang menjadi dasar etika kesehatan,
perbuatan itu mungkin dianggap biasa atau memang dikehendaki, oleh karena
dokter dianggap wajib memberikan penerangan kepada warga masyarakat.
Secara teoritis kemungkinan
terjadinya ketidak-serasian antara etika kedokteran dengan etika kesehatan
memang kecil. Akan tetapi, dalam praktik tidak mustahil hal itu terjadi,
walaupun lebih sering tidah disadari (terutama dari sudut warga masyarakat yang
awam terhadap ilmu kedokteran maupun etikanya). Kalau hal itu terjadi, apakah
yang seharusnya dilakukan?
Etika kedokteran sebenarnya
merupakan pedoman-pedoman yang berkaitan dengan bidang kedokteran sebagai
profesi. Menurut Skolnick, maka (J.H. Skolnick 1966: 231).
“In
sociology, there have been two main traditions, one emphasizing professional
ideal and values, the other stressing technical competence. . . . .
An
alternative concept of “professionalism” is associated with a managerial view
emphasizing rationality, efficiency and universalism. This view envisages the
professional as a bureaucrat. . . . . .” Etika kedokteran yang ada dewasa ini
tampaknya lebih banyak memberikan tekanan pada “professional ideals and
values.”
Hukum Medik
Sebagaimana di singgung
di muka, maka dalam bidang kodrat budaya, etika menimbulkan religi, kesusilaan,
sopan-santun dan hukumj. Oleh karena etika berkaitan dengan apa yang seharusnya
(artinya bersifat normatif), maka konkritisasinya adalah kaidah-kaidah
kepercayaan, kesusilaan, sopan-santun dan hukum. Masing-masing kaidah mempunyai
tujuan yang berbeda-beda, yakni:
1.
Kaidah kepercayaan
bertujuan agar manusia hidupnya ber-Iman, sehingga kaidah ini diarahkan pada
kesempurnaan pribadi seseorang.
2.
Kaidah kesusilaan
bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih, sehingga kaidah ini
diarahkan pada kesempurnaan pribadi seseorang.
3.
Kaidah sopan santun
bertujuan agar kehidupan manusia berlangsung dalam keadaan yang menyenangkan,
sehingga kaidah ini diarahkan pada hubungan antar pribadi.
4.
Kaidah hukum bertujuan
agar masyarakat hidup dalam keadaan damai melalui keserasian antara ketertiban
(disiplin) dengan ketenteraman (kebebasan), sehingga kaidah ini diarahkan pada
hubungan antar pribadi.
Kalau etika merumuskan
penilaian-penilaian mengenai apa yang benar dan apa yang salah, misalnya, maka
kaidah hukum berisikan suruhan, larangan dan kebolehan, yang mungkin bersifat
imperatif atau fakultatif. Kaidah-kaidah hukum tadi dapat dirumuskan secara
hipotetis atau kategoris, yang esensialiannya adalah patokan-patokan tingkah
laku yang dianggap pantas atau sayogia (behoorlijk).
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa hukum medik merupakan perangkat
kaidah-kaidah hukum yang berkaitan
dengan perawatan kesehatan, yang khususnya dilakukan oleh kalangan medik.
Perlu dicatat, bahwa mengenai
istilah, memang masih ada kerancuan, oleh karena istilah-istilah hukum
kesehatan, hukum kedokteran dan hukum medic, seringkali dipergunakan dengan
pengertian yang tidak konsisten. Dalam tulisan ini sengaja dipergunakan istilah
“hukum medik” dengan maksud agar pada pandangan pertama sudah tampak adanya
perbedaan antara etika kesehatan, etika kedokteran dan hukum medik. Dengan
demikian, maka hukum medik sebenarnya adalah sinonim dengan hukum kesehatan,
sehingga hukum medik tidak hanya mengatur hubungan antara dokter dengan pasien,
akan tetapi juga hubungan-hubungan yang terjadi yang berkaitan dengan petugas
kesehatan lainnya, yang ruang lingkupnya sama dengan sub-sistem kesehatan.
Kalau yang dibicarakan hukum kedokteran (saja), maka ruang lingkupnya hanyalah
menyangkut hubungan hukum antara dokter dengan pasien, yang berintikan pada
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dokter dan pasien, sepanjang mengenai perawatan
kesehatan. Apabila kaitannya diperluas, sehingga juga berhubungan dengan
tanggung jawab perawat, misalnya, maka namanya sudah hukum medik atau hukum
kesehatan.
Penutup:
Dengan
demikian dapatlah dikatakan, bahwa landasan hukum medik adalah etika kesehatan
(masyarakat) maupun etika kedokteran. Hukum kedokteran, landasannya secara
langsung etika kedokteran belaka (walaupun etika kedokteran secara logis juga
dilandaskan pada etika kesehatan). Adanya percobaan untuk mengetengahkan
batas-batas secara relatif ini, mungkin akan dapat dijadikan pertimbangan untuk
menetapkan ruang lingkup masing-masing dengan tegas. Biar bagaimanapun juga
harus ada kesesuaian dan konsistensi antara istilah (term), pengertian (begrip)
dan perumusan (omschrijving). Sebagai
kesimpulan dapat disajikan
visualisasi
hubungan antara etika kesehatan, etika kedoikteran dengan hukum medik, sebagai berikut:
B.
HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PROFESI
SEORANG DOKTER
Kontrak atau persetujuan terapeutik
adalah antara dokter dan pasien, dan merupakan persetujuan pemberian jasa
(…ensten verlening).
Kita
mengetahui bahwa persetujuan terapeutik termasuk kategori
“Inspanningverbintenis” ialah persetujuan dimana satu pihak (di sini ialah
pihak dokter) berjanji untuk berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan
pasien. Dokter misalnya tidak berjanji untuk menyembuhkan pasien dengan pasti
dalam suatu waktu tertentu.
Dari
persetujuan itu pasien memperoleh hak-hak; dokter pula memiliki hak-hak
sendiri.
1.
HAK-HAK
PROFESI SEORANG DOKTER.
a. Hak
yang terpenting dari seorang dokter adalah hak untuk bekerja menurut standard
profesi medik. Dalam rangka memelihara kesehatan pasien, maka seorang dokter
mempunyai hak untuk bekerja sesuai standard (ukuran) profesinya.
b.
Hak menolak melaksanakan
tindakan medik yang ia tidak dapat mempertanggungjawabkan secara profesional. Dalam
literatur Hukum Kesehatan terdapat suatu contoh ialah suatu keputusan dari
Medische Tuchtraad Amsterdam 18 Juni 1980 Nor. 108 yang merupakan suatu
jurispendensi mengenai hak dokter tersebut.
c.
Hak untuk menolak suatu
tindakan medik yang menurut suara hatinya (conscience)
tidak baik. Seorang dokter menurut hak ini mendapat hak untuk bertindak sesuai
“Sa science et sa conscience” dan
jika ia menghadapi suatu kasus seperti tersebut ini dimana ia menolak, maka ia
mempunyai kewajiban untuk menunjuk seorang dokter lain.
d.
Hak mengakhiri hubungan
dengan seorang pasien jika ia menilai bahwa kerjasama pasien dengan dia tidak
lagi ada gunanya (Geen zinvole
samenwerking).
Misalnya
dokter memberikan instruksi pengobatan yang perlu dan wajib dilaksanakan oleh
pasien, tapi pasien berkali-kali tidak mengikutinya sebagian maupun keseluruhannya tanpa memperlihatkan
suatu penyesalan tapi tiap kali hanya mengemukakan bahwa ia lupa. Contoh dalam
literatus: M.T. Den Haaf 24/10/33 & 2/7/64.
e.
Hak atas “privacy”
dokter.
Pasien
harus menghargai dan menghormati hal-hal yang menyangkut “privacy” dokter,
misalnya jangan memperluas hal-hal yang sangat pribadi dari dokter yang ia
ketahui sewaktu pengobatan.
f.
Hak atas “itikad baik”
dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutis.
Misalnya
pasien harus memberikan informasi yang slangkap mungkin tentang apa yang
dirasakan sakit, sehingga dokter dapat bekerja dengan baik (diagnose &
terapi). Pasien pula harus bekerja sama sebaik mungkin dalam hal melaksanakan
saran-saran dan petunjuk dokter (kecuali tentu jikalau pasien ingin menolak
suatu tindakan pengobatan tertentu).
g.
Hak atas balas jasa.
Hal
ini pula sesuai dengan persetujuan terapeutik dimana dari pihak pasien disamping
memiliki hak-hak pasien, ia pula mempunyai kewajiban untuk memberikan suatu
honor kepada dokter, dan kewajiban pasien tersebut ini merupakan salah satu hak
seorang dokter. Dalam hal ini Asuransi Kesehatan kewajiban pasien ini diambil
oper oleh asuransi.
h.
Hak atas “fair play”
dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadapnya.
Jikalau
seorang pasien tidak puas dan ingin mengajukan keluhan-keluhan, maka dokter
mempunyai hak agar pasien tersebut membicarakan/mendiskusikan terlebih dahulu dengan dia sebelum
mengambil langkah-langkah lain seperti melaporkan kepada Pimpinan Rumah
Sakit atau melaporkan kepada IDI atau mengajukan gugatan atau tuntutan hukum.
i.
Hak untuk membela diri.
Hak
ini sudah jelas dan tidak memerlukan keterangan lebih lanjut.
j.
Hak “memilih” pasien.
Hak
tersebut ini sama sekali tidak merupakan suatu hak mutlak. Lingkungan sosial
merupakan hal yang sangat mempengaruhi hak ini.
Dalam
masyarakat yang kolektivitis seorang dokter biasanya dididik “Community
Oriented” dan sama sekali mengenyampingkan hak ini.
Dalam
masyarakat yang individualistis seperti kebanyakan masyarakat Eropa Barat ada
pula keadaan-keadaan di mana hak ini tidak berlaku.
Hal
ini pula tidak berlaku misalnya untuk seorang dokter dalam status ikatan dinas.
2.
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN
PROFESI SEORANG DOKTER.
Kewajiban-kewajibannya
dokter (de beroepsplichten van de arts)
dapat dibebankan dalam kelompok ialah:
1. Kewajiban
yang berhubungan dengan fungsi sosial dari pemeliharaan kesehatan.
2. Kewajiban
yang berhubungan dengan standard medik.
3. Kewajiban-kewajiban
yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran.
4. Kewajiban-kewajiban
yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan (proportionaliteits begins).
5. Kewajiban-kewajiban
yang berhubungan dengan hak-hak pasien.
a.
Kewajiban-kewajiban
yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.
Pada
kelompok ini kepentingan masyarakat yang menonjol dan bukan saja kepentingan
pasien saja.
Dalam melakukan
kewajibannya di sini seorang dokter harus memperhitungkan factor kepentingan
masyarakat (Doelmatig gebruik) misalnya:
-
Pada sarana-sarana di
mana ia bekerja seperti RS, klinik, puskesmas, dokter harus berhati-hati dalam
mendistribusikan obat-obatan yang persediaannya sedikt.
-
Dalam menentukan diopname
seorang pasien, dokter harus memperhitungkan jumlah tempat tidur yang ada di
Rumah Sakit dan keadaan sakit pasiennya.
-
Mempertimbangkan untuk
tidak menulis suatu resep untuk obat-obatan yang tidak begitu perlu.
-
Mempertimbangkan
penulisan resep obat yang murah daripada obat yang mahal untuk penyembuhan
pasien.
b Kewajiban yang
berhubungan dengan standard medik.
Seorang
dokter wajib melakukan tiap tindakan medik sesuai dengan Standard Medik yang
berlaku. Standard Medik ini untuk sebagian besar ditentukan oleh Ilmu
Pengetahuan Medik.
Pengertian
Standard Medik dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Suatu
cara melakukan tindakan medik dalam suatu kasus yang kongkrit menurut suatu
ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu medik dan pengalaman”. (Leenen 1981
hal.31 : De medische standard dan wordenomschreven als op grond van wetenschap
en ervaring aanewezen wijze van medisch handelen in het concrete geval).
Harus
disadari bahwa sukar sekali untuk memberikan suatu kriterium yang eksak untuk
dipakai pada tiap tindakan medik karena situasi kondisi dan pula karena reaksi
para pasien yang berbeda.
c. Kewajiban-kewajiban
yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran
Tindakan
medik tidak saja harus sesuai dengan standard medik akan tetapi pula harus ditujukan pada suatu tujuan medik.
Tindakan-tindakan
diagnostik maupun tindakan-tindakan terapeutik harus secara nyata ditujukan
pada perbaikan dari situasi pasien.
Leenenn
1981 pada hal. 33 mengemukakan bahwa:
“Het
doel van de geneeskunde kan als volgt worden om schreven:
a.
het genezen en voorkornen
van ziekte;
b.
het verzachten van
lijden;
c.
het begeleiden van de
patient, waaronder begrepen stervens-begeleiding.”
Diterjemahkan sebagai
berikut:
Tujuan
ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.
menyembuhkan dan mencegah
penyakit.
Seorang dokter ada
kewajiban untuk selalu melakukan suatu tindakan medik/pengobatan yang ada
gunanya. Suatu tindakan medik/pengobatan yang ada gunanya ialah suatu tindakan
medik yang mengandung kemungkinan untuk menyembuhkan pasien atau untuk memberhentikan
proses penyakit, atau untuk mencegah suatu penyakit.
Tindakan medik/pengobatan
yang tidak ada gunanya misalnya dalam memperpanjang proses kematian seorang
pasien menimbulkan suatu masalah, karena tindakan medik tersebut tidak ditujukan pada tujuan medik.
b.
meringankan penderitaan.
Memperingan
penderitaan seorang pasien adalah suatu tujuan tradisional dari pengobatan. Hal
ini merupakan suatu bagian dari persetujuan terapeutik. Meringankan penderitaan
berarti pula bahwa dokter harus berusaha untuk mencegah sebanyak mungkin adanya
penderitaan yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan medik.
c.
mengantar pasien
(comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir hidup.
mengantar
pasien (comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir hidup. Comforting
pasien dan keluarganya adalah bukan saja suatu kewajiban dari dokter, tapi pula
dari tenaga-tenaga kesehatan lain.
Dalam
dunia kedokteran kadang-kadang ada suatu anggapan bahwa kemampuan teknis lebih
penting dari meringankan penderitaan maupun “comforting”. Hal ini tidak benar
karena Ilmu Kedokteran tidak dibatasi pada aspek-aspek biomedik. Seorang dokter
tidak saja dapat melakukan kesalahan profesi dalam hal diagnose dan terapi saja
tapi pula dalam meringankan penderitaan dan “Comforting” pasien.
d.
Kewajiban-kewajiban
yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan (proporsionaliteits beginsel).
Hal ini berhubungan dengan
tindakan-tindakan diagnostik dan terapeutik, dengan penanganan penderitaan
“comforting” dan pula dengan tindkan “prefentiv”. Dokter harus menjaga adanya
suatu keseimbangan antara tindakan-tindakannya dan tujuan yang ingin ia
mencapai dengan tindakan-tindakan tersebut itu.
Jika misalnya ada suatu tindkan diagnostik
yang berat dilakukan pada suatu penyakit yang relatif ringan sekali, maka hal ini tidak memenuhi
prinsip keseimbangan (diagnostic overkill).
Ini pula dapat terjadi di bidang terapi (terapi
overkill) maupun di bidang “comforting” (care overkill). Dokter selalu harus membandingkan tujuan tindakan
mediknya dengan resiko dari tindakan tersebut dan ia harus berusaha mencapai
tujuan itu dengan resiko yang terkecil.
PENJELASAN
STANDARD PROFESI MEDIK:
Jikalau
suatu tindakan medik dilakukan menurut standard medik, sesuai dengan tujuan
Ilmu Kedokteran, sesuai pula dengan prinsip keseimbangan dan dilakukan secara
teliti, maka tindakan ini disebut suatu tindakan medik “LEGE ARTIS”.
Suatu
tindakan medik “Lege Artis” adalah suatu tindakan sesuai “STANDARD PROFESI
MEDIK”.
LEENEN merumuskan sebagai berikut:
Suatu
tindakan medik seorang dokter adalah sesuai dengan STANDARD PROFESI MEDIK jika
dilakukan secara teliti sesuai standard medik, sebagai seorang dokter yang
memiliki kemampuan “AVERAGE” dibanding dengan dokter-dokter dari kategori
keahlian medik yang sama, dlam situasi kondisi yang sama dengan peralatan dan
obat-obat yang memenuhi suatu perbandingan yang wajar dibanding dengan tujuan
kongkrit tindakan medik tersebut.
LEENEN 1981 hal.36:
De
formulering van de norm voor de medisch profesionele standard zon dan kunnan
zijn:
Zorgvulding
volgens de medische standard handelan al seen gemiddeld bekwaam arts van
gelijke medische categorie in gelijke omstandighaden met middlen die in
redelijke verhouding staan tot het concrete handelingsdoel.
Dalkam
hubungan ini perlu pula dikemukakan adanya suatu keputusan pengadilan SUPREME COURT OF CANADA 1956 yang
sedikit banyak mirip dengan formulasi LEENEN
tentang STANDARD PROFESI MEDIK.
Keputusan
Suporeme Court of Canada tersebut memberikan suatu pedoman tentang “PRINCIPLE OF LIABILITY” seorang dokter dan berbunyi sebagai berikut:
“The
doctor has to possess the skill, knowledge and judgement of the average of the
group of technicians to which he belongs”.
II.5
Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien.
Termasuk
kewajiban profesi seorang dokter untuk memperhatikan dan menghormati hak-hak
pasien.
Kewajiban-kewajiban
profesi yang berhubungan dengan hak-hak pasien didasarkan pada relasi
dokter-pasien dan beberapa hak pasien yang harus dihormati itu adalah antara
lain:
-
Hak mendapatklan
pelayanan medik dan perawatan
-
Hak memilih dokter dan
rumah sakit
-
Hak atas informasi dan
persetujuan
-
Hak atas rahasia
kedokteran
-
Hak menghentikan
pelayanan medik
-
Hak menolak pengobatan
Lampiran
1
HEALTH
LAW, HEALTH LEGISLATION AND SOCIETY
Oleh:
Prof. DR. H.J.J. Leenen
Since the fifties health law has developed
as a special branch of law in a few countries, especially in France and the
Netherland. In the sixties other countries joined. In the United States Of
America the scope of interest broadened from medical liability, mainly a
problem of civil law, towards the relation between ethics and law on the one
hand and health of the individual and society on the other hand. The first
world congress on medical law in Ghent in 1967 contributed much to this
development, as did the other congresses organized by the World Association for
Medical Law. The congress of 1979 in Ghent was attented by representatives of
Indonesia and our contacts date from that time. Especially Prof. Oetama and drs.
F. Ameln initiated activities to build up health law in Indonesia. It was a
great honour for me to be invinted to inaugurate health law has expanded
considerably in your country and this seminar shows the healthy status of
health law in Indonesia.
I will not go deeply into the reasons for
the development of health law as a special branch of law in many countries. A
major cause is the evolution of medical science and technology, which more and
more intrude upon the human body and mind and affect physical and mental
integrity. Moreover, medicine has become a big and bureautic institution in
which personal relations tend to deteriorate. On the other hand, the nations of
human rights and individual self determination are, especially after the Second
World War, nationally and internationally accepted as cornerstones of law and
social policy. Therefore a tension exists between a deep intruding
sophisticated and bureaucratic health care and the patient who has become more
aware of his personal rights. The tension between the powerful system and the
weak patient needs to be dissolved. History has shown that when the power of
institutions over individuals increases and their relationship has
deteriorated, law is one of the instruments society uses to defend the weaker
party. Thus one of the tasks of health law is to work out legal instruments for
the protection of the patient.
The social aspects of health care have
also contributed to development of health law. In all countries a disparity
exists between the health needs of the population and the available funds. An
equitable distribution of the available facilities is a matter of social
justice. It requires a reasonable dispersion of facilities all over the country
and a financing system that secures everybody access to health care thus
enabling everybody to use health care facilities. It is wellknown that the
problem of equity in health care has not yet been solved and that this solution
is more and more coming under stress because of the growth of medical and technological
possibilities on the one hand and the continuous decrease of health care
funding on the other hand. The problem of scarcity and its equitable
distribution is one of the main issues in health law. Many more factors are
involved in the emergence of health law, but I have to confine myself to these
general remarks.
These two main streams to the river of
health law also constitute its theoretical basis. The right of
selfdetermination, an individual right, and the right to health care, a social
right, aim respectively at the protection of the individual sphere and of
liberty and at an equitable distribution of health care facilities. Social
rights are different from individual rights. Legally the latter are of a
stronger nature than social rights, which provide only instruction norms to the
government. Nevertheless and equitable distribution of scarce health care
facilities is of the utmost importance to the well-being of the individual and
social rights contain mopral and when legislated even legal claims to
participation in the social goods in accordance with a distributive justice.
Health law can be defined as the body of
legal rules that relates directly to health and the application or general
civil, administrative and penal law in health care. The specific rules for
individual and social rights in health care are included in the first part of
this definition; the second part sees to the connection between health care and
general law. Health law with its particular subjects is a specialized branch of
law and simultaneously it is part of law in general. General law principles and
rules apply to health care. Health law belongs to the family of law.
It is what I would like to call a
horizontal specialism; health law has to combine the administrative, civil and
penal approaches. This is not to say that every subject of health law must
always be studied from all three points of view, but while going deeper into
the problems if often appears that more than one of the said approaches is at
stake. Patient’s rights, for instance, are in many countries primarily of a
civil nature, but they also have a penal aspect to them insofar the absence of
the patient’s consent can turn a medical act into a criminal act.they have an
administrative aspect when the legislator includes the protection of the rights
of the patient in administrative ruling. Being a horizontal specialism health
law cannot be studied by either civil, penal or administrative lawyers only.
Independently they can contribute much to the development, but health law
cannot growfully and freely when it would be in charge of only one of these
aspects of law. In this sence health law is interdisciplinary within the legal
profession.
Being a member of the legal family does
not mean that health law is not affiliated with medicine. It would be a mistake
to develop and elaborate health law without maintaining close connections with
the health proffesions. Health law is also interdisciplinary outside the legal
law proffesion, because it has to be orientated towards the real problems in
health care. In my view health law as proffesion cannot be exercised without
close contacts with doctors, nurses, pharmacists, medical scientists a.s.o.
Health professions must accept that health lawis of the legal discipline and health
lawters must be aware that knowledge of and insight in health care are required
for a realistic and expert health law analysis. Health law should not to be
studied in the study only.
There is still another reason for close
cooperation between health professions and health lawyers. For a large part
health law has to manifest itself in the contacts between the patient and e.g.
the doctor, the nurse and the health care system. Whether the patient will be
sufficiently informed, whether he will get expert care in the hospital depends
mainly on the health professionals. Health lawyers can work out norms and
rules, but they have to be applied for the greater part by the health
professionals. So it is not only important that health lawyers teach health
professionals but also that they make them aware that it mainly depends on them
whether the rights of patients will be respected and whether health care will
be delivered in accordance with the rules.
The subjects that are studied by health
law can be classified as follows:
-
Basic concepts, theory,
metodology e.g. the right to selfdetermination, the right to health care,
private versus public responsibility.
-
Individual aspects of
health law e.g. physical and mental integrity, sterilization, artificial insemination,
abortion, privacy, riughts of minors, the mentally ill, rights of patients,
euthanasia.
-
Quality of health care
e.g. the health professions, disciplinary provisions, audit, quality
requirements for institutions, quality regulations concerning technical
equipment, drugs.
-
Provisions of health
caree.g. planning legislation, organization of helath care, organ
transplantation, anaesthesia, psychosurgery, mental health legislation.
-
Preventive and
environmental health.
-
Financial accessibility
of health care e.g. social security, subventions, systems of payment of health
care providers, price-regulations.
-
Relations between
patients and providers e.g. medical contract, hospital contract, free choice of
doctors and patients, complaint-procedures.
-
Role of the government
e.g. health inspectorate, competencies and procedure, the rule of legislation.
-
Relation between state
and citizen e.g. force and pressure upon a citizen by the state in the case of
contagious disease or mental problems, medical care for detainess and for the
military, waterfuloridation.
-
International health law.
Superfluous
to say, that other classifications are possible and that within a chosen
categorization it is a matter of choice in which category to plce a specific
subject. It depends on the view one takes of which aspect of a problem is
salient. As to the compulsory confinement of the mentally ill for instance,
some will favour a point of view from the competencies of the state, other will
stress the rights of the mentally ill.
In
nearly all of the said subjects the question of legislation is at stake. Are
the rules to be incorporated into formal legislation or should the rulling be
left to customary law, jurisdiction and selfregulation? This question has
become urgent because of the increasing role of the state in health care, which
has resulted in a growing body of legislation. This is specially true for
administrative health law. The problems of special health legislation in civil
and penal health law are restricted to questions like whether the medical
contract is to be incorporated as a special contract into the civil code, to
abortion-and euthanasia legislation and the like. Civil and penal health
legislation are rather rare. These two fields of health law are mainly
elaborated within the general systems of civil and penal law, where courts play
and important role.
The
growth of administrative health law is not only due to the increasing role of
the state in the administration of health care, but also to a tendency of the
state to draw into its realm subjects which were formerly left to
selfregulation of society. Another factor is what I call the “fiction of
legislation”. It is often assumed both by politicians and many others insociety
that a social problem can be solved providing it with a legal framework. This
assumption implies the hypothesis that a law will function according to its
goal. This is not to say that a law will function according to its goal. This
is not to say that a law will not mostly succeed in achieving that goal, but
especially in administrative matter there is a real risk that side effects and
even counter effects will hamper its original aim. Sociology of law has shown
that legislation has not always worked out as it had been intented. Thus it may
turn way from its original goal and legislation can even become an obstacle to
reaching it. But however this may be, the fiction of legislation has in many
countries contributed to the growth of administrative legislation.
Beside
these aspects it has to be kept in mind, that legislation is only one of the
instruments to solve social problems. Sometimes this instrument is
indispensable, sometimes other methods are to be preferred.it is not only
impossible but also undersirable to rule all aspects of life and society in legislation.
To many problems legislation is not the appropriate answer. Furthermore,
legislation in itself`is limited by nature. Law cannot relace human
relationships, nor can it force people to love each other and it can change
human behavior only in a limited way. Law can give support and can sometimes
force. As an instrument legislation is also defective. Formulating in a law
necessarily creates confinements and restrictions and diversity is unified in
legal definitions. Moreover, legislation nearly always leaves loopholes and can
lead to fixation of social processes because the law cannot adapt itself
quickly enough or sufficiently to changes.
Because
of these problems and expansion of legislation in the administration of health
care deregulation has become all the vogue. The question is raised how the
state and society and as a consequence legislation and selfregulation relate to
each other. There is no answer to this question. This depends on cultural,
social and political factors, but also on the legal system and legislative
style of a country. Some countries are more inclined to administrative ruling
than others and legislative styles differ from country to country. This
appears, sub alia, from the study on trends in health legislation, which I
carried out with Mrs. Pinet and Prof. Prims for the European Office of WHO at
Copenhagen. Because of these differences legislative theory is necessary of a
rather abstract nature.
However
difficult it is to elaborate on legislation in a concrete sense, it is still
possible to give a general outline of health legislation policy. Thus one can
consider the motives for using the instrument of legislation there by bringing
a subject into the public sphere. Some of them are:
a)
Health care is a concern
of the entire population, for which the government is responsible. Legislation
on the structure and functioning of health care not only underlines this public
responsibility, but also gives a say to parliament representing society.
b)
Quality of health care is
another aspect which requires legislation. Legislation on this quality not only
pertains to drugs and equipment, but also to the delivery of health care by
health professionals. The patient mostly is not in a position to judge the
quality of care and it is up to the government to guarantee the supervision of
quality of care. Sometimes direct legislation, putting quality control into the
hands of the government, is indicated e.g. with drugs. With the delivery of
care by health professionals indirect legislation is more obvious. In this type
of legislation quality control is an obligation of the profession and the
health care institution andit is up to them how to fulfil this obligation.
c)
Financial and
geographical accessibility of health care constitutes a strong reason for legislative
intervention. An equitable distribution of the scare health facilities cannot
be left to the market mechanism. Then the poorer regions of the country and the
poorer parts of the population would be badly off.
d)
Protection of the rights
of the patient is a strong incentive for legislation. The patient is the weaker
party and his dependence on the health care providers leaves him nearly without
arms. The legislators can provide the patient with means to defend himself.
e)
Outside the context of
health care protection of the individual can also bring the legislator into
action. For instance, the legislator into action. For instance, the
safeguarding of health data stored in computers and of privacy and regulation
of the right of access to one’s own medical records cannot mostly be left to
the private sphere. Conflicts of interests in these fields cannot be solved
through selfregulation by one of the parties in this conflict viz. the
possessor of the data. The same is true for complaint procedures. The requirement
of independence in judging complaints prevents from setting up these procedure
by the party against whom the complaint is lodged.
f)
Inhealth activities often
third party interests are involved. Examples are medical examinations for a
job, the removal of organs for transplantation, experiments on human beings.
Third party interests are potential danger to the patient. Such a danger
constitutes a strong incentive to the legislator to interfere.
g)
Protection of the health
of society is a classic motive for legislation, the more so when this
protection results in upon individual liberty. Here contagious diseases are an
obvious example.
h)
Legislation is always
required in penalcase or when the Constitution requires legislation. In the
Netherlands the latter is true for intrusions upon physical integrity.
i)
Finally, legislation is
indispensable to the protection of the individual against the government.
Legislation is not only an instrument in the hands of the government.
Legislation is not only an instrument in the hands of the government, it can
also be employed against the government in order to limit its power and abuse
of power.
A motive for legislation being present
does not necessary imply that these are not alternative ways of solving the
problem. At least two other questions
have to be answered. The first question is whether there exist other acceptable
ways of solving the social problem. The second one pertains to the feasibility
of legislation. It has to be studied whether a law can be expected to function
according to its goal and whether it can be enforced.
The
first question raises the matter of selfregulation. Selfregulation has a lot of
advantages. One of them is the involvement and responsibility of the citizens.
But as an alternative to legislation for the problems above mentioned as
motives for intervention of the legislator, it has disadvantages too. A first
one is that neither the government nor the not allied can exercise influence.
Leaving regulation to private organizations implies giving them power without a
say of outsiders who are affected by this power. So selfregulation by the
medical profession of information of the patient and of consent to medical
treatment for instance in professional codes, affects, the patient without
himleaving a say in the making of the rules. Selfregulation is to create power
in society free of external influence. Then legislation has to be considered to
put governmental power in support of the weaker party and to bind the hands of
private organizations. A second problem is that private organizations and
institutions often tend to aim
selfinterest rather than public interest. Thirdly, selfregulatory provisions
are difficult to enforce; members of a group can withdraw of sanctions by
giving up their membership or one can break off relations with a private
institution. For self regulation to be an alternative to legislation in my
opinion three conditions must be met: it must be internally binding, it must
not aim at selfinterest but at common interest and it must function in the open
and under societal influence. As an alternative to legislation selfregulation
behind closed doors is unacceptable. The more selfruglation sufficiently
operates under the said conditions, the more the role of the legislator can be
restricted. Indirect legislation may act as a link between governmental
responsibility and private regulation. In such a type of legislation the
government merely uses its power as a means to provide a safeguard and to to
control, but is refrains from acting as long as it is certain that justice is
not violated. The legislator’s reluctance to act may never result in an
insufficient protection of the rights of the individual or in an inequitable
distribution of health resources. The danger of abstaining from legislation is
that it has a negative effect on the position of the weakest parties in
society. To study the feasibility of legislative rules is important, not only
to read a right the “fiction of legislation”, but also to gain insight in what
a law can and cannot do and how it can be aimed with maximum accuracy at its
goal.
The
sword of laws has ablunt and a sharp edge. Power groups insociety always try to
get hold of the sword of law and to direct its sharp side to others and to keep
the blunt side to themselves. Power and law have always been akin. One of the
tasks of health law is to give a sword into hands of the powerless in health
care to defend their human rights and an equitable distribution of the scarce
health facilities.
LAMPIRAN
2
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
1. Undang-Undang
Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan
2. Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
23 TAHUN 1992
TENTANG
KESEHATAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
:
a. bahwa
kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa
pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang
besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan
sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia;
c. bahwa
dengan memperhatikan peranan kesehatan di atas, diperlukan upaya yang lebih
memadai bagi peningkatan derajat kesehatan dan pembinaan penyelenggaraan upaya
kesehatan secara menyeluruh dan terpadu;
d. bahwa
dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud
butir b dan butir c, beberapa undang- undang di bidang kesehatan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan;
e. bahwa
sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Undang-undang
tentang Kesehatan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Upaya
kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
3. Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
4. Sarana
kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
5. Transplantasi
adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh
manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak
berfungsi dengan baik.
6. Implan adalah bahan berupa obat dan atau alat
kesehatan yang ditanamkan ke dalam jaringan tubuh untuk tujuan pemeliharaan
kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan, dan atau
kosmetika.
7. Pengobatan
tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat, dan
pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman dan keterampilan turun temurun, dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
8. Kesehatan
matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fisik
dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah secara
bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.
9. Sediaan
farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
10. Obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
11. Alat
kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat
yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau
untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
12. Zat
aktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis.
13. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan
dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep doktcr,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat
tradisional.
14. Perbekalan
kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyclenggarakan
upaya kesehatan.
15. Jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan
pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan
kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan
yang dilaksanakan secara praupaya.
BAB
II
ASAS
DAN TUJUAN
Pasal
2
Pembangunan
kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata,
perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kckuatan
sendiri.
Pasal
3
Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
BAB
III
HAK
DAN KEWAJIBAN
Pasal
4
Setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Pasal
5
Setiap
orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya.
BAB
IV
TUGAS
DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal
6
Pemerintah
bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya keschatan.
Pasal
7
Pemerintah
bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat.
Pasal
8
Pemerintah
bertugas menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan
pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan
keschatan bagi masyarakat yang kurang mampu tetap terjamin.
Pasal
9
Pemerintah
bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
BAB
V
UPAYA
KESEHATAN
Bagian
Pertama
Umum
Pasal
10
Untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan
upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),
dan pemulihan kesehatan (rchabilitatif) yang dilaksanakan secara menycluruh,
terpadu, dan berkesinambungan.
Pasal
11
(1) Penyelenggaraan
upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan melalui
kegiatan :
a. kesehatan
keluarga;
b. perbaikan
gizi;
c. pengamanan
makanan dan minuman;
d. kesehatan
lingkungan;
e. kesehatan
kerja;
f.
kesehatan jiwa;
g. pemberantasan
penyakit;
h. penyembuhan
penyakit dan pemulihan kcschatan;
i.
penyuluhan kesehatan masyarakat;
j.
pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan;
k. pengamanan
zat adiktif;
l.
kesehatan sekolah;
m. kesehatan
olahraga;
n. pengobatan
tradisional;
o. kesehatan
matra.
(2) Penyelenggaraan
upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh sumber daya
kesehatan.
Bagian
Kedua
Kesehatan
Keluarga
Pasal
12
(1) Kesehatan
keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, kecil, bahagia, dan
sejahtera.
(2) Kesehatan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami istri,
anak, dan anggota keluarga lainnya.
Pasal
13
Kesehatan
suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran data rangka menciptakan
ketuarga yang sehat dan harmonis.
Pasal
14
Kesehatan
istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, pascapersalinan dan
masa di luar kehamilan, dan persalinan.
Pasal
15
(1) Dalam
keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwa ibu hamil dan atau
janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
(2) Tindakan
medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a. berdasarkan
indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. oleh
tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c. dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
d. pada
sarana kesehatan tertentu.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
16
(1) Kehamilan
di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu
suami istri mendapat keturunan.
(2) Upaya
kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
a. hasil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal;
b. dilakukan
oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c. pada sarana kesehatan tertentu.
(3) Ketentuan
mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
17
(1) Kesehatan
anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak.
(2) Kesehatan
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui peningkatan
kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan
usia sekolah.
Pasal
18
(1) Setiap
keluarga melakukan dan mengembangkan kesehatan keluarga dalam keluarganya.
(2) Pemerintah
membantu pelaksanaan dan mengembangkan kesehatan keluarga melalui penyediaan
sarana dan prasarana atau dengan kegiatan yang menunjang peningkatan kesehatan
keluarga.
Pasal
19
(1) Kesehatan
manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan
kemampuannya agar tetap produktif.
(2) Pemerintah
membantu penyelenggaraan upaya kesehatan manusia usia lanjut untuk meningkatkan
kualitas hidupnya secara optimal.
Bagian
Ketiga
Perbaikan
Gizi
Pasal
20
(1) Perbaikan
gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan gizi.
(2) Perbaikan
gizi meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi, pencegahan, penyembuhan,
dan atau pemulihan akibat gizi salah.
Bagian
Keempat
Pengamanan
Makanan dan Minuman
Pasal
21
(1) Pengamanan
makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan
dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan
kesehatan.
(2) Setiap
makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi :
a. bahan
yang dipakai;
b. komposisi
setiap bahan;
c. tanggal,
bulan, dan tahun kadaluwarsa;
d. ketentuan
lainnya.
(3) Makanan
dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan
kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan
minuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Kesehatan
Lingkungan
Pasal
22
(1) Kesehatan
lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat.
(2) Kesehatan
lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan
kerja, angkutan umum, dan lingkungan lainnya.
(3) Kesehatan
lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah
cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit, dan
penyehatan atau pengamanan lainnya.
(4) Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib
memelihara dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan
persyaratan.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan kesehatan
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keenam
Kesehatan
Kerja
Pasal
23
(1) Kesehatan
kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal.
(2) Kesehatan
kerja meliputi pclayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan
syarat kesehatan kerja.
(3) Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan
kesehatan kerja.
(4) Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketujuh
Kesehatan
Jiwa
Pasal
24
(1) Kesehatan
jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang schat secara optimal baik
intelektual maupun emosional.
(2) Kesehatan
jiwa meliputi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan jiwa, pencegahan dan
penanggulangan masalah psikososial dan gangguan jiwa, penyembuhan dan pemulihan
penderita gangguan jiwa.
(3) Kesehatan
jiwa dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat, didukung sarana pelayanan
kesehatan jiwa dan sarana lainnya.
Pasal
25
(1) Pemerintah
melakukan pengobatan dan perawatan, pemulihan, dan penyaluran bekas penderita
gangguan jiwa yang telah selesai menjalani pengobatan dan atau perawatan ke
dalam masyarakat.
(2) Pemerintah
membangkitkan, membantu, dan membina kegiatan masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan masalah psikososial dan gangguan jiwa, pengobatan dan perawatan
penderita gangguan jiwa, pemulihan serta penyaluran bekas penderita ke dalam
masyarakat.
Pasal
26
(1) Penderita
gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban
umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan keschatan jiwa atau sarana
pelayanan kesehatan lainnya.
(2) Pengobatan
dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan atas permintaan suami
atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau atas prakarsa pejabat
yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di wilayah setcmpat atau
hakim pengadilan bilamana dalam suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang
bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa.
Pasal
27
Ketentuan
mengenai kesehatan jiwa dan upaya penanggulangannya ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Pemberantasan
Penyakit
Pasal
28
(1) Pemberantasan
penyakit diselenggarakan untuk menurunkan angka kesakitan dan atau angka
kematian.
(2) Pemberantasan
penyakit dilaksanakan terhadap penyakit menular dan penyakit tidak menular.
(3) Pemberantasan
penyakit menular atau penyakit yang dapat menimbulkan angka kesakitan dan atau
angka kematian yang tinggi dilaksanakan sedini mungkin.
Pasal
29
Pemberantasan
penyakit tidak menular dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi penyakit
dengan perbaikan dan perubahan perilaku masyarakat dan dengan cara lain.
Pasal
30
Pemberantasan
penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, penyelidikan,
pengebalan, menghilangkan sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina,
dan upaya lain yang diperlukan.
Pasal
31
Pemberantasan
penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan penyakit karantina
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Bagian
Kesembilan
Penyembuhan
Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal
32
(1) Penyembuhan
penyakit dan pemulihan keschatan diselenggarakan untuk mengembalikan status
kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan
cacat.
(2) Penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau
perawatan.
(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan
berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Pelaksanaan
pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
33
(1) Dalam
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi
organ dan atau jaringan tubuh, transfuse darah, implan obat dan atau alat
kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi.
(2) Transplantasi
organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan
komersial.
Pasal
34
(1) Transplantasi
organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan
tertentu.
(2) Pengambilan
organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan
donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau
keluarganya.
(3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
35
(1) Transfusi
darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(2) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
36
(1) Implan
obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
di sarana kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan implan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
37
(1) Bedah
plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana keschatan tertentu.
(2) Bedah
plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat.
(3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesepuluh
Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat
Pasal
38
(1) Penyuluhan
kesehatan masyarakat diselenggarakan guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran,
kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, dan aktif berperan serta
dalam upaya kesehatan.
(2) Ketentuan
mengenai penyuluhan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesebelas
Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal
39
Pengamanan
sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat
dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.
Pasal
40
(1) Sediaan
farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakope
Indonesia dan atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan
farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi
standar dan atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal
41
(1) Sediaan
farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan sctelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan
dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan
objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan
memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan
mutu dan atau kcamanan dan atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
42
Pekerjaan
kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang
beredar.
Pasal
43
Ketentuan
tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat keschatan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua Belas
Pengamanan
Zat Adiktif
Pasal
44
(1) Pengamanan
penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu
dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
(2) Produksi,
peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi
standar dan atau persyaratan yang ditentukan.
(3) Ketentuan
mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga Belas
Kesehatan
Sekolah
Pasal
45
(1) Kesehatan
sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik
dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan
berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih bcrkualitas.
(2) Kesehatan
sekolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah
atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan
mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat Belas
Kesehatan
Olahraga
Pasal
46
(1) Kesehatan
olahraga diselenggarakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan melalui
kegiatan olahraga.
(2) Kesehatan
olahraga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui sarana olahraga
atau sarana lain.
(3) Ketentuan
mengenai kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima Belas
Pengobatan
Tradisional
Pasal
47
(1) Pengobatan
traditional merupakan salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain
di luar ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan.
(2) Pengobatan
traditional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perlu dibina dan diawasi untuk
diarahkan agar dapat menjadi pengobatan dan atau perawatan cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan kcamanannya.
(3) Pengobatan
tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan kcamanannya
perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk digunakan dalam mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pengobatan tradisional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Keenam Belas
Kesehatan
Matra
Pasal
48
(1) Kesehatan
matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal dalam lingkungan matra yang serba berubah.
(2) Kesehatan
matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta
kesehatan kedirgantaraan.
(3) Ketentuan
mengenai kesehatan Matra sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
SUMBER
DAYA KESEHATAN
Bagian
Pertama
Umum
Pasal
49
Sumber
daya kesehatan merupakan semua perangkat keras dan perangkat lunak yang
diperlukan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya kesehatan, meliputi :
a. tenaga
kesehatan;
b. sarana
kesehatan;
c. perbekalan
kesehatan;
d. pembiayaan
kesehatan;
e. pengelolaan
kesehatan;
f.
penelitian dan
pengembangan keschatan,
Bagian
Kedua
Tenaga
Kesehatan
Pasal
50
(1) Tenaga
kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai
dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bcrsangkutan.
(2) Ketentuan
mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
51
(1) Pengadaan
tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan diselenggarakan antara lain melalui
pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan olch pemerintah dan atau masyarakat.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyclenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
52
(1) Pemerintah
mengatur penempatan tenaga kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan
kesehatan.
(2) Ketentuan
mengenai penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
53
(1) Tenaga
kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
(2) Tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien.
(3) Tenaga
kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan tindakan medis
terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan
mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dcngan Peraturan Pemerintah.
Pasal
54
(1) Terhadap
tenaga keschatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian data melaksanakan
profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan
ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
(3) Ketentuan
mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan ditetapkan dcngan Keputusan Presiden.
Pasal
55
(1) Setiap
orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.
(2) Ganti
rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian
Ketiga
Sarana
Kesehatan
Pasal
56
(1) Sarana
kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit
umum, rumah sakit khusus, praktik dokter, praktik dokter gigi, praktik dokter
spcsialis, praktik dokter gigi spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek,
pedagang besar farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, sekolah dan
akademi kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya.
(2) Sarana
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselenggarakan oleh
pemerintah dan atau masyarakat.
Pasal
57
(1) Sarana
kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan
rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang.
(2) Sarana
kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tetap memperhatikan fungsi sosial.
(3) Sarana
kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan
serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan.
Pasal
58
(1) Sarana
kesehatan tertentu yang diselenggarakan masyarakat harus berbentuk badan hukum.
(2) Sarana
kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
pemerintah.
Pasal
59
(1) Semua
penyelenggaraan sarana kesehatan harus memiliki izin.
(2) Izin
penyelenggaraan sarana kesehatan diberikan dengan memperhatikan pemerataan dan
peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara memperolch izin penyelenggaraan sarana kesehatan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat
Perbekalan
Kesehatan
Pasal
60
Perbekalan
keschatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya.
Pasal
61
(1) Pengelolaan
perbekalan kesehatan dilakukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan sediaan
farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan lainnya yang terjangkau oleh
masyarakat.
(2) Pengelolaan
perbekalan kesehatan yang berupa sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilaksanakan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan, kemanfaatan, harga, dan
faktor yang berkaitan dengan pemerataan penyediaan perbekalan kesehatan.
(3) Pemerintah
membantu penyediaan perbekalan kesehatan yang menurut pertimbangan diperlukan
olch sarana kesehatan.
Pasal
62
(1) Pengadaan
dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dibina dan diarahkan agar
menggunakan potensi nasional yang tersedia dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan hidup termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.
(2) Produksi
sediaan farmasi dan alat keschatan harus dilakukan dengan cara produksi yang
baik yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam farmakope
Indonesia atau buku standar lainnya dan atau syarat lain yang ditetapkan.
(3) Pemerintah
mendorong, membina, dan mengarahkan pemanfaatan obat tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Pasal
63
(1) Pekerjaan
kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan
farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(2) Ketentuan
mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
64
Ketentuan mengenai
perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Pembiayaan
Kesehatan
Pasal
65
(1) Penyelenggaraan
upaya kesehatan dibiayai olch pemerintah dan atau masyarakat.
(2) Pemerintah
membantu upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama upaya kesehatan bagi
masyarakat rentan.
Pasal
66
(1) Pemerintah
mengembangkan, membina, dan mendorong jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
sebagai cara, yang dijadikan landasan setiap penyerlenggaraan pemeliharaan
kesehatan yang pembiayaannya dilaksanakan secara praupaya, berasaskan usaha
bersama dan kekeluargaan.
(2) Jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara penyelenggaraan pemeliharaan
kesehatan dan pembiayaannya, dikelola secara terpadu untuk tujuan meningkatkan
derajat kesehatan, wajib dilaksanakan olch setiap penyclenggara.
(3) Penyelenggara
jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat harus berbentuk badan hukum dan
memiliki izin operasional serta kepesertaannya bersifat aktif.
(4) Ketentuan
mengenai penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keenam
Pengelolaan
Kesehatan
Pasal
67
(1) Pengelolaan
kesehatan yang diselenggarakan olch pcmerintah dan atau masyarakat diarahkan
pada pengembangan dan peningkatan kemampuan agar upaya kesehatan dapat
dilaksanakan secara berdayaguna dan berhasilguna.
(2) Pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian program serta sumber daya yang
dapat menunjang peningkatan upaya kesehatan.
Pasal
68
Pengelolaan
kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilaksanakan oleh perangkat
kesehatan dan badan pemerintah lainnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah.
Bagian
Ketujuh
Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan
Pasal
69
(1) Penelitian
dan pengembangan kcsehatan dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi tepat guna yang diperlukan dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan.
(2) Penelitian,
pengembangan, dan penerapan hasil penclitian pada manusia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat.
(3) Penyelenggaraan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada
manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan
mengenai penclitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
70
(1) Dalam
melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk
penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga
kesehatan.
(2) Bedah
mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat.
(3) Ketentuan
mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VII
PERAN
SERTA MASYARAKAT
Pasal
71
(1) Masyarakat
memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
beserta sumber dayanya.
(2) Pemerintah
membina, mendorong, dan menggerakkan swadaya masyarakat yang bergerak di bidang
keschatan agar dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna.
(3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara peran serla masyarakat di bidang kesehatan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
72
(1) Peran
serta masyarakat untuk memberikan pertimbangan dalam ikut menentukan
kebijaksanaan pemerintah pada penyelenggaraan kesehatan dapat dilakukan mclalui
Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional, yang beranggotakan tokoh masyarakat dan
pakar lainnya.
(2) Ketentuan
mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerja Badan Pertimbangan
Kesehatan Nasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB
VIII
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Bagian
Pertama
Pembinaan
Pasal
73
Pemerintah
melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan upaya kesehatan.
Pasal
74
Pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diarahkan untuk:
1. mewujudkan
derajat kesehatan masyarakat yang optimal;
2. terpenuhinya
kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan perbekalan kesehatan yang cukup, aman,
bermutu, dan terjangkau olch seluruh lapisan masyarakat;
3. melindungi
masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan
dan atau bahaya terhadap kesehatan;
4. memberikan
kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan upaya kesehatan;
5. meningkatkan
mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.
Pasal
75
Ketentuan
mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan Pasal 74 ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Pengawasan
Pasal
76
Pemerintah
melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan upaya kesehatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat.
Pasal
77
Pemerintah
berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan atau
sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal
78
Ketentuan
mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB
IX
PENYIDIKAN
Pasal
79
(1) Selain
penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia juga kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
(2) Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di
bidang kesehatan;
b. melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
kesehatan;
c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum schubungan dengan tindak
pidana di bidang keschatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan atau
dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan
atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
f.
meminta bantuan ahli
dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
g. menghentikan
penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya
tindak pidana di bidang kesehatan.
(3) Kewenangan
penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan menurut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB
X
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
80
(1) Barang
siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Barang
siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan
pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum dan tidak memiliki
izin operasional serta tidak melaksanakan ketentuan tentang jaminan
pemeliharaan keschatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2)
dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Barang
siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(4) Barang
siapa dengan sengaja :
a. mengedarkan
makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan
atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);
b. memproduksi
dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak
memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
Pasal
81
(1) Barang
siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :
a. melakukan
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1);
b. melakukan
implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);
c. melakukan
bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).
(2) Barang
siapa dengan sengaja :
a. mengambil
organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa
persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2);
b. memproduksi
dan atau mengedarkan alat keschatan yang tidak memenuhi standar dan atau
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
c. mengedarkan
sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1);
d. menyelenggarakan
penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada
manusia tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan serta
norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(2) dan ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (scratus empat puluh juta
rupiah).
Pasal
82
(1) Barang
siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :
a. melakukan
pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);
b. melakukan
transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);
c. melakukan implan obat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1);
d. melakukan
pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1);
e. melakukan
bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2); dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (scratus juta rupiah).
(2) Barang
siapa dengan sengaja :
a. melakukan
upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);
b. memproduksi
dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(2);
c. memproduksi
dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi
standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
d. mengedarkan
sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan
penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);
e. memproduksi
dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi
standar dan atau persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
83
Ancaman
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 ditambah
seperempat apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan
kematian.
Pasal
84
Barang
siapa :
1. mengedarkan
makanan dan atau minuman yang dikemas tanpa mencantumkan tanda atau label
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2);
2. menyelenggarakan
tempat atau sarana pelayanan umum yang tidak memenuhi ketentuan standar dan
atau persyaratan lingkungan yang sehat sebagamna dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(4);
3. menyelenggarakan
tempat kerja yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (3);
4. menghalangi
penderita gangguan jiwa yang akan diobati dan atau dirawat pada sarana
pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1);
5. menyelenggarakan
sarana kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (1) atau tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1); dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Pasal
85
(1) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 adalah
kejahatan.
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 adalah pelanggaran.
Pasal
86
Dalam
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat ditetapkan
denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
BAB
XI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
87
Semua peraturan perundang-undangan
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari :
1. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor
18);
2. Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang
Merawat Orang-orang Miskin dan Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara
Tahun 1953 Nomor 48);
3. Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang
Hygiene Untuk Usahausaha Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);
5. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2576);
6. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 81,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580);
7. Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga Paramedis (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2698);
8. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2804);
9. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805); pada saat diundangkannya Undang-undang
ini masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti
dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal
88
(1) Dengan
berlakunya Undang-undang ini sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan
oleh masyarakat yang belum berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (1), tetap dapat melaksanakan fungsinya sampai dengan disesuaikan
bentuk badan hukumnya.
(2) Penyesuaian
bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya
2 (dua) tahun sejak tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini.
BAB
XII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
89
Dengan
berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor
18);
2. Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang
Merawat Orang-orang Miskin dan Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara
Tahun 1953 Nomor 48);
3. Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);
4. Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usahausaha Bagi Umum (Lembaran Negara
Tahun 1962 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);
5. Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor
79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2576);
6. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580);
7. Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga Paramedis (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2698);
8. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara, Nomor 2804);
9. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805); dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal
90
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan pcnempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 17 September 1992
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 17 September 1992
MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
MOERDIONO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992
NOMOR
100
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
29 TAHUN 2004
TENTANG
PRAKTIK
KEDOKTERAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan
kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi
manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada
seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat;
c. bahwa penyelenggaraan praktik
kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik
dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus
ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan,
sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan
agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter,
dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang
tentang Praktik Kedokteran;
Mengingat:
Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
M
E M U T U S K A N :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN.
BAB
I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Praktik
kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
2. Dokter
dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
3. Konsil
Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan
bersifat independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran
Gigi.
4. Sertifikat
kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau
dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah
lulus uji kompetensi.
5. Registrasi
adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki
sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta
diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya.
6. Registrasi
ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
7. Surat
izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan
dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi
persyaratan.
8. Surat
tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi.
9. Sarana
pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan
yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.
10. Pasien
adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
11. Profesi
kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau
kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang
diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat
melayani masyarakat.
12. Organisasi
profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi
Indonesia untuk dokter gigi.
13. Kolegium
kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang
dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang
bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.
14. Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.
15. Menteri
adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
BAB
II
ASAS
DAN TUJUAN
Pasal
2
Praktik kedokteran
dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai
ilmiah, manfaat,
keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan
keselamatan
pasien.
Pasal
3
Pengaturan praktik
kedokteran bertujuan untuk :
a. memberikan
perlindungan kepada pasien;
b. mempertahankan
dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter
gigi; dan
c. memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
BAB
III
KONSIL
KEDOKTERAN INDONESIA
Bagian
Kesatu
Nama
dan Kedudukan
Pasal
4
(1) Untuk
melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk Konsil Kedokteran
Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
(2) Konsil
Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada Presiden.
Pasal
5
Konsil Kedokteran
Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
Bagian
Kedua
Fungsi,
Tugas, dan Wewenang
Pasal
6
Konsil
Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta
pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
Pasal
7
(1) Konsil
Kedokteran Indonesia mempunyai tugas :
a. melakukan
registrasi dokter dan dokter gigi;
b. mengesahkan
standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan
c. melakukan
pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama
lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.
(2) Standar
pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran,
kolegium kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi
institusi pendidikan kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.
Pasal
8
Dalam menjalankan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran
Indonesia
mempunyai wewenang :
a. menyetujui
dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. menerbitkan
dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;
c. mengesahkan
standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
d. melakukan
pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
e. mengesahkan
penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;
f.
melakukan pembinaan
bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang
ditetapkan oleh organisasi profesi; dan
g. melakukan
pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh
organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.
Pasal
9
Ketentuan
lebih lanjut mengenai fungsi dan tugas Konsil Kedokteran Indonesia diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal
10
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil Kedokteran
dan Konsil Kedokteran Gigi diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
Bagian
Ketiga
Susunan
Organisasi dan Keanggotaan
Pasal
11
(1)
Susunan organisasi Konsil
Kedokteran Indonesia terdiri atas:
a. Konsil
Kedokteran; dan
b. Konsil
Kedokteran Gigi.
(2) Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masing-masing terdiri atas 3 (tiga) divisi, yaitu :
a. Divisi
Registrasi;
b. Divisi
Standar Pendidikan Profesi; dan
c. Divisi
Pembinaan.
Pasal
12
(1) Pimpinan
Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas :
a. pimpinan
Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas 3 (tiga) orang merangkap anggota;
b. pimpinan
Konsil Kedokteran dan pimpinan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu)
orang merangkap anggota; dan
c. pimpinan
divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu)
orang merangkap anggota.
(2) Pimpinan
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja secara
kolektif.
(3) Pimpinan
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
penanggung jawab tertinggi.
Pasal
13
(1) Pimpinan
Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil
ketua.
(2) Pimpinan
Konsil Kedokteran terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.
(3) Pimpinan
Konsil Kedokteran Gigi terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua
divisi.
Pasal
14
(1) Jumlah
anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuah belas) orang yang terdiri atas
unsur-unsur yang berasal dari :
a. organisasi
profesi kedokteran 2 (dua) orang;
b. organisasi
profesi kedokteran gigi 2 (dua) orang;
c. asosiasi
institusi pendidikan kedokteran 1 (satu) orang;
d. asosiasi
institusi pendidikan kedokteran gigi 1 (satu) orang;
e. kolegium
kedokteran 1 (satu) orang;
f.
kolegium kedokteran gigi
1 (satu) orang;
g. asosiasi
rumah sakit pendidikan 2 (dua) orang;
h. tokoh
masyarakat 3 (tiga) orang;
i.
Departemen Kesehatan 2
(dua) orang; dan
j.
Departemen Pendidikan
Nasional 2 (dua) orang.
(2) Tata
cara pemilihan tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Keanggotaan
Konsil Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.
(4) Menteri
dalam mengusulkan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia harus berdasarkan
usulan dari organisasi dan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Ketentuan
mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal
15
Pimpinan
Konsil Kedokteran Indonesia, pimpinan Konsil Kedokteran, pimpinan Konsil Kedokteran Gigi, pimpinan divisi pada
Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran
Gigi dipilih oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.
Pasal
16
Masa
bakti keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan
dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal
17
(1) Anggota
Konsil Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mengucapkan
sumpah/janji, menurut agamanya di hadapan Presiden.
(2) Sumpah/janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa
saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan
sesuatu apapun kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan
tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi
dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat
kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar
negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh saksama,
obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras,
jender, dan golongan tertentu dan akan
melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, masyarakat, bangsa dan negara.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan
siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya
yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya .
Pasal
18
Untuk
dapat diangkat sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia, yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut
:
a. warga
negara Republik Indonesia;
b. sehat
jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia;
d. berkelakuan
baik;
e. berusia
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh
lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia;
f.
pernah melakukan praktik
kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi, kecuali untuk wakil
dari masyarakat;
g. cakap,
jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi
yang baik; dan
h. melepaskan
jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama
menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal
19
(1) Anggota
Konsil Kedokteran Indonesia berhenti atau diberhentikan karena :
a. berakhir
masa jabatan sebagai anggota;
b. mengundurkan
diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal
dunia;
d. bertempat
tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;
e. tidak
mampu lagi melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan; atau
f.
dipidana karena melakukan
tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam
hal anggota Konsil Kedokteran Indonesia menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Konsil Kedokteran Indonesia.
(4) Pengusulan
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri kepada
Presiden.
Pasal
20
(1) Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya Konsil Kedokteran Indonesia dibantu
sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(3) Sekretaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan anggota Konsil Kedokteran Indonesia.
(4) Dalam
menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil
Kedokteran Indonesia.
(5) Ketentuan
fungsi dan tugas sekretaris ditetapkan oleh Ketua Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal
21
(1) Pelaksanaan
tugas sekretariat dilakukan oleh pegawai Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Pegawai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada peraturan perundang-undangan
tentang kepegawaian.
Bagian
Keempat
Tata
Kerja
Pasal
22
(1) Setiap
keputusan Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat mengatur diputuskan oleh
rapat pleno anggota.
(2) Rapat
pleno Konsil Kedokteran Indonesia dianggap sah jika dihadiri oleh paling
sedikit setengah dari jumlah anggota ditambah satu.
(3) Keputusan
diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(4) Dalam
hal tidak terdapat kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dapat
dilakukan pemungutan suara.
Pasal
23
Pimpinan
Konsil Kedokteran Indonesia melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas
anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
24
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata kerja Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Bagian
Kelima
Pembiayaan
Pasal
25
Biaya
untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil Kedokteran Indonesia dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB
IV
STANDAR
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
DAN
KEDOKTERAN GIGI
Pasal
26
(1) Standar
pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi
disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Standar
pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. untuk
pendidikan profesi dokter atau dokter gigi disusun oleh asosiasi institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi; dan
b. untuk pendidikan profesi dokter spesialis atau
dokter gigi spesialis disusun oleh kolegium kedokteran atau kedokteran gigi.
(3) Asosiasi
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar
pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berkoordinasi
dengan organisasi profesi, kolegium, asosiasi rumah sakit pendidikan,
Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.
(4) Kolegium
kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berkoordinasi dengan organisasi
profesi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi,
asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen
Kesehatan.
BAB
V
PENDIDIKAN
DAN PELATIHAN
KEDOKTERAN
DAN KEDOKTERAN GIGI
Pasal
27
Pendidikan
dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk memberikan kompetensi
kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan
profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal
28
(1) Setiap
dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan
oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi
profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Pendidikan
dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
BAB
VI
REGISTRASI
DOKTER DAN DOKTER GIGI
Pasal
29
(1) Setiap
dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
(2) Surat
tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Untuk
memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki
ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b. mempunyai
surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
c. memiliki
surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki
sertifikat kompetensi; dan
e. membuat
pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Surat
tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5
(lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d.
(5) Ketua
konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi dalam melakukan registrasi
ulang harus mendengar pertimbangan ketua divisi registrasi dan ketua divisi
pembinaan.
(6) Ketua
konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi berkewajiban untuk
memelihara dan menjaga registrasi dokter dan dokter gigi.
Pasal
30
(1) Dokter
dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik kedokteran
di Indonesia harus dilakukan evaluasi.
(2) Evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesahan
ijazah;
b. kemampuan
untuk melakukan praktik kedokteran yang dinyatakan dengan surat keterangan
telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi;
c. mempunyai
surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan
mental; dan
e. membuat
pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(3) Dokter
dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.
(4) Dokter
dan dokter gigi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) diberikan surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal
31
(1) Surat
tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga
negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan,
penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang
bersifat sementara di Indonesia.
(2) Surat
tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang
untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
(3) Surat
tanda registrasi sementara diberikan apabila telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).
Pasal
32
(1) Surat
tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan dokter
spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti
pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
(2) Dokter
atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk waktu
tertentu, tidak memerlukan surat tanda registrasi bersyarat.
(3) Dokter
atau dokter gigi warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mendapat persetujuan dari Konsil Kedokteran Indonesia.
(4) Surat
tanda registrasi dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3) diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan pelatihan.
Pasal
33
Surat
tanda registrasi tidak berlaku karena :
a.
dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;
c.
atas permintaan yang bersangkutan;
d.
yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e.
dicabut Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal
34
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang, registrasi sementara, dan registrasi bersyarat diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal
35
(1) Dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang
melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang
dimiliki, yang terdiri atas:
a. mewawancarai
pasien;
b. memeriksa
fisik dan mental pasien;
c. menentukan
pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan
diagnosis;
e. menentukan
penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f.
melakukan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis
resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan
surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i.
menyimpan obat dalam
jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j.
meracik dan menyerahkan
obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada
apotek.
(2) Selain
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
BAB
VII
PENYELENGGARAAN
PRAKTIK KEDOKTERAN
Bagian
Kesatu
Surat
Izin Praktik
Pasal
36
Setiap dokter dan
dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat
izin praktik.
Pasal
37
(1)
Surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi
dilaksanakan.
(2)
Surat izin praktik dokter
atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk
paling banyak 3 (tiga) tempat.
(3)
Satu surat izin praktik
hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal
38
(1) Untuk
mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau
dokter gigi harus :
a. memiliki
surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang
masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
b. mempunyai
tempat praktik; dan
c. memiliki
rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Surat
izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :
a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum
dalam surat izin praktik.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Kedua
Pelaksanaan
Praktik
Pasal
39
Praktik
kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya
untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal
40
(1) Dokter
atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter
atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau
dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Pasal
41
(1) Dokter
atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan
praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan
nama praktik kedokteran.
(2) Dalam
hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan
sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang
melakukan praktik kedokteran.
Pasal
42
Pimpinan
sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang
tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana
pelayanan kesehatan tersebut.
Pasal
43
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian
Ketiga
Pemberian
Pelayanan
Paragraf
1
Standar
Pelayanan
Pasal
44
(1) Dokter
atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti
standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Standar
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata
sarana pelayanan kesehatan.
(3) Standar
pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf
2
Persetujuan
Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
Pasal
45
(1) Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.
(3) Penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
(5) Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan
mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf
3
Rekam
Medis
Pasal
46
(1) Setiap
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap
catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal
47
(1) Dokumen
rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter
gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan
milik pasien.
(2) Rekam
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
(3) Ketentuan
mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf
4
Rahasia
Kedokteran
Pasal
48
(1) Setiap
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
(2) Rahasia
kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan
pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf
5
Kendali
Mutu dan Kendali Biaya
Pasal
49
(1) Setiap
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran
gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
(2) Dalam
rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan audit medis.
(3) Pembinaan
dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh organisasi profesi.
Paragraf
6
Hak
dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Pasal
50
Dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional;
b. memberikan
pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh
informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima
imbalan jasa.
Pasal
51
Dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk
pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia;
d. melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah
ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
Paragraf 7
Hak
dan Kewajiban Pasien
Pasal
52
Pasien,
dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan
penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3);
b. meminta
pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak
tindakan medis; dan
e. mendapatkan
isi rekam medis.
Pasal
53
Pasien,
dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :
a. memberikan
informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. mematuhi
nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi
ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan
imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Paragraf
8
Pembinaan
Pasal
54
(1) Dalam
rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melindungi
masyarakat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini, perlu dilakukan pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran.
(2) Pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia
bersama-sama dengan organisasi profesi.
BAB
VIII
DISIPLIN
DOKTER DAN DOKTER GIGI
Bagian
Kesatu
Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Pasal
55
(1) Untuk
menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil
Kedokteran Indonesia.
(3) Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan tugasnya bersifat
independen.
Pasal
56
Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran
Indonesia.
Pasal
57
(1) Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara
Republik Indonesia.
(2) Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil
Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia.
Pasal
58
Pimpinan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua,
seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris.
Pasal
59
(1) Keanggotaan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang
dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing,
seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3
(tiga) orang sarjana hukum.
(2) Untuk
dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
harus dipenuhi syarat sebagai berikut :
a. warga
negara Republik Indonesia;
b. sehat
jasmani dan rohani;
c. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berkelakuan
baik;
e. berusia
paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima)
tahun pada saat diangkat;
f.
bagi dokter atau dokter
gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan
memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi;
g. bagi
sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10
(sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan
h. cakap,
jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki
reputasi yang baik.
Pasal
60
Anggota
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas
usul organisasi profesi.
Pasal
61
Masa
bakti keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk
1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal
62
(1) Anggota
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan wajib
mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan agama masing-masing di hadapan Ketua
Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Sumpah/janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa
saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
sesuatu apapun kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan
tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi
dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat
kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar
negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh saksama,
obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras,
jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa dan negara.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan
siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya
yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya.
Pasal
63
(1) Pimpinan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh
rapat pleno anggota.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal
64
Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :
a. menerima
pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi yang diajukan; dan
b. menyusun
pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter
gigi.
Pasal
65
Segala
pembiayaan kegiatan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dibebankan
kepada anggaran Konsil Kedokteran Indonesia.
Bagian
Kedua
Pengaduan
Pasal
66
(1) Setiap
orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan
sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas
pengadu;
b. nama
dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan;
dan
c. alasan
pengaduan.
(3) Pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap
orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang
dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Bagian
Ketiga
Pemeriksaan
Pasal
67
Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
Pasal
68
Apabila
dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.
Bagian
Keempat
Keputusan
Pasal
69
(1) Keputusan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi,
dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi
disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. pemberian
peringatan tertulis;
b. rekomendasi
pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. kewajiban
mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.
Bagian
Kelima
Pengaturan
Lebih Lanjut
Pasal
70
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata
cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia.
BAB
IX
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
71
Pemerintah
pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi
membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas
masing-masing.
Pasal
72
Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diarahkan untuk :
a. meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan dokter gigi;
b. melindungi
masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi; dan
c. memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter gigi.
Pasal
73
(1) Setiap
orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin
praktik.
(2) Setiap
orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dan/atau surat izin praktik.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
74
Dalam
rangka pembinaan dan pengawasan dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan
praktik kedokteran dapat dilakukan audit medis.
BAB
X
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
75
(1) Setiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap
dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap
dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
76
Setiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
77
Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau
surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda
paling banyak Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal
78
Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tandaregistrasi dokter gigi atau surat izin
praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal
79
Dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan
sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b. dengan
sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1);
atau
c. dengan
sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Pasal
80
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi,
maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
BAB
XI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
81
Pada
saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal
82
(1) Dokter
dan dokter gigi yang telah memiliki surat penugasan dan/atau surat izin praktik, dinyatakan telah memiliki surat
tanda registrasi dan surat izin praktik berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Surat
penugasan dan surat izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disesuaikan dengan surat tanda registrasi dokter, surat tanda registrasi dokter
gigi, dan surat izin praktik berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua)
tahun setelah Konsil Kedokteran Indonesia terbentuk.
Pasal
83
(1) Pengaduan
atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat belum terbentuknya Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditangani oleh Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi di Tingkat Pertama dan Menteri pada Tingkat Banding.
(2) Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi
untuk memberikan pertimbangan.
(3) Putusan
berdasarkan pertimbangan Tim dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
atau Menteri sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
Pasal
84
(1) Untuk
pertama kali anggota Konsil Kedokteran Indonesia diusulkan oleh Menteri dan
diangkat oleh Presiden.
(2) Keanggotaan
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk
masa jabatan 3 (tiga) tahun sejak diangkat.
BAB
XII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
85
Dengan
disahkannya Undang-Undang ini maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi, dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pasal
86
Konsil
Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) harus
dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal
87
Konsil
Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus dibentuk paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan keanggotaan Konsil Kedokteran
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) berakhir.
Pasal
88
Undang-Undang ini
mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 6 Oktober 2004
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 6 Oktober 2004
SEKRETARIS
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
BAMBANG
KESOWO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004
NOMOR
116
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
29 TAHUN 2004
TENTANG
PRAKTIK
KEDOKTERAN
I. UMUM
Pembangunan
bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan
oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dokter
dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung
dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.
Landasan
utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan medis terhadap
orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki,
yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya
harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu
sendiri.
Dokter
dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai
karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang
diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap
tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.
Tindakan medis terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau
dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindak pidana.
Berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan dokter gigi, maraknya tuntutan hukum
yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan kegagalan
upaya penyembuhan yang dilakukan dokter dan dokter gigi. Sebaliknya apabila tindakan
medis yang dilakukan dapat berhasil, dianggap berlebihan, padahal dokter dan
dokter gigi dengan perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya
hanya berupaya untuk menyembuhkan, dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran dan
kedokteran gigi tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan.
Berbagai
upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada
masyarakat sebagai penerima pelayanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi
pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan
perkembangan hukum.
Perangkat
hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi
dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan
kepentingan pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang.
Oleh
karena itu untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak serta untuk
melakukan penilaian terhadap kemampuan obyektif seorang dokter dan dokter gigi
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan pembentukan Konsil
Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran
Gigi.
Konsil
Kedokteran Indonesia merupakan suatu badan yang independen yang akan menjalankan
fungsi regulator, yang terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter
gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Disamping itu, peran dari berbagai
organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan yang ada saat ini juga perlu
diberdayakan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh dokter atau dokter gigi.
Dengan
demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain
tundukpada ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati ketentuan kode etik
yang disusun oleh organisasi profesi dan didasarkan pada disiplin ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Dalam
menjalankan fungsinya Konsil Kedokteran Indonesia bertugas melakukan registrasi
terhadap semua dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran,
mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi, dan melakukan
pembinaan bersama lembaga terkait lainnya terhadap penyelenggaraan praktik
kedokteran.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum
serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan
praktik kedokteran agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka perlu diatur praktik kedokteran dalam suatu
undang-undang. Untuk itu, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Praktik
Kedokteran.
Dalam Undang-Undang ini diatur:
1. asas
dan tujuan penyelenggaraan praktik kedokteran yang menjadi landasan yang
didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan
serta perlindungan dan keselamatan pasien;
2. pembentukan
Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil
Kedokteran Gigi disertai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan kewenangan;
3. registrasi
dokter dan dokter gigi;
4. penyusunan,
penetapan, dan pengesahan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi;
5. penyelenggaraan
praktik kedokteran;
6. pembentukan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia;
7. pembinaan
dan pengawasan praktik kedokteran; dan
8. pengaturan
ketentuan pidana.
II. PASAL DEMI
PASAL
Pasal
1
Cukup jelas.
Pasal
2
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan:
a. nilai
ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan
dan teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan
berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi;
b. manfaat
adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat;
c. keadilan
adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau
oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu;
d. kemanusiaan
adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan perlakuan yang
sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras;
e. keseimbangan
adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga keserasian
serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat;
f.
perlindungan dan
keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran tidak hanya
memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan
peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan
keselamatan pasien.
Pasal
3
Cukup
jelas.
Pasal
4
Cukup jelas.
Pasal
5
Cukup jelas.
Pasal
6
Cukup jelas.
Pasal
7
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “standar
pendidikan profesi dokter dan dokter gigi” adalah pendidikan profesi yang dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem
pendidikan nasional.
Penyusunan standar pendidikan profesi bagi dokter dan
dokter gigi dilakukan oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan
asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi dengan
mengikutsertakan kolegium kedokteran, kolegium
kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.
Penyusunan standar pendidikan profesi bagi dokter
spesialis dan dokter gigi spesialis dilakukan oleh kolegium kedokteran dan
kolegium kedokteran gigi dengan mengikutsertakan asosiasi institusi pendidikan
kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi dan rumah sakit
pendidikan.
Konsil Kedokteran Indonesia mengesahkan standar
pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis yang telah ditetapkan tersebut diatas.
Yang dimaksud dengan “asosiasi institusi pendidikan
kedokteran” adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh para dekan fakultas
kedokteran yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam rangka memberdayakan
dan menjamin kualitas pendidikan kedokteran yang diselenggarakan oleh fakultas
kedokteran.
Yang dimaksud dengan “asosiasi institusi pendidikan
kedokteran gigi” adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh para dekan fakultas
kedokteran gigi yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam rangka
memberdayakan dan menjamin kualitas pendidikan kedokteran gigi yang diselenggarakan
oleh fakultas kedokteran gigi.
Yang dimaksud dengan “asosiasi rumah sakit pendidikan”
adalah himpunan rumah sakit pendidikan dokter atau dokter gigi (teaching
hospital).
Pasal
8
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Standar kompetensi disusun oleh
asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan asosiasi institusi pendidikan
kedokteran gigi serta kolegium kedokteran dan kolegium kedokteran gigi.
Huruf
d
Cukup jelas.
Huruf
e
Penerapan
cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi yang disahkan, terlebih dahulu
ditetapkan bersama kolegium terkait.
Huruf
f
Etika
profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun oleh
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Huruf
g
Pencatatan dimaksudkan sebagai bahan
pertimbangan untuk pemberian surat tanda registrasi dokter dan surat tanda
registrasi dokter gigi dalam registrasi ulang.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup
jelas.
Pasal
14
Ayat (1)
Unsur dari asosiasi rumah sakit
pendidikan, Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang
masing-masing 2 (dua) orang terdiri atas 1 (satu) orang berlatar belakang
pendidikan profesi dokter dan 1 (satu) orang dokter gigi.
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” adalah orang
yang peduli dan mempunyai komitmen tinggi untuk kepentingan pasien. Tokoh
tersebut mempunyai wawasan nasional dan memahami masalah kesehatan tetapi bukan
dokter atau dokter gigi.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup
jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf
d
Cukup jelas.
Huruf
e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Tidak
menutup kemungkinan bagi dokter dan dokter gigi untuk tetap dapat menjalankan
praktik kedokterannya. Hal ini dimaksudkan agar tetap dapat meningkatkan
kemampuan profesinya.
Pasal 19
Cukup
jelas.
Pasal 20
Cukup
jelas.
Pasal 21
Cukup
jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Dalam
ketentuan ini diatur pula mengenai penggantian antarwaktu anggota Konsil
Kedokteran Indonesia.
Pasal
25
Pendapatan dari anggaran pendapatan
dan belanja negara dalam ketentuan ini antara lain biaya registrasi dan sumber
dana lain yang sah yang merupakan penerimaan negara bukan pajak .
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup
jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Surat
tanda registrasi dokter ditandatangani oleh Ketua Konsil Kedokteran dan surat
tanda registrasi dokter gigi ditandatangani oleh Ketua Konsil Kedokteran Gigi.
Dengan demikian, Ketua Konsil Kedokteran dan Ketua Konsil Kedokteran Gigi
disebut juga registrar.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Surat
keterangan sehat fisik dan mental adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh
dokter yang memiliki surat izin praktik.
Huruf d
Sertifikat kompetensi
dikeluarkan oleh kolegium yang bersangkutan.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pertimbangan dimaksud dalam ayat ini
untuk melihat apakah dokter atau dokter gigi tersebut selama menjalankan
praktik kedokteran telah dikenakan sanksi oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi, Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia, atau putusan hakim.
Ayat (6)
Memelihara dan menjaga registrasi
dokter dan dokter gigi dilakukan dengan membuat daftar yang memuat nama dokter
atau dokter gigi yang memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi dan hal lain yang terkait dengan ketentuan tentang
registrasi dokter atau dokter gigi.
Pasal 30
Ayat
(1)
Evaluasi dilakukan oleh perguruan
tinggi di Indonesia berdasarkan permintaan tertulis dari Konsil Kedokteran
Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia meminta pengujian setelah dilakukan evaluasi
terhadap kesahan ijazah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat tanda registrasi sementara
dokter dan dokter gigi” adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi kepada dokter dan dokter gigi warga
negara asing yang melakukan kegiatan di bidang kedokteran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat tanda registrasi bersyarat
dokter dan dokter gigi” adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi kepada peserta didik untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi di Indonesia bagi
dokter atau dokter gigi warga negara asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal
34
Cukup jelas.
Pasal
35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup
jelas.
Huruf i
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan
bagi dokter dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai
upaya untuk menyelamatkan pasien.
Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari
apoteker yang memiliki izin untuk mengelola apotek. Jumlah obat yang disediakan
terbatas pada kebutuhan pelayanan.
Huruf
j
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup
jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Dokter atau dokter gigi yang diminta untuk memberikan
pelayanan medis oleh suatu sarana pelayanan kesehatan, bakti sosial, penanganan
korban bencana, atau tugas kenegaraan yang bersifat insidentil tidak memerlukan
surat izin praktik, tetapi harus memberitahukan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota tempat kegiatan dilakukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup
jelas.
Pasal 39
Cukup
jelas.
Pasal 40
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam
hal dokter atau dokter gigi pengganti bukan dari keahlian yang sama, dokter
atau dokter gigi tersebut harus menginformasikan kepada pasien yang
bersangkutan.
Pasal 41
Cukup
jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup
jelas.
Pasal 44
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan “standar pelayanan” adalah
pedoman yang harus diikuti oleh dokter
atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “strata sarana pelayanan” adalah
tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan
kemampuan yang diberikan.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat
(1)
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan
atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Namun, apabila
pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan (under curatele)
persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau
saudara-saudara kandung.
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa
pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam
kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat
persetujuan.
Dalam hal pasien adalah anak-anak
atau orang yang tidak sadar, maka penjelasan diberikan kepada keluarganya atau
yang mengantar. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya
sedangkan tindakan medis harus dilakukan maka penjelasan diberikan kepada anak
yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien sudah sadar.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penjelasan hendaknya diberikan dalam bahasa yang mudah
dimengerti karena penjelasan merupakan
landasan untuk memberikan persetujuan. Aspek lain yang juga sebaiknya diberikan penjelasan yaitu yang berkaitan
dengan pembiayaan.
Ayat (4)
Persetujuan lisan dalam ayat ini adalah persetujuan
yang diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan
kepala yang diartikan sebagai ucapan setuju.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “tindakan medis berisiko tinggi”
adalah seperti tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan “rekam medis” adalah berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Ayat (2)
Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan
pada rekam medis, berkas dan catatan tidak boleh dihilangkan atau dihapus
dengan cara apa pun. Perubahan catatan atau kesalahan dalam rekam medis hanya
dapat dilakukan dengan pencoretan dan dibubuhi paraf petugas yang bersangkutan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “petugas” adalah dokter atau
dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung
kepada pasien. Apabila dalam pencatatan rekam medis menggunakan teknologi
informasi elektronik, kewajiban membubuhi tanda tangan dapat diganti dengan
menggunakan nomor identitas pribadi (personal identification number).
Pasal
47
Cukup jelas.
Pasal
48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan “kendali mutu” adalah suatu
sistem pemberian pelayanan yang efisien, efektif, dan berkualitas yang memenuhi
kebutuhan pasien.
Yang dimaksud dengan “kendali biaya”
adalah pembiayaan pelayanan kesehatan yang dibebankan kepada pasien benar-benar
sesuai dengan kebutuhan medis pasien didasarkan pola tarif yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “audit medis” adalah upaya
evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada
pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “standar profesi” adalah batasan
kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus
dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya
pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.
Yang dimaksud dengan “standar prosedur operasional”
adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional
memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk
melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
Pasal 51
Cukup
jelas.
Pasal 52
Cukup
jelas.
Pasal 53
Cukup
jelas.
Pasal 54
Cukup
jelas.
Pasal 55
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan “penegakan disiplin” dalam ayat
ini adalah penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “independen” dalam ayat ini
adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan
tugasnya tidak terpengaruh oleh siapa pun atau lembaga lainnya.
Pasal 56
Tanggung
jawab dimaksud meliputi tanggung jawab administratif, sedangkan dalam
pelaksanaan teknis Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah
otonom dan mandiri.
Pasal 57
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kata “dapat” dalam ayat ini
dilakukan dengan memperhatikan pengaduan terhadap dokter atau dokter gigi yang
praktik, dan luas wilayah kerja.
Pasal 58
Cukup
jelas.
Pasal 59
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup jelas.
Huruf
e
Cukup jelas.
Huruf
f
Cukup jelas.
Huruf
g
Pengetahuan di bidang hukum kesehatan diperoleh
melalui pendidikan atau pelatihan yang menyangkut aspek hukum dalam bidang
kesehatan baik yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan maupun lembaga
lainnya yang terakreditasi.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup
jelas.
Pasal 61
Cukup
jelas.
Pasal 62
Cukup
jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup
jelas.
Pasal 65
Cukup
jelas.
Pasal 66
Ayat
(1)
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik
kedokteran, tetapi tidak mampu mengadukan secara tertulis, dapat mengadukan
secara lisan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang yang
secara langsung mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter
atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Termasuk juga dalam
pengertian “orang” adalah korporasi (badan) yang dirugikan kepentingannya.
Pasal 67
Cukup
jelas.
Pasal 68
Cukup
jelas.
Pasal 69
Cukup
jelas.
Pasal 70
Cukup
jelas.
Pasal 71
Cukup
jelas.
Pasal 72
Cukup
jelas.
Pasal 73
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Tenaga kesehatan dimaksud antara lain bidan dan
perawat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan medis sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan.
Pasal 74
Lihat
penjelasan Pasal 49 ayat (2).
Pasal 75
Cukup
jelas.
Pasal 76
Cukup
jelas.
Pasal 77
Cukup
jelas.
Pasal 78
Cukup
jelas.
Pasal 79
Cukup
jelas.
Pasal 80
Cukup
jelas.
Pasal 81
Cukup
jelas.
Pasal 82
Cukup
jelas.
Pasal 83
Cukup
jelas.
Pasal 84
Cukup
jelas.
Pasal 85
Cukup
jelas.
Pasal 86
Cukup
jelas.
Pasal 87
Cukup
jelas.
Pasal 88
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4431
DAFTAR PUSTAKA
Ari Yunanto, Hukum
Pidana Mallpraktek Medik , 2010,
penerbit Andi Yogyakarta.
Alexandra
Indriyanti D,
Mafia Kesehatan,
Pinus Book Publisher, Yogyakarta.
Adami Chazawi. 2004. Kejahatan terhadap Tubuh & Nyawa.
PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.
Chazawi, Admi ,
2007 , Malpraktek kedokteran , Tinjauan
Norma dan Doktrin Hukum , Banyumedia Publishing, Malang.
Fuady Munir, 2005,
Sumpah Hippocrates ( Aspek Hukum Malpraktek Dokter ), Pt
Citra Adtya Bakti, Bandung.
M. Yusuf Hanafiah,
Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan,1999, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sri Praptianingsih
, Kedudukan Hukum Perawat dalam upaya Kesehatan di Rumah
Sakit, 2006,Rajagrafindo Persada, Jakarta .
Willa Chandrawila
Supriadi, 2001 ,Hukum Kedokteran,
Mandar Maju Bandung
Majalah Hukum Dan
Keadilan terbitan tahun 1997
Tindakan medik harus dilakukan oleh tenaga
medic. Dalam hukum positif di Indonesia, kita membedakan antara tenaga medik
dan tenaga kesehatan. Peraturan pemerintah RI. No. 32 Tahun 1992 tentang Tenaga
Kesehatan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan. Sedangkan tenaga medik adalah mereka yang profesinya
dalam bidang medik, yaitu dokter, baik physician
(dokter fisik = dokter) maupun dentist (dokter gigi). Para dokter tersebut
berpraktik mungkin sebagai general
practitioner atau specialis.
Apabila tindakan medic itu dilakukan oleh mereka yang tidak berwenang untuk
melakukannya, maka dapat digolongkan sebagai tindakan tindak pidana. Akan
tetapi, apabila tindakan tersebut ditujukan untuk membantu tenaga medic, maka
dapat dijalankan sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan wewenang. Safitri
Hariyani 2005. Sengketa medik, Alternatif
Penyelesaian Perselisihan Antar Dokter dengan Pasien. Diadit Media,
Jakarta, hlm. 37.
Syarifuddin
Wahid, 2008. Model Pelanggaran Etika dan
Hukum kedokteran yang Memicu Tuntutan Malpraktik Dokter. Lokakarya Nasional
Hukum dan Etika Kedokteran. Makassar 26-27 Januari 2008. Proceeding.Ikatan
Dokter Indonesia cabang Makassar.
Veronica
Komalawati, 2002. Peranan Informed
Consent dalam Transaksi Terapeutik (persetujuan dalam hubungan Dokter dan
Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.172.
Alexandra
Indriyanti D, Mafia Kesehatan, Pinus
Book Publisher, Yogyakarta. Hlm 1003
Ratna
Suprapti Samil, 2001. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka. Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, hlm 92
Chrisdiono
M. Achadiat, 2006. Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman.
Buku Kedokteran, Jakarta, hlm. 185.
83 J.M. van
Bemmelen (trans).1986. Hukum Pidana 3, Bagian Khusus Delik-Delik Khusus. Binacipta.Bandung.
Hlm. 22
Adami Chazawi. 2004. Kejahatan
terhadap Tubuh & Nyawa. PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta. Hl
93 Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 20 Juni 2007.
Vincent, C. et al. Why do people sue
doctors ? A study of patients and relatives taking legal action. Lancet, 25,
343, 1994: 1609 – 15.